Membaca Kembali Pemikiran Al-Ghazali

Oleh: Casmin Abdurrohim

USAI membaca buku Kisah-kisah Ajaib Imam al-Ghazali karya Mukti Ali Qusyairi, saya menemukan posisi teologi al-Ghazali di antara kaum literalis dan rasionalis pada masanya. Kelompok pertama diwakili kaum Khawarij dan Hawasyi sementara kelompok kedua adalah Muktazilah.

Imam al-Ghazali membangun ilmu kalam moderat yang bisa mengkolaborasikan antara rasionalitas Muktazilah dan tekstualitas Khawarij. Ia tidak menghendaki tekstualitas dalam ilmu kalam sampai tidak menggunakan akal sama sekali seperti Khawarij, dan sebaliknya, tidak menghendaki memberikan otoritas akal secara total sebagaimana Muktazilah dan filsuf.

Menurutnya, Muktazilah berlebihan dalam memberikan otoritas pada akal sehingga mereka mengingkari bahwa akal memiliki batasan. Kritik al-Ghazali bahwa akal sangat lemah dan tidak pernah netral, sementara Muktazilah menyadarkan pada akal dan bagi mereka akal adalah segalanya. Bagi al-Ghazali akal sangat subyektif, tergantung siapa yang menggunakan dan untuk apa digunakan. Apa yang dianggap baik oleh satu kelompok belum tentu sama dalam pandangan kelompok lain, sehingga tidak pernah memberikan solusi yang tunggal dan permanen. Akal juga terikat ruang dan waktu sehingga akal pada prasejarah akan berbeda dengan akal manusia modern sekarang karena sifatnya yang dinamis, subyektif dan sulit mencari kepastian. Untuk itu menurut al-Ghazali akal membutuhkan wahyu untuk mengetahui batasan benar dan salah, baik dan buruk karena dalam beragama manusia membutuhkan kepastian.

Al-Ghazali pun mengkritik tajam kalangan yang memahami teks-teks agama secara harfiyah (literalis). Kelompok ini ada dan berhimpun dalam sekte Khawarij yang lahir pada masa fitnah kubro pasca tahkim atau arbitrase antara pasukan Ali ibn Abi Thalib dan Muawiyah serta kelompok Hawasyi, kelompok pinggiran/sempalan yang berada diluar mainstream umat Muslim karena pergaulan, pemahaman keagamaannya yang rigid, kaku, literalis dan ekstrim.

Imam Al-Ghazali mengkritik golongan tersebut dengan mengatakan bahwa al-Qur`an tidak hanya memiliki makna lahiriyah tetapi juga makna bathin (makna tersurat dan makna yang tersirat). Bahkan menurutnya selaras dengan hadits Nabi, bahwa “Al-Qur`an memiliki makna lahir, bathin, hadd dan mathla.” Di samping itu menurut al-Ghazali dalam memahami bahasa agama (al-Qur`an dan Hadits) tidak sesederhana hanya tahu makna literalnya saja itu belum dianggap cukup, tetapi juga harus menguasai asbab al-nuzul, ‘ulum al-qur`an, ‘ulum al-hadits, dan ushul fikih. Di samping maqaashid al-syari’ah, mantiq, balaghah dan perangkat ilmu lainnya untuk menghasilkan pemahaman dan penafsiran dengan baik.

Pemikiran al-Ghazali sampai hari ini masih sangat relevan, dan dua teologi yang dikritik al-Ghazali sampai hari ini pun masih hidup walaupun dalam wujud yang berbeda. Kelompok tekstualis dewasa ini sebagaimana Khawarij menjadi kelompok kaku dan ekstrim dalam beragama, sehingga memunculkan radikalisme di mana-mana, sementara pada posisi sebaliknya para pendewa akal memunculkan kelompok liberalis yang banyak membuat keragu-raguan dan ketidakpastian dalam beragama.

_____________________
Penulis adalah alumnus Pondok Pesantren Lirboyo dan Krapyak Yogyakarta

0 replies

Leave a Reply

Want to join the discussion?
Feel free to contribute!

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.