Kiai Abdul Chalim

SATU lagi kiai pendiri NU mendapat anugerah Pahlawan Nasional: Kiai Abdul Chalim Leuimunding. Leuimunding adalah nama sebuah desa di kawasan Majalengka bagian Timur, berbatasan langsung dengan Kabupaten Cirebon.

Majalengka memiliki dua Abdul Halim yang sama-sama memperoleh gelar Pahlawan Nasional. Yang pertama Kiai Abdul Halim pendiri PUI (Persatuan Umat Islam), satunya lagi Abdul Chalim pendiri NU (Nahdlatul Ulama). Biasanya, dalam penulisan nama untuk membedakan kedua tokoh besar ini, Halim pertama diawali dengan “H”, sementara yang kedua ditulis dengan hurup “C”, atau disematkan nama desa kelahiran setelah namanya. Keduanya memiliki peran dan kiprah yang besar untuk bangsa ini, sehingga pemerintah menganugerahi gelar pahlawan.

Tulisan ini akan mengulas secara singkat ketokohan serta peran kunci Kiai Abdul Chalim dalam mendirikan dan membesarkan NU. Juga jasanya bagi bangsa ini. Kiai kelahiran Majalengka, 2 Juni 1898 ini terlahir dari pasangan Kedungwangsagama dan Satimah. Jenjang pendidikannya dimulai dari HIS (Hollandsch Inlandsche School). Sebelum melanjutkan studi ke Makkah, Kiai Abdul Chalim tercatat pernah nyantri di sejumlah pesantren tidak jauh dari tanah kelahirannya, seperti Pondok Pesantren Banada, Pondok Pesantren al-Fattah Trajaya, dan Pondok Pesantren Nurul Huda al-Maarif Pajajar.

Di Makkah ia berguru langsung kepada Syaikh Abdul Mu’ti dan Syaikh Nawawi al-Bantani. Di sana ia bertemu Hadhratusy Syaikh Kiai Hasyim Asyari dan Kiai Wahab Chasbullah. Sepulang dari tanah suci Makkah, Kiai Abdul Chalim mengikuti jejak Kiai Wahab mendirikan lembaga pendidikan yang kemudian menjadi cikal bakal NU: Syubbanul Wathan dan Nahdlatul Wathan. Juga sama-sama aktif di Syarekat Islam (SI).

Bersama Kiai Wahab juga Kiai Abdul Halim menginisiasi lahirnya Komite Hijaz, sebuah perkumpulan embrio NU. Selain untuk merespon situasi global saat itu (hegemoni wahabisme di Arab Saudi), Komite Hijaz bercita-cita memerdekakan Hindia Belanda dari kungkungan Belanda.

Kiai Abdul Chalim merupakan komunikator, konsolidator sekaligus tokoh kunci kelahiran NU. Ketika Kiai Abdul Wahab Chasbullah ingin mendirikan NU, ia terlebih dulu meminta restu dari Hadhratusy Syaikh Hasyim Asyari, guru sekaligus ulama karismatik tanah Jawa waktu itu. Namun, selama sepuluh tahun dalam penantian, Kiai Hasyim tak kunjung memberikan restu. Kiai Wahab merasa segan untuk bertanya langsung, apalagi sampai mendirikan organisasi tanpa restu dari gurunya itu. Bahkan, sangking lamanya menanti jawaban dari Kiai Hasyim, Kiai Wahab hampir putus harapan.

“Sudah sepuluh tahun saya belum mendapat izin. Kalau saya tak mendapat izin, saya akan kembali masuk organisasi atau memimpin pesantren,” curhatan Kiai Wahab kepada Kiai Abdul Chalim. Di sinilah Kiai Chalim mulai mengambil peran. Ia memediasi sekaligus mengkomunikasikan kepada Kiai Hasyim Asyari. Berkat komunikasi Kiai Abdul Chalim, Kiai Hasyim segera memberikan respon dan jawaban. Jawaban Kiai Hasyim ia catat dalam buku biografi Kiai Wahab yang ditulis dalam bentuk syair.

 

 

Saya terima kata darilah paduka
Pak Ki Hasyim yang mulia malah berkata
Mas Dul Halim sebelum NU berdiri
Ialah saya kasihan pada kiai
Abdul Wahab yang ditendang sana sini
Mau bantu tak dapat jalan izin
Tiga tahun itulah saya memikirkan
Barulah sekarang terdapatnya jalan

 

 

Dari jawaban Kiai Hasyim terlihat bahwa beliau sebetulnya sudah memikirkan dan mempertimbangkan keinginan Kiai Wabab mendirikan Jam’iyyah NU. Beliau tidak hanya menunggu momentum yang tepat, namun juga dipikirkan matang-matang (istikharah) sebelum memberikan keputuasan. Panggilan “mas” dari Kiai Hasyim menunjukkan kedekatan dan keakraban Kiai Abdul Chalim dengan muassis NU itu.

Setelah organisasi NU terbentuk, murid sekaligus sahabat Kiai Abdul Wahab Chasbullah ini, sambil berdagang sarung ia berkeliling dari satu rumah ke rumah yang lain, singgah dari kampung ke kampung, bertemu dan bersilaturahim dengan banyak orang untuk mensosialisasikan NU yang kala itu masih berumur jagung. Jangan dibayangkan NU seperti saat ini, dengan ratusan ribu jamaahnya.

Organisasi NU waktu itu masih terbatas hanya di kalangan elit kiai Jawa Timur dan belum tersebar ke seluruh Nusantara. Dalam kepengurusan NU pertama kali didirikan, Kiai Abdul Chalim menjabat sebagai Katib Tsani (Sekretaris II) menemani Kiai Wahab sebagai Katib Awal (Sekretaris I). Ia bersama Kiai Wahab turun langsung mensosialisasikan dan mengkomunikasikan organisasi NU kepada kiai-kiai kampung di pelosok-pelosok daerah, mendirikan cabang organisasi, hingga mengonsolidasikan kiai-kiai (ulama) untuk berorganisasi di bawah naungan NU. Inilah alasan kenapa Kiai Wahab dan Kiai Abdul Chalim disebut “penggerak” (organisator/konsolidator) NU. Sulit membayangkan NU tanpa dua orang ini. [JM]

0 replies

Leave a Reply

Want to join the discussion?
Feel free to contribute!

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.