Kemerdekaan

“مَتَىٰ إِسْتَعْبَدْتُمُ النَّاسَ وَقَدْ وَلَدَتْهُمْ أُمَّهَاتُهُمْ أَحْرَارًا”

“Sejak kapan engkau memperbudak manusia, padahal mereka dilahirkan dalam keadaan merdeka?” demikian kata Sahabat Umar RA. Sahabat Umar RA telah menegaskan bahwa kemerdekaan adalah hak asasi manusia, yang sudah melekat dan dibawa sejak lahir. Tidak ada manusia yang berhak memperbudak manusia lainnya, baik atas nama agama, kebudayaan, politik, maupun ekonomi. Hanya dengan kemerdekaan, setiap manusia bisa mendapatkan keadilan.

Kemerdekaan, sebagaimana tercantum dalam paragraf pertama Pembukaan UUD 1945, adalah hak segala bangsa. Oleh karena itu, penjajahan di atas dunia harus dihapuskan karena tidak sesuai dengan perikemanusiaan dan perikeadilan. Jika perbudakan manusia masih terjadi di negeri ini, maka hakikatnya kita belum merdeka.

Tujuh puluh sembilan tahun yang lalu, Sukarno-Hatta mengumumkan kepada dunia bahwa bangsa kita sudah merdeka, merdeka dari penjajahan (perbudakan) bangsa atas bangsa lainnya. Namun, perjuangan untuk meraih kemerdekaan sejati belum selesai. Kemerdekaan sejati harus terus diperjuangkan, yaitu kemerdekaan setiap individu (warga negara) dari segala jenis perbudakan demi terciptanya sila kelima Pancasila: keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.

Dengan demikian, “kemerdekaan” adalah sebuah proses yang berkelanjutan, sebuah perjuangan panjang yang harus terus diperjuangkan sampai keadilan dapat ditegakkan. Memperingati Hari Kemerdekaan 17 Agustus 1945 berarti “menolak lupa” bahwa kemerdekaan masih harus terus diraih, diperjuangkan, dicita-citakan, dan disempurnakan!

Salah satu bentuk penjajahan yang masih berlangsung adalah penjajahan berbasis gender, yaitu penjajahan budaya patriarki terhadap perempuan yang mengakibatkan stigmatisasi, marginalisasi, subordinasi, kekerasan, dan beban ganda. Penjajahan jenis ini sering kali tidak disadari dan dianggap normal karena diwariskan dan mengalami “normalisasi” secara turun-temurun melalui tradisi dan budaya.

Oleh karena itu, di Hari Kemerdekaan ini, kita juga perlu membebaskan perempuan dari kungkungan dan penjajahan budaya patriarki dengan mengembalikan perempuan sebagai subjek. Sebagai subjek, pengalaman perempuan harus dihargai dan diterima sebagai sebuah kebenaran. Ada dua pengalaman perempuan: pertama, pengalaman biologis. Berbeda dengan laki-laki, perempuan mengalami menstruasi, hamil, melahirkan, nifas, dan menyusui. Kedua, pengalaman sosial perempuan. Sebagai perempuan dan hanya karena berjenis kelamin perempuan, perempuan sering kali mengalami ketidakadilan, seperti perlakuan diskriminasi, stigmatisasi, marginalisasi, subordinasi, dan lain-lain. Berdasarkan kedua pengalaman tersebut, perempuan berhak mendefinisikan dirinya sendiri, menentukan keadilannya sendiri, dan memiliki otoritasnya sendiri. Dengan menjadikannya sebagai subjek, berarti membebaskan dan memerdekakan perempuan untuk mendapatkan keadilan. Merdeka!

0 replies

Leave a Reply

Want to join the discussion?
Feel free to contribute!

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.