Partisipasi Politik Perempuan Menurut Islam

MENDEKATI tahun politik 2024, isu partisipasi politik perempuan menjadi salah satu topik kontroversial di mana fikih politik Islam dituduh mengalami stagnasi (kejumudan) dan bertentangan dengan hak-hak kaum perempuan karena melarang dan mencegah mereka menjalankan kekuasaan politik.

Para ulama kontemporer berbeda pendapat terkait hal ini hanya dalam satu masalah, yaitu mengenai bolehnya perempuan menjalankan kekuasaan. Para ulama yang melarang, mereka menyimpulkan berbagai pendapat ahli fikih lama tidak membolehkan perempuan menjalankan khilafah. Salah satu syarat menjadi khalifah adalah laki-laki. Mereka mendasarkan pendapat mereka kepada hadits Nabi Saw. tentang kisah bangsa Persia yang mengangkat seorang perempuan menjadi ratu. Ketika mendengar kabar ini, Nabi Saw. bersabda,

 

لن يفلح قوم ولوا أمرهم امرأة

Tidak beruntung suatu kaum yang menyerahkan urusan mereka kepada perempuan,” [H.R. al-Bukhari].

 

Menurut mereka, laki-laki adalah syarat utama untuk menjadi khalifah, sebab khilafah melibatkan banyak kesulitan, termasuk peperangan. Khalifah adalah pemimpin di medan perang, dan ini tidak sesuai dengan kondisi fisik dan sifat perempuan. Seorang khalifah bersama pasukannya mungkin harus pergi berperang hingga berbulan-bulan lamanya, dan perempuan tidak akan mampu menanggung beban perang yang sangat berat.

Sementara para ulama yang membolehkan, mereka memandang karakteristik pemerintahan sudah berubah seiring dengan berjalannya waktu, dan tidak ada lagi khalifah yang bertanggungjawab mengendalikan tanah/wilayah yang sangat luas. Tanggungjawab dan kekuasaan pemimpin saat ini berbeda dengan tanggungjawab khalifah di masa lalu. Presiden mengepalai otoritas eksekutif yang terikat oleh undang-undang dan konstitusi, tidak seperti khalifah. Adapun mengenai hadits “Tidak beruntung suatu kaum yang menyerahkan urusan mereka kepada perempuan,” mereka mengatakan bahwa hadits ini hanya mengisahkan tentang seorang putri dari kerajaan Persia yang diangkat menjadi ratu setelah ayahnya wafat, dan tidak dimaksudkan untuk menjadi suatu keputusan hukum (fikih) yang melarang perempuan menjalankan pemerintahan, melainkan sekedar respon dari Nabi Saw. yang memprediksikan bahwa kerajaan Persia akan mengalami kekalahan di bawah kepemimpinan sang ratu.

Di dalam tulisan pendek ini akan diulas poin-poin utama yang disepakati oleh para ulama yang melarang dan yang membolehkan dalam masalah partisipasi politik perempuan. Pertama, ‘illah (alasan) kelompok pertama (yang melarang) adalah ketidakmampuan perempuan untuk memikul beban berat kekhalifahan karena kekhalifahan membutuhkan upaya, beban dan perjuangan yang sangat besar serta peperangan, yang tidak sesuai dengan sifat perempuan. Artinya, ‘illah mereka bukanlah pembedaan antara laki-laki dan perempuan, atau bahwa laki-laki lebih cerdas, cakap, dan terampil daripada perempuan. Sebaliknya, mereka menegaskan bahwa larangan tersebut bukanlah kekurangan dalam kapasitas perempuan. Perempuan memiliki kapasitas penuh dan kepribadiannya sendiri; bisa melakukan transaksi jual-beli, memiliki harta benda, membela haknya, menuntut haknya, dan tidak memerlukan wali, bahkan dapat memikul tanggungjawab penuh sebagaimana laki-laki. Larangan tersebut dikarenakan kesulitan dan kerja keras yang diperlukan khilafah yang dianggap tidak sesuai dengan fisik perempuan.

Kedua, perbedaan pendapat di antara para ahli fikih adalah pada satu hal, yaitu pengambialihan kekuasaan oleh perempuan. Sedangkan urusan negara dan pemerintahan lainnya, para ahli fikih sepakat bahwa tidak ada perbedaan antara laki-laki dan perempuan di dalamnya, bahkan perempuan dapat menanganinya sebagaimana laki-laki.

Ketiga, partisipasi politik perempuan, kalau kita ingin melihatnya dari al-Qur`an dan sunnah, kita akan menemukan banyak argumen yang menunjukkan kebebasan perempuan berpartisipasi dalam semua aspek politik. Di antaranya yang bisa disebutkan, bahwa Allah Swt. berfirman,

 

وَالْمُؤْمِنُونَ وَالْمُؤْمِنَاتُ بَعْضُهُمْ أَوْلِيَاءُ بَعْضٍ

Dan orang-orang yang beriman, laki-laki dan perempuan, sebagian mereka [adalah] penolong bagi sebagian yang lain,” [Q.S. al-Taubah: 71].

 

Di sini yang dimaksud “أَوْلِيَاءُ” adalah “al-wilâyah”, yang berarti dukungan, pertolongan dan perlindungan. Dan Q.S. al-Taubah: 71 ini menunjukkan bahwa laki-laki dan perempuan yang beriman saling mendukung dan menolong satu sama lain. Laki-laki dapat menolong perempuan, dan perempuan dapat menolong laki-laki. Perempuan dapat mengambil alih urusan laki-laki, dan laki-laki dapat mengambil alih urusan perempuan.

Perempuan dapat berpartisipasi dalam ijtihad, yang merupakan otoritas untuk membuat undang-undang dalam pengertian kontemporer, dan itu menjadi sebab turunnya hukum-hukum baru, seperti dalam surah al-Mujadilah, yaitu seorang perempuan yang pergi menghadap Nabi Saw. dan memberitahu beliau bahwa suaminya telah berkata kepadanya, “Kamu seperti ibuku.” Dan Nabi Saw. berkata kepadanya, “Aku tidak melihatmu kecuali bahwa kamu telah haram untuknya.” Perempuan tersebut datang berkali-kali kepada Nabi Saw., dan jawaban beliau selalu sama. Kemudian turunlah surah al-Mujadilah yang menyatakan,

 

قَدْ سَمِعَ اللَّهُ قَوْلَ الَّتِي تُجَادِلُكَ فِي زَوْجِهَا وَتَشْتَكِي إِلَى اللَّهِ وَاللَّهُ يَسْمَعُ تَحَاوُرَكُمَا ۚ إِنَّ اللَّهَ سَمِيعٌ بَصِيرٌ

Sesungguhnya Allah telah mendengar perkataan perempuan yang mengajukan gugatan kepadamu tentang suaminya, dan mengadukan [masalahnya] kepada Allah. Dan Allah mendengar soal jawab antara kamu berdua. Sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha Melihat,” [Q.S. al-Mujadilah: 1].

 

Q.S. al-Mujadilah: 1 ini menjelaskan hukum zhihar (ucapan suami kepada istri yang menyerupakan punggung istri dengan punggung ibunya, atau menyerupakan istri dengan ibunya) yang membolehkan seorang perempuan untuk rujuk (kembali) kepada suaminya dan suaminya membayar kaffarah (denda yang harus dibayar karena melanggar larangan Allah atau melanggar janji).

Sirah Nabi sarat dengan peristiwa politik di mana perempuan memiliki peran penting, yang pertama adalah Khadijah ra.. Para ulama sirah berpandangan bahwa menteri pertama dalam Islam adalah Khadijah. Mereka menyamakan posisinya di sisi Nabi Saw. dengan posisi seorang menteri yang dimintai bantuan dalam menjalankan misi, konsultasi dan penyelesaian masalah, serta baiat (janji setia) perempuan. Nabi Saw. tidak merasa cukup hanya menerima baiat dari kaum laki-laki ketika beliau hendak hijrah ke Madinah. Beliau juga meminta baiat dari perempuan. Allah Swt. berfirman,

 

يَا أَيُّهَا النَّبِيُّ إِذَا جَاءَكَ الْمُؤْمِنَاتُ يُبَايِعْنَكَ عَلَىٰ أَنْ لَا يُشْرِكْنَ بِاللَّهِ شَيْئًا وَلَا يَسْرِقْنَ وَلَا يَزْنِينَ وَلَا يَقْتُلْنَ أَوْلَادَهُنَّ وَلَا يَأْتِينَ بِبُهْتَانٍ يَفْتَرِينَهُ بَيْنَ أَيْدِيهِنَّ وَأَرْجُلِهِنَّ وَلَا يَعْصِينَكَ فِي مَعْرُوفٍ ۙ فَبَايِعْهُنَّ وَاسْتَغْفِرْ لَهُنَّ اللَّهَ ۖ إِنَّ اللَّهَ غَفُورٌ رَحِيمٌ

Hai Nabi, apabila datang kepadamu perempuan-perempuan yang beriman untuk mengadakan janji setia, bahwa mereka tiada akan menyekutukan Allah, tidak akan mencuri, tidak akan berzina, tidak akan membunuh anak-anaknya, tidak akan berbuat dusta yang mereka ada-adakan antara tangan dan kaki mereka dan tidak akan mendurhakaimu dalam urusan yang baik, maka terimalah janji setia mereka dan mohonkanlah ampunan kepada Allah untuk mereka. Sesungguhnya Allah maha Pengampun lagi Maha Penyayang,” [Q.S. al-Mumtahanah: 12].

 

Selain Khadijah, ada Ummu Salamah, yang berperan besar dalam Perjanjian Hudaibiyah ketika Nabi Saw. berkonsultasi dan meminta saran kepadanya tentang masalah militer. Nabi Saw. melaksanakan sarannya yang kemudian diikuti oleh para sahabat yang berakhir dengan Fathu Makkah dan kemenangan besar umat Muslim. Ummu Salamah, yang mewakili seluruh perempuan di masanya, menuntut hak-haknya di hadapan Nabi Saw., karena kaum laki-laki pergi ke medan perang membersamai Nabi Saw., dan itu membuat Nabi Saw. merasa perlu menyediakan waktu untuk kaum perempuan di mana mereka dapat mencurahkan keluh kesah dan pikiran kepada beliau.

Ummu Hani’ binti Abi Thalib, ketika seorang laki-laki musyrik meminta perlindungan kepadanya (yang sekarang dikenal sebagai permintaan suaka) dan Ali ibn Abi Thalib ra. hendak membunuh laki-laki itu, Nabi Saw. menerima perlindungannya untuk laki-laki itu dan berkata, “Kami telah melindungi orang yang telah engkau lindungi, hai Ummu Hani’.”

Islam telah mengabadikan banyak perempuan yang ikut berjihad dan membantu tentara serta berperang jika memang diperlukan, seperti Nusaibah al-Mazniyah, Ummu Umarah, dan juga Asma binti Abi Bakr yang membantu Nabi ketika hijrah. Dan setelah Nabi Saw. wafat, perempuan yang punya peran besar dalam membuat peristiwa bersejarah adalah Aisyah ra.. Ia dengan gagah berani memimpin pasukan dalam perang Jamal menuntut penyelesaian kasus pembunuhan Utsman ibn Affan ra..

Sejumlah riwayat menyebut bahwa Abd al-Rahman ibn Auf bermusyawarah dan meminta masukan kepada para perempuan, bahkan dengan para gadis, di ruang khusus mereka, dalam hal memilih khalifah. Masih banyak cerita yang menunjukkan partisipasi perempuan dalam kehidupan politik. Tidak ada catatan sejarah yang menyebut bahwa para sahabat maupun para khalifah memandang sebelah mata pendapat perempuan atau mencegahnya berpartisipasi karena ia seorang perempuan, tetapi pendapatnya dihargai dan diperhatikan oleh masyarakat.

Keempat, al-Qur`an menyebutkan kisah para ratu yang saleh dan memuji mereka, karena mereka mampu memimpin rakyat sehingga selamat dari kehancuran. Salah satunya adalah Ratu Saba, Bilqis, yang berkat keterampilan, pengalaman, dan kecerdikannya mampu menyelamatkan seluruh negerinya dan kemudian memeluk Islam bersama Sulaiman as.. Kisahnya disajikan secara utuh di dalam surah al-Naml.

Sebaliknya, al-Qur`an menyebutkan contoh raja-raja yang merusak negeri dan rakyat karena kesombongan mereka, seperti Fir’aun. Dan di antara kisah yang merupakan pujian bagi perempuan adalah kisah dua putri Nabi Syu’aib as. yang membantu Musa as. ketika ia melarikan diri dari penindasan Fir’aun. Juga Asiah, istri Fir’aun, yang berserah diri kepada Tuhan, terlepas dari kesombongan dan penindasan Fir’aun, serta Maryam binti Imran, yang oleh sebagian ulama disebut sebagai nabi perempuan (nabiyah) dan mereka mengatakan bahwa nabi bukan hanya laki-laki, tetapi juga perempuan. Kisah-kisah ini menunjukkan peran perempuan dalam peristiwa politik dan urusan publik, serta keunggulan kecerdasan dan kekuatan kepribadian mereka.

Semua itu membuktikan kepada kita bahwa Islam sangat peduli terhadap perempuan, bahwa perempuan punya kontribusi besar dalam urusan publik dan kerja politik, tidak terbatas hanya pada pekerjaan rumah tangga yang bersifat domestik, dan bahwa perempuan tidak direndahkan karena ia adalah perempuan. Adapun para ahli fikih yang melarang perempuan menjadi khalifah, bukan karena kekurangan akalnya, seperti yang dikatakan banyak orang, atau ketidakmampuan politiknya atau ketidakcakapannya dalam memimpin, melainkan karena beban berat khilafah dianggap tidak sesuai dengan kondisi fisiknya. Dan sebagian ulama kontemporer memberikan cacatan bahwa persoalan pemerintahan di era modern berbeda dengan persoalan khilafah.

Benar bahwa para ulama saat ini berbeda pendapat mengenai kedudukan perempuan sebagai pemimpin negara/presiden dengan pertimbangan ijtihadi dan argumen-argumen syariat. Namun hal ini tidak bisa menjadi alasan untuk menegasikan fakta-fakta yang disebutkan di dalam al-Qur`an dan sunnah mengenai peran perempuan dalam partisipasi politik dan kerja politik serta partisipasinya dalam urusan publik.

Kesimpulannya, Islam memberikan perhatian pada peran perempuan dalam urusan publik dengan menunjukkan keterlibatannya dalam kerja politik melalui sirah nabi dan kehidupan al-Khulafa` al-Rasyidin, memberinya hak penuh atas kerja politik tanpa membatasinya, dan tidak mengurangi haknya dengan cara apa pun.[]

0 replies

Leave a Reply

Want to join the discussion?
Feel free to contribute!

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.