Ilusi Kemaslahatan dalam Bisnis Tambang

Keputusan dua organisasi masyarakat berbasis agama, yakni Nahdlatul Ulama (NU) dan Muhammadiyah (MU), untuk menerima izin pengelolaan tambang dari pemerintah menarik perhatian masyarakat. Dua ormas yang terkenal memiliki banyak perbedaan itu akhirnya satu suara: mereka sama-sama terlibat dalam aktivitas bisnis tambang. Wajah kedua ormas yang selama ini dikenal dengan perannya di masyarakat dalam berbagai bidang pun seketika berubah.

Nahdlatul Ulama sebagai ormas pertama yang menerima tawaran tersebut dikritik habis-habisan mengenai kapasitas dan kapabilitas organisasi dalam bisnis tambang. Reaksi masyarakat semakin membuncah ketika Ketua Umum PBNU, Yahya Cholil Staquf, terang-terangan mengungkapkan alasan penerimaan izin tambang untuk kebutuhan pendanaan program dan infrastruktur NU.

Selang dua bulan setelah NU menerima izin pengelolaan tambang, Muhammadiyah sebagai organisasi keagamaan Islam yang sama besarnya pun menyusul. Harapan masyarakat yang sudah terlanjur percaya bahwa Muhammadiyah tidak akan terlibat dalam bisnis yang memiliki rekam jejak buruk bagi kondisi lingkungan dan sosial itu pun pupus. Respon masyarakat terhadap organisasi masyarakat berbasis agama pun berubah, seolah tak ada lagi harapan.

Citra Ormas Agama: Tidak Responsif terhadap Masalah yang Mendesak

Selama ini, ormas agama di Indonesia memiliki arti tersendiri karena perannya dalam kehidupan masyarakat. Jika dilihat dari sejarahnya, kedekatan kedua ormas dengan masyarakat sejalan dengan kontribusi mereka terhadap sejarah politik di Indonesia. Baik NU maupun Muhammadiyah menjadi bagian tak terpisahkan dari perjuangan kemerdekaan serta perjalanan menjaga stabilitas politik berbasis demokrasi di Indonesia. Hingga akhirnya, kedua organisasi tersebut fokus terhadap perannya dalam menjaga demokrasi dan menyebarkan nilai-nilai Islam yang moderat serta toleran kepada masyarakat.

Namun, lambat laun, seiring dengan semakin kompleksnya masalah yang dihadapi oleh masyarakat, citra ormas tak lagi begitu dekat di masyarakat. Dilansir dari riset Hamzah Fansuri melalui The Conversation, terlalu fokusnya kedua ormas tersebut pada isu politik menyebabkan popularitasnya menurun di masyarakat, terutama di kalangan masyarakat perkotaan. Masyarakat menganggap bahwa keberadaan ormas agama tidak mampu merespons permasalahan sehari-hari yang dihadapi, termasuk salah satunya masalah lingkungan. Sehingga, pengaruh kedua ormas ini pun tidak dirasakan dan mengalami penurunan.

Kedua ormas yang jumlah pengikutnya mencapai ratusan juta itu juga dikenal dekat dengan lingkaran elite politik. Menurut artikel peneliti Greg Fealy, NU memiliki citra yang dekat dengan politik kekuasaan pemerintah. Bahkan, menurut peneliti asal Australia tersebut, hubungan pemerintah dengan NU adalah bentuk jebakan politik. Pemerintah pun memberikan banyak keuntungan yang malah dinikmati oleh NU. Sedangkan Muhammadiyah tidak nampak menonjol, bahkan seolah-olah bersikap oposisi, namun tidak banyak menyampaikan kritik terhadap pemerintah.

Masyarakat pun pada akhirnya tidak menemukan ruang untuk permasalahan yang sedang dihadapi, yang berkaitan dengan masalah sehari-hari yang kian lama kian kompleks sebab dan dampaknya. Masalah lingkungan merupakan satu dari masalah sehari-hari yang harus dihadapi oleh masyarakat di tengah banyaknya kerusakan alam dan ancaman krisis iklim.

Bisakah Ormas Membawa Kemaslahatan dalam Bisnis Tambang?

Dalam rilis pers pernyataan Muhammadiyah yang siap mengelola tambang melalui unggahan Instagramnya, Muhammadiyah menyatakan bahwa pertimbangan menerima izin pengelolaan tambang dalam poin pertama adalah sebagai bentuk pemanfaatan kekayaan alam untuk kemaslahatan dan kesejahteraan hidup material dan spiritual.

Pengelolaan tambang, dalam hal ini tambang batu bara, memang bermanfaat untuk kebutuhan energi serta kondisi ekonomi. Di sisi lain, rentetan masalah yang berdampak jangka panjang tidak sepadan dengan manfaat yang dihasilkan. Apalagi, ketergantungan terhadap batu bara semakin mengakar dan berdampak buruk bagi berbagai bidang. Menurut Jaringan Advokasi Tambang (Jatam), watak industri tambang yang destruktif justru akan menimbulkan banyak permasalahan baik dari segi lingkungan, hukum, sosial, maupun ekonomi.

Walaupun ada kepercayaan bahwa industri tambang bisa “bersih” dan “berkelanjutan”, kepercayaan itu masih berada pada tahap kemungkinan. Dilansir dari laman National Geographic, masih banyak teknologi baru yang memerlukan waktu bertahun-tahun untuk diterapkan pada skala komersial yang lebih besar. Belum lagi dari segi kebijakan undang-undang dan faktor lain yang tidak sejalan dengan dampak buruk yang dirasakan umat manusia.

Batu bara merupakan sumber daya alam yang tidak dapat diperbarui (non-renewable resource). Dalam prosesnya, siklus pengelolaan tidak dapat berkelanjutan karena ketika habis maka akan mencari area baru, yang mana membutuhkan banyak ruang sehingga banyak lahan hidup masyarakat hingga hutan pun ditebang.

Dari segi dampak buruk terhadap lingkungan, bisnis tambang batu bara konvensional masuk sebagai aktivitas manusia yang paling merusak dunia. Peningkatan emisi karbon yang menyebabkan suhu bumi meningkat, banjir dan tanah longsor akibat deforestasi, pencemaran air dan udara, serta kehilangan lahan bagi ragam hayati dan hewani adalah rentetan masalah lingkungan yang menyengsarakan.

Selain itu, bisnis tambang yang hingga kini masih berjalan masif juga bertolak belakang dengan komitmen Indonesia dan berbagai negara di dunia dalam menurunkan emisi karbon. Indonesia sendiri menjadi salah satu negara yang berkomitmen menurunkan emisi untuk memperlambat laju suhu agar tidak naik lebih dari 1,5 derajat dalam Perjanjian Paris 2016. Bahkan, Indonesia dalam berbagai konferensi, salah satunya dalam Conference of Parties 26 tahun 2021, menyatakan target nol emisi karbon (Net Zero Emission) pada tahun 2060.

Menurut NRDC, salah satu upaya untuk mengurangi dampak buruk lingkungan yang dirasakan adalah dengan mengembangkan sumber energi terbarukan dalam skala yang lebih besar. Sumber energi terbarukan (renewable energy) merupakan sumber energi yang tersedia oleh alam dan dapat dimanfaatkan secara terus-menerus. Pertanyaannya adalah, jika memang ingin berkontribusi untuk kemaslahatan, mengapa tidak terjun saja dalam bisnis atau program yang berkaitan dengan energi terbarukan?

Padahal, Muhammadiyah memiliki program 1000 Cahaya untuk memilih sumber energi bersih untuk bidang usahanya seperti sekolah, kampus, masjid, hingga badan amal. Pun juga NU yang memiliki program Pesantren Hijau yang mendorong pesantren-pesantren untuk melek teknologi dan pemasangan PLTS (Pembangkit Listrik Tenaga Surya). Bukankah ini upaya yang bertolak belakang dengan nilai-nilai agama untuk menjaga alam dan tidak berbuat kerusakan?

Dengan ini, melihat watak bisnis pertambangan, dampak, serta kontradiksi atas komitmen pemerintah dan berbagai negara di dunia yang berupaya mengurangi gas emisi karbon, keberadaan ormas agama dalam pusaran bisnis tambang justru akan menghilangkan sisi kebermanfaatan nilai (maslahah) dalam perannya di bidang agama. Selama ini, kemaslahatan hanya berfokus pada manfaat dan nilai. Padahal, menurut Al-Khawarizmi, maslahah tidak hanya berkaitan dengan manfaat, tetapi juga upaya memelihara prinsip-prinsip hukum Islam dengan menolak bencana/kerusakan/hal-hal yang dapat merugikan manusia.

0 replies

Leave a Reply

Want to join the discussion?
Feel free to contribute!

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.