Halaqah Bahtsul Masail “Pernikahan Usia Anak” di PP Kauman Lasem-Rembang

SABTU, 19 Maret 2016, Halaqah Bahtsul Masail “Pernikahan Usia Anak” diadakan di Pondok Pesantren Kauman Lasem Rembang, Jawa Tengah, sebuah pesantren yang berada di tengah-tengah kampung Cina—pecinan. Acara dihadiri oleh ratusan kiyai dan ibu nyai pengasuh pondok pesantren yang datang dari berbagai wilayah yang ada di Jawa Tengah, seperti Rembang, Sarang, Kudus, Grobogan, Pati, bahkan juga dari Jawa Timur seperti Ngawi dan Bojonegoro.

KH. M. Zaim Ahmad Maksum, Pengasuh PP Kauman Lasem-Rembang dan Ketua MP3I (Majelis Permusyawaratan Pengasuh Pesantren Se-Indonesia), dalam sambutannya sangat mengapresiasi kehadiran para kiyai, ibu nyai, wakil bupati Rembang, dan para pembicara dalam acara Halaqah Bahtsul Masail “Pernikahan Usia Anak”. Ia menjelaskan perbedaan antara MP3I dengan RMI (Rabithah Ma’ahid al-Islamiyah). MP3I adalah organisasi kumpulan para pengasuh pesantren, sedangkan RMI adalah kumpulan pengurus pesantren.

Sambutan berikutnya disampaikan oleh perwakilan dari PLAN-Indonesia dan FITRA (Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran Jawa Tengah). Sambutan terakhir sekaligus pembukaan acara disampaikan oleh Wakil Bupati Rembang, Bapak Bayu, yang mengatakan bahwa faktor semaraknya pernikahan usia anak khususnya di Rembang disebabkan selain faktor kemiskinan, juga tidak kalah menentukannya adalah faktor lemahnya SDM (Sumber Daya Manusia). Jika SDM membaik maka akan bisa mengurangi angka kemiskinan, sebab dengan SDM yang baik maka kesempatan kerja semakin luas. Dan pemerintah Rembang berharap komunitas pesantren dan NGO bersama-sama pemerintah untuk menurunkan angka usia perkawinan anak.

Acara halaqah dipandu Kiyai Imam Baihaqi sebagai moderator. Halaqah dibagi menjadi dua sesi: sesi pertama dari pukul 10.00 sampai dengan pukul 13.00, dan pembicaranya adalah bapak Dr. Asrorun Ni’am (Komisi Perlindungan Anak Indonesia/KPAI), Ibu Dwi Wahyuni (Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak), dan Mukti Ali (peneliti Rumah KitaB). Sesi kedua, pembicaranya adalah KH. Husein Muhammad dan Dr. KH. Wawan Arwani.

Dr. Asrorun Ni’am menjelaskan prosentase perkawinan usia anak secara umum yang terjadi di Indonesia beserta penyebab dan dampaknya. Ia juga menjelaskan bahwa pernikahan meski berkaitan erat dengan dimensi agama, kesehatan, kejiwaan, dan kesehatan, akan tetapi sesungguhnya adalah domain agama. Karena itu, pemerintah Indonesia menyerahkan urusan pernikahan kepada Kementerian Agama, PA dan KUA.

Dr. Ni’am juga menjelaskan bahwa di Indonesia terdapat banyak Undang-undang berkaitan dengan usia anak dan usia dewasa yang satu dengan yang lainnya berbeda-beda. KPAI, lanjut Dr. Ni’am, mengusulkan untuk mencegak kawin usia anak dengan melaui revitalisasi cara pandangan orangtua terhadap anak, dan cara pandangan pentingnya pendidikan pra-nikah.

Ibu Dwi Wahyuni dari Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak menyampaikan soal prosentase kawin usia anak, penyebab dan dampaknya. Disebutkan bahwa dampak yang paling nyata adalah perceraian sebanyak 72% disebabkan tidak siap karena akibat dari kawin usia anak dan 28% perceraian akibat tidak harmonisnya rumah tangga. Dampak yang lain adalah tingginya angka kematian bayi dan ibu. Komisi Perlindungan Anak Indonesia/KPAI, dan Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak mencatat faktor yang paling besar terjadinya kawin usia anak adalah faktor MBA atau KTD (Kehamilan Tidak Dikehendaki).

Sedangkan Mukti Ali menjelaskan hasil penelitian lapangan Tim Peneliti Rumah KitaB terkait kawin usia anak-anak. Menurutnya, pola penelitian yang selama ini dilakukan Rumah KitaB menggunakan dua pendekatan, yaitu penelitian lapangan dan kajian teks. Terkait kawin anak, Rumah KitaB telah melakukan penelitian lapangan dan menghasilkan sejumlah buku yang terangkum dalam tema “Fenomena Kerja Kuasa Tersamar dan Yatim Piatu Sosial”. Tidak hanya penelitian lapangan, Rumah KitaB juga melakukan kajian teks dan menghasilkan buku berjudul “Fikih Kawin Anak; Membaca Ulang Teks Keagamaan Perkawinan Usia Anak-Anak”.

Kawin usia anak di lapangan, juga sudah dilakukan di 9 daerah, yaitu Banten, Bogor, Cirebon, Sukabumi, Lamongan, Sumenep-Madura, NTB, Sulawesi Selatan, dan masyarakat urban kampus UI dan IPB. Lanjut Mukti, penelitian lapangan yang dilakukan Rumah KitaB dengan melihat kawin usia anak dilihat dalam empat matra, yaitu perubahan ruang hidup, perubahan relasi gender, peran kelembagaan formal atau informal, dan argumentasi keagamaan. Keempat matra ini saling berkelindan, kait-mengait antara satu dengan yang lainnya dalam mewujudkan kawin usia anak yang tidak kunjung surut.

Perubahan ruang hidup disebabkan adanya transformasi dari masyarakat berbasis pertanian (agraria) menuju masyarakat industri; industri pabrik bersekala nasional dan properti di Banten dan Madura, industri pariwisata di Puncak Bogor dan Sukabumi, industri ketenaga kerjaan luar negeri (TKI/ TKW) di Cirebon, Lamongan, dan Banten, dan yang lainnya. Sawah dan lahan pertanian disulap menjadi vila, perhotelan, properti, pabrik-pabrik, dan tempat-tempat penyokong industri. Sehingga masyarakat kehilangan sawah dan lahan untuk mengais rezeki. Jalan satu-satunya adalah berharap dapat bekerja di sektor industri. Tetapi ternyata industri yang ada tidak bisa menyerap secara maksimal, dan akhirnya sebagian masyarakat lebih memilih jalur pekerjaan informal seperti menjual klontongan, seduh kopi, dan sejenisnya, sedangkan sebagian lainnya menganggur.

Perubahan ruang hidup itu berakibat pada perubahan relasi gender. Pada era agraria, laki-laki lebih diutamakan daripada perempuan karena dianggap tenaganya bisa maksimal dalam mengelola sawah, ladang, dan menggembala, meski sesungguhnya perempuan juga ikut andil di dalamnya. Sedangkan pada era industri, sering kali perempuan lebih diutamakan, seperti bisa menjadi TKW atau kawin kontrak (misyar) di Puncak Bogor yang bisa menghasilkan rezeki yang dapat memenuhi ekonomi keluarga.

Anak-anak pada akhirnya menjadi yatim piatu sosial, karena posisinya tidak mendapatkan daya dukung dari alam dan lingkungan keluarga dan sosialnya. Anak TKW diasuh oleh neneknya. Bahkan anak ‘dikawin kontrakkan’ demi untuk ekonomi keluarga, atau anak ‘dikawin gantungkan’ di Banten dan Madura atas nama menjaga kesucian dan trah darah biru, atau anak melakukan merariq kodek (kawin lari) di NTB atas nama tradisi, atau kawin paksa yang terjadi di mana-mana.

Sedangkan lembaga, baik formal (PA dan KUA) maupun informal (keluarga, tim nikah misyar, ustadz lokal), tidak sedikit oknum-oknum yang masih mendukung kawin usia anak. Bahkan dengan melalui manipulasi data usia, menaikkan usia. Sehingga, lanjut Mukti, prosentase pernikahan hitam di atas putih yang resmi ada di PA dan KUA, sesungguhnya setelah dicek di lapangan fakta membuktikan bahwa kenyataannya jauh lebih banyak. Hampir semua peneliti Rumah KitaB menemukan fakta manipulasi data usia di wilayah-wilayah penelitiannya.

Dan yang tidak kalah kuatnya adalah bahwa faktor argumentasi keagamaan—baik dari kalangan tradisional, modernis, maupun trans-nasional—masih banyak yang mendukung kawin usia anak dengan menggunakan hadits pernikahan Rasulullah dengan Siti Aisyah. Undang-Undang tahun 1974, tentang batasan usia pernikahan bagi perempuan 16 tahun dan bagi laki-laki 19 tahun, diabaikan dan lebih memilih mempraktikkan hadits tersebut, dan untuk mengakalinya agar sesuai dengan UU melalui manipulasi data usia anak.[]

0 replies

Leave a Reply

Want to join the discussion?
Feel free to contribute!

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.