Terminologi LGBT dalam Kitab Kuning

SEBAGAI bagian dari kehidupan nyata, prilaku LGBT bukan cerita baru di Indonesia. Banyak budaya di Indonesia mengenal kebiasaan itu bahkan di wilayah tertantu menjadi sesuatu yang terkait dengan dunia spiritual. Tradisi Bissu di Sulawesi Selatan misalnya. Belakangan siu ini menjadi bincangan populer di Indonesia; dari warung kopi sampai cafe dari obrolan gardu ronda sampai televisi. Berbagai penolakan terhadap eksistensinya juga hadir dari perbincangan itu. Dari kampus sampai ke kampung, tokoh agama sampai tokoh politik, dari mimbar khutbah di gereja sampai ke khutbah Jum’at. Dalam lingkungan Islam yang anti LGBT keluar ragam fatwa dari yang mengutuk, mengharamkan sampai menganggapnya murtad.

Dalam banyak kasus, para pengkritik LGBT itu tidak dapat menunjukkan kritik serta argumen yang jelas dan tegas. Dari sudut pandang mana dan penafsiran teks yang bagaimana sasaran obyek analisis kritis itu ditujukan. Ketiadaan naskah komprehensif soal LGBT di berbagai kitab klasik juga masih menjadi kendala bagi para pengkaji dunia teks klasik baik para pembela maupun para penolaknya. Dunia teks itu sendiri sangat luas, menyelaminya tentu membutuhkan durasi waktu yang tidaklah sedikit. Namun kita bisa mencoba membacanya mulai dari analisis-terminologis soal LGBT, baru kemudian kita meraba konsteks sejarah LGBT yang pernah terjadi di dunia Arab, sebelum menyelam jauh ke dalam dunia teks yang masih belum dikontekstualisasi.

Dahulu, dunia Arab hanya mengenal istilah al-sihâq (lesbi), al-liwâth (homo), ityȃn al-bahȃ`im (senggama dengan hewan), jimȃ’ al-amwȃt (senggama dengan orang-orang mati), baru sekarang saja ada istilah al-mitslîyyah al-jinsîyyah (seks sejenis), al-syudzûdz al-jinsîy (penyimpangan seksual). Al-mitslîyyah al-jinsîyyah di definisikan sebagai “Injidzâb-un ‘âthifîy li syakhsh-in min nafs al-jins wa qad yashbah-u ma’ahu muyũl-un li al-ittishâl al-jasadîy kadzâlika” (suatu daya tarik emosional yang dimiliki seseorang kepada sesama jenis yang menghadirkan keinginan untuk melakukan kontak fisik). Al-syudzûdz al-jinsîy, dalam sudut pandang etimologi yang dikemukakan oleh Ibn Mandzur di dalam kitab Lisȃn al-‘Arab, “Yadullu ‘alȃ al-infirȃd wa al-nadrah” (sebuah kata yang menunjukkan keterasingan dan jarang).[1] Jarang berarti berlawanan dengan mayoritas. Penggunaan kata ini menurut Ibn Mandzur mewakili kata al-sihâq, al-liwâth, ityȃn al-bahȃ`im, jimȃ’ al-amwȃt.[2]

Keempat definisi itu adalah produk klasik yang ditelurkan pada zamannya. Perbedaan definisi tentu berimplikasi pada substansi hukum. Misalnya al-liwâth, di dalam kitab “Nihâyatu al-Zayn; Syarh Kitab Qurrat al-‘Ayn bi Muhimmati al-Dȋn fȋ al-Fiqh ‘alâ Madzhab al-Imâm al-Syâfi’îy”, sebuah kitab yang sangat populer di dunia pesantren tradisional-salaf di Indonesia, Imam Nawawi al-Bantani memberi definisi sebagai berikut, “al-wath`u fȋ al-dubur”, (berhubungan seks dengan memasuki alat kelamin ke dalam dubur). Definisi ini tidak menjelaskan apakah hubungan seks dengan memasukkan penis ke dalam dubur itu dilakukan kepada perempuan atau laki-laki. Definisi itu tidak menggambarkan prilaku seksual terhadap sesama jenis atau lawan jenis. Namun Imam Nawawi mengharamkan praktik al-liwâth, sebuah praktik seksual yang memasukkan kelamin pria ke dalam dubur. Namun kekurangan dari produk hukum Imam Nawawi ini, hanya mengandalkan argumentasi qiyas, tanpa ada argumentasi dari al-Qur`an dan hadits yang mensuarakan dengan jelas keharaman liwat atau jenis hukum yang disuarakan oleh al-Qur`an dan hadits.

Definisi al-liwâth dari Imam Nawawi ini tidak mewakili definisi salah satu item di LGBT, misalnya gay yang spesifik membahas hubungan sesama jenis di kalangan laki-laki. Imam Nawawi hanya menggambarkan praktik seks yang tidak diperbolehkan, bukan kecendrungan seks. Di dalam definisi itu tidak ada kalimat yang jelas soal perilaku atau kecenderungan seks, dalam konteks psikologis, kepada sesama jenis, sehingga tidak tepat mendefinisikan al-liwâth sebagai “gay” yang dipahami sekarang, seperti definisi yang diungkap oleh Duffy dan Atwater dalam buku “Psyichology For Living Adjustment, Growth and Behaviour Today”, yaitu lelaki yang mempunyai orientasi seksual terhadap sejenisnya.[3]

Definisi yang sedikit berbeda diutarakan oleh Abu Abdillah Syamsuddin Muhammad ibn Qasim ibn Muhammad al-Ghazziy—dikenal dengan sebutan Ibn al-Gharabili di dalam kitab “Fath al-Qarîb” memberikan definisi yang sama, “Bi an wath`ahu fȋ duburihi,” (Menyetubuhinya dengan memasukkan kelamin ke dalam duburnya).[4] Di dalam kalimat itu, Ibn al-Gharabili menggunakan “hu” (kata ganti ketiga tunggal laki-laki) pada kata “wath`ahu” dan “duburihi”, memberi pemahaman yang jelas bahwa definisi al-liwâth bagi Ibn al-Gharabili merupakan praktik seks yang dilakukan sesama laki-laki. Ini menarik, definisi ini lebih mendekati definisi modern saat ini di dalam salah satu termininologi LGBT, yaitu gay, namun bedanya, gay dimaknai sebagai kecenderungan seksual sesama jenis laki-laki, baik kecendrungan secara psikologis maupun seksologis.

Terma berikutnya al-sihâq atau al-husâhaqah, di dalam kitab kuning juga masih belum memenuhi maksud pemaknaan salah satu terma LGBT. Di dalam definisi yang dikenal di kitab kuning, al-sihâq atau al-musâhaqah dimaknai sebagai “An taf’al al-mar’ah bi al-mar’ah mitsl al-shûrati man yaf’al bihâ al-rajul” (seorang perempuan berbuat sesuatu dengan perempuan lainnya seperti yang dilakukan oleh laki-laki kepadanya). Definisi ini masih belum jelas. Pertanyaannya, perbuatan apa yang dimaksud di dalam definisi itu? Apakah hanya berduaan saja, nge-gosip, misalnya? Atau kedua perempuan hanya sekedar bertemu untuk kepentingan pekerjaan atau lebih dari itu? Kontak fisik misalnya? Berciuman dan selanjutnya? Kalau yang dimaksud adalah berhubungan badan sejenis, instrumen hukum apa yang dipakai? Dikategorikan sebagai zina atau tidak? Lalu berimbas kepada hukum. Padahal manusia dengan segala kemanusiaannya tidak hanya persoalan hukum. Tidak selalu sedikit-sedikit bersentuhan dengan hukum, karena masih banyak dimensi lain dalam kehidupan manusia, misalnya dimensi sosial-kemasyarakatan, dimensi peribadatan, dimensi perdagangan, dan lain sebagainya. Andai kita bahas melalui instrumen hukum Islam, al-Malibari sendiri, di dalam “Fath al-Mu’în”, tidak memasukkan al-sihâq sebagai sebuah pelanggaran serius, hanya diberikan ta’zir saja,[5] karena berlawanan dengan konteks di masa itu dengan kondisi sosial masyarakat muslim di kota Malabar, India, pada abad ke-10 H. Pendapat yang sama diungkap oleh pembesar mazhab Hanbali bernama Abdullah ibn Ahmad ibn Muhammad ibn Qudamah al-Maqdisi di dalam kitab “al-Mughnîy”, ia menyatakan bahwa pelaku al-liwâth tidak dikenakan hadd, yaitu hukuman berat yang telah ditentukan oleh agama. Ibn Qudamah pun tidak memasukkan al-liwâth sebagai pelanggaran berat. Perlu diketahui, Ibn Qudamah ini merupakan pembesar mazhab Hanbali, levelnya hanya terpaut satu tingkat di bawah mujtahid mutlak yaitu Imam Abu Hanifah, Imam Malik, Imam al-Syafi’i, Imam Ahmad ibn Hanbal, dan Ibn Hazm.

Menariknya, Ibn Hazm, seorang ahli fikih yang selevel dengan Imam al-Syafi’i sendiri tidak memasukkan al-liwâth dan al-sihâq ke dalam pelanggaran berat. Dalam kitab “al-Muhallâ”, sang imam menyatakan bahwa al-liwâth dan al-sihâq tidak termasuk pelanggaran yang bisa dikenakan sanksi “hadd”.

Perbedaan terminologi antara al-liwâth dengan ‘gay’ dan al-sihâq dengan ‘lesbi’ di dalam fikih klasik, dan susahnya mencari argumentasi hukum yang mengikat, menunjukkan bahwa dunia teks yang luas itu masih belum memenuhi standar hidup dunia muslim modern. Tentu, karena teks itu dibuat pada situasi dan konteks yang berbeda. Ini menjadi sebuah tantangan tersendiri bagi para mujtahid muslim di era super modern. Ketiadaan hukum fikih yang mengikat ini menunjukkan bahwa halal dan haramnya itu “belum jelas”.

Di berbagai kitab kuning, para ulama melarang siapapun melanggar hak-hak kemanusiaan para terdakwa yang sudah jelas status hukumnya yang terbit melalui keputusan komite hakim yang sah. Jelas sekali di dalam kitab “al-Ashîl” karya Imam Muhammad ibn al-Hasan al-Syaibani, pembesar mazhab Hanafi, bahwa setiap hukuman yang dijatuhkan harus melalui proses hukum yang jelas melalui qadhi (hakim) yang sah, dan pelaksanaan hukuman itu tidak boleh melebihi batas dari hasil keputusan hakim, selebihnya itu punya sisi kemanusiaan yang harus dihormati. Islam melarang keras perbuatan main hakim sendiri, baik dilakukan oleh pemerintah maupun non pemerintah.

Islam menekankan bahwa setiap manusia punya hak kemanusiaan yang mesti dihormati. Tentu sangat tidak manusiawi bila mengabaikan sisi kemanusiaan komunitas LGBT, baik dengan kekerasan verbal maupun kekerasan fisik dan non fisik berupa pengucilan dan sebagainya, yang jelas itu berlawanan dengan syariat. Prilaku seks menyimpang tidak hanya dilakukan oleh kalangan hono tetapi juga kalangan hetero. Prilaku pedofilia merupakan kejahatan seksula yang juga dilakukan oleh kalangan hetero bukan (hanya) homo. Potensi serta praktik kekerasan itu timbul dan bersumber dari pandangan keagamaan, antara lain, karena para pengkritik belum dewasa dengan bacaan kitab kuningnya.[]

_____________________________________________

[1] Ibn Mandzur, Lisȃn al-‘Arab, Vol III, hal. 494
[2] Ibn Mandzur, Lisȃn al-‘Arab, Vol III, hal. 494
[3] Atwater E. & Duffi K.G., Psyichology For Living Adjustment, Growth and Behaviour Today, New Jersey Prentice Hall, 1999
[4] Abu Abdullah Syamsuddin Muhammad ibn Qasim ibn Muhammad al-Ghazziy, Fath al-Qarȋb al-Mujȋb fȋ Syarh Alfâzhi al-Taqrȋbi, Beirut-Lebanon: al-Jaffan & al-Jabi Printers and Publishers, Cet. I, 2005, hal. 281
[5] Ahmad Zainuddin ibn Abdul Aziz al-Ma’bari al-Malibari al-Fannani, Fath al-Mu’ȋn bi Syarh Qurrati al-‘Ayn bi Muhimmati al-Dȋn, Dar Ibn Hazm, Cet. I, 2004, hal. 575

1 reply
  1. satta matka says:

    50594 950754There some interesting points more than time here but I dont know if I see them all center to heart. There exists some validity but Let me take hold opinion until I look into it further. Extremely very good post , thanks and now we want more! Included with FeedBurner at exactly the same time 411458

    Balas

Leave a Reply

Want to join the discussion?
Feel free to contribute!

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.