Habib dan Otorisasi Nasab

Oleh: K.H. Jamaluddin Mohammad, Pengasuh Pondok Pesantren Babakan Ciwaringin Cirebon

 

KETIKA mondok di Jawa Timur saya memiliki seorang teman seangkatan dari Surabaya. Saya memanggilnya Joko. Joko “ndalem” di kediaman kiyai sebagai penjaga toko kitab milik kiyai.  Saya mengenalnya sejak ia masih Ibtidaiyah. Menginjak Tsanawiyah teman-teman saya memanggilnya “habib” (di Jawa Timur biasanya dipanggil “Yik” atau “Ayik”). Di kalangan pesantren, habib biasanya dihormati dan diperlakukan istimewa, kebanyakan santri akan  mencium tangannya ketika bersalaman.

Satu bulan menjelang tamat Aliyah, saya kaget mendengar kabar ia dikeluarkan dari pondok. Sebelum dikeluarkan ia diarak keliling pondok. Sepanjang jalan ia dipukuli, dimaki-maki, dipersekusi banyak santri. Saat kejadian saya kebetulan tidak sedang berada di pondok. Saya mencoba mencari tahu kenapa ia diperlakukan seperti itu. Ternyata, “kehabibannya” terbongkar. Selama ini ia mengaku habib agar mendapat previlage, termasuk menyalahgunakan keuangan warung kiyai yang dikelolanya.

Para kiyai/santri tidak pernah mengecek atau mempertanyakan silsilah/garis keturunan seseorang, termasuk yang mengaku habib sekalipun. Umumnya mereka berbaik sangka dan langsung percaya apalagi kalau berwajah Arab. Ia akan disanjung, dihormati, dan diperlakukan berbeda tak seperti orang pada umumnya.

Habib Joko ini terbongkar kepalsuannya karena bermasalah dengan keamanan pondok. Akhirnya, keamanan pondok melakukan investigasi dan menemukan bahwa ia anak seorang pengamen dan menurut pengakuan orangtuanya tak memiliki nasab bersambung kepada Nabi Muhammad Saw.

Selama ini kita memercayai kehabiban seseorang dari pengakuannya dan tidak pernah memverifikasi kebenaran nasabnya. Kita percaya begitu saja secara taken for granted, karena memang tidak ada metode yang ketat dan ilmiah seperti metode kritik sanad dalam memverifikasi mata rantai hadits misalnya.

Lembaga Rabitah Alawiyyah sebagai institusi yang mengaku memiliki otoritas dalam memverifikasi nasab hanya bersandar pada kitab-kitab silsilah yang ditulis para ulama yang kita tidak pernah tahu kebenarannya. Terbukti, ketika akhir-akhir ini muncul kajian yang dilakukan Kiyai Imaduddin Utsman al-Bantani (Kiyai Imad) yang mempertanyakan ketersambungan Ba’alawi (keturunan Alawi) berdasarkan data-data dalam kitab nasab, lembaga ini tidak mampu membantah atau mempertahankan ketersambungan silsilah mereka. Yang muncul adalah bantahan-bantahan emosional dari individu-individu yang selama ini sudah kadung diakui sebagai habib. Otoritas lembaga ini dipertaruhkan sekaligus dipertanyakan.

Menurut saya di sinilah relevansi kritik Kiyai Imad. Dalam kitabnya “Al-Bayân al-Dzahabîy” Kiyai Imad menelusuri berdasarkan data-data ilmiah, dalam hal ini kitab-kitab nasab. Kritik Kiyai Imad ini penting untuk membongkar kemapanan sekaligus membuat semacam shock therapy kepada para habaib yang merasa paling habib dibanding habib-habib lain, merendahkan dan menghina non habaib, bersikap rasis dan merasa paling mulia sendiri. Padahal, habib tak seluruhnya keturunan Ba’alawi sebagaimana yang kita kenal di Indonesia.

Belakangan yang banyak meresahkan kita adalah munculnya habib-habib yang mempolitisasi dan mengkomodifikasi kehabiban untuk tujuan politik dan ekonomi. Mereka banyak menimbulkan kegaduhan politik karena sama sekali tak mengendepankan kesantunan dan etika politik sama sekali. Mereka hanya mengejar kepentingan politik dan ekonomi. Mereka menyadari kultur masyarakat Indonesia yang memberikan penghormatan kepada keturunan Nabi Saw.. Modal kultural seperti ini “dikonversi” manjadi modal politik dan modal ekonomi.

Inilah yang mendominasi percakapan kita di media sosial hari-hari ini yang tiba-tiba mundur ke zaman feodal di mana darah (keturunan) menentukan status sosial seseorang sekaligus memiliki hak istimewa (privilege). Karena memiliki keturunan istimewa, semisal habib, maka boleh melakukan apapun: melanggar etika sosial, hukum agama, hingga aturan negara.

Satu pertanyaan yang menurut saya mengandung standar ganda: apa hukumnya menghina habib? Jadi, dari pertanyaan ini seolah-olah menggiring pikiran kita hanya habib yang tak boleh dihina. Padahal, dalam Islam sendiri, menghina siapapun tak dibolehkan. Tanpa kecuali.

Di hadapan sahabat-sahabatnya, Nabi Muhammad Saw. pernah berjanji, “Jika Fatimah mencuri, ia sendiri yang akan memotong tangannya.” Ini menunjukkan tak ada imunitas hukum dalam Islam. Nabi Muhammad Saw. juga tak akan menanggung dosa-dosa yang dilakukan oleh anak keturunannya. Setiap orang menanggung dosanya sendiri-sendiri (Q.S. al-Isra`: 13).

Dengan demikian, kita juga harus adil sejak dalam pikiran. Begitu ada oknum habib berakhlak bejat, sering berbuat salah atau dosa, kita jangan serta merta menghubungkan dengan status kehabibannya. Setiap orang berpotensi melakukan kesalahan/kekhilafan (al-insân mahallu al-khatha` wa al-nisyân). Ia harus diingatkan/dihukum terlepas ia habib atau bukan.

Di mata pengikut fanatiknya para habaib ini seolah tak tersentuh. Mereka sakral dan suci melebihi kesakralan dan kesucian al-Qur`an maupun Nabi Muhammad Saw.. Ketika kita mengkritik sikap, prilaku maupun perkataannya, kita dianggap menghina atau su’ul adab. Bukan kepada orangnya melainkan kepada status kehabibannya. Jelas tidak adil dan mengandung standar ganda.

Ketika berhadapan dengan mereka, kita kerapkali disudutkan dengan satu pertanyaan umum dan mengandung standar ganda: apakah Anda menghormati habib? Saya menghormati siapapun, termasuk habib, tetapi saya tetap merasa setara dengan mereka.  Setara sebagai makhluk Allah Swt. (al-Hujurat: 13).[]

0 replies

Leave a Reply

Want to join the discussion?
Feel free to contribute!

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses