Membaca Ulang Relasi Santri dan Kiai di Tengah Badai Kritik

Jagat maya Indonesia tengah dihebohkan oleh tanggapan luas para santri dan kalangan pesantren terhadap tayangan program Xpose Uncensored di Trans7. Dalam salah satu episodenya, program tersebut menampilkan narasi dan visualisasi yang berkaitan dengan Pondok Pesantren Lirboyo. Tayangan yang kemudian viral itu menyoroti bentuk penghormatan santri kepada kiai yang dianggap berlebihan, dengan judul “Santrinya Minum Susu Aja Kudu Jongkok, Emang Gini Kehidupan Pondok?”

Narasi semacam itu dinilai telah melecehkan martabat santri dan kiai, serta merendahkan tradisi pesantren yang selama ini dijunjung tinggi sebagai bagian dari etika dan adab dalam menuntut ilmu.

Santri di berbagai daerah pun bereaksi keras. Banyak pihak pesantren mengecam isi program tersebut dan menilai Trans7 seperti memancing di air keruh. Pemberitaan yang dianggap sensasional itu mendorong seruan boikot serta desakan permintaan maaf resmi kepada pihak stasiun televisi.

Ketegangan ini terjadi tak lama setelah ambruknya Pondok Pesantren Al-Khoziny di Sidoarjo yang menewaskan 67 santri. Tragedi tersebut memperkuat sorotan publik terhadap dunia pesantren. Banyak yang menilai peristiwa itu bukan takdir, melainkan akibat kelalaian manusia, dari struktur bangunan yang tidak memenuhi standar, lemahnya pengawasan, hingga perencanaan pembangunan yang kurang matang.

Kedua peristiwa ini, meski berbeda konteks, memperlihatkan  bahwa pesantren tengah menghadapi ujian besar, baik dari luar melalui kritik media, maupun dari dalam melalui tanggung jawab moral untuk menjamin keselamatan para santri.

Sebagai lembaga pendidikan keagamaan, pesantren dituntut untuk menjaga marwah tradisi sekaligus memastikan keamanan dan kesejahteraan mereka yang menuntut ilmu di dalamnya.

Relasi Santri-Kiai, Mengkaji Ulang Adab, Kuasa, dan Tanggung Jawab Pesantren

Kritik terhadap Trans7 menuding bahwa tayangan tersebut hanya memotret relasi kuasa antara kiai dan santri. Padahal, hubungan di lingkungan pesantren jauh lebih kompleks. Dalam banyak kasus, kiai tidak sekadar menjadi figur religius formal, tetapi juga berperan sebagai orang tua kedua bagi para santri. Mereka menggantikan peran keluarga di rumah seperti mendidik akhlak, menanamkan ilmu agama, hingga membimbing kehidupan sehari-hari.

Dalam kerangka itu, rasa hormat santri kepada kiai muncul secara alamiah, bukan karena paksaan atau tekanan hierarkis. Tradisi seperti duduk bersimpuh di hadapan kiai atau memberikan bingkisan sebagai bentuk penghormatan merupakan bagian dari budaya pesantren yang diwariskan turun-temurun.

Sikap takzim semacam ini tidak otomatis mencerminkan feodalisme, melainkan cerminan adab dan penghormatan terhadap ilmu.

Namun demikian, pesantren juga perlu terbuka terhadap kritik. Tidak semua kritik dimaksudkan untuk menjatuhkan atau merendahkan lembaga pesantren. Sebaliknya, kritik sering kali muncul sebagai bentuk kepedulian agar pesantren dapat terus berbenah dan memperbaiki diri. Dalam konteks ini, pesantren yang mau mendengar, mengevaluasi, dan memperkuat sistemnya justru menunjukkan kedewasaan moral serta komitmen terhadap amanah besar dalam mencetak generasi berilmu yang berakhlak dan berada dalam tempat yang aman.

Tanggung Jawab Pesantren dalam Menghadapi Krisis

Selain pemberitaan Trans7, tragedi seperti yang terjadi di Pondok Pesantren Al-Khoziny seharusnya menjadi cermin bagi dunia pendidikan Islam untuk berbenah. Peristiwa semacam ini bukan musibah yang datang tiba-tiba atau semata layak dinilai sebagai takdir Allah, melainkan tanda bahwa ada hal-hal mendasar yang perlu ditata ulang, mulai dari sistem keamanan, kelayakan bangunan, hingga pola pengawasan terhadap para santri.

Sebagai lembaga yang dipercaya masyarakat, pesantren memikul amanah besar dalam menjaga keselamatan sekaligus menumbuhkan kepercayaan. Karena itu, langkah nyata seperti audit bangunan, pemeriksaan fasilitas, dan transparansi dalam pengelolaan menjadi penting untuk menunjukkan tanggung jawab moral dan institusional.

Namun, lebih dari sekadar perbaikan teknis, pesantren juga perlu membuka diri terhadap kritik. Kritik bukan bentuk permusuhan, melainkan ajakan untuk tumbuh bersama. Pesantren yang mau mendengar justru menunjukkan kematangan moral, bahwa menjaga marwah lembaga tidak berarti menutup mata terhadap kekurangan, melainkan berani mengakuinya demi kebaikan bersama.

Menuju Solusi dengan Dialog, Transparansi, dan Perbaikan Institusi

Untuk memperbaiki situasi yang menegang, langkah pertama yang perlu ditempuh adalah membuka ruang dialog. Pihak pesantren dan media seperti Trans7 seharusnya duduk bersama, menjelaskan duduk perkara dengan jujur dan terbuka. Dialog semacam ini bukan hanya untuk meredakan ketegangan, tetapi juga untuk membangun pemahaman yang lebih dalam tentang peran pesantren di tengah masyarakat, sebagai lembaga pendidikan yang menanamkan ilmu agama dan nilai-nilai kemanusiaan.

Selain dialog, transparansi menjadi kunci penting. Pesantren perlu menunjukkan keseriusannya dalam melindungi para santri dengan melakukan audit menyeluruh terhadap keamanan dan kelayakan fasilitas. Melibatkan pihak independen dalam proses ini akan memperkuat kepercayaan publik bahwa pesantren tidak menutup diri dari evaluasi, melainkan berkomitmen untuk memperbaiki diri.

Di sisi lain, media massa pun memegang tanggung jawab besar. Dalam menyajikan berita tentang lembaga keagamaan, media harus berhati-hati agar narasi yang disampaikan tetap utuh dan proporsional. Potongan-potongan yang provokatif hanya akan memperkeruh suasana, sementara pemberitaan yang jernih dapat membantu publik menilai dengan adil.

Dan yang tak kalah penting, pesantren perlu memiliki mekanisme evaluasi internal yang menampung kritik dan masukan dari santri, alumni, maupun masyarakat. Kritik yang konstruktif seharusnya tidak dianggap sebagai serangan, melainkan sebagai cermin untuk memperbaiki diri. Sebab pesantren yang hebat adalah pesantren yang mau mendengar, mau belajar, dan berani berbenah. Setuju?

Pandangan Kiai Said tentang Kesehatan Reproduksi (3)

Kata “sehat” sebenarnya berasal dari bahasa Arab  “shihhah”. Sinonimnya adalah salamah (selamat) dan afiyat (sehat wal afiyat). Masalah kesehatan dalam Islam menyangkut kondisi fisik (jasmani) dan psikis (rohani) manusia secara utuh.

Ada sejumlah makanan dan minuman yang dihalalkan, karena baik dan membawa manfaat bagi tubuh manusia. Ada pula yang diharamkan karena dinilai membawa madharat dan kerusakan bagi tubuh manusia. Selain itu, dalam al-Quran, banyak ayat yang menganjurkan menjaga kesehatan sebagai langkah preventif sebelum datangnya penyakit. Perhatikan ayat berikut:

يا أيها الذين آمنوا لا تقربوا الصلاة وأنتم سكارى حتى تعلموا ما تقولون ولا جنبا إلا عابري سبيل حتى تغتسلوا وإن كنتم مرضى أو على سفر أو جاء أحد منكم من الغآئط أو لامستم النساء فلم تجدوا ماء فتيمموا صعيدا طيبا فامسحوا بوجوهكم وأيديكم إن الله كان عفوا غفورا

“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu salat, sedang kamu dalam keadaan mabuk, sehingga kamu mengerti apa yang kamu ucapkan, (jangan pula hampiri masjid) sedang kamu dalam keadaan junub, terkecuali sekadar berlalu saja, hingga kamu mandi. Dan jika kamu sakit atau sedang dalam musafir atau kembali dari tempat buang air atau kamu telah menyentuh perempuan, kemudian kamu tidak mendapat air, maka bertayamumlah kamu dengan tanah yang baik (suci); sapulah mukamu dan tanganmu. Sesungguhnya Allah Maha Pemaaf lagi Maha Pengampun.” (QS al-Nisa [4]: 43)

Jelasalah bahwa dalam ayat tersebut Allah SWT memberikan rukhsah (keringanan atau dispensasi) kepada orang sakit, yang jika berwudu harus menghindari air untuk bertayamum. Soalnya kalau dipaksakan akan menambah parah penyakit yang diderita atau sembuhnya bisa bertambah lama.

Demikian pula, berkaitan dengan perempuan yang sedang datang bulan (haid), al-Quran pun memberi perhatian khusus agar sang istri yang sedang haid tidak boleh disetubuhi.

ويسألونك عن المحيض قل هو أذى فاعتزلوا النساء في المحيض ولا تقربوهن حتى يطهرن فإذا تطهرن فأتوهن من حيث أمركم الله إن الله يحب التوابين ويحب المتطهرين

“Mereka bertanya kepadamu tentang haid. Katakanlah: “Haid itu adalah kotoran”. Oleh sebab itu hendaklah kamu menjauhkan diri dari wanita di waktu haid; dan janganlah kamu mendekati mereka, sebelum mereka suci. Apabila mereka telah suci, maka campurilah mereka itu di tempat yang diperintahkan Allah kepadamu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang tobat dan menyukai orang-orang yang menyucikan diri.” (QS al-Baqarah [2]: 222)

Selain itu, perhatian Islam kepada umatnya agar menjaga kesehatan juga terlihat dalam banyaknya ayat yang menyebut kata “syifa” dan derivasinya, yang berarti penawar atau penyembuhan.

Islam dan Kesehatan Masyarakat

Perhatian Islam terhadap kesehatan masyarakat (public health) tercermin pada ajaran-ajaran operasional syariat Islam yang mengatur relasi di antara sesama manusia. Dengan kata lain, pandangan Islam tentang kesehatan masyarakat terkait dengan konsepsinya tentang manusia sebagai makhluk sosial, yakni manusia yang hidup dalam suatu komunitas atau masyarakat.

Berkaitan dengan konsepsi tentang masyarakat yang ideal ini, ada dua pandangan dominan di kalangan umat Islam. Kelompok pertama memandang perlunya sebuah tatanan masyarakat yang islami di bawah kendali seorang pemimpin (misalnya Khalifah). Kelompok ini terkesan  “agak emosional” dan terlalu berhati-hati, meskipun didasari keikhlasan. Mereka bersikeras untuk menolak semua tatanan model Barat yang dikatakan “sekuler” dan menuntut pendirian negara Islam.

Sementara itu, kelompok kedua, lebih memandang persoalan ini secara lebih luas dan jernih. Mereka tidak lagi mempersoalkan bentuk formal “masyarakat Islami” itu. Bagi mereka, apa pun bentuk tatanan, sistem atau model itu, semuanya bisa diterima sepanjang umat Islam bisa menjalankan ajaran mereka dengan leluasa, meskipun tidak mengatasnamakan “Islam”.

Menurut saya, pada dasarnya urusan kemasyarakatan merupakan urusan duniawi, sebagaimana yang dilansir Rasulullah SAW: “kalian lebih mengetahui urusan dunia kalian” (antum a’lamu biumuri dunyakum). Pernyataan Nabi ini pula yang mendasari posisi umat Islam untuk tidak terlalu eksklusif dalam berinteraksi dengan umat agama dan kepercayaan lain. Jadi secara konsepsional Nabi tidak mewariskan model tatanan masyarakat tertentu bagi umat Islam.

Namun, Islam sebagai suatu agama tidak bisa dilepaskan dari interaksi sosial umat muslim dengan umat dari agama mana pun, sehingga konsep sekuler tidak terjadi dalam Islam. Moralitas Islam senantiasa menyatu dalam diri muslim. Bahkan, ada beberapa ajaran Islam yang menekankan relasi horizontal yang sifatnya sosial.

Dengan demikian Islam bukanlah agama yang menutup diri dari arus budaya luar termasuk modernisasi dan globalisasi, sepanjang tidak berseberangan dengan prinsip-prinsip dasar Islam (ushulul khams atau al-kulliyyah al-khams).

Para ulama kemudian merinci lebih jauh lagi dalam bentuk kaidah-kaidah fikih seperti “akhaf al-dararayn” (mengambil sikap yang resikonya paling kecil dari dua macam bahaya atau mudarat) dan “La dlarar wa la dliror” (tidak boleh membuat kerusakan pada diri sendiri dan juga orang lain), dan “La tadzlimu wa la tudzlamun” (tidak menzalimi orang lain dan tidak pula menjadi korban kedzaliman).

Dari sinilah kerangka berpikir Islam dalam memandang masalah kesehatan masyarakat bisa kita pahami secara utuh. Kesehatan masyarakat merupakan masalah sosial dan tidak bisa dipisahkan dari segenap kehidupan umat manusia. Sementara kemunculan Islam sebagai suatu agama tidak terlepas dari tujuan untuk merealisasikan keselamatan dan kebahagiaan hidup di dunia dan akhirat.

Oleh karena itu, secara tidak langsung nilai-nilai moral Islam akan turut serta memainkan peranan penting dalam soal jaminan kesehatan masyarakat. Dan, itu dibuktikan oleh Islam dalam soal etika pelayanan kesehatan masyarakat.

Jelas, etika mendapat posisi sangat penting dalam Islam. Terutama yang berkaitan dengan etika sosial kemasyarakatan. Sebagaimana disebut dalam sebuah hadis, misi Nabi SAW adalah untuk menyempurnakan moralitas dan etika yang baik (liutammima makarimal akhlaq). Karena pentingnya etika sosial ini, seorang muslim tidak cukup hanya mengikrarkan diri ber-Islam dan beriman, tetapi harus dicapai dari sebuah ihsan (kebajikan dan amal saleh).

Dan, ihsan adalah esensi dari moralitas dan etika sosial dalam Islam. Dengan demikian, pelayanan kesehatan bagi masyarakat, baik sebagai dokter, tabib, bidan, perawat, atau pun orang-orang yang terlibat menolong para korban bencana, merupakan sebuah tugas yang mulia. Dan, tidak berlebihan apabila hal itu termasuk kegiatan yang dipuji Nabi SAW dalam sabdanya: “Khairunnas anfauhum linnas” (sebaik-baik orang adalah yang paling bermanfaat dan berjasa bagi umat manusia).

Awalnya, niat calon pelayan kesehatan haruslah ikhlas, lurus dan tepat. Sesuai dengan sabda Nabi SAW: “innamal a’malu binniyat” (semua aktivitas dan amal kebaikan itu tergantung pada posisi niat. Tidak jarang suatu perbuatan yang dipandang remeh, tapi justru menjadi sarana keberuntungan (masuk surga) kelak di akhirat.

Sebaliknya, banyak pula pekerjaan baik, berujung pada kesia-siaan, yakni masuk neraka, hanya karena niatnya yang jelek. Jadi, keikhlasan menuntut sikap sabar dan tawakal dalam diri masing-masing individu. Kepentingan pribadi atau kepentingan apa pun selain Allah (lillahi ta’ala) harus dibuang jauh-jauh. Singkatnya, hanya ridha Allah (mardlatillah) yang senantiasa diharapkan.

Namun demikian, keikhlasan beramal saleh ini tidaklah lantas diartikan sebagai “pekerjaan nonprofit”. Sikap profesionalisme justru harus terus dipacu. Kepuasan para pasien pada hakikatnya menjadi unsur utama bagi instrumen mardlatillah. Untuk merealisasikan kepuasan orang-orang yang kita layani, upaya ini harus dikelola secara maksimal.

Kehidupan dunia ini tidak mungkin dilepaskan dari hal-hal bersifat materi. Namun, jangan sampai orientasi hidup kita  hanya tertuju kepada materi belaka. Uang adalah salah satu sarana bagi penunjang kehidupan kita, tetapi jangan sampai hati kita terpikat oleh urusan duit semata.

Dalam pelaksanaan pelayanan kesehatan, seorang dokter atau bidan pasti menghadapi berbagai macam karakter  dan tabiat para pasien. Mereka semua datang hanya ingin sembuh. Jadi, orang-orang yang terlibat dalam kerja pelayanan kesehatan masyarakat harus senantiasa berkarakter rahman atau pengasih, seperti halnya sifat Allah Yang Maha Kasih dan Penyayang. Hendaknya jangan sekadar memenuhi formalitas tugas dan tuntutan materi semata.

Empati dan berbagi rasa  dengan sang pasien atau orang-orang yang ditimpa musibah harus terus menerus dijunjung tinggi, sehingga misi utama Islam sebagai agama rahmatan lil alamin (pemberi rahmat bagi alam semesta) benar-benar harus terpancar dalam pelayanan tersebut.

Dalam kaitannya dengan kontrasepsi, satu metode yang gampang menyulut kontroversi adalah penggunaan kondom. Kiai Said memiliki pandangan yang lebih luas dalam persoalan kondom sebagai ikhtiar darurat untuk melindungi diri dari penularan  penyakit yang disebabkan oleh virus HIV yang berujung pada AIDS.

Meskipun tak dibahas secara terbuka dalam kaitannya dengan penggunaan kondom, pandangannya relevan untuk menjelaskan tentang kedaruratan yang juga dapat digunakan dalam mendukung program KB. Di atas itu semua adalah terbangunnya sikap etika yang menghormati manusia dan perlunya untuk mengutamakan kemaslahatan.

Pandangan tentang Masalah HIV/AIDS

Misi Islam sebagai agama rahmatan lil alamin menuntut umat Islam untuk turut serta mengatasi segenap problem sosial yang dihadapi manusia di muka bumi ini. Kemaslahatan dan rahmat Islam tidak hanya bersifat lokal, dalam arti hanya ditunjukkan bagi umat pemeluknya, tetapi juga untuk kepentingan semua umat manusia, bahkan jagat seisinya. Semua harus turut merasakan kemaslahatannya.

Dari sini bisa dipahami bahwa aspek moral yang sempit tidaklah cukup terhadap nasib penderita HIV/AIDS ini. Aspek moral ini, sebagaimana ditemukan dalam formalitas hukum fikih, biasanya berbentuk sanksi dosa kalau seseorang melanggar atau hadiah pahala bagi yang menuruti perintah. Hukum seperti ini tidaklah memadai.

Pasalnya, Islam juga mengenal sisi humanistik (insaniyyah) dalam ajarannya sebagai implementasi dari prinsip rahmatan lil alamin. Apabila hanya berorientasi fiqh saja (fiqh-oriented), maka eksklusivisme akan menghantui penilaian seseorang  dalam menangani problem-problem kemanusiaan seperti soal HIV/AIDS ini.

Sebaliknya, penekanan terlalu jauh pada aspek insaniyyah akan membawa umat semakin jauh dari pemahaman agama secara kaffah. Jadi, bisa dikatakan sebagai perimbangan dua kutub ini, Islam tidaklah bisa melepaskan diri dari tanggung jawab sosialnya sebagai agama kemanusiaan. Itulah ajaran etika sosial dalam Islam.

Atas dasar argumen yang kokoh ini kita dapat mengembangkan pandangan-pandangan yang secara praktis membenarkan upaya-upaya untuk pencegahan penyebaran penyakit, pencegahan kehamilan yang tak dikehendaki, misalnya dengan menggunakan kontrasepsi termasuk penggunaan kondom sepanjang tak menyalahi aturan syar’i.

Pemimpin Orang Miskin

Nabi Muhammad saw adalah nabinya orang-orang miskin. Beliau berada di tengah-tengah orang miskin dan orang-orang tertindas; hidup dan berjuang bersama mereka. Allah swt, melalui Jibril, pernah menyodorkan pilihan pada Nabi Muhammad saw: menjadi miskin atau kaya.

“Jika kamu mau”, kata Jibril, “Saya bisa saja memberimu gunung emas”.

“Jelaskan padaku apa itu (kenikmatan) dunia?” tanya Nabi Muhammad saw pada Jibril.

“Yang halal saja masih terkena hisab (pemeriksaan harta kekayaan di akhirat), apalagi yang haram,” jawab Jibril.

“Jika begitu, saya pilih miskin; saya memilih akhirat daripada dunia,” ujar Nabi.

“Jika suatu saat saya lapar, saya akan bersabar. Dan, jika saya kenyang saya bersyukur. Bagiku itu semua sudah cukup.”

Selanjutnya Nabi Muhammad saw berdoa, “Tuhan, hidupkan aku dalam kemiskinan dan matikan aku dalam kemiskinan. Juga sertakan aku dalam golongan orang-orang miskin” (Abi al-Hasan al-Mawardi, al-Hawi al-Kabir, hal. 11, vol. 9).

***

Saya menduga, tak banyak orang Islam yang memilih dan meniru “sunnah” Nabi Muhammad saw yang satu ini: hidup miskin dan berjuang bersama orang-orang miskin. Bahkan, saya sedikit yakin, doa paling “ditakuti” kebanyakan umat Islam adalah doa ini: doa agar dimiskinkan Tuhan.

Ketika kita tanyakan doa tersebut pada “pejuang muslim” (ulama, intelektual, aktivis, atau apalah namanya) yang hidup mewah dan mengaku berjuang bersama orang-orang miskin yang tertindas dan terpinggirkan, mereka akan berusaha menakwil doa ini. Takwil sebagai bentuk ketakutan mereka sendiri, ketakutan terhadap kemiskinan dan hidup miskin.

Saya pikir inilah alasan utama keberadaan Muhammad saw sebagai Nabi dan Rasul di dunia ini. Pertanyaannya, sebagai umat dan pengikut nabi, beranikah kita mengikuti sunnah beliau yang satu ini?

Menjadi Zuhud

Zuhud bukanlah menolak dunia dan anti terhadap dunia. Al-Quran menggambarkan dunia sebagai “mazra’atul akhirah”, tanaman yang buahnya akan nikmati di akhirat. Jadi, sebagai manusia yang hidup di dunia ini, manusia tak mungkin menolak dunia dan mengingkari keberadaan dirinya di dunia ini. Dunia adalah pintu akhirat.

Dengan demikian, zuhud artinya menyadari bahwa dunia bukanlah segalanya. Dunia bukanlah tujuan hidupnya. Karena itu, seorang zahid tak menganggap penting dunia ini. Mereka tak mau menukar kehidupan dunia dengan kehidupan akhirat.

Al-Syadzili (1197-1258), pendiri tarekat (ordo sufi) Sadziliyah, adalah sufi yang kaya raya. Namun, apa pendapatnya tentang dunia? “al-dunya fi aydina la fi qulubina, dunia ada di genggamanku, tapi tidak di hatiku,” katanya.  Ini selaras dengan pendapat Fudayl bin Iyad (w. 803) yang mengatakan sufi adalah pakaiannya dunia, tetapi tubuhnya akhirat, a-sufiyyah abdanuhum dunyawiyyah, ajsamuhum ukhrawiyyah. Jadi, seorang sufi tak bisa dinilai dari sisi zahirnya saja (penampakan luar) tapi juga sisi batinnya.

Namun, tak banyak juga sufi seperti al-Syadzili yang hidup bergelimang kekayaan tapi hatinya tetap bersih dan terjaga dari segala kotoran dunia. Ia ibarat orang yang bekerja di tempat kotor tapi tetap menjaga kebersihan. Sungguh pilihan yang berat dan sulit. Karena itu, kebanyakan sufi lebih memilih hidup sederhana dan miskin. Miskin sebagai pilihan hidup bukan sebagai nasib, keterpaksaan atau ketidakberdayaan menghadapi dunia.

Jadi, ketika seseorang sudah bisa mengontrol dan memiliki kekuasaan penuh atas hatinya, pikiran, serta kesadaranya, kaya atau miskin bukan lagi sebagai persoalan hidup, melainkan sebuah pilihan dan sikap hidup. Baginya, musuh paling nyata dan berbahaya adalah sikap tamak dan rakus. Dan itu terjadi baik pada orang kaya maupun miskin.

Manusia, Risiko, dan Hewan yang Terlupakan

Kita sedang hidup di masa ketika manusia merasa berdaulat penuh atas bumi. Kita menentukan siapa yang boleh hidup, siapa yang layak dimakan, dan siapa yang dianggap berharga. Hewan tidak lagi dipandang sebagai sesama makhluk hidup, melainkan sekadar komoditas dalam rantai produksi kapitalis yang berputar tanpa henti.

“Manusia adalah bagian dari alam, bukan penguasanya.”

Kini kalimat itu terdengar bagai gema nostalgia, bagai suara samar di tengah dunia yang semakin kehilangan makna ekologisnya. Saat hutan dibabat demi ladang pakan ternak, saat udara dipenuhi jejak karbon dari daging yang kita santap, dan saat hewan-hewan kehilangan habitatnya demi ambisi kemajuan, kita seakan lupa bahwa mereka pun memiliki hak hidup yang sama.

Modernitas telah menciptakan risiko buatan manusia, yang melampaui batas waktu dan ruang. Dahulu kala, manusia menghadapi ancaman yang tak terhindarkan dari alam itu sendiri. Badai dahsyat menghancurkan permukiman, gempa bumi mengguncang bangunan hingga rata dengan tanah, dan banjir bandang menenggelamkan segala yang dilaluinya.

Kekuatan alam adalah penguasa mutlak, memaksa manusia untuk beradaptasi, berlindung, dan menerima takdir mereka. Hidup adalah perjuangan yang tak pernah usai melawan elemen-elemen yang tak terkendali ini, membentuk masyarakat yang menghormati dan terkadang takut akan kekuatan alam.

Namun, seiring berjalannya waktu, lanskap ancaman telah berubah secara drastis. Ironisnya, kini ancaman terbesar justru berasal dari sistem yang kita bangun sendiri, dari inovasi dan kemajuan yang seharusnya meningkatkan kualitas hidup. Industri-industri besar, dengan ambisi yang hanya berfokus pada keuntungan, telah mengubah ekosistem, mencemari udara dan air, serta mengeksploitasi sumber daya hingga batasnya.

Ekonomi global, yang didorong oleh obsesi efisiensi tanpa memedulikan dampak sosial dan lingkungan, menciptakan kesenjangan yang makin lebar dan mendorong praktik-praktik yang merusak. Lebih jauh lagi, ilmu pengetahuan yang seharusnya menjadi mercusuar penerang dan penuntun kemajuan, sering kali berjalan tanpa kompas moral, menghasilkan teknologi yang berpotensi membahayakan atau digunakan untuk tujuan yang meragukan. Kita telah menciptakan jaring rumit berisi masalah yang kini menjerat kita sendiri, sebuah ironi pahit dari kemajuan yang kebablasan.

Industri pangan global adalah salah satu contohnya. Di balik sepotong daging, tersimpan kisah panjang: deforestasi demi ladang pakan, emisi metana dari ternak, eksploitasi tenaga kerja, hingga penderitaan hewan yang dijadikan mesin hidup. Semua dilakukan demi memenuhi selera manusia modern yang merasa berhak atas segalanya.

Polusi dari peternakan di satu negara dapat mempercepat pemanasan global yang meluluhlantakkan ekosistem di negara lain. Risiko menjadi demokratis dalam dampaknya, meski tetap elitis dalam penyebabnya.

Berkaca dari pemikiran Karl Marx, kapitalisme membuat ada jurang (keretakan metabolik) antara manusia dan alam. Manusia terus mengambil dari bumi tanpa pernah benar-benar mengembalikannya. Produksi dijalankan bukan untuk menjaga keberlanjutan, tapi hanya demi keuntungan.

Sekarang, keretakan itu juga terlihat dalam hubungan manusia dengan hewan. Hewan tidak lagi dipandang sebagai sesama makhluk hidup, tetapi hanyalah sekadar barang produksi. Sapi dihitung sebagai potongan daging, ayam sebagai kode produksi, dan ikan sebagai stok industri. Hubungan sosial kita berubah menjadi sekadar hubungan ekonomi.

Dari sinilah muncul risiko yang paling sunyi yaitu, risiko moral. Kita tahu bahwa industri daging merusak bumi, tetapi kita tetap membiarkannya karena lebih memilih kenyamanan daripada keberlanjutan. Kapitalisme akhirnya merusak alam sekaligus mematikan empati kita.

Jika dulu konflik manusia adalah soal siapa yang paling kaya, kini konflik itu bergeser menjadi siapa yang paling sedikit menanggung bencana. Para petani kecil kehilangan lahan akibat industri pangan global, masyarakat adat terusir dari hutan, sementara hewan yang tak memiliki suara untuk berkata-kata menjadi korban pertama dari rasionalitas produksi modern.

Ya, kemajuan yang kita banggakan ternyata melahirkan ancaman terhadap kehidupan itu sendiri. Teknologi, ekonomi, dan efisiensi yang dulunya dianggap penyelamat, justru menjadi penyebab bencana ekologis baru.

“Masyarakat modern menjadi korban dari logika yang diciptakannya sendiri.”

Manusia begitu percaya bahwa sains dan teknologi dapat menyelamatkan bumi. Padahal, keduanya kini justru menjadi sumber masalah baru. Lihatlah industri peternakan modern yang menciptakan hewan-hewan “super produktif”. Ayam akan tumbuh dua kali lebih cepat, sapi yang diubah genetiknya agar menghasilkan lebih banyak susu. Efisiensi menjadi agama baru, sementara keberlanjutan kehilangan tempat.

Kita perlu menyadari bahwa manusia hanyalah satu spesies di antara miliaran kehidupan lain yang menghuni bumi ini. Bahwa menyelamatkan hewan berarti memulihkan metabolisme alam dan memulihkan bumi berarti menyelamatkan diri kita sendiri. Kesadaran ini membawa implikasi besar. Setiap spesies, sekecil apa pun, memiliki peran unik dalam menjaga keseimbangan ekosistem. Punahnya satu spesies dapat memicu efek domino yang merusak rantai kehidupan lainnya, mengganggu siklus nutrisi, penyerbukan, atau pengendalian hama alami.

Marx pernah menulis: “Manusia hidup dari alam; artinya, alam adalah tubuhnya.”

Ketika tubuh itu terluka, manusia pun turut merasakan sakitnya. Ketika hutan hilang, sungai kering, dan hewan punah, kehidupan manusia pun perlahan kehilangan penopangnya.

Maka, seruan “Save Animals, Save the Planet!” merupakan slogan moral, dan panggilan untuk mengubah arah modernitas dari logika produksi menuju logika kehidupan.

Pandangan Kiai Said tentang Kesehatan Reproduksi (2)

Dalam konteks demografi, keragaman jumlah populasi dikaitkan dengan mutu penduduk, Keluarga Berencana (KB) menjadi relevan dibicarakan. KB, menurutnya harus dilihat sebagai ikhtiar manusia terkait dengan reproduksi manusia.

Pertanyaan selanjutnya, apakah upaya itu baik dalam bentuk KB atau upaya lainnya yang dibenarkan secara teknis bertentangan dengan hadis yang menekankan kebanggaan Nabi pada jumlah umat yang banyak.

Menurut Kiai Said, selagi tujuan KB tidak untuk memutus perkembangan reproduksi (tahdid al-nasl) melainkan hanya untuk mengatur kelahiran (tanzim al-nasl) maka agama tidak melarang. Yang tidak diperbolehkan, kata Kiai Said, jika membatasi anak karena didasarkan pada kekhawatiran bahwa rezeki dari Allah tidak akan mencukupi.

“Hal yang tidak boleh adalah  jika membatasi anak karena takut Allah tidak bisa mencukupi rezeki manusia, tidak bisa memberi makan, itu mutlak tidak boleh,” tegas Kiai Said.

Landasan Kiai Said adalah dalil Al-Quran sebagai berikut:

ولا تقتلوا أولادكم من إملاق نحن نرزقكم وإياهم

“Dan janganlah kamu membunuh anak-anakmu karena kemiskinan. Kami akan memberi rezeki kepadamu dan kepada mereka.” (QS al-An’am 151)

ولا تقتلوا أولادكم خشية إملاق نحن نرزقهم وإياكم إن قتلهم كان خطءا كبيرا

“Dan janganlah kamu membunuh anak-anakmu karena takut kemiskinan. Kamilah yang akan memberi rezeki kepada mereka dan juga kepadamu. Sesungguhnya membunuh mereka adalah suatu dosa yang besar”. (QS Al-Isra 31)

Lebih lanjut dengan mengutip sejumlah ayat kiai Said memperlihatkan bagaimana Al-Qur’an memberi pedoman agar dalam ber-KB ada prinsip-prinsip yang basisnya adalah larangan untuk berburuk sangka kepada Allah.

Kiai Said menegaskan bahwa setiap makhluk di dunia ini sudah diatur rezekinya oleh Allah SWT. Logika sederhana yang kerap digunakan sebagai pembanding adalah bahwa binatang yang tidak memiliki akal saja bisa makan, apalagi manusia. Allah SWT di dalam Al-Quran sudah berjanji:

وما من دآبة في الأرض إلا على الله رزقها ويعلم مستقرها ومستودعها كل في كتاب مبين

Dan tidak ada suatu binatang melata pun di bumi melainkan Allah-lah yang memberi rezekinya, dan Dia mengetahui tempat berdiam binatang itu dan tempat penyimpanannya. Semuanya tertulis dalam kitab yang nyata (lauhmahfuz) (QS Hud: 6).

Sebagai pedoman, ayat tersebut memberi batasan bagaimana KB bisa dilaksanakan sebagai ikhtiar manusia. Jika bukan atas dasar meragukan rezeki Allah atau kekhawatiran tak mendapatkan pangan dengan meragukan kebaikan Allah, KB sama sekali tidak dilarang. Bahkan, dalam kondisi tertentu, malah dianjurkan.

Lebih lanjut, dengan menggunakan analisis bahasa, kiai Said mengatakan bahwa bentuk  amr (perintah) dalam hadis di atas bukanlah perintah wajib (amru lil wujub) melainkan bersifat anjuran yang dalam pelaksanaannya membutuhkan syarat.

Selanjutnya, Kiai Said mengutip pendapat Imam al-Ghazali yang membolehkan KB dengan berbagai alasan atau pertimbangan. Pertama, untuk memelihara atau menjaga kesehatan (ri’ayatu al-sihhah) perempuan. Kedua, demi pendidikan anak (li tarbiyatu al-nasy’i), mampu memelihara anak dengan baik.

Ketiga, demi kemaslahatan (lil maslahah). Kemaslahatan dimaksud adalah kebaikan keluarga, ketenangan, kenyamanan dalam keluarga, kesejahteraan, anak mendapatkan asuhan, pendidikan dan bimbingan. Dan yang keempat, untuk menjaga atau memelihara kecantikan perempuan (lil khifadz ala jamaliha).

Dengan demikian, KB harus dipandang sebagai ikhtiar manusia, namun dalam merumuskan ikhtiar dan praktiknya manusia dibimbing oleh aturan, dalam bahasa agama oleh syar’i, oleh etika sosial dan agama. Sebab tanpa itu kebijakan KB akan bersifat zalim dan jahiliah.

Ini dicontohkan di negara-negara yang memaksakan KB dengan mengejar-ngejar penduduknya seperti di Cina. Penduduk dipaksa hanya punya anak satu, kalau lebih dipaksa untuk menggugurkan kandungan. Ini yang dalam prinsip kemanusiaan juga dilarang karena melanggar HAM.

“Jadi, kesimpulannya secara hukum Islam KB itu boleh. Hanya alasan atau argumentasi yang disosialisasikan, niat (nawaitu) orangnya harus diperbaiki,” 

“Memang, di awal-awal KB digulirkan, banyak kiai menolak. KB disamakan dengan ‘pembunuhan tersamar’ atau ‘pembunuhan kecil’. Itu ekstremnya begitu. Namun, setelah NU membolehkan dan malah ikut mensosialisasikan program KB, para kiai mulai banyak menerima. Bahkan di NU sendiri ada lembaga LKKNU (lembaga kemaslahatan keluarga Nahdlatul Ulama) yang secara aktif ikut mensosialisasikan KB”.

Sebagai referensi, kiai Said merujuk Konferensi Besar Syuriah Nahdlatul Ulama ke-1 pada 18-22 April 1960. Di sana disepakati bahwa: azl (mengeluarkan sperma di luar rahim) atau dengan alat yang mencegah sampainya sperma ke rahim, seperti kondom, dihukumi makruh.

Begitu juga makruh meminum obat untuk menjarangkan kehamilan. Terlebih, jika memutus kehamilan sama sekali, dihukumi haram, kecuali ada bahaya. Semisal, terlalu banyak melahirkan anak dan menurut dokter bisa membahayakan nyawa ibunya, maka hukumnya boleh.

Keputusan ini didasarkan pada beberapa pendapat ulama yang tercatat dalam kitab-kitab mu’tabarah (sumber-sumber otoritatif), seperti kitab Asna al-Mathalib hal. 186, Fatawa Ibnu Ziyad hal. 249, al-Bajuri hal. 93 vol II, dan Ahkamul Fuqaha hal. 231 vol. II.

والعزل تحرزا من الولد مكروه وان أذنت فيه المعزول عنها حرة كانت اوأمة لانه طريق الى قطع النسل

“Adapun azl adalah makruh, meskipun pihak wanita mengizinkan, baik wanita budak maupun wanita merdeka, karena azl merupakan cara untuk memutus keturunan.”

افتى ابن عبد السلام وابن يونس بأنه لا يحل للمرأة أن تستعل دواء يمنع الحبل ولو برضا الزوج

“Ibnu Abdussalam dan Ibnu Yunus berfatwa, sesungguhnya tidak halal bagi istri memakai obat anti kehamilan walaupun suami mengizinkan”.

وكذا استعمال المرأة الشئ الذى يبطئ الحبل ويقطعه من أصله قيكره فى الأول ويحرم فى الثانى وعند وجود الضرورة فعلى القاعدة الفقهية اذا تعارضت المفسدتان روعى أعظمها ضرارا بارتكاب أخفهما مفسدة

“Demikian halnya wanita yang mempergunakan sesuatu (seperti alat kontrasepsi) yang dapat memperlambat kehamilan. Hal ini hukumnya makruh. Sedang memutus keturunan hukumnya haram. Dan ketika darurat maka sesuai dengan kaidah fikih: jika ada dua bahaya saling mengancam, maka diwaspadai yang lebih besar bahayanya dengan melaksanakan yang paling ringan bahayanya”.

Jadi, menurut Kiai Said, berdasarkan pada keputusan ulama di atas, pada prinsipnya KB dibolehkan. Sehingga, penolakan apapun terhadap KB harus dikembalikan pada kemalahatan, karena KB sendiri sejatinya adalah untuk kemaslahatan keluarga. “Jika anaknya 10 di dalam keluarga itu terasa tegang,” kata Kiai Said.

Menurut Kiai Said, sebelum dikenal pelbagai alat kontrasepsi, Islam sendiri sebetulnya sudah mengenal KB, yaitu melalui azl (coitus interuptus). Azl dipraktikan para sahabat Nabi untuk melakukan penjarakan dan pengaturan kelahiran. Sehingga banyak bermunculan hadis tentang azl, baik yang membolehkan atau yang melarang. Selanjutnya muncul pendapat ulama yang mengatakan azl sama dengan “pembunuhan tersamar” (al-wa’du al-khafy) atau “pembunuhan kecil” (al-wa’du al-asghar).

Jelas harus dibedakan antara pembunuhan dan pencegahan. KB-kan hanya mencegah, tidak membunuh. Bahkan, kiai-kiai kita dulu menggunakan jus nanas muda untuk diminumkan kepada istri-istrinya. Ini cara tradisional untuk mengatur kelahiran. KB berbeda dengan aborsi, misalnya. Kalau Aborsi biasanya sudah ada janin kemudian digugurkan. Itu namanya pembunuhan”.

Al-Ghazali dalam Ihya Ulumuddin menolak jika azl dikategorikan sebagai pembunuhan. Menurutnya, azl tergantung niatnya. Jika niatnya untuk mengatur kelahiran, misalnya, kalau anaknya banyak maka dikhawatirkan tidak terurus, maka azl boleh dilakukan. Atau, azl bertujuan menjaga istri agar awet muda. Dengan awet muda diharapkan memperpanjang umur perkawinan.

Kata al-Ghazali, azl tidak dibolehkan jika niatnya agar tidak lahir anak perempuan, seperti tradisi Arab Jahiliyyah. Jadi, menurut Kiai Said, pandangan dan penolakan apa pun terhadap KB dikembalikan pada kemaslahatan, karena KB adalah untuk kemaslahatan keluarga.

“Jika anaknya 10 di dalam keluarga itu terasa tegang. KB itu maslahah ammah (kemaslahatan umum yang bersifat universal). Dalam ushul fiqh-nya disebut istihsan, apa yang menurut manusia baik, maka baik. Ma hassanahul mu’min fahuwa hasan. Kalau tidak ada hadis atau al-Quran, maka dikembalikan pada common sens atau akal sehat. Nah, untuk mengatur maslahah atau tidaknya, maka dikembalikan pada Negara,” kata Kiai Said.

Begitu juga dengan penggunaan alat-alat kontrasepsi. Selagi tidak membahayakan maka tidak bermasalah. “Walhasil, boleh-boleh saja. Kalau boleh-boleh itu mendekati haram, namanya makruh. Jika mendekati wajib namanya sunnah. Kembali pada la dharar wala dhiror. Jangan berbuat bahaya dan membahayakan,” ujar kiai Said.

Kiai Said menambahkan sama seperti nikah muda pada prinsipnya tidak dilarang, secara agama sah-sah saja, tetapi negara boleh menerbitkan regulasi kalau memang ada kemaslahatan.

Lagi pula perintah dalam dalam hadis: Tazawwaju al-Walud al-Wadud (nikahilah perempuan yang subur), amr (perintah) dalam hadis itu hanyalah anjuran, bukan kewajiban. Sehingga hukumnya pun tidak permanen (qat’i) (bersambung).

Perempuan yang Bersahabat dengan Simpanse: Warisan Cinta Jane Goodall untuk Dunia

Ibu konservasionis dunia ini telah mengajarkan bagaimana cara mencintai simpanse. Ia mencatat, mendengarkan, dan menjalin hubungan dengan cara yang paling manusiawi. Kepedulian itu terus membentuk cara baru dalam mendefinisikan ulang bagaimana berdampingan dengan makhluk lain.

Namanya Dame Jane Goodall. Lahir pada 1934 dan dibesarkan di London. Selama 91 tahun ia bekerja untuk proyek-proyek konservasi di seluruh dunia. Namanya melesat terkenal setelah meneliti tentang simpanse di Gombe Stream Game Reserve, Tanganyika (sekarang Tanzania). Tak tanggung-tanggung, deretan atribusi dilekatkan padanya: ahli primatologi, konservasionis, aktivis hewan, humanis, dan pendidik. Bahkan ia memperoleh gelar Dame Commander (DBE) dari Kerajaan Inggris Raya.

Awal dari Cinta pada Satwa

Sejarah mencintai simpanse adalah sejarah berbuku. Setelah membaca The Story of Dr. Doolittle dan Tarzan, Goodall jatuh hati pada satwa. Goodall terus berkenalan dengan orang-orang yang sama-sama mencintai simpanse. Tak khayal, ia bertemu dengan primatolog terkemuka, Profesor Louis Leakey. Pertemuan itu terjadi saat Goodall tinggal di peternakan milik teman Leakey di Kenya, ketika ia masih berusia dua puluhan tahun.

Saat itu, Profesor Louis Leakey melihat potensi Goodall. Meski ia belum memiliki kualifikasi keilmuan sebagai primatolog, Goodall memiliki kepekaan yang tinggi. Karena itu, ia dipercaya membantu penelitian Leakey di hutan-hutan Tanzania pada 1960 silam.

Penelitian lapangan ini mengantarkan Goodall menjadi orang pertama yang menemukan seekor simpanse jantan besar yang kemudian diberi nama David Greybeard. Goodall menunjukkan bahwa simpanse mirip seperti manusia: mereka dapat menggunakan alat, menggali rayap dari gundukan dengan tongkat, membentuk ikatan sosial, bahkan merasakan empati dan kesedihan–tidak hanya kepada sesamanya, tetapi juga kepada manusia.

Temuan-temuan itu diterbitkan di jurnal National Geographic. Atas penemuan tersebut, National Geographic Society Newsroom menilai Goodall sebagai sosok yang membawa begitu banyak cahaya bagi dunia. Bahkan pada tahun 1965, Goodall tampil di sampul depan majalah National Geographic.

Berkat temuan berharga itu, dunia akhirnya tahu bahwa simpanse memiliki kehidupan dengan jaringan sosial yang kompleks. Dunia mengetahui bahwa simpanse memiliki emosi, struktur sosial, ikatan keluarga yang kuat, dan bahkan terlibat dalam konflik memperebutkan wilayah.

Namun, temuan-temuan itu tidak datang dengan mudah. Goodall menghadapi berbagai rintangan berat, mulai dari kesulitan mendekati simpanse hingga kurangnya dukungan dari orang-orang terdekatnya. Ia juga pernah dicemooh oleh sesama ilmuwan pada saat itu.

Pada akhirnya, Goodall menemukan caranya sendiri untuk mendekati simpanse secara erat, hingga menyebut mereka sebagai “sahabat saya.” Hingga kini, hanya Goodall yang begitu lihai bermain dan hidup bersama simpanse. Karena itulah ia dipilih menjadi aktor dalam film dokumenter televisi besutan Orson Welles, dengan adegan bermain dan bergulat bersama bayi simpanse.

Pengamatan panjangnya yang terdokumentasikan dalam The Chimpanzees of Gombe: Patterns of Behavior (1986) mengubah cara berpikir manusia. Jika selama ini manusia merasa telah selesai dengan cara hidup “menjadi manusia” dan moralitasnya, ternyata ada spesies kera yang juga memiliki kehidupan serupa. Manusia bisa mencintai, merawat anak, dan berduka ketika kehilangan keluarga, begitu pula simpanse.

Dale Peterson, penulis biografi Goodall, menulis: “Dia adalah wanita yang mendefinisikan ulang manusia.” Jejak langkah Goodall dianggap para ilmuwan begitu kaya, baik secara sosial maupun emosional, antara manusia dan kera.

Dari Penelitian ke Perjuangan

Tak hanya berhenti di penelitian, Goodall juga menjadi seorang aktivis satwa. Ia melakukan konservasi dan kampanye untuk hak-hak hewan, terus bersuara di forum-forum global dengan tujuan yang satu: kebebasan hidup simpanse.

Goodall turun ke lapangan. Ia memimpin protes untuk membebaskan simpanse yang dipelihara di kebun binatang atau penangkaran. Ia juga menentang tindakan manusia yang merusak alam hingga memicu perubahan iklim dan menghancurkan habitat satwa. “Tentunya orang menginginkan masa depan untuk anak-anak mereka,” ujarnya.

Goodall tak pernah lelah. Ia mengaku tak tidur di ranjang empuknya selama lebih dari tiga minggu sejak 1986. Demi pelestarian simpanse, ia mendirikan Institut Jane Goodall pada 1977, sebuah yayasan yang berfungsi melindungi simpanse dan mendukung berbagai proyek yang memberi manfaat bagi hewan dan lingkungan di dunia.

Pada 2003, Dr. Goodall diangkat menjadi Dame dan menerima Medali Kebebasan Presiden AS.

Namun di saat dunia sangat membutuhkan dirinya, Goodall akhirnya pergi meninggalkan dunia. Semua manusia berduka atas kepulangannya. Banyak pihak memberikan penghormatan, mulai dari Duke dan Duchess of Sussex–Pangeran Harry dan Meghan–hingga aktor dan aktivis lingkungan Leonardo DiCaprio, mantan Perdana Menteri Kanada Justin Trudeau, serta berbagai organisasi lingkungan seperti Greenpeace dan People for the Ethical Treatment of Animals (PETA).

“Dr. Jane Goodall DBE adalah seorang visioner kemanusiaan, ilmuwan, sahabat bagi planet ini, dan pahlawan sejati bagi dunia,” tulis mereka.

Di Indonesia, rasa kehilangan itu juga terasa. Harry Surjadi (mantan wartawan Kompas), Rahayu Oktaviani (pendiri Yayasan Konservasi Ekosistem Alam Nusantara), dan Dr. Puji Rianti dari IPB, mengaku kehilangan panutan besar dalam dunia konservasi.

Simpanse itu Goodall, dan Goodall itu simpanse. Mereka menyatu dalam keabadian, satu jiwa yang saling memahami tanpa bahasa.

Warisan yang ditinggalkannya bukan hanya pengetahuan tentang perilaku primata, tetapi juga tentang cara memperlakukan data dengan hati, mencintai alam dengan empati, dan menjadi manusia yang lebih manusiawi.

Burung-Burung yang Tak Lagi Bertasbih di Langit Indonesia

Di Indonesia, burung masih menjadi masalah. Kita menganggap burung hanyalah peliharaan. Di pikiran manusia, burung adalah hiburan. Burung-burung ini diburu, dimasukkan ke sangkar, lalu disuruh berbunyi. Burung-burung itu dilatih berkicau untuk mengikuti perintah tuannya.

Dalam sejarah, kita mudah mengingat burung-burung yang diadu. Manusia berbondong-bondong mempertaruhkan burungnya untuk menjadi hewan nomor satu. Adu burung dimaksudkan sebagai “kompetisi” kicauan. Hari-hari terus mencipta penantian, berharap burung itu menjadi hewan “tersakti” di dunia. Dan manusia mendapat upah dari kemenangannya.

Burung yang Disangkar, Alam yang Dilupakan

Jadi, manusia menganggap burung hanyalah hewan. Bukan makhluk yang sama dengannya, apalagi sahabatnya. Manusia sering omong besar tentang kemanusiaan, tetapi ketika berhadapan dengan burung, ia lupa pada kehidupan baik hewan.

Karena burung dianggap bukan makhluk yang sejajar, maka ia hanya menjadi hiburan dan pelengkap hidup manusia. Bahkan beragam burung yang menawan kini terancam punah. Kekayaan Indonesia akan ragam hayati terus merosot karena keserakahan manusia: diburu, diperdagangkan secara ilegal, dan akhirnya kehilangan habitatnya.

Pemerintah juga lupa melindungi konservasi dan pengelolaan burung. Regulasi perlindungan spesies burung sekadar basa-basi. Tak ada program bermutu dalam konservasi, seperti pelepasliaran burung dan perlindungan habitat.

Perihal ini, kita bisa membaca berita tentang pencabutan status lima jenis burung dari daftar satwa dilindungi oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (Permen LHK Nomor 92 Tahun 2018). Lima jenis burung yang dikeluarkan dari daftar dilindungi sesuai Permen LHK Nomor 92 Tahun 2018 antara lain: cucak rawa (Pycnonotus zeylanicus), jalak suren (Gracupica jalla), kucica hutan atau murai batu (Kittacincla malabarica), anis-bentet kecil (Colluricincla megarhyncha), dan anis-bentet sangihe (Coracornis sanghirensis).

Kajian Ilmiah yang Diabaikan

Kita melihat hal-hal aneh bin ajaib dari kebijakan Peraturan Menteri LHK No. 20 Tahun 2018 ini. Alasannya, satwa yang tidak dimasukkan dalam daftar dilindungi karena dianggap banyak ditangkarkan, dipelihara untuk kepentingan hobi, dan mendukung kehidupan masyarakat melalui lomba atau kontes.

Pemerintah menghimpun seribu alasan bombastis tapi cacat nalar. Alasan-alasan itu justru pantas disambut dengan debat, gugatan, dan cibiran. Namun, pihak pemerintah tetap menganggap kebijakan ini “niscaya” saat orang-orang menuduhnya “cacat logika” dan “sembrono.”

Untuk kebijakan ngawur ini, kita lekas melihat protes dari anggota Forum Konservasi Burung Indonesia (FKBI), Rosek Nursahid. Ia menuding pencabutan status dilindungi menjadi tidak dilindungi dilakukan untuk memenuhi desakan kelompok penggemar dan pebisnis burung berkicau, bukan melalui kajian ilmiah dan tanpa mengevaluasi populasinya yang sangat sedikit di alam.

Kita sulit melihat kebijakan yang baik, tapi sering mendengar kebijakan ngawur terus disetor pemerintah. Pemerintah terus menjadi sumber panen masalah dan cemooh atas kebijakan yang tak masuk akal.

Pemerintah dianggap menentukan nasib hewan di dunia. Tapi kita pantas menyesalkan dan menaruh curiga: “Ya, kami sangat menyesalkan hal tersebut, karena pencabutan (status dilindungi) itu kami nilai tanpa kajian ilmiah yang matang, dan hanya berdasarkan desakan dari kelompok kecil masyarakat yang bergelut di bidang bisnis jual-beli burung. Seharusnya pencabutan atau penurunan status itu melalui proses-proses ilmiah yang jelas, ada rekomendasi dari LIPI, kemudian dikaji. Tapi ini hanya dalam waktu singkat, dua bulan, LIPI pun tidak merekomendasikan—tiba-tiba dibatalkan,” kata Rosek Nursahid.

Kajian ilmiah itu kunci. Namun, kita perlahan tak lagi memikirkan kajian ilmiah, tapi lekas bertindak sesuai nafsu kepentingan. Padahal, di situ ada burung yang patut dijaga agar dunia tak merana. Burung cucak rawa, jalak suren, kucica hutan, bentet kecil, dan bentet sangihe jauh lebih indah ketimbang uang hasil bisnis haram-ilegal yang berakibat pada kepunahan.

Kekhawatiran aktivis lingkungan sangat masuk akal. Di tengah janji-janji indah soal satwa liar, kita melihat fakta bahwa Indonesia tidak berpihak pada hewan dan lingkungan. Untuk hewan, kebijakannya dilucuti; untuk lingkungan, tanahnya terus dikeruk sampai habitatnya mati.

Kini, kita berada di Indonesia untuk melihat burung berkicau, untuk menyaksikan sayap-sayap melepaskan diri dengan sempurna, untuk melihat mereka beterbangan tanpa takut diburu hina. Tapi pemerintah membatalkan itu semua dengan kebijakan-kebijakan yang munafik. Para penghobi burung dan pelaku perdagangan burung berkicau terus diladeni, sementara upaya mengembangbiakkan burung-burung itu justru dibatasi.

Tanggung Jawab Manusia atas Alam

Kepunahan spesies burung ada di depan mata. Di tengah upaya konservasi yang tak pasti, keindahan bulu dan ekor burung yang memukau—simbol kemegahan alam Indonesia—akan mati. Bulunya yang menawan bisa jadi hanya tersisa sebagai kisah suci. Segala anggapan itu sudah seharusnya kita perbaiki. Kita perlu bertobat agar kebaikan-kebaikan dunia terus terasa sambil menengok kitab suci.

Al-Qur’an menulis: “Tidakkah kamu tahu bahwa kepada Allah bertasbih siapa yang di langit dan di bumi, dan juga burung dengan mengembangkan sayapnya? Masing-masing telah mengetahui cara shalat dan tasbihnya…” (QS. An-Nur [24]: 41).

Ayat ini menunjukkan bahwa hewan memiliki kesadaran spiritual dalam bentuk yang hanya Allah yang memahaminya. Dengan demikian, mereka bukan makhluk tanpa ruh, tetapi bagian dari ibadah semesta kepada Sang Pencipta. Al-Qur’an menyebut hewan sebagai sumber rezeki dan manfaat bagi manusia, tetapi penggunaannya harus disertai tanggung jawab moral.

Hewan sama seperti manusia. Ia memiliki kesetaraan. Dalam (QS. Al-An‘ām [6]: 38), disebutkan bahwa manusia dan hewan setara secara eksistensial sebagai umat-umat Allah yang akan kembali kepada-Nya. Ia adalah makhluk hidup yang bertasbih kepada Allah.

Ia pantas memiliki hak hidup, ruang ekologis, dan fungsi spiritual. Dan manusia pantas untuk menjaga, bukan mengeksploitasi mereka. Sebagaimana surat (QS. Al-Anbiyā’ [21]: 107): “Dan Kami tidak mengutus engkau (Muhammad) melainkan sebagai rahmat bagi semesta alam.”

Perempuan Tak Harus Selalu di Ruang Publik untuk Dianggap Berdaya: Sebuah Refleksi Decolonial Feminism

Perjumpaan saya dengan istilah decolonial feminism muncul saat saya mengikuti sebuah konferensi internasional yang menghadirkan para pakar dari bidang Islamic Studies. Istilah tersebut terasa begitu baru bagi saya. “Hah? Decolonial digabungkan dengan kata feminism? What’s that?” pikir saya waktu itu.

Saya menatap layar presentasi yang menampilkan nama Saba Mahmood dan karyanya yang populer, Politics of Piety. Dari pemikiran Mahmood, hal yang paling membekas bagi saya adalah pandangannya bahwa tidak semua perempuan yang memilih hidup religius sedang tertindas. Kadang, justru di situlah letak kebebasan mereka. Bagi saya, itu adalah perspektif yang sangat menarik. Kenapa?

Selama ini, narasi yang beredar dari gerakan feminisme sering kali dipahami secara tunggal. Bahwa menjadi perempuan merdeka berarti harus berperan di ruang publik, berani bersuara, harus bekerja, memiliki gelar pendidikan tinggi, dan sederet keharusan lainnya. Serangkaian ekspektasi yang sudah menjadi standar universal tentang bagaimana perempuan seharusnya hidup dengan berdaya.

Namun, setelah dipikir kembali, saya mulai merasa bahwa pola tuntutan semacam itu bisa menjadi bentuk pengerdilan baru di era ini, hanya saja dengan wajah yang berbeda. Perempuan yang memilih menjadi ibu rumah tangga, misalnya, sering kali dianggap kurang ambisius atau belum sadar gender. Toh, kesadarankan bukan sesuatu yang bisa diukur dari luar? Bukankah setiap perempuan punya jalannya sendiri untuk memahami makna hidupnya?

Di titik inilah saya menemukan relevansi istilah decolonial feminism, sebuah pendekatan yang mengajak kita membongkar kembali cara berpikir yang diwariskan oleh kolonialisme dan dominasi Barat. Termasuk dalam cara kita memahami feminisme, atau, kalau kamu kurang setuju dengan kata feminisme, bisa kita ubah jadi “keadilan gender.”

Perspektif apa yang ditawarkan oleh Saba Mahmood?

Di ruang kelas, dosen kami juga merekomendasikan karya Saba Mahmood tersebut. Bukunya menjadi salah satu bacaan wajib yang harus dikaji terlebih dahulu sebelum kelas dimulai.

Saba Mahmood, seorang antropolog asal Pakistan yang meneliti gerakan perempuan Muslim di Mesir, lewat karya intelektualnya Politics of Piety, menawarkan makna yang berbeda tentang kebebasan. Baginya, kebebasan tidak selalu berarti menolak atau menentang tradisi dan agama. Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa perempuan-perempuan Muslim di Mesir yang memilih hidup religius dan taat melakukannya bukan karena paksaan, mereka memilihnya dengan kesadaran yang lahir dari keyakinan mereka sendiri.

Mahmood menolak asumsi feminisme liberal yang menganggap bahwa semua perempuan pasti ingin dibebaskan dalam pengertian sekuler dan individualis. Dalam bukunya, Mahmood juga menekankan bahwa agensi atau kemampuan seseorang untuk bertindak secara sadar, bisa hadir dalam bentuk yang tidak selalu terlihat memberontak.

Misalnya, seorang perempuan yang memilih bercadar dan berhijrah, bisa jadi sedang menapaki perjalanan spiritualnya sendiri. Alih-alih melihat pilihan itu sebagai bentuk kepatuhan pada patriarki, kita bisa memahaminya sebagai wujud pencarian makna dan kedekatan dengan keyakinan yang ia pegang. Dalam pandangan ini, kebebasan justru hadir ketika seseorang mampu menemukan dirinya, bahkan di dalam norma keyakinan yang dianggap membatasi.

Kritik terhadap Feminisme yang “kebarat-baratan”

Dalam refleksi ini, saya tidak sedang menolak feminisme. Justru, saya sangat menghargainya. Gerakan ini telah membuka banyak ruang bagi perempuan untuk bersuara dan mengikhtiarkan hak-haknya. Tanpa perjuangan para feminis, mungkin perempuan saat ini masih belum memiliki hak untuk berdemokarsi dan mengikuti pemilu.

Tanpa ada tokoh feminis di Indonesia, mungkin saat ini perempuan tidak diperkenankan mengenyam pendidikan tinggi. Banyak hal yang dulu mustahil kini terasa wajar, karena ada sosok-sosok berani yang dulu menembus batas untuk memperjuangkan hak perempuan.

Di sisi lain, sebagian arus feminisme (terutama yang berakar dari kerangka Barat), sering kali gagal memahami konteks lokal dan spiritual masyarakat lain. Saya menyadari bahwa gagasan tentang kebebasan individu yang sering digaungkan oleh feminisme Barat terkadang bergerak terlalu jauh, seolah semua pilihan pribadi harus diterima oleh masyarakat tanpa batas.

Di balik slogan kebebasan, ada kecenderungan untuk menormalisasi segala bentuk ekspresi, termasuk orientasi seksual, tanpa mempertimbangkan konteks nilai serta ajaran agama yang dianut oleh banyak masyarakat non-Barat. Dalam kerangka Islam, misalnya, terdapat koridor moral dan spiritual yang menjadi pedoman hidup. Bagi seorang Muslim, mematuhi koridor tersebut merupakan bentuk kebebasan yang paling hakiki, sebuah kebebasan untuk tetap taat pada ajaran yang diyakini benar.

Beban Baru Perempuan Modern

Saya masih sering menjumpai komentar di media sosial yang seolah menghakimi pilihan hidup perempuan: “Sekolah tinggi-tinggi kok ujungnya cuma jadi ibu rumah tangga, sayang banget sama title-nya.” Wahai netizen yang budiman, mengapa nilai diri perempuan harus diukur dari pencapaian publik dan prestasi karier? Banyak perempuan justru menemukan semangat hidupnya saat mengasuh anak, karena dari tangan ibu yang terdidiklah, generasi emas bangsa lahir dan tumbuh.

Tanpa disadari, pola pikir tersebut justru menempatkan perempuan dalam tekanan baru. Sebuah beban untuk selalu menyesuaikan diri dengan standar ideal yang diciptakan oleh feminisme versi tertentu.

Perempuan yang memilih fokus pada rumah tangga tidak lebih rendah daripada perempuan yang aktif di ranah publik. Begitu pula sebaliknya. Selama keputusan itu diambil dengan kesadaran, cinta, dan tanpa paksaan, maka di sanalah kebebasan hadir.

Menurut saya, setiap perempuan punya ruang pilihannya masing-masing. Ada yang menemukan kekuatannya di rumah, ada pula yang menemukannya di ruang publik. Setiap pilihan hadir dengan konsekuensinya tersendiri, dan perempuan yang berdaya adalah mereka yang mampu membaca risiko dan menyiapkan langkah untuk menghadapinya.

Decolonial feminism mengajak kita untuk keluar dari jebakan berpikir biner, yang menganggap hanya ada satu bentuk kebebasan yang sah. Pendekatan ini menuntut kita agar supaya tidak lupa memahami konteks, pengalaman, dan nilai-nilai lokal yang membentuk makna berdaya bagi setiap perempuan.

So, yuk belajar untuk tidak menyeragamkan pilihan perempuan.

Pandangan Kiai Said tentang Kesehatan Reproduksi (1)

Berikut serial pemikiran Kiai Said tentang Kesehatan Reproduksi (kespro). Tulisan ini diolah dari pelbagai sumber dan wawancara langsung. Sebelum menyelami inti pemikiran beliau, terlebih dahulu dipaparkan biografi beliau yang sedikit banyak memengaruhi konteks pemikirannya.

Kiai Said Aqil Siraj lahir di Kempek, Palimanan, Cirebon, dari pasangan Kiai Aqil Siraj dan Hj Afifah. Kiai Said sendiri merupakan anak kedua dari lima bersaudara, yaitu: Ja’far, Musthafa, Ahsin, dan Niamillah.

Kiai Said pertama kali belajar agama pada guru sekaligus ayahnya: Kiai Aqil Siraj, salah satu pengasuh di Pondok Pesantren Kempek. Di tanah kelahirannya ini, Kiai Said menyelesaikan pendidikan dasar Sekolah Rakyat (SR).

Kiai Said kemudian melanjutkan ke Pondok Pesantren Lirboyo, Kediri, di bawah asuhan dan bimbingan langsung Hadratus Syaikh Kiai Makhrus Ali yang tergolong masih kerabat ayahnya dari Pesantren Gedongan, Cirebon.

Di Lirboyo, Kiai Said menyelesaikan Madrasah Tingkat Aliyah, kemudian melanjutkan kuliah di Universitas Tribakti yang didirikan Kiai Mahrus Ali. Tak sampai selesai, Kiai Said melanjutkan ke IAIN Sunan Kalijaga sambil nyantri di Pesantren Krapyak asuhan Kiai Ali Maksum.

Di Krapyak Kiai Said bertemu dengan Nurhayati yang pada tanggal 13 Juli 1977 menikah dengannya. Dari perkawinan itu, Kiai Said dikaruniai empat putra-putri: Muhammad, Nisrin, Rihab, dan Aqil. Di sini pula ia menjadi teman seangkatan pemikir NU, Kiai Masdar Farid Mas’udi yang pernah sama-sama menjadi pengurus PBNU.

Ketika kiai Masdar mengembangkan program Fiqh An-Nisa untuk penguatan Hak-hak Reproduksi Perempuan, kiai Said sering kali diundang untuk mendemonstrasikan penggunaan metode ushul fiqh dalam melihat kemaslahatan bagi umat tanpa mencederai pandangan keagamaan yang umumnya telah dipahami atau diyakini umat, terutama di kalangan NU, termasuk dalam isu Keluarga Berencana (KB).

“Ketika anak saya sudah empat, saya ikut KB. Saya pakai alat kontrasepsi, istri saya minum obat. Pilihan KB saya ambil karena saya masih belajar (kuliah) dan dirasakan repot mengurus dan membesarkan anak banyak,” kata Kiai Said mengenang waktu ia belajar di Saudi Arabia.

Keempat anaknya itu lahir di Makkah, Arab Saudi, ketika ia kuliah di Ummul Qura. Kiai Said menyelesaikan S-1 di universitas ini tahun 1982 di Jurusan Ushuluddin dan tahun 1987 selesai S-2 Jurusan Perbandingan Agama dengan penelitian tentang Perjanjian Baru dan Surat-Surat Paus Johanes Paulus.

Memasuki tahun ke 14 di Mekkah, atau tepatnya tahun 1994, Kiai Said menggondol gelar doktor dengan disertasi “Shilatullah bil Kaun Fi Tasawwuf Falsafi” (Relasi Tuhan dengan Alam dalam Perspektif Tasawuf Falsafi). Kiai Said berhasil mempertahankan disertasinya dengan nilai cum laude.

Sejak di Makkah Kiai Said sudah kenal akrab dengan Kiai Abdurahman Wahid atau Gus Dur. Setiap kali ke Makkah, Gus Dur pasti menginap di kediaman Kiai Said. “Kalau sudah nginep, Gus Dur selalu ngajak bapak berdiskusi dari sore sampai pagi,” kenang Muhammad, anak pertama Kiai Said.

Gus Dur sendiri mengakui kecerdasan dan keilmuan Kiai Said. Suatu waktu Gus Dur pernah berseloroh, “Kiai Said itu kamus berjalan. Doktor muda dengan disertasi seribu referensi”. Nurcholis Madjid atau Cak Nur juga mengakui keilmuan Kiai Said. “Said Aqil ini putra kiai yang cerdas. Dia pernah berjanji akan menulis disertasi tentang al-Ghazali sekaligus ingin mengkritiknya,” kata Cak Nur.

Tahun 1995 Kiai Said pulang ke Indonesia. Gus Dur selaku ketua umum PBNU langsung memberi posisi strategis sebagai Wakil Katib Am  (wakil sekretaris umum) PBNU.

“Saat menjabat pengurus PBNU saya pernah jadi pembicaraan konferensi internasional tentang kependudukan di Bali, itu sekitar tahun 200an. Waktu itu ketua PWNU Jawa Timur, saudara Ali Maschan Musa. Saya diutus PBNU untuk menjadi salah satu narasumber menjelaskan KB dalam perspektif Islam.” 

Jika dipelajari biodatanya, niscaya kita akan melihat sederetan aktivitasnya baik di dunia akademik maupun dalam organisasi. Selain menjadi dosen beliau meniti karier organisasi dari tingkat yang paling bawah, ranting sampai PBNU. Terlihat dengan jelas kiai Said merupakan veteran dalam dunia pendidikan sekaligus organisasi. Dan ini tergambar pula dalam cara beliau menjelaskan soal pentingnya KB untuk kemaslahatan umat.

Pandangan Kiai Said tentang KB

Menurutnya, pada hakikatnya Islam menganjurkan kepada seluruh umatnya untuk  berketurunan dengan cara memiliki anak banyak. Ini misalnya digambarkan dalam Al-Qur’an agar setiap manusia bertebaran di bumi, berpasang-pasangan lalu beranak-pinak  untuk kemudian saling mengenal (ta’aruf). Selain  dalam Al Qur’an, perintah agar laki-laki menikahi perempuan yang subur dan (berpotensi) memiliki anak banyak juga disebut dalam hadis Nabi SAW:

تزوجوا الولود الودود فانى مكاثر بكم الأمم يوم القيامة رواه ابو داود

“Nikahilah wanita-wanita yang subur (banyak anak) dan penyayang. Karena sesungguhnya aku bangga dengan banyaknya kalian di hadapan umat lain di hari kiamat nanti” (HR Abu Dawud)

Terkait dengan hadis ini, Kiai Said menyatakan bahwa:

“Hadis ini memberikan pesan sepertinya Nabi Muhammad SAW akan merasa bangga jika umatnya lebih banyak dibanding umat Nabi-Nabi yang lain. Karenanya, kalangan yang membaca hadis itu secara harafiah akan memaknai bahwa Islam mendorong umatnya untuk kawin, agar mereka punya anak, berketurunan, sehingga umat manusia tidak punah sampai hari kiamat nanti. Ini juga tergambar dalam rumusan tujuan nikah (mabda’ al-nikah) yaitu al-muhafadzah ala al-nasl (reproduksi).” 

Menurut kiai Said, dalam sejarah politik di dunia, logika ini juga digunakan. Terbukti, kata Kiai Said, negara-negara yang mempunyai populasi banyak, memiliki daya tawar cukup kuat dibanding negara-negara berpenduduk sedikit.

“Ternyata, bobot negara dihitung dari populasi penduduknya. Apalah arti Kuwait, Qatar, Bahrain, Brunei? Negara dengan penduduk kecil seperti tak ada bobotnya di mata dunia. Namun ternyata bobot itu tak selalu menunjuk kepada jumlah. Sebab selain jumlah orang akan melihat mutu. Beberapa negara di Eropa dan atau Singapura adalah contoh itu. Kualitas memang mutlak diperlukan, tanpa mengabaikan kuantitas. Negara Singapura dan Jepang yang menyadari makin banyak anak muda tak menikah atau  pasangan tak memiliki anak, mendorong warganya untuk  berkeluarga dan punya anak. Indonesia, akan makin diperhitungkan dunia karena penduduknya banyak. Apalagi kalau banyak, SDM melimpah, kaya raya, SDA-nya berkualitas,” 

“Coba lihat Jepang (126. 890. 000). Warga negaranya malas menikah, malas punya anak. Dalam lima tahun berkurang 1 juta. Sekarang kalau ada orang kawin dan punya anak dikasih uang, diberi hadiah oleh negara, Singapura (5.535. 000), kalau anak mudanya punya anak dikasih bonus atau hadiah, China (1.380.370.000) sekarang sudah boleh 2 anak, karena sudah banyak yang tua, lanjut usia, sudah tidak produktif lagi. Hitungannya kira-kira dalam tiga puluh tahun meregenerasi lagi”. 

Dalam paparannya, Kiai Said mengatakan bahwa Negara Timur Tengah yang banyak penduduknya hanya Mesir yang mendekati 100 juta penduduk, lalu Iran yang penduduknya  hampir 80 juta, Turki juga mendekati 80 juta. Mereka menjadi perhatian dunia. Secara kontras kiai Said membandingkannya dengan negara-negara berpenduduk Muslim lainnya namun jumlahnya kecil seperti Kuwait  yang hanya 4 juta, Qatar 2 juta, atau bahkan Saudi yang kurang dari 40 juta penduduk, Syiria sebelum perang mencapai 24 juta penduduk, tetapi kini niscaya separuhnya pun kurang.

Namun, negara-negara Islam dengan penduduk besar pun ternyata bisa menjadi perhatian dunia bukan karena kehebatannya melainkan karena kemiskinannya. Misalnya Pakistan dengan jumlah populasi mendekati 200 juta penduduk, Bangladesh yang hampir 100 juta penduduk. Begitu juga di negara-negara Afrika Barat seperti Sudan, Aljazair yang terus dilanda konflik perebutan sumber daya dan ekonomi. Mereka menjadi perhatian dunia karena jumlah penduduknya besar tapi miskin dan sangat rentan konflik etnis dan agama. Di negara-negara berpenduduk Muslim terbesar itu celah jurang kaya miskin sangat mencolok (bersambung).

Monyet yang Tak Merdeka di Persimpangan Jalan

Di bawah terik matahari yang memanggang aspal kota, seekor monyet kecil duduk bersila di atas trotoar yang berdebu, lehernya terjerat rantai besi, matanya menatap kosong ke arah lalu lintas yang bising. Di tangan tuannya, seutas tali bergoyang mengikuti irama musik dari pengeras suara usang, seolah menandai dimulainya sebuah pertunjukan yang disebut “hiburan rakyat”.

Monyet itu menirukan manusia serupa berjalan dengan sepeda mini, mengenakan topeng lusuh, bahkan menunduk memberi hormat kepada penonton yang lewat. Di ujung pertunjukan, ia diberi secuil makanan, bukan sebagai bentuk kasih, melainkan sebagai imbalan atas kepatuhan. Dalam adegan muram itu, manusia berperan sebagai tuan, sementara monyet menjadi aktor tanpa pilihan.

Ironisnya, atraksi yang dianggap lucu oleh sebagian orang ini justru berdiri di atas penderitaan yang panjang.

Di balik setiap monyet yang piawai bermain enggrang atau berlagak seperti serdadu, ada kisah penculikan, pemukulan, kelaparan, dan trauma yang disembunyikan. Praktik topeng monyet keliling, yang pernah menjadi bagian dari lanskap hiburan jalanan di kota-kota besar, kini telah berubah menjadi simbol eksploitasi yang paling gamblang terhadap makhluk hidup lain yang sama-sama berhak merasakan kebebasan.

Luka di Balik Topeng

Sejak 2013, Pemerintah Provinsi DKI Jakarta telah melarang praktik topeng monyet. Keputusan itu berpijak pada dasar hukum yang kuat, dari Kitab Undang-Undang Hukum Pidana tentang penyiksaan hewan, Peraturan Kementerian Pertanian Nomor 95 Tahun 2012 tentang Kesejahteraan Hewan, hingga Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2009 tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan. Namun seperti banyak kebijakan lain di negeri ini, larangan bukan berarti berakhirnya praktik. Di banyak daerah, terutama di pinggiran kota, tradisi kelam itu tetap berlangsung dalam diam, disamarkan dengan dalih kebutuhan ekonomi.

Mereka yang menggiring monyet-monyet kecil itu dari satu perkampungan ke kampung lain bukanlah orang jahat yang lahir dari niat menyakiti. Sebagian besar hanyalah manusia yang berjuang bertahan hidup dengan cara yang diwariskan dari generasi sebelumnya. Dalam bayangan mereka, topeng monyet bukan eksploitasi, melainkan pekerjaan. Bagi mereka, yang penting perut anak-anaknya terisi, tak penting apakah rantai yang menjerat leher monyet itu berarti tirani. Inilah ironi yang paling menyakitkan: antara sesuap nasi manusia dan hak hidup seekor hewan, negeri ini belum menemukan keseimbangannya.

Monyet yang Tak Merdeka

Macaca fascicularis atau monyet ekor panjang, bukan sekadar hewan yang pandai meniru manusia. Mereka adalah primata cerdas dengan struktur sosial yang kompleks, dengan ikatan keluarga yang kuat, dan dengan naluri bertahan hidup yang telah menuntun mereka selama ribuan tahun di hutan tropis Asia Tenggara. Namun sejak Maret 2022, International Union for Conservation of Nature (IUCN) menetapkan spesies ini berstatus “Genting” atau Endangered, dengan prediksi penurunan populasi mencapai 40 persen dalam empat dekade terakhir.

Penyebab utamanya bukan hanya karena deforestasi atau alih fungsi lahan, melainkan juga karena perburuan dan perdagangan ilegal yang tak pernah surut. Anak-anak monyet kerap ditangkap di hutan, dipisahkan secara brutal dari induknya, lalu dijual ke pasar gelap dengan harga yang bahkan lebih murah dari seekor burung kicau. Di sinilah rantai eksploitasi dimulai. Mereka yang berhasil lolos dari jerat perdagangan justru berakhir di dunia pertunjukan, dipaksa hidup dalam lingkaran eksploitasi baru, terikat, kelaparan, dan kehilangan jati diri alaminya sebagai satwa liar.

Bagi monyet yang dijadikan bahan tontonan, hidup tidak lagi diukur dari kebebasan, melainkan dari seberapa cepat mereka bisa menuruti perintah manusia. Mereka diajari cara berdiri tegak, mengayuh sepeda, atau menari dengan musik, bukan dengan sabar dan kasih, tetapi dengan pukulan dan lapar.

Hasil penelusuran Jakarta Animal Aid Network (JAAN) menunjukkan banyak pemilik sengaja menahan makan agar monyet lebih “penurut” saat berlatih. Mereka diberi nasi, roti, atau makanan manusia lain yang jauh dari kebutuhan nutrisi alaminya. Dalam sehari, monyet bisa bekerja tanpa minum, di bawah panas menyengat atau guyuran hujan, hanya untuk menghibur orang-orang yang lewat dan melemparkan koin receh ke tanah.

Kebebasan yang Tak Pernah Dikenal

Di alam liar, monyet adalah makhluk yang gemar bergelantungan di pepohonan, berbagi makanan dengan kelompoknya, saling membersihkan tubuh (grooming), dan memainkan peran sosial dalam komunitasnya. Semua perilaku itu hilang saat mereka dijadikan alat hiburan. Di dunia topeng monyet, mereka bukan lagi primata yang cerdas dan sosial, melainkan “badut” yang dipaksa meniru manusia, kehilangan seluruh ekspresi naluriah mereka. Ironinya, justru di tangan manusia yang mengaku beradab, monyet kehilangan kemanusiaannya.

Tak sedikit di antara mereka yang mengalami cedera fisik akibat proses “penjinakan”. Taring mereka dicabut secara kasar, tubuh mereka dipukul agar patuh, dan luka-luka itu sering dibiarkan infeksi tanpa perawatan. Luka yang tak sembuh bisa berujung pada kematian atau penyebaran penyakit zoonosis yang berisiko pula bagi manusia. Dalam perspektif kesejahteraan hewan, monyet-monyet ini hidup dalam kondisi yang melanggar semua prinsip dasar: tidak bebas dari rasa lapar, rasa takut, rasa sakit, dan tidak bebas untuk mengekspresikan perilaku alami.

Di mata publik, mereka tampil lucu dan menghibur. Tapi di mata moralitas, pertunjukan itu adalah bentuk kekejaman yang dipoles menjadi atraksi. Inilah tragedi yang lebih dalam dari sekadar pelanggaran hukum. Ia menunjukkan bahwa sebagian masyarakat kita masih memandang hewan bukan sebagai makhluk hidup dengan hak, melainkan sebagai properti yang bisa dijadikan alat cari uang.

Manusia di Persimpangan Etika

Larangan pemerintah dan kampanye dari organisasi perlindungan hewan seperti JAAN, WALHI, dan Animal Defenders Indonesia sebenarnya membuka ruang refleksi lebih besar tentang relasi manusia dan hewan di negeri ini. Bahwa persoalan topeng monyet bukan hanya soal penegakan hukum, tetapi juga soal cara berpikir masyarakat tentang empati dan etika ekologis.

Pertanyaannya, apakah kita rela menukar rasa kasihan terhadap hewan dengan harga satu porsi nasi? Di satu sisi, para pengamen topeng monyet adalah bagian dari rakyat kecil yang sering tak tersentuh oleh kebijakan negara. Mereka hidup dalam ketidakpastian, bergantung pada belas kasihan penonton. Tetapi di sisi lain, monyet yang mereka bawa adalah korban lain dari kemiskinan yang sama: sama-sama lapar, sama-sama terjajah oleh sistem yang tak berpihak.

Negara sebenarnya memiliki perangkat hukum yang cukup untuk menghentikan praktik ini, tetapi penegakan hukum sering kali berhenti pada sosialisasi tanpa pengawasan.

Dalam konteks ini, masalahnya bukan sekadar pelanggaran terhadap Pasal 302 KUHP atau Peraturan Kementerian Pertanian, melainkan kegagalan kita sebagai bangsa dalam memandang kehidupan di luar diri manusia. Kita terlalu sibuk memikirkan bagaimana bertahan hidup, hingga lupa bahwa dalam proses itu, ada kehidupan lain yang ikut terampas.

Mencari Jalan Pulang

Sebuah bangsa bisa diukur dari bagaimana ia memperlakukan makhluk paling lemah di dalamnya. Jika monyet-monyet kecil itu masih harus menari di bawah cambuk demi mengisi perut manusia, maka sesungguhnya yang lapar bukan hanya tubuh, melainkan juga nurani kita.

Sudah saatnya praktik topeng monyet benar-benar dihentikan, bukan sekadar dilarang di atas kertas. Pemerintah perlu menyiapkan jalan keluar bagi para pelaku, misalnya melalui program pelatihan kerja dan insentif ekonomi agar mereka tak perlu bergantung pada eksploitasi hewan. Di sisi lain, masyarakat juga harus berhenti menjadi penonton yang pasif. Setiap tawa di depan monyet berkalung rantai adalah legitimasi terhadap kekerasan yang diam-diam kita biarkan.

Monyet tidak lahir untuk menghibur manusia. Ia lahir untuk hidup bebas di hutan, untuk bergelantungan, bermain, dan berkeluarga. Sementara manusia, dengan akalnya yang tinggi, seharusnya mampu memahami bahwa kebahagiaan tak pernah bisa tumbuh dari penderitaan makhluk lain. Jika hari ini, di persimpangan jalan kota, masih ada monyet yang menari untuk sesuap nasi, maka sesungguhnya yang kehilangan kemerdekaan bukan hanya monyet itu, melainkan juga manusia yang telah kehilangan empatinya.