Ketika Kamar Tidur dan Mimbar Dakwah Jadi Mesin Kuasa

Kalau kita bicara soal seksualitas dan Islam, rasa-rasanya sering sekali menjurus ke urusan melahirkan keturunan. Seolah-olah seks cuma berfungsi serupa mesin pencetak anak. Hal ini jelas terlihat dari banyaknya aturan keagamaan yang bertengger di atas penalaran model itu.

Dalam pandangan fikih yang populer, kita mengenal adanya larangan anal seks, istimna’ (masturbasi), dan ‘azl (senggama terputus). Ketiganya adalah aktivitas seksual yang tak reproduktif. Mungkin pada hal-hal semacam ini dunia kontemporer menyandarkan pandangan keagamaan yang bersikap antipati pada kehadiran kontrasepsi modern. Begitu juga hubungan seksual ketika sedang haid dilarang. Bahkan yang paling keras, sikap terhadap homoseksualitas.

Di sisi lain, seks pro-kreasi yang dianggap sah malah di-endorse. Misalnya nikah muda, katanya biar tidak berzina. Memangnya menikah selalu sama dengan hubungan seksual?

Belum lagi pandangan tentang poligami yang katanya sunah Nabi. Ada juga pandangan bolehnya perceraian kalau tidak bisa mempunyai keturunan, wah jleb banget. Termasuk idealisasi soal keluarga besar dengan banyak anak banyak rezeki. Makin jelas kan? Begitu juga dengan sindiran-sindiran tajam buat menakut-nakuti para istri kalau tidak mau melayani suami.

Melihat Lebih Jujur

Kalau menggunakan kacamata Michel Foucault, semua ini jelas-jelas menunjukkan praktik biopower. Pada titik ini interpretasi ajaran keagamaan bersalin wajah dengan ciamik untuk mengoperasikan kekuasaan. Tubuh dan seksualitas dikontrol semata untuk produksi massa. Semakin banyak anak, makin besarlah komunitas, makin kuat juga daya tawar posisi politik dan sosialnya.

Bahkan kalau kita mau jujur, logika seperti ini mirip dengan agenda proselitisasi atau misi penyebaran agama yang terkandung dalam ajaran Islam itu sendiri. Kita lebih akrab menyebutnya dengan dakwah. Secara sempit intinya selalu dimaknai sebagai usaha menambah-nambah jumlah jamaah. Pastinya sering mendengar celotehan “Yuk bisa yuk! Asyhadu ….”.

Pada masalah ini membangun umat adalah soal adu kuantitas, bukan kualitas. Satu orang pindah agama berarti satu tambahan angka, bonus dan diyakini dapat pahala. Dipikir-pikir sepintas mirip sama strategi multi level marketing (MLM) yang suka dipakai buat promosi produk-produk pabrikan.

Jadi entah lewat kamar tidur atau pun mimbar dakwah, bermain satu logika yang sama yakni reproduksi. Pada akhirnya ber-Islam dipahami sebatas proses kaderisasi anggota yang tak pernah henti. Soal menambah anak biologis maupun anak ideologis. Agama jadi saudara kembar dengan partai politik, berkampanye, mendulang suara, dan mengejar target untuk kemenangan kuasa.

Akar yang Sama

Kesamaan antara prokreasi yang diatur ketat dengan proselitisasi, terletak pada pondasi yang sama. Inilah patriarki. Sebuah logika yang tidak hanya mengatur siapa yang boleh tidur sama siapa, tapi juga menentukan siapa yang berhak menafsirkan ajaran dan menentukan aturan keagamaan. Dari arogansi seperti ini gaya beragama yang fundamentalis, eksklusif, dan sering kali berujung mengonservasi nilai-nilai misoginis juga homofobik, terus membangun kekuatan serta merebut klaim kebenaran tunggal.

Dampaknya muncullah berbagai bentuk kekerasan berbasis gender atas nama agama. Perempuan selalu jadi objek yang diatur, keragaman orientasi seksual dianggap ancaman yang berbahaya. Nah begitu juga dalam tarikan garis yang sama. Teologi yang eksklusif selalu merasa benar sendiri dan menuduh pihak lain sesat dan menyimpang. Di dalam akar ini intoleransi meledak dan merajalela.

Dari semua ini, contoh konkretnya tampak pada rilisnya aneka perda yang diskriminatif berbasis agama di Indonesia. Regulasi dengan pola yang konsisten selalu mengatur moralitas perempuan, juga menjegal pendirian rumah ibadah kelompok agama lain. Kasus yang kentara yakni jilbab, kadang dilarang dan kadang juga dipaksa memakainya. Pastinya masalah ini khas banget dengan pengalaman keagamaan perempuan. Perempuan selalu jadi korbannya.

Sekarang kita telah menemukan benang merahnya, sebuah siklus dan mata rantai kekerasan atas nama agama terus berputar. Tafsir seolah lahir di ruang hampa, padahal telah merenggut banyak pilu sebagaimana suara-suara para korban dan penyintas yang memekik menuntut keadilan. Narasi prokreasi langgeng menyusup dalam tulang dan sumsum, bergema lewat pengajian kita. Satu per satu menjelma ribuan kader yang siap meluapkan aspirasi dan ambisi soal hegemoni bagi sesamanya.

Tegas, agama bukanlah suara yang arbitrer. Ia berada di medan semantik mana, ikut bergemuruh di dalam pertarungan sosial-politik yang penuh jumawa.

Refleksi

Seksualitas prokreasi dan dakwah klasik mungkin berguna sebagai cara survival pada awal terbentuknya komunitas umat beriman. Di hari-hari yang lalu, jumlah pengikut sangat menentukan kekuatan apalagi berhadapan dengan kezaliman yang lebih besar. Tapi ketika sudah datang di masa kini, masihkah kita perlu berdiri di atas pandangan ini? Apakah betul kita sedang mempertahankan diri atau sedang berbalas dendam, berbuah represi, dan terlena dengan kekuasaan?

Di dalam nama Allah yang Maha Rahim, ber-Islam seharusnya menggenggam semangat kasih sayang. Laksana rahim yang menumpahkan darah demi menyokong kehidupan yang tumbuh di dalamnya. Dia bukan ambisi menjadi banyak, tapi cerita tentang pengorbanan. Rintih kehamilan adalah bahasa kepedulian. Rahim bukanlah simbol kekerasan, ia adalah tempat kasih sayang tercurah untuk yang pertama kalinya bagi anak-anak Hawa.

Di dalam semangat inilah seharusnya seksualitas Islam diberitakan, juga begitu bagi makna dakwah yang bercita rahmat bagi semesta alam.

Maulid Nabi sebagai Jalan Menemukan Kesetaraan Gender yang Sejati

Perayaan Maulid Nabi Muhammad SAW selalu menjadi momen penuh makna, bukan hanya sebagai ritual keagamaan semata, namun juga sebagai refleksi mendalam atas nilai-nilai universal yang diwariskan Rasulullah.

Di tengah hiruk-pikuk perdebatan kontemporer mengenai isu gender, maulid bisa menjadi titik tolak untuk menemukan kembali hakikat kesetaraan gender dalam Islam. Isu ini sering disalahpahami, sehingga ada yang menolaknya dengan alasan bertentangan dengan tradisi, dan ada pula yang memaksakannya dengan pendekatan yang seragam tanpa melihat konteks nilai Islam.

Padahal, jika kita merujuk pada jejak Nabi, kesetaraan gender bukan gagasan baru, melainkan ruh dari risalah yang dibawanya.

Al-Qur’an secara eksplisit menegaskan kesetaraan eksistensial antara laki-laki dan perempuan. Allah berfirman:

مَنْ عَمِلَ صَالِحًا مِّن ذَكَرٍ أَوْ أُنثَىٰ وَهُوَ مُؤْمِنٌ فَلَنُحْيِيَنَّهُۥ حَيَوٰةً طَيِّبَةً

yang artinya: “Barang siapa yang beramal saleh, baik laki-laki maupun perempuan, sedang ia beriman, maka Kami pasti akan memberikan kepadanya kehidupan yang baik.” (QS. An-Nahl: 97).

Ayat ini menekankan bahwa ukuran utama di sisi Allah adalah amal saleh dan keimanan, bukan jenis kelamin. Rasulullah SAW juga menegaskan hal ini dalam hadits “Sebaik-baik kalian adalah yang paling baik terhadap istrinya.” Hadis ini memperlihatkan bahwa kualitas seorang Muslim diukur dari bagaimana ia memperlakukan perempuan, bukan dari jabatan, harta, atau status sosial.

Ulama klasik seperti Imam al-Ghazali dalam Iyā’ ‘Ulūm al-Dīn menegaskan bahwa relasi antara laki-laki dan perempuan harus dilandasi mu‘āsyarah bi al-ma‘rūf (pergaulan yang baik) sebagaimana diperintahkan dalam Al-Qur’an (QS. An-Nisa: 19).

Al-Ghazali menekankan bahwa keharmonisan rumah tangga dan masyarakat lahir dari sikap adil, penuh kasih sayang, dan penghormatan terhadap martabat perempuan. Sementara itu, Ibn ‘Asyur, ulama besar Tunisia yang dikenal dengan pendekatan maqāid al-sharī‘ah, menambahkan bahwa tujuan utama syariat adalah menjaga martabat manusia tanpa membedakan gender. Dari sini, kita melihat bahwa tradisi ulama klasik sudah memberi ruang luas bagi pemahaman kesetaraan, meskipun istilah “gender” belum digunakan.

Dalam kajian kontemporer, banyak penelitian internasional menggarisbawahi bahwa Islam sebenarnya memiliki landasan kuat bagi kesetaraan gender. Studi dalam Indonesian Journal of Islamic Literature and Muslim Society menunjukkan bahwa pendekatan maqāidī exegesis atau tafsir berbasis tujuan syariat mampu mengoreksi bias patriarkal dalam penafsiran klasik dan menekankan keadilan serta kesetaraan substantif antara laki-laki dan perempuan.

Artikel lain dalam Jurnal Common (2022) mencatat bahwa identitas Muslim sering dijadikan alasan untuk mempertahankan patriarki, padahal teks-teks normatif Islam mendukung peran aktif perempuan dalam ruang publik. Temuan ini mengingatkan kita bahwa problem sesungguhnya bukan pada teks, melainkan pada penafsiran dan praktik sosial yang membelenggunya.

Jika kita menengok ke Indonesia, realitas sosial memberi gambaran yang kompleks. Di satu sisi, banyak perempuan Indonesia telah mencapai posisi penting—anggota DPR, rektor, bahkan menteri. Namun di sisi lain, masih banyak kasus diskriminasi dan kekerasan berbasis gender yang memprihatinkan. Data Komnas Perempuan (2023) mencatat peningkatan kasus kekerasan berbasis gender di ranah domestik.

Perdebatan mengenai RUU Perlindungan Pekerja Rumah Tangga dan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual pun menunjukkan masih kuatnya resistensi patriarki. Hal ini menunjukkan bahwa kesetaraan gender belum sepenuhnya dipahami sebagai bagian dari ajaran Islam, melainkan masih dipandang sebagai agenda luar yang perlu dicurigai.

Menariknya, pesantren sebagai salah satu institusi pendidikan Islam tradisional di Indonesia memberikan kontribusi penting dalam merumuskan paradigma kesetaraan yang khas. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa sejumlah pesantren, khususnya yang dipimpin oleh nyai dan berorientasi pada pemberdayaan perempuan, berhasil mengembangkan kurikulum yang lebih ramah gender.

Di beberapa pesantren Jawa Tengah dan Jawa Timur, misalnya, para santri perempuan didorong untuk terlibat dalam diskusi tafsir Al-Qur’an yang menekankan aspek keadilan gender, bahkan dilibatkan dalam program pemberdayaan ekonomi masyarakat. Model ini membuktikan bahwa pesantren tidak hanya mereproduksi budaya patriarkal, tetapi juga dapat menjadi lokomotif perubahan menuju pemahaman kesetaraan gender yang lebih Islami dan kontekstual.

Spirit Maulid Nabi dalam hal ini sejalan dengan praktik pesantren yaitu melahirkan generasi yang mampu meneladani Nabi dalam memperlakukan perempuan dengan adil, penuh kasih, dan bermartabat. Nabi membangun masyarakat Madinah dengan partisipasi perempuan secara aktif. Di antaranya adalah keterlibatan Khadijah sebagai partner bisnis, Aisyah sebagai guru besar hadis dan tafsir, Ummu Salamah berperan dalam politik, dan banyak sahabiyah lain yang menjadi inspirasi. Semua itu menunjukkan bahwa Maulid tidak sekadar perayaan simbolis, melainkan momentum untuk meneguhkan kembali teladan hidup yang inklusif.

Refleksi dari Maulid Nabi harus diarahkan pada pencarian kesetaraan gender yang sejati, yaitu kesetaraan yang berangkat dari nilai keimanan, keadilan, dan kemaslahatan, bukan dari ideologi sekuler yang menafikan agama, atau dari tradisi patriarkal yang mengkerangkeng perempuan. Kesetaraan gender sejati adalah kesetaraan yang membebaskan. Artinya membebaskan perempuan dari diskriminasi, membebaskan laki-laki dari tekanan maskulinitas semu, dan membebaskan masyarakat dari struktur sosial yang timpang.

Dalam bahasa Ibn Qayyim al-Jauziyyah dikatakan “Al-Syarī‘ah kulluhā ‘adl, wa ramah, wa malaah, wa ikmah” (Syariat seluruhnya adalah keadilan, rahmat, kemaslahatan, dan kebijaksanaan.) Dengan kerangka inilah kita perlu membaca ulang isu gender dalam Islam.

Akhirnya, Maulid Nabi seharusnya menjadi pintu masuk untuk memperkuat kesadaran bahwa Islam adalah agama yang menempatkan manusia dalam kesetaraan derajat. Dari keluarga, pesantren, hingga negara, semua lini bisa menjadikan momen ini sebagai titik tolak untuk membangun peradaban yang lebih adil dan bermartabat.

Kesetaraan gender bukanlah agenda asing, melainkan bagian dari warisan Nabi yang perlu terus dirawat. Dalam cahaya Maulid, kita menemukan jalan untuk meneguhkan makna kesetaraan yang sejati: kesetaraan yang berakar pada iman, dijalankan dengan kasih sayang, dan ditujukan untuk kemaslahatan seluruh umat manusia.

Menelaah Ragam ‘Suara’ dalam Al-Quran

Akhir-akhir ini, kita dihebohkan dengan aneka suara. Ada suara sound horeg yang memekikkan telinga bahkan menghancurkan kehidupan. Meski fatwa ulama sudah mengharamkan, ada seribu pembenaran untuk membolehkan.

Ada pula suara musik yang ditarik pajak royalti. Memang, sebagai sebuah karya seni, sudah selayaknya diapresiasi. Tapi apresiasi juga perlu dilakukan dengan transparansi regulasi.

Ada lagi suara tangisan rakyat yang rekeningnya diblokir. Padahal memang tidak ada transaksi, karena uangnya yang kosong. Alih-alih memberikan pekerjaan bagi pengangguran, justru rekening yang nganggur yang diberikan ‘perhatian’. Duh, Gusti.

Dari semua kasus itu, ada satu benang merah yang menghubungkannya: suara. Ada suara yang tak layak didengar. Ada yang bisa dinikmati dengan bayaran. Ada pula yang menjerit tak didengarkan.

Suara adalah bunyi yang dikeluarkan dari mulut manusia. Demikian makna yang diuraikan dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia. Suara adalah kemampuan dasar manusia. Sejak awal manusia mengenal dunia, suara tangisanlah yang menjadi penanda bahwa sang bayi siap menjalani kehidupan. Dari suara, manusia menuturkan cerita. Kata Yuval Harari, manusia adalah makhluk pencerita. Kemampuan dasar kita, menyebarkan narasi.

Al-Quran yang diyakini oleh umat Islam pun merupakan suara Tuhan atau sering disebut kalamullah. Ulama teolog masa lampau sudah banyak berdebat apakah kalam Tuhan itu adalah entitas sendiri atau menyatu dalam zat Ilahi. Tulisan ini tak akan mengungkit kembali perdebatan klasik itu. Poinnya adalah bahwa kitab suci pun bagian dari suara Ilahi yang disampaikan para nabi. Bahkan suara jenis ini diimani sebagai otoritas tertinggi kebenaran.

Sayangnya, sebagaimana kata Imam Ali, “Wa hadza al-Qur’an innama huwa khatthun masthur baina daffatain, la yanthiqu. Innama yatakallamu bihi al-rijal”, Al-Qur’an  adalah teks tertulis yang diapit dua sampul. Al-Qur’an tidak dapat berbicara. Manusialah yang berbicara melaluinya.”

Jadi, meskipun Al-Quran itu kalamullah, tetapi kebenarannya perlu disuarakan oleh umat Islam. Tanpa disuarakan, Al-Quran hanya berupa lembaran yang tak mampu membebaskan. Dalam konteks ini juga, menyoroti berbagai suara-suara bising yang akhir-akhir ini mencuat, kita dapat mengambil pelajaran dari Al-Quran.

Dalam bahasa Arab, kata suara disebut shaut, dengan bentuk jamak al-ashwat. Dengan menggunakan dua redaksi tersebut, ditemukan empat ayat yang membahasnya.

Janji Manis dan Tipu Daya

Dalam Al-Quran surah al-Isra` ayat 64, Allah Swt berfirman:

وَاسْتَفْزِزْ مَنِ اسْتَطَعْتَ مِنْهُمْ بِصَوْتِكَ وَاَجْلِبْ عَلَيْهِمْ بِخَيْلِكَ وَرَجِلِكَ وَشَارِكْهُمْ فِى الْاَمْوَالِ وَالْاَوْلَادِ وَعِدْهُمْۗ وَمَا يَعِدُهُمُ الشَّيْطٰنُ اِلَّا غُرُوْرًا

Perdayakanlah (wahai Iblis) siapa saja di antara mereka yang engkau sanggup dengan ajakanmu. Kerahkanlah pasukanmu yang berkuda dan yang berjalan kaki terhadap mereka. Bersekutulah dengan mereka dalam harta dan anak-anak, lalu berilah janji kepada mereka.” Setan itu hanya menjanjikan tipuan belaka kepada mereka.

Dalam ayat ini, Allah Swt menyandingkan kata shaut dengan karakter iblis yang suka memberikan janji manis dan tipu daya kepada manusia. Ayat tersebut memberikan kebebasan kepada iblis untuk membujuk dan menggoda keimanan manusia.

Keseluruhan ayat tersebut berbicara tentang rasa ingkar sekaligus sombong iblis kepada Tuhan ketika diperintah sujud menghormati Adam. Mereka menolak dengan angkuh. Lantas Allah pun mengusir mereka dari surga dan mempersilakan iblis untuk mencari kawan di neraka. Kawannya adalah mereka yang terperdaya dengan bujukannya selama hidup di dunia.

Realitasnya, kita menyaksikan iblis berhasil menggoda banyak manusia. Mereka yang punya tabiat sama dengan iblis, yaitu pandai mengeluarkan janji manis. Betapa sering kita mendengar janji para pemimpin setiap lima tahun, tetapi begitu terpilih tiba-tiba amnesia berjamaah.

Suara Bising Tak Bermanfaat

Selain janji manis, dalam ayat lain Allah Swt memberikan ilustrasi seburuk-buruk suara adalah suara keledai. Sebagaimana firman-Nya dalam surah Luqman ayat 19:

وَاقْصِدْ فِيْ مَشْيِكَ وَاغْضُضْ مِنْ صَوْتِكَۗ اِنَّ اَنْكَرَ الْاَصْوَاتِ لَصَوْتُ الْحَمِيْرِ ࣖ

“Berlakulah wajar dalam berjalan dan lembutkanlah suaramu. Sesungguhnya seburuk-buruk suara ialah suara keledai.”

Imam Mujahid memahami ilustrasi suara keledai itu sebagai simbol suara yang jelek sekali. Maka orang yang bersuara keras, menghardik-hardik, sampai seperti akan pecah kerongkongannya, suaranya jadi terbalik, menyerupai suara keledai, tidak enak didengar.

Dalam konteks ini juga, suara keledai bisa dianalogikan dengan suara yang memekikkan telinga sampai dapat menghancurkan pendengaran seperti penggunaan sound horeg.

Suara Ketundukan dan Kasih Sayang

Selain suara yang menyesatkan dan menyakitkan, ada pula jenis suara yang menenteramkan. Sebagaimana firman Allah dalam surah Thaha ayat 108:

يَوْمَىِٕذٍ يَّتَّبِعُوْنَ الدَّاعِيَ لَا عِوَجَ لَهٗ ۚوَخَشَعَتِ الْاَصْوَاتُ لِلرَّحْمٰنِ فَلَا تَسْمَعُ اِلَّا هَمْسًا

Pada hari itu mereka mengikuti (panggilan) penyeru (Israfil) tanpa berbelok-belok. Semua suara tunduk merendah kepada Tuhan Yang Maha Pengasih, sehingga yang kamu dengar hanyalah bisik-bisik.

Ayat ini menggambarkan fenomena akhir zaman ketika semua makhluk menghadap Tuhan dengan suara penuh ketundukan dan mengharap pertolongan. Inilah suara hati nurani yang jauh dari tipu daya dan bualan belaka. Jika di dunia banyak orang yang mengobral janji, maka obralan itu semua dipertanggungjawabkan saat itu.

Kala itu, tak ada lagi suara kebohongan dan kepalsuan, yang ada hanyalah kebenaran. Suara inilah yang seharusnya dirawat sejak masih hidup di dunia. Alih-alih menebar suara ketakutan, kebencian, kesengsaraan, yang diperlukan adalah suara persatuan, kemanusiaan dan keadilan.

“Giving voice to the voiceless”, memberikan ruang kepada mereka yang tak kuasa bersuara. Ada banyak rintihan yang tak terdengar atau memang dibungkam dengan kasar. Spirit agama seharusnya memberikan suara kepada mereka.

Di sinilah relevansi penuturan Imam Ali di atas menemukan konteksnya. Kitab suci harus disuarakan untuk menolong mereka yang lemah dan dilemahkan. Dan orang yang pertama kali membunyikan kalam Ilahi adalah para nabi dan rasul pembawa risalah.

Suara Kenabian

Dalam awal surah al-Hujurat, Allah menegaskan satu kaidah dalam berinteraksi dengan Nabi sekaligus meneruskan suara kenabian sebagai berikut:

يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا لَا تَرْفَعُوْٓا اَصْوَاتَكُمْ فَوْقَ صَوْتِ النَّبِيِّ وَلَا تَجْهَرُوْا لَهٗ بِالْقَوْلِ كَجَهْرِ بَعْضِكُمْ لِبَعْضٍ اَنْ تَحْبَطَ اَعْمَالُكُمْ وَاَنْتُمْ لَا تَشْعُرُوْنَ

Wahai orang-orang yang beriman, janganlah meninggikan suaramu melebihi suara Nabi dan janganlah berkata kepadanya dengan suara keras sebagaimana kerasnya (suara) sebagian kamu terhadap yang lain. Hal itu dikhawatirkan akan membuat (pahala) segala amalmu terhapus, sedangkan kamu tidak menyadarinya.

Ayat tersebut mempunyai dua makna sekaligus berkaitan dengan suara. Pertama, secara zahir, ayat tersebut menegaskan adab dalam bersuara. Etikanya, berbicara dengan orang lain harus memperhatikan intonasinya, apalagi kepada yang lebih tua. Tekanan suara bisa memberikan makna yang berbeda. Sama-sama mengucapkan kata “itu anjing” dengan penekanan yang berbeda, menghasilkan makna yang beragam pula. Bisa berarti umpatan, bisa juga pemberitahuan. Semua tergantung pada intonasi.

Kedua, secara makna, ayat itu bisa dipahami sebagai larangan menyelisihi suara kenabian. Apa yang disampaikan oleh Nabi harus ditaati dan diikuti, bukan justru dilanggar dengan suara lantang dan sikap yang sombong. Ketika Nabi sepanjang hidupnya lebih banyak berinteraksi dengan kelompok al-mustadh’afin, mereka yang tak mampu bersuara, maka sebagai umat Nabi, kita perlu melanjutkan akhlak beliau.

Setidaknya, ketika kita tidak mampu memberikan ruang kepada kelompok tertindas, jangan justru bersahabat dengan para penindas. Ini jelas melukai hati Nabi.

Suara Hati

Inilah pentingnya memahami suara hati. Ia memang tidak terucap dalam verbal, tetapi menghunjam dalam kalbu. Sebagai manusia, Tuhan telah memberikan potensi suara hati. Apa itu suara hati? Nabi Saw pernah memberikan nasihat kepada sahabatnya yang bernama Wabishah. “Istafti qalbak, mintalah fatwa pada hatimu, karena kebaikan adalah yang membuat tenang jiwa dan hatimu. Dan dosa adalah yang membuat bimbang hatimu dan guncang dadamu.”

Inilah suara hati, meskipun orang bisa berbohong dalam lisannya, tetapi hati kecilnya pasti mengingkari. Sayangnya, suara hati itu tersembunyi, tak dapat didengar kecuali oleh mereka yang masih punya hati.

Islam Melindungi Anak: Jalan Menuju Generasi Rahmatan lil ‘Alamin

Dalam Islam, anak bukan hanya bagian dari keluarga, melainkan amanah langsung dari Allah Swt. Mereka adalah titipan yang harus dijaga kehormatannya, tumbuh kembangnya, dan hak-haknya. Dalam sebuah ayat, Allah berfirman, “Sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dalam bentuk yang sebaik-baiknya” (QS At-Tin: 4). Ini merupakan fondasi teologis yang menegaskan bahwa anak-anak memiliki martabat dan kehormatan yang harus dijaga sejak awal kehidupan mereka.

Kekerasan terhadap anak, baik dalam bentuk fisik, psikis, seksual, verbal, maupun eksploitasi, bukan saja bertentangan dengan nilai-nilai kemanusiaan, tetapi juga merupakan pelanggaran terhadap prinsip-prinsip syariat. Dalam Al-Qur’an, pembunuhan satu jiwa diibaratkan sebagai pembunuhan seluruh umat manusia (QS Al-Maidah: 32). Maka menyakiti dan merampas hak tumbuh-kembang seorang anak adalah kezaliman yang dampaknya bisa meluas hingga mencederai masa depan umat.

Islam memberikan perhatian besar pada pemenuhan hak anak. Nabi Muhammad Saw. menekankan pentingnya memberi nama yang baik, memperlakukan anak dengan kasih sayang, serta memastikan mereka mendapat pendidikan dan perlindungan. Bahkan, dalam sebuah hadis, Rasulullah bersabda: “Bukanlah termasuk golongan kami orang yang tidak menyayangi anak kecil dan tidak menghormati yang tua” (HR. Tirmidzi). Ini menunjukkan bahwa kasih sayang terhadap anak bukan sekadar etika sosial, tetapi bagian dari keimanan.

Kekerasan dan Diskriminasi Bukan Bagian dari Fitrah Islam

Hari ini, pelbagai bentuk kekerasan yang masih menimpa anak, baik dalam rumah tangga, lembaga pendidikan, hingga media daring, adalah manifestasi dari rusaknya tatanan sosial dan lemahnya pemahaman terhadap ajaran Islam yang rahmatan lil ‘alamin. Padahal Islam secara tegas menolak segala bentuk perlakuan yang menjatuhkan martabat anak, termasuk diskriminasi berbasis gender, pekerjaan berat yang membahayakan, maupun pernikahan anak yang dipaksakan.

Prinsip la yukallifullāhu nafsan illā wus‘ahā (Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai kesanggupannya) (QS Al-Baqarah: 286) menjadi dasar teologis untuk menolak segala bentuk pemaksaan terhadap anak, termasuk dalam praktik perkawinan dini. Begitu pula, praktik-praktik seperti khitan perempuan yang tidak memiliki dasar syariat dan tidak mendatangkan manfaat medis, seharusnya dihentikan karena bertentangan dengan maqashid syariah: yakni menjaga jiwa, akal, dan keturunan.

Mengarusutamakan Perlindungan Anak dalam Syariat dan HAM

Dalam pemartabatan anak dan perempuan, mengambil konsep HAM sudah sesuai dengan syariat Islam. Islam dan prinsip-prinsip Hak Asasi Manusia tidaklah bertentangan. Keduanya justru dapat saling menguatkan dalam menjaga harkat dan martabat anak. Hak hidup, hak mendapatkan kasih sayang, pendidikan, kesehatan, dan pengasuhan adalah hak-hak dasar anak yang juga merupakan bagian dari ajaran Islam.

Lebih jauh, dalam konteks kenegaraan, perlindungan anak bukan hanya tanggung jawab orang tua, tetapi juga tanggung jawab masyarakat dan negara. Hal ini selaras dengan UU No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, yang mendasarkan prinsip pelindungan anak pada nilai-nilai Pancasila dan UUD 1945. Hal demikian mengacu pada konvensi internasional tentang hak anak. Negara telah memiliki regulasi dan instrumen hukum yang lengkap, yang kini tinggal menunggu komitmen kolektif untuk diterapkan dengan serius dan konsisten.

Islam juga melarang segala bentuk kekerasan dalam pendidikan. Dalam pengajaran dan proses pedagogis, pendekatan penuh kasih dan non-kekerasan harus diutamakan. Rasulullah tidak pernah memukul anak-anak, bahkan ketika mereka melakukan kesalahan. Beliau memilih membimbing dengan sabar, menyentuh hati dengan akhlak, dan menunjukkan teladan yang baik.

Urgensi Preventif: Menanamkan Nilai, Memperkuat Sistem

Perlindungan terhadap anak tidak cukup dilakukan setelah kekerasan terjadi. Upaya preventif lebih utama dan sangat dianjurkan dalam Islam. Memberi anak pondasi keimanan, budi pekerti, dan kasih sayang sejak dini adalah kunci agar mereka tumbuh menjadi pribadi tangguh, adil, dan mulia.

Dalam hal ini, negara dan masyarakat harus bergandengan tangan menyediakan ruang aman bagi anak. Pemerintah perlu memperkuat kapasitas lembaga perlindungan anak, memperluas akses ke layanan pengaduan, serta meningkatkan literasi masyarakat tentang kekerasan berbasis gender dan anak.

Keluarga, sebagai madrasah pertama, juga harus menjadi tempat yang aman dan nyaman, bukan sumber trauma dan kekerasan. Tugas kita bersama adalah membangun lingkungan yang menghargai hak anak sebagai manusia seutuhnya, bukan sekadar “milik” orang tua, budak atau alat pencitraan sosial.

Menjadi Generasi Penjaga Titipan Ilahi

Anak-anak adalah harapan masa depan, pewaris peradaban, dan cerminan keimanan kita hari ini. Maka, siapa yang menyakiti mereka, sejatinya telah merusak tatanan dunia yang dipercayakan Allah kepada manusia. Islam telah memberikan tuntunan yang sangat lengkap untuk melindungi anak, baik dari segi spiritual, hukum, maupun sosial.

Kini saatnya kita bertanya: sudahkah kita menjadi penjaga titipan Ilahi itu dengan sebaik-baiknya?

Teladan Rabiah Al-Adawiyah: Kala Cinta Tak Sekadar #RelationshipGoals

Di tengah dunia yang penuh dengan gempuran visual dan tren di media sosial, seperti #RelationshipGoals yang sering mempromosikan gambaran cinta sempurna dan idealis, kita harus berhenti sejenak dan bertanya, apa sebenarnya arti cinta yang sejati? Sebuah cinta yang melampaui sekadar tampilan luar dan kekaguman sesaat. Di sinilah sosok Rabi’ah al-Adawiyah, seorang sufi perempuan abad ke-8, yang memberikan pandangan mendalam tentang cinta yang jauh lebih berharga dan transendental daripada apa yang kita kenal selama ini.

Siapa Sosok Rabi’ah al-Adawiyah?

Rabi’ah al-Adawiyah lahir di Basra, Irak sekitar abad ke-8 serta dikenal sebagai salah satu sufi perempuan yang paling dihormati dalam sejarah Islam. Sejak muda, kehidupannya dipenuhi dengan pengorbanan dan pengabdian kepada Tuhan. Dikenal karena pilihannya untuk tidak menikah dan menolak segala bentuk hubungan duniawi, ia mengabdikan hidupnya untuk merasakan kedekatan dengan Allah SWT yang tiada tara.

Keputusannya untuk tidak menikah bukanlah karena ia menolak cinta atau hubungan dengan manusia. Namun sebaliknya, ini adalah pilihan yang secara sengaja diambil untuk memberikan seluruh perasaan dan kecintaannya hanya kepada Sang Pencipta. Baginya, cinta kepada Allah Swt merupakan sesuatu yang murni dan tidak boleh ternodai oleh kepentingan duniawi. Sebab bentuk cintanya merupakan pengabdian tanpa syarat dan sepenuhnya menyatu dengan spiritualitas.

Cinta yang Tidak Terbatas oleh Dunia

Rabi’ah al-Adawiyah mengajarkan kita bahwa cinta sejati bukanlah cinta yang hanya terikat oleh dunia. Sebagaimana kita hidup di dunia saat ini, kala banyak orang berusaha mencari cinta yang memuaskan ego dan mengharapkan balasan materi atau perhatian. Di media sosial, kita sering melihat pasangan-pasangan yang memperlihatkan momen kebahagiaan mereka, berharap mendapatkan pengakuan dari orang lain.

Namun, cinta yang seperti ini cenderung bersifat sementara dan mudah pudar. Berbeda dengan itu, Rabi’ah al-Adawiyah mengajarkan bahwa cinta yang sejati, yaitu cinta kepada Allah Swt, tidak terikat oleh materi atau pengakuan dari orang lain. Cinta kepada Allah Swt bukan karena takut akan siksa-Nya atau berharap pahala surga. Melainkan, cinta yang tulus datang karena kecintaan itu sendiri sebagai bentuk pengabdian yang jauh lebih dalam dan lebih abadi.

Salah satu kutipan terkenal dari Rabi’ah al-Adawiyah yang menggambarkan konsep mahabbah ialah “Ya Allah, jika aku menyembah-Mu karena takut akan siksa-Mu, maka bakarlah aku dalam api neraka. Jika aku menyembah-Mu karena menginginkan surga-Mu, maka jauhkanlah aku darinya. Tetapi jika aku menyembah-Mu karena cinta kepada-Mu, maka jangan pernah pisahkan aku dari-Mu.” Dalam ungkapan ini, Rabi’ah al-Adawiyah menunjukkan bahwa cintanya kepada Allah Swt bukanlah untuk mendapatkan imbalan apa pun, melainkan semata-mata untuk Allah Swt itu sendiri.

Mahabbah sebagai Bentuk Cinta yang Membebaskan

Konsep mahabbah dalam tasawuf menggambarkan cinta yang murni dan mengikat jiwa seseorang hanya kepada Tuhan. Mahabbah bukan sekadar perasaan atau emosi, melainkan sebuah keadaan spiritual yang membawa seseorang pada kedamaian, kebahagiaan, dan ketenangan batin yang sejati sebagai bentuk cinta yang menggerakkan hati untuk selalu mendekatkan diri kepada Allah, mengutamakan-Nya dalam segala hal, dan hidup dalam keridhaan-Nya.

Rabi’ah al-Adawiyah menjadi simbol hidup dari cinta yang membebaskan. Cinta ini bukanlah beban atau tuntutan, melainkan sebuah anugerah yang membebaskan jiwa dari kecemasan duniawi dan kekhawatiran. Ketika seseorang mencintai Allah dengan sepenuh hati, ia tidak lagi terikat oleh keinginan-keinginan dunia yang sifatnya sementara.

Sebaliknya, ia bebas untuk hidup dengan penuh pengabdian dan ketulusan, yang tidak bergantung pada status sosial atau pujian orang lain. Adapun dalam kehidupan sehari-hari, kita sering terjebak dalam cinta yang bersifat duniawi dan materialistis. Kita mencari kepuasan melalui kekayaan, kekuasaan, atau hubungan yang hanya menguntungkan diri sendiri.

Namun, Rabi’ah al-Adawiyah mengajarkan kita bahwa cinta sejati adalah cinta yang tidak terikat pada dunia ini. Cinta yang mengarah pada Tuhan akan memberikan kebebasan sejati, yakni kebebasan dari segala sesuatu yang mengikat dan membelenggu jiwa.

Konsep Cinta Tanpa Batas Rabi’ah al-Adawiyah

Rabi’ah al-Adawiyah adalah contoh sejati bahwa cinta tidak terbatas hanya pada hubungan antar manusia. Rabi’ah al-Adawiyah menunjukkan bahwa cinta kepada Tuhan bisa menjadi pusat hidup yang memberikan kedamaian, kebahagiaan dan kedalaman makna. Dalam dunia modern ini, kita sering kali terjebak dalam pencarian cinta yang semu, yakni hubungan cinta dengan pasangan sering kali hanya didorong oleh ego dan keinginan pribadi.

Namun, beliau mengajarkan kita bahwa cinta yang paling murni dan abadi adalah cinta yang kita berikan kepada Tuhan, tanpa syarat dan tanpa mengharapkan imbalan. Cinta ini adalah jalan untuk menuju kedamaian batin dan kebahagiaan yang sejati. Itu adalah cinta yang bukan hanya terlihat di luar, tetapi terasa dalam setiap tindakan, setiap kata, dan setiap niat.

Lebih Dari #RelationshipGoals

Meskipun banyak orang mencari cinta di dunia ini dan memperlihatkannya ke publik melalui media sosial, Rabi’ah al-Adawiyah mengingatkan kita bahwa cinta yang sejati tidak perlu diperlihatkan kepada orang lain. Cinta sejati adalah cinta yang tulus, tanpa perlu pembenaran atau pengakuan eksternal. Sebab bentuk cinta demikian datang dari hati yang bersih dan ikhlas, yang tidak mencari keuntungan atau pengakuan, tetapi hanya menginginkan kedekatan dengan Sang Pencipta.

Di era digital ini, di mana standar seperti #RelationshipGoals banyak mengatur cara kita melihat hubungan, Rabi’ah al-Adawiyah mengajak kita untuk berpikir lebih dalam. Cinta bukan hanya soal penampilan luar atau momen-momen indah yang bisa diunggah di media sosial. Cinta sejati adalah tentang keikhlasan, pengorbanan, dan pengabdian tanpa syarat kepada Allah Swt. Cinta yang dimiliki Rabi’ah al-Adawiyah adalah cinta yang mengajarkan kita untuk mencintai dengan sepenuh hati, tanpa harapan balasan duniawi dan untuk mengutamakan Tuhan di atas segalanya. Dalam dunia yang sering terjebak dalam penampilan dan pencapaian sementara, mari kita renungkan kembali arti cinta yang sejati, yang lebih dari sekadar #RelationshipGoals.

Kurban Berkelanjutan: Upaya Bijak Merawat Alam

Selamat Iduladha! Hari raya Iduladha identik dengan ibadah kurban. Ibadah kurban menjadi peringatan perjalanan spiritual Nabi Ibrahim As yang bermimpi mengorbankan anaknya, Ismail atas perintah Allah. Saat akan dikorbankan, Allah menggantinya dengan seekor kambing. Hikmah  perjalanan spiritual Nabi Ibrahim As tersebut kemudian menjadi ibadah yang dilakukan oleh umat Muslim di seluruh dunia.

Dalam khutbah “Iduladha dan Eko-teologi: Pengorbanan untuk Keberlanjutan Alam” oleh Menteri Agama Prof. Nasaruddin Umar, beliau menjelaskan bahwa hikmah dalam berkurban yaitu upaya untuk melestarikan alam. Beliau menjelaskan bahwa berkurban adalah upaya menjaga jumlah hewan ternak agar tidak berlebihan. Jika hewan ternak terlalu banyak, bisa terjadi masalah lingkungan seperti rusaknya tanah, berkurangnya tanaman, dan tercemarnya air. Melalui ibadah kurban, jumlah hewan ternak bisa tetap seimbang.

Kurban di Indonesia

Di Indonesia, hewan yang dikurbankan biasanya berupa kambing, domba, kerbau atau sapi. Berbeda dengan kebiasaan di Timur Tengah yang kerap menjadikan unta sebagai pilihan lainnya saat berkurban. Hal tersebut disebabkan oleh perbedaan kondisi geografis Di wilayah Timur Tengah. Unta merupakan hewan yang lebih umum dijumpai dan memiliki nilai ekonomi yang tinggi. Selain itu, unta juga mampu bertahan hidup di daerah gurun yang kering, sehingga lebih mudah dipelihara di sana. Sementara itu, di Indonesia, kondisi lingkungan yang lebih tropis membuat kambing, domba, dan sapi lebih mudah dipelihara dan tersedia dalam jumlah yang cukup.

Berdasarkan data dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan 2023, estimasi jumlah konsumsi hewan kurban sebesar 1.743.051 ekor yang terdiri dari kambing, sapi, domba dan kerbau. Berdasarkan data tersebut, masih banyak orang menggunakan kantong plastik sekali pakai untuk membagikan daging kurban. Diperkirakan terdapat sekitar 119.033.720 lembar kantong plastik yang menjadi sampah.

Sangat disayangkan jika momen beribadah justru malah menimbulkan madharat yang juga berdampak besar kepada lingkungan. Terlebih, plastik sekali pakai membutuhkan berjuta-juta tahun untuk dapat terurai. Oleh karenanya, penting bagi seluruh umat Muslim untuk memperhatikan aspek ekologis dalam berkurban. Sehingga, proses ibadah dapat membawa kebermanfaatan yang lebih banyak baik bagi sesama manusia dan keberlanjutan alam.

Kurban dalam Perspektif Ekologis

Al-Qur’an dalam Surah Al-An’am ayat 38 yang memiliki arti: “Tidak ada seekor hewan pun (yang berada) di bumi dan burung-burung yang terbang dengan kedua sayapnya, melainkan semuanya merupakan umat (juga) seperti kamu. Tidak ada sesuatu pun yang Kami luputkan di dalam kitab, kemudian kepada Tuhannya mereka dikumpulkan.” Ayat tersebut menjelaskan bahwa semua makhluk hidup saling berhubungan dan saling membutuhkan. Allah menciptakan berbagai macam ekosistem yang membentuk alam semesta. Sebagai manusia, kita diberi tugas untuk menjaga dan menghormati semua bentuk kehidupan, terutama lingkungan dan alam.

Dengan demikian, setiap kehidupan yang ada di bumi merupakan bentuk penciptaan yang sempurna. Oleh karenanya, bukan perilaku yang bijaksana jika umat Islam merusak atau menghilangkan kehidupan yang ada. Apalagi melakukan ibadah, tetapi di sisi lain dapat menimbulkan kerusakan.

Penyelenggaraan kurban, tidak hanya berfokus pada pembagian daging kepada masyarakat. Di sisi lain, proses pemotongan hewan kurban juga perlu diperhatikan. Apalagi proses penyembelihan hewan kurban juga menghasilkan limbah. Oleh karenanya, penting bagi umat Islam untuk memperhatikan proses penyembelihan agar tidak berdampak pada pencemaran lingkungan.

Misalnya, saat proses pemotongan hewan kurban berlangsung, limbah seperti darah hewan tidak boleh langsung dibuang begitu saja ke saluran air atau tanah terbuka. Darah hewan yang dibuang sembarangan dapat mencemari lingkungan, terutama sumber air di sekitarnya seperti sungai, selokan, atau sumur warga. Jika limbah tersebut bercampur dengan air bersih, maka dapat menyebabkan pencemaran dan membahayakan kesehatan masyarakat.

Oleh karena itu, darah dan limbah lainnya perlu diolah atau ditampung terlebih dahulu, misalnya dengan membuat lubang khusus sebagai tempat pembuangan, lalu ditimbun dengan tanah setelah selesai. Selain lebih bersih, cara ini juga membantu menjaga lingkungan tetap sehat dan tidak menimbulkan bau yang mengganggu.

Selain itu, dalam pembagian daging, dianjurkan untuk menggunakan wadah yang ramah lingkungan. Penggunaan wadah yang ramah lingkungan dapat menyesuaikan dengan alternatif wadah lokal. Contohnya, di Jawa bisa pakai besek atau daun pisang. Di Aceh pakai daun nipah. Di Maluku ada anyaman daun gamutu. Di Kalimantan bisa pakai bronsong, kreneng, atau purun. Alternatif lainnya ialah masyarakat membawa wadah sendiri dari rumah untuk menghindari penggunaan plastik sekali pakai.

Hikmah Kurban Berkelanjutan untuk Penyelamatan Alam

Jika kita telaah lebih lanjut, kurban dengan memperhatikan aspek-aspek ekologis akan membawa banyak manfaat bagi masyarakat dan lingkungan. Hubungan manusia dengan Tuhan (hablumminallah), manusia dengan manusia (hablumminannas), dan manusia dengan alam (hablumminal alam) dapat terjalin dengan baik.

Adapun kurban yang dilakukan dengan memperhatikan lingkungan membawa banyak manfaat. Hewan yang dirawat di lingkungan sehat akan menghasilkan daging berkualitas, sehingga ibadah kurban menjadi maksimal sebagai bentuk hubungan yang baik dengan Allah (hablumminallah). Daging yang berkualitas kemudian dibagikan kepada sesama. Sehingga dapat mempererat hubungan sosial dan rasa kepedulian antar manusia (hablumminannas). Selain itu, dengan mengelola limbah kurban dengan benar dan mengurangi penggunaan plastik sekali pakai dapat meningkatkan hubungan manusia dengan alam (hablumminal alam) untuk menjaga kelestarian alam dari pencemaran dan kerusakan.

Oleh karenanya, tradisi kurban dengan memperhatikan sisi ekologis harus kita rawat setiap tahunnya. Hal tersebut berguna agar kurban yang dilakukan dapat berkelanjutan dan tidak membawa kerusakan bagi lingkungan. Kurban berkelanjutan mendorong kita untuk lebih bijak dalam memilih hewan, mengelola proses penyembelihan, serta mengurangi dampak negatif terhadap alam melalui pengelolaan limbah dan penggunaan bahan ramah lingkungan. Jika dilakukan secara konsisten, kurban yang ramah lingkungan dapat menjadi upaya penyelamatan alam, sekaligus memperkuat nilai-nilai keberlanjutan dalam praktik baik keagamaan.

Mengambil Ibrah dari Ibrahim

Mengawali Juni ini, bukan hanya “Hujan Bulan Juni” Eyang Sapardi yang disakralkan. Tahun ini, umat Islam pun akan ‘menyakralkan’ dengan melaksanakan ibadah kurban. Satu tradisi keagamaan yang sangat tua dimulai dari kehidupan Nabi Ibrahim dan putranya. Nabi Ibrahim—Abraham dalam bahasa Ibrani, adalah sosok penting dalam tradisi agama semitik: Yahudi, Kristiani, dan Islam. Karenanya ketiga agama ini juga sering disebut Abrahamic Religion. Dalam tradisi Kekristenan, Abraham disebut sebagai Bapak para bangsa. Karena darinya melahirkan keturunan para nabi dari berbagai suku.

Salah satu bagian kehidupan Ibrahim yang dapat diambil pelajaran adalah peristiwa pengurbanan. Memang terdapat perbedaan terkait siapa sosok yang dikurbankan? Ishaq atau Ismail? Tradisi Alkitab mengimani Ishaq, sedangkan tradisi Qur’ani yang dilahirkan oleh para mufasir mayoritas memilih Ismail. Meskipun ada sedikit mufasir yang mengunggulkan Ishaq, seperti Muqatil bin Sulaiman dan at-Thabari dalam beberapa riwayat.

Meski demikian, tak perlu berdebat lebih jauh. Sebab pada akhirnya, keduanya tidak dikurbankan. Hewan ternak menjadi pengganti dari darah manusia yang akan disembelih. Potret ini memberikan pelajaran penting betapa Tuhan ingin menetapkan satu aturan baru: tidak boleh ada lagi pertumpahan darah manusia yang mengatasnamakan Tuhan. Kalau belajar sejarah dunia, kita akan mengetahui bahwa saat itu telah menjadi kelaziman bagi masyarakat mengurbankan manusia yang dipersembahkan untuk dewa. Praktik itu berlangsung terus-menerus hingga kedatangan Nabi Ibrahim. Pengurbanan ini memberikan makna baru bahwa manusia mempunyai harga diri yang tinggi.

Nilai kemanusiaan ini yang perlu dipahami lebih dalam ketika melaksanakan ibadah kurban. Alih-alih berhenti pada sosok hewan yang disembelih. Ada yang menggunakan kambing, domba, sapi, unta dan kerbau. Mana yang lebih mulia? Kata Allah, yang mulia adalah yang bertakwa. Esensi pengurbanan adalah ketakwaan yang utama. Sebagaimana yang termaktub dalam Surat Al-Hajj ayat 37:

لَنْ يَّنَالَ اللّٰهَ لُحُوْمُهَا وَلَا دِمَاۤؤُهَا وَلٰكِنْ يَّنَالُهُ التَّقْوٰى مِنْكُمْۗ كَذٰلِكَ سَخَّرَهَا لَكُمْ لِتُكَبِّرُوا اللّٰهَ عَلٰى مَا هَدٰىكُمْ ۗ وَبَشِّرِ الْمُحْسِنِيْنَ ٣٧

Daging (hewan kurban) dan darahnya itu sekali-kali tidak akan sampai kepada Allah, tetapi yang sampai kepada-Nya adalah ketakwaanmu. Demikianlah Dia menundukkannya untukmu agar kamu mengagungkan Allah atas petunjuk yang Dia berikan kepadamu. Berilah kabar gembira kepada orang-orang yang muhsin.

Maka bagi mereka yang berkurban, seharusnya yang dikurbankan bukan hanya daging hewan, tetapi juga sifat kebinatangan yang melekat pada diri ini. Agar sepenuhnya menjadi manusia, kita perlu menyisihkan dimensi hewani yang juga melekat pada diri ini. Inilah ibrah pertama dari pengurbanan.

Pelajaran berikutnya yang juga tidak kalah penting adalah kehadiran ayah dalam keluarga. Nabi Ibrahim adalah figur ayah yang hadir bagi anak dan istrinya. Sikap yang juga hari ini makin jarang ditemukan dalam potret keluarga Indonesia. Menurut UNICEF, pada tahun 2021, ada sekitar 20,8% anak Indonesia yang tumbuh tanpa kehadiran sosok ayah (fatherless). Hal ini berarti dari 30 juta lebih anak usia dini, ada 3 juta anak yang kehilangan figur bapak. Dalam Al-Quran Surat As-Shaffat ayat 101-110, Allah Swt merekam dialog apik antara Ibrahim dan putranya.

فَبَشَّرْنٰهُ بِغُلٰمٍ حَلِيْمٍ ١٠١ فَلَمَّا بَلَغَ مَعَهُ السَّعْيَ قَالَ يٰبُنَيَّ اِنِّيْٓ اَرٰى فِى الْمَنَامِ اَنِّيْٓ اَذْبَحُكَ فَانْظُرْ مَاذَا تَرٰىۗ قَالَ يٰٓاَبَتِ افْعَلْ مَا تُؤْمَرُۖ سَتَجِدُنِيْٓ اِنْ شَاۤءَ اللّٰهُ مِنَ الصّٰبِرِيْنَ ١٠٢ فَلَمَّآ اَسْلَمَا وَتَلَّهٗ لِلْجَبِيْنِۚ ١٠٣ وَنَادَيْنٰهُ اَنْ يّٰٓاِبْرٰهِيْمُ ۙ ١٠٤ قَدْ صَدَّقْتَ الرُّءْيَا ۚاِنَّا كَذٰلِكَ نَجْزِى الْمُحْسِنِيْنَ ١٠٥ اِنَّ هٰذَا لَهُوَ الْبَلٰۤؤُا الْمُبِيْنُ ١٠٦ وَفَدَيْنٰهُ بِذِبْحٍ عَظِيْمٍ ١٠٧ وَتَرَكْنَا عَلَيْهِ فِى الْاٰخِرِيْنَ ۖ ١٠٨ سَلٰمٌ عَلٰٓى اِبْرٰهِيْمَ ١٠٩ كَذٰلِكَ نَجْزِى الْمُحْسِنِيْنَ ١١٠

Maka, Kami memberi kabar gembira kepadanya dengan (kelahiran) seorang anak (Ismail) yang sangat santun. 102. Ketika anak itu sampai pada (umur) ia sanggup bekerja bersamanya, ia (Ibrahim) berkata, “Wahai anakku, sesungguhnya aku bermimpi bahwa aku menyembelihmu. Pikirkanlah apa pendapatmu?” Dia (Ismail) menjawab, “Wahai ayahku, lakukanlah apa yang diperintahkan (Allah) kepadamu! Insyaallah engkau akan mendapatiku termasuk orang-orang sabar.” 103. Ketika keduanya telah berserah diri dan dia (Ibrahim) meletakkan pelipis anaknya di atas gundukan (untuk melaksanakan perintah Allah), 104. Kami memanggil dia, “Wahai Ibrahim, 105. sungguh, engkau telah membenarkan mimpi itu.” Sesungguhnya demikianlah Kami memberi balasan kepada orang-orang yang berbuat kebaikan. 106. Sesungguhnya ini benar-benar suatu ujian yang nyata. 107. Kami menebusnya dengan seekor (hewan) sembelihan yang besar. 108. Kami mengabadikan untuknya (pujian) pada orang-orang yang datang kemudian, 109. “Salam sejahtera atas Ibrahim.” 110. Demikianlah Kami memberi balasan kepada orang-orang yang berbuat kebaikan.

Pada ayat 102, terekam panggilan mesra Nabi Ibrahim kepada sang anak dengan ungkapan, yaa bunayya. Secara gramatikal, bentuk tersebut menyiratkan kasih sayang yang teramat dari sang nabi. Hal ini menegaskan kehadiran beliau sebagai ayah, bukan hanya sebatas fisik, tetapi juga psikis. Ia hadir aktif menemani anaknya bertumbuh. Dari pendidikan Ibrahim dan Hajar, melahirkan anak yang saleh dan taat.

Ini juga menjadi pola parenting yang penting untuk dipahami. Bahwa untuk melahirkan generasi hebat, orang tuanya terlebih dahulu harus taat. Anak adalah cerminan dari perilaku orang tuanya. Karenanya, peningkatan kasus kenakalan remaja saat ini dapat dikaitkan dengan ketiadaan orang tua dalam pendidikan di rumah. Ketika semua sibuk dengan pekerjaan, anak jadi kehilangan panutan. Maka iduladha perlu dipahami tidak sebatas menyembelih hewan, tetapi juga mengurbankan waktu dan fisik kita untuk orang-orang tercinta. Boleh jadi yang diharapkan oleh anak itu bukan harta melimpah, tetapi adanya orang tua yang memberikan warna masa kecilnya.

Selain soal kehadiran orang tua, dari Nabi Ibrahim pula kita belajar semangat dialogis dalam menyikapi berbagai persoalan. Konteks pendidikan, kita pun melihat betapa Ibrahim mau mendengarkan suara anaknya. Ia tidak menjadi orang tua yang otoriter. Bahwa generasi dulu pasti selalu benar. Terlebih, apa yang disampaikan oleh Ibrahim sebenarnya adalah perintah Tuhan. Itu syariat yang harus dilaksanakan. Dari sini kita belajar, bahwa syariat yang pasti benar pun tidak bisa dilakukan dengan semena-mena. Perlu konsen, persetujuan dari orang lain. Harus ada dialog, tidak main asal golok.

Spirit dialog ini juga dapat kita lihat dalam kisah Ibrahim dengan Tuhannya sebagaimana terekam dalam surat Al-Baqarah ayat 260:

وَاِذْ قَالَ اِبْرٰهٖمُ رَبِّ اَرِنِيْ كَيْفَ تُحْيِ الْمَوْتٰىۗ قَالَ اَوَلَمْ تُؤْمِنْ ۗقَالَ بَلٰى وَلٰكِنْ لِّيَطْمَىِٕنَّ قَلْبِيْ ۗقَالَ فَخُذْ اَرْبَعَةً مِّنَ الطَّيْرِ فَصُرْهُنَّ اِلَيْكَ ثُمَّ اجْعَلْ عَلٰى كُلِّ جَبَلٍ مِّنْهُنَّ جُزْءًا ثُمَّ ادْعُهُنَّ يَأْتِيْنَكَ سَعْيًا ۗوَاعْلَمْ اَنَّ اللّٰهَ عَزِيْزٌ حَكِيْمٌ ࣖ ٢٦٠

(Ingatlah) ketika Ibrahim berkata, “Ya Tuhanku, perlihatkanlah kepadaku bagaimana Engkau menghidupkan orang-orang mati.” Dia (Allah) berfirman, “Belum percayakah engkau?” Dia (Ibrahim) menjawab, “Aku percaya, tetapi agar hatiku tenang.” Dia (Allah) berfirman, “Kalau begitu, ambillah empat ekor burung, lalu dekatkanlah kepadamu (potong-potonglah). Kemudian, letakkanlah di atas setiap bukit satu bagian dari tiap-tiap burung. Selanjutnya, panggillah mereka, niscaya mereka datang kepadamu dengan segera.” Ketahuilah bahwa Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.

Mari perhatikan dengan seksama ayat tersebut. Ada hal menarik sebagaimana dialog Ibrahim dan putranya dalam ibadah kurban. Ayat tersebut juga menyiratkan dialog sang khalilullah dengan Allah terkait ketauhidan, sosok ketuhanan. Alih-alih Allah melarang atau menegasikan pertanyaan Ibrahim, Dia justru memberikan jawaban yang menguatkan hati Ibrahim. Dalam hal ini, Nabi Ibrahim telah memberikan contoh bagaimana beriman dengan pengetahuan, bukan percaya tanpa argumen nyata.

‘Ala kulli hal, ada tiga ibrah dari Ibrahim. Pertama, spirit pengurbanan adalah untuk menghidupkan nilai-nilai ketakwaan, menempatkan Tuhan di atas segala hal yang dicintai. Kedua, kehadiran orang tua terutama ayah menjadi penting untuk melahirkan generasi berkualitas. Ketiga, dialog atau musyawarah perlu dilakukan dalam segala aspek: ibadah maupun muamalah. Akhirnya, mampukah kita menjadi Ibrahim baru di era modern? Wallahu  a’lam.

Kurban Anak Perempuan

Dan apabila bayi-bayi perempuan

yang dikubur hidup-hidup ditanya,

karena dosa apa dia dibunuh?

(QS. at-Takwir, 81: 8-9)

 

Seandainya Nabi Ibrahim as. hanya punya anak perempuan untuk dikurbankan, seandainya Ismail (atau Ishak menurut Alkitab) adalah seorang anak perempuan, apakah peristiwa pengurbanan itu akan sebegitu menggetarkan umat manusia? Untuk menjawab pertanyaan menggugat ini, kita perlu menengok kembali salah satu ayat Al-Quran dengan perspektif antropolog modern.

Pada zaman Nabi Muhammad (571-634 M), yang tentu saja sangat jauh terpaut dengan masa Ibrahim (hidup sekitar 2166 SM), nilai seorang anak lelaki sangat-sangat lebih tinggi daripada anak perempuan. Contoh terbaik adalah usaha pengorbanan Abdullah (ayah Nabi Muhammad sendiri). Abdul Muththalib, ayah Abdullah dan sekaligus kakek tercinta dan pelindung Nabi Muhammad berusaha untuk mengurbankan anak lelaki pertamanya itu. Usaha pengurbanan ini tergagalkan karena ditebus dengan 100 unta—saat ini, harga satu unta untuk diperah susunya berkisar 60 juta ke atas.

Bandingkan nilai 100 unta itu dengan nilai anak perempuan. Sebuah riwayat historis menyebutkan bahwa Sha‘sha‘ah Ibn Nâjiah, kakek penyair terkenal al-Farazdaq, pernah memberikan tebusan dua ekor unta hamil sepuluh bulan pada setiap orang tua yang bermaksud menanam hidup-hidup anak perempuannya. Yang perlu dicatat: Sha‘sha‘ah Ibn Nâjiah konon sempat menebus sekitar 300 atau dalam riwayat lain 400 anak perempuan yang hendak dikubur hidup-hidup oleh orang tuanya (Quraish Shihab, 2010: 684).

Angkanya sungguh fantastis! Kita tak tahu pasti berapa jumlah anak perempuan yang telah dikubur-kurbankan, tapi sudah hampir pasti bahwa jumlahnya jauh lebih banyak daripada anak lelaki. Hampir pasti tidak banyak orang maha kaya raya yang begitu maha dermawan! Apalagi, peristiwa pengorbanan anak perempuan biasanya jadi ‘rahasia umum’ yang terlarang dikisahkan.

Dengan kata lain, nilai anak lelaki sangat jauh lebih tinggi. Bahkan, karena dilandasi oleh perintah Tuhan, pengorbanan anak lelaki jadi sangat sakral ilahiah. Sedangkan pengorbanan anak perempuan bisa dikatakan tidak cukup bernilai, bahkan sekadar bernilai ‘melegakan’, hanya melepaskan beban. Kita ingat apa yang dicatat Al-Quran: “Apabila salah seorang di antara mereka [kafir Arabia] diberi kabar tentang kelahiran anak perempuan, hitam (merah padamlah) mukanya dan dia sangat marah” (QS. an-Nahl [16]: 58). Anak perempuan adalah beban sosial yang sangat tidak dikehendaki, setidaknya itulah yang terjadi pada masa Nabi Muhammad saw.

Apa jadi seandainya Ibrahim hanya punya anak perempuan untuk dikurbankan, seandainya Ismail (atau Ishak) adalah anak perempuan. Justru, pertanyaannya bukan lagi kenapa lelaki, tapi kenapa jauh lebih banyak anak perempuan yang dikurbankan dalam suatu masyarakat.

Harus diakui, sebagaimana disebutkan dalam Al-Quran, bahwa orang-orang Semenanjung Arabia yang mengorbankan anak perempuannya merasa mengikuti agama Ibrahim. Kata Quraish Shihab (2010: 684) dalam Tafsîr Al-Mishbâh: “Mengaburkan agama mereka, yakni mengaburkan pemahaman agama yang mereka akui sebagai agama mereka, yaitu agama Nabi Ibrâhîm as. Kita ketahui bahwa Nabi Ibrâhîm as. diperintahkan Allah untuk menyembelih anak beliau. Mereka bermaksud mengikuti hal tersebut, tetapi mereka tidak sadar bahwa apa yang dilakukan oleh Nabi Ibrâhîm as. adalah atas perintah Allah Swt. dan justru untuk membatalkan tradisi yang menyebar dalam masyarakat umat manusia.”

Al-Quran juga mengecam dalih ekonomi atas pembunuhan anak perempuan. Dengan tegas Allah berkata: “Kami yang akan memberi rezeki untuk kamu (hai para orangtua) dan memberi juga mereka (anak-anakmu) rezeki” (QS. al-An‘âm [6]: 151). Pada QS. Al-Isra’, Allah mengingatkan juga: “Kami yang akan memberi mereka (anak-anak itu) rezeki, dan memberikan pula untukmu” (QS. al-Isrâ’ [17]: 31).

Dua alasan itu sangat mungkin hanya akal-akalan saja. Alasan mengikuti Ibrahim jelas terlalu kebablasan. Ismail tidak sampai mati disembelih. Begitu juga alasan ekonomi atau pangan. Karena, seperti yang banyak sekali dijabarkan dalam kajian antropolog modern, perempuan adalah penghasil atau pekerja utama kebutuhan pangan sejak dari proses penanaman sampai proses memasak dalam masyarakat tradisional bahkan sampai sekarang.

Namun, alasan yang berbeda diajukan oleh antropolog modern: perang. Dalam sejarah umat manusia sampai detik ini, tak pernah ada imajinasi utopis muluk surgawi bahwa tentara bisa diwakilkan sepenuhnya pada kaum perempuan. Tak pernah ada tuturan sejarah yang membuktikan itu. Perang adalah wilayah khusus lelaki. Inilah yang menjadi perendahan dan pengorbanan anak-anak perempuan.

“Secara teoretis, perempuan mampu melawan bahkan menundukkan laki-laki yang mereka asuh dan besarkan sendiri, tetapi laki-laki yang diasuh di desa atau suku lain menghadirkan tantangan yang berbeda. Segera setelah laki-laki entah atas alasan apa mulai menanggung beban konflik antarkelompok, perempuan tidak punya pilihan selain mengasuh sejumlah besar laki-laki kuat di antara kaum mereka sendiri… [] Semakin garang kaum lelaki, semakin banyak jumlah perang, semakin banyak pula laki-laki seperti itu dibutuhkan,” demikian kata antropolog Marvin Harris (2019: 78-79).

Akibat dan ujung teori umpan balik (atau teori amplifikasi deviasi) ini sangat menyedihkan: perempuan berada dalam tekanan seksual kaum lelaki agresif, yang menghasilkan sistem keluarga poligini: satu lelaki memiliki atau menikahi banyak perempuan, yang mengakibatkan kelangkaan dan perebutan perempuan, lalu perempuan diagungkan untuk membesarkan lebih banyak (bahkan sangat lebih banyak) kaum lelaki agresif seraya mengabaikan dan bahkan mengurbankan anak-anak perempuan.

Kita ingat bahwa pada masa Nabi Muhammad saw, poligini adalah kasus umum semua lelaki penguasa. Kita juga ingat bahwa Nabi Muhammad saw diejek dengan sengit karena semua anak-anak lelakinya meninggal saat masih belia. Dengan kata lain, pengurbanan anak lelaki adalah sesuatu yang sakral nan mahal, sedangkan pengorbanan anak perempuan adalah kebiasaan profan duniawi.

Teori amplifikasi deviasi itu cukup aplikatif pada masyarakat suku-suku Arab saat Nabi Muhammad diutus jadi rasul. Nabi Muhammad hidup saat perang antarsuku adalah sesuatu yang hampir terjadi tiap tahun. Sejarawan mencatat bahwa selama 10 tahun memimpin Kota Madinah, Nabi Muhammad mendapati sebanyak 64 kali peperangan baik yang berupa perang besar, kecil, atau ekspedisi militer ke wilayah musuh potensial. Sejumlah 26 peperangan dipimpin langsung Nabi Muhammad, meski ulama sejarawan berbeda-beda pendapat perihal pasti jumlahnya.

Dari sejarah kita memahami apa yang kemudian diperbaharui atau bahkan direvolusi oleh Islam. Yang pertama adalah menghancurkan sistem politeisme yang dianut para pemimpin suku-suku Arab dan menggantikannya dengan tauhid dan takwa sebagai puncak kemuliaan. Kedua, pada tataran praktis-sosial, larangan poligini bagi lelaki dengan maksimal hanya empat istri. Ketiga, yang tak kalah penting, perempuan punya kuasa hak milik atas harta benda dan istri bisa mewarisi harta suami. Perempuan punya kuasa ekonomi (Marshall Hodgson, 2002: 261).

Efek tiga pembaharuan itu mengubah struktur akut sistem suku di Arabia bahkan di dunia yang sekaligus pelan-pelan menghancurkan sistem penguburan atau pembunuhan anak-anak perempuan. Perubahan akbar ini mengangkat perempuan pada martabat tertinggi secara sosial dan religius yang tak pernah ada dalam sejarah umat manusia. Bahkan, Nabi Ibrahim yang sangat radikal ilahiah tak pernah berhasil melakukannya.

Namun, bahkan sampai detik ini, anak perempuan masih terus dikurbankan baik secara harfiah (dibunuh), atau dikebiri secara simbolik (sosial budaya), atau dihambat secara ekonomi-politik. Buktinya tersebar di seluruh masyarakat dunia. Tentu harus diakui bahwa pada zaman kita nasib anak perempuan sangat jauh lebih baik daripada zaman Nabi Muhammad saw.

Meneladani ‘Kenaikan’ Al-Masih dalam Penafsiran Al-Quran

Salah satu jembatan dialog antara umat Islam dan Kristiani adalah terkait sosok Isa Al-Masih atau Yesus Kristus. Meski demikian, dapat dipahami ada sejumlah persamaan dan juga perbedaan terkait narasi kisah dan bagaimana kedua komunitas umat beriman itu melihat sosok Yesus, termasuk dalam konteks kematian dan kebangkitannya.

Ada beberapa ayat Al-Quran yang menarasikan tema tersebut, di antaranya QS. Ali Imran [3]:55 sebagai berikut:

إِذۡ قَالَ ٱللَّهُ يَٰعِيسَىٰٓ إِنِّي مُتَوَفِّيكَ وَرَافِعُكَ إِلَيَّ وَمُطَهِّرُكَ مِنَ ٱلَّذِينَ كَفَرُواْ وَجَاعِلُ ٱلَّذِينَ ٱتَّبَعُوكَ فَوۡقَ ٱلَّذِينَ كَفَرُوٓاْ إِلَىٰ يَوۡمِ ٱلۡقِيَٰمَةِۖ ثُمَّ إِلَيَّ مَرۡجِعُكُمۡ فَأَحۡكُمُ بَيۡنَكُمۡ فِيمَا كُنتُمۡ فِيهِ تَخۡتَلِفُونَ

(Ingatlah), ketika Allah berfirman: “Hai Isa, sesungguhnya Aku akan menyampaikan kamu kepada akhir ajalmu dan mengangkat kamu kepada-Ku serta membersihkan kamu dari orang-orang yang kafir, dan menjadikan orang-orang yang mengikuti kamu di atas orang-orang yang kafir hingga hari kiamat. Kemudian hanya kepada Akulah kembalimu, lalu Aku memutuskan diantaramu tentang hal-hal yang selalu kamu berselisih padanya” (QS. Ali Imran [3]:55).

Tulisan sederhana ini mencoba mengulas beberapa penafsiran terkait ayat tersebut dari beragam perspektif kitab tafsir. Pemilihan kitab tafsir ini diupayakan mencakup keragaman era: klasik, tengah, dan modern-kontemporer; keragaman corak tafsir: tafsir bir riwayat, tafsir rasional, tafsir linguistik, dan tafsir adabi ijtima’i; dan keragaman mazhab: Sunni, Muktazilah dan Ahmadiyah[1].

Tafsir al-Thabari

ذكر من قال ذلك :حدثني المثنى قال، حدثنا إسحاق قال، حدثنا عبد الله بن أبي جعفر، عن أبيه، عن الربيع في قوله:”إني متوفيك”، قال: يعني وفاةَ المنام، رفعه الله في منامه = قال الحسن: قال رسول الله ﷺ لليهود:”إن عيسَى لم يمتْ، وإنه راجعٌ إليكم قبل يوم القيامة

“Ada riwayat mengatakan” diceritakan kepadaku, dari Ishaq, dari Abdullah bin Abi Ja’far, dari ayahnya, dari Rabi’, tentang ayat innii mutawaffiika. Ia berkata bahwa maksudnya adalah kondisi tidur, kemudian Allah membangunkannya dari tidur. Hasan berkata bahwa Rasulullah bersabda kepada orang Yahudi, ‘Sesungguhnya Isa tidaklah mati, ia akan kembali kepada kalian sebelum hari kiamat’”.

وقال آخرون: معنى ذلك: إني قابضك من الأرض، فرافعك إليّ، قالوا: ومعنى”الوفاة”، القبض، لما يقال:”توفَّيت من فلان ما لي عليه”، بمعنى: قبضته واستوفيته. قالوا: فمعنى قوله:”إني متوفيك ورافعك”، أي: قابضك من الأرض حيًّا إلى جواري، وآخذُك إلى ما عندي بغير موت، ورافعُك من بين المشركين وأهل الكفر بك.

“Sebagian lainnya berkata bahwa maknanya adalah ‘Sesungguhnya Aku mengangkatmu dari bumi, kemudian meninggikanmu di sisi-Ku’. Mereka berkata makna kata al-wafat dengan mengangkat, sebagaimana ungkapan aku mengangkat apa saja yang aku miliki dari fulan kepadanya. Mereka berkata bahwa makna inni mutawaffiika wa raafi’uka adalah Aku mengangkatmu dari dunia dalam kondisi hidup, dan Aku mengambilmu ke sisi-Ku tanpa kematian, dan mengangkat derajatmu dari orang-orang musyrik dan kafir.”

وقال آخرون: معنى ذلك: إني متوفيك وفاةَ موتٍ. ذكر من قال ذلك :٧١٤١ – حدثني المثنى قال، حدثنا عبد الله بن صالح قال، حدثني معاوية، عن علي، عن ابن عباس قوله:”إني متوفيك”، يقول: إني مميتك .٧١٤٢ – حدثنا ابن حميد قال، حدثنا سلمة، عن ابن إسحاق، عمن لا يتهم، عن وهب بن منبه اليماني أنه قال: توفى الله عيسى ابن مريم ثلاثَ ساعات من النهار حتى رفعه إليه .٧١٤٣ – حدثنا ابن حميد قال، حدثنا سلمة، عن ابن إسحاق قال: والنصارى يزعمون أنه توفاه سبع ساعات من النهار، ثم أحياهُ الله.

“Sebagian lainnya berkata bahwa makna dari innii mutawaffiika adalah kematian. Sebagaimana riwayat dari Abdullah bin Salih, dari Mu’awiyah, dari Ali, dari Ibn Abbas, ia berkata pernyataan innii mutawaffiika bermakna Sesungguhnya Aku mematikanmu. Riwayat lain dari Ibn Humaid dari Salmah, dari Ibn Ishaq, dari seseorang yang tidak dikenal, dari Wahb bin Munabbih al-Yamani, ia berkata: Allah mewafatkan Isa bin Maryam selama 3 jam di siang hari hingga ia diangkat ke sisi-Nya. Riwayat lain dari Ibn Humaid dari Salmah dari Ibn Ishaq, ia berkata bahwa orang-orang Nasrani meyakini Isa wafat selama 7 jam di siang hari, kemudian Allah menghidupkannya kembali”.

وقال آخرون: معنى ذلك: إذ قال الله يا عيسى إني رافعك إليّ ومطهِّرك من الذين كفروا، ومتوفيك بعد إنزالي إياك إلى الدنيا. وقال: هذا من المقدم الذي معناه التأخير، والمؤخر الذي معناه التقديم.

“Sebagian yang lain berkata, makna dari ayat ini: Ingatlah tatkala Allah berkata Wahai Isa, sesungguhnya Aku mengangkatmu ke sisi-Ku dan menyucikanmu dari orang-orang kafir, dan mewafatkanmu setelah turun ke dunia. Maksudnya adalah bahwa kalimat ini menggunakan bentuk taqdim dan ta’khir, yaitu kata yang pertama (mutawaffiika) bermakna diakhir, dan yang diakhir (raafi’uka) bermakna di awal.

قال أبو جعفر: وأولى هذه الأقوال بالصحة عندنا، قولُ من قال:”معنى ذلك: إني قابضك من الأرض ورافعك إليّ”، لتواتر الأخبار عن رسول الله ﷺ أنه قال: ينزل عيسى ابن مريم فيقتل الدجال، ثم يمكث في الأرض مدة ذكَرها، اختلفت الرواية في مبلغها، ثم يموت فيصلي عليه المسلمون ويدفنونه.

“Abu Ja’far al-Thabari berkata: pendapat yang paling kuat menurut saya adalah pendapat yang mengakatakan bahwa maknanya adalah mengangkatmu dari dunia dan mengangkatmu ke sisi-Ku, sebagaimana hadis mutawatir yang disampaikan Rasulullah, beliau bersabda: Isa bin Maryam akan turun dan membunuh Dajjal, kemudian menetap di bumi beberapa saat, kemudian ia wafat dan disalatkan oleh umat Islam dan dikuburkan.”

Tafsir Ibn Katsir

اخْتَلَفَ الْمُفَسِّرُونَ فِي قَوْلِهِ: ﴿إِنِّي مُتَوَفِّيكَ وَرَافِعُكَ إِلَيَّ﴾ فَقَالَ قَتَادَةُ وَغَيْرُهُ: هَذَا مِنَ الْمُقَدَّمِ وَالْمُؤَخَّرِ، تَقْدِيرُهُ: إِنِّي رَافِعُكَ إِلَيَّ وَمُتَوَفِّيكَ، يعني بعد ذلك. وَقَالَ عَلِيُّ بْنُ أَبِي طَلْحَةَ عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ: ﴿إِنِّي مُتَوَفِّيكَ﴾ أَيْ: مُمِيتُكَ.

“Ulama tafsir berbeda pendapat seputar ayat inni mutawaffiika wa raafi’uka ilayya. Menurut Qatadah dan lainnya, yang dimaksud dari susunan ayat tersebut adalah taqdim dan ta’khir (pendahuluan dan pengakhiran dalam istilah ilmu ma’ani), yang kira-kira susunan asalnya adalah innii raafi’uka ilayya wa mutawaffiika, sesungguhnya Aku mengangkatmu lalu mewafatkanmu. Sedangkan menurut Ali bin Abi Thalhah dari Ibn ‘Abbas, yang dimaksud dengan innii mutawaffiika adalah mematikanmu.”

وَقَالَ الْأَكْثَرُونَ: الْمُرَادُ بِالْوَفَاةِ هَاهُنَا: النَّوْمُ، كَمَا قَالَ تَعَالَى: ﴿وَهُوَ الَّذِي يَتَوَفَّاكُمْ بِاللَّيْلِ [وَيَعْلَمُ مَا جَرَحْتُمْ بِالنَّهَارِ] ﴾ [الْأَنْعَامِ: ٦٠]

“Sedangkan menurut jumhur ulama, makna kata al-wafat dalam ayat ini adalah tidur, sebagaimana firman Allah dalam Surat Al-An’am ayat 60: ‘Dan Dialah yang menidurkanmu pada malam hari dan Dia mengetahui apa yang kamu kerjakan di siang hari.’”

وَقَالَ ابْنُ أَبِي حَاتِمٍ: حَدَّثَنَا أَبِي، حَدَّثَنَا أَحْمَدُ بْنُ عَبْدِ الرَّحْمَنِ، حَدَّثَنَا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ أَبِي جَعْفَرٍ، عَنْ أَبِيهِ، حَدَّثَنَا الرَّبِيعُ بْنُ أَنَسٍ، عَنِ الْحَسَنِ أَنَّهُ قَالَ فِي قَوْلِهِ: ﴿إِنِّي مُتَوَفِّيكَ﴾ يَعْنِي وَفَاةَ الْمَنَامِ، رَفَعَهُ اللَّهُ فِي مَنَامِهِ. قَالَ الْحَسَنُ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ ﷺ لِلْيَهُودِ: “إنَّ عِيسَى لمَ يَمُتْ، وَإنَّه رَاجِع إلَيْكُمْ قَبْلَ يَوْمِ الْقَيامَةِ”

“Ibn Abi Hatim berkata: diriwayatkan dari ayahnya, diceritakan dari Ahmad bin Abd al-Rahman, dari Abdullah bin Abi Ja’far, dari ayahnya, dari al-Rabi’ bin Anas, dari Hasan, bahwasanya ia berkata bahwa yang dimaksud dengan ayat inni mutawaffiika adalah kondisi tidur, kemudian Allah membangunkannya dari tidur. Hasan berkata bahwa Rasulullah Saw bersabda kepada orang Yahudi ‘Sesungguhnya Isa tidaklah mati, dan ia akan kembali kepada kalian sebelum hari kiamat.’”

Tafsir al-Razi

الوَجْهُ الخامِسُ في التَّأْوِيلِ: ما قالَهُ أبُو بَكْرٍ الواسِطِيُّ، وهو أنَّ المُرادَ (إنِّي مُتَوَفِّيكَ) عَنْ شَهَواتِكَ وحُظُوظِ نَفْسِكَ، ثُمَّ قالَ: (ورافِعُكَ إلَيَّ) وذَلِكَ لِأنَّ مَن لَمْ يَصِرْ فانِيًا عَمّا سِوى اللَّهِ لا يَكُونُ لَهُ وُصُولٌ إلى مَقامِ مَعْرِفَةِ اللَّهِ، وأيْضًا فَعِيسى لَمّا رُفِعَ إلى السَّماءِ صارَ حالُهُ كَحالِ المَلائِكَةِ في زَوالِ الشَّهْوَةِ، والغَضَبِ والأخْلاقِ الذَّمِيمَةِ.

“Pendapat lainnya dalam persoalan ta’wil, seperti apa yang disampaikan oleh Abu Bakr al-Wasithi, ia berpendapat bahwa makna innii mutawaffika adalah Aku mengambil nafsu syahwatmu. Kemudian berkata: wa raafi’uka ilayya, maksudnya karena siapapun yang tidak menghilangkan hal-hal selain Allah, maka ia tidak akan sampai pada tingkatan makrifatullah, begitu juga dengan Isa ketika diangkat ke langit, ia menjadi seperti kondisi malaikat yang hilang syahwatnya, angkara murka, dan akhlak-akhlak buruk lainnya.”

قُلْنا: قَوْلُهُ: (إنِّي مُتَوَفِّيكَ) يَدُلُّ عَلى حُصُولِ التَّوَفِّي وهو جِنْسٌ تَحْتَهُ أنْواعٌ بَعْضُها بِالمَوْتِ وبَعْضُها بِالإصْعادِ إلى السَّماءِ، فَلَمّا قالَ بَعْدَهُ: (ورافِعُكَ إلَيَّ) كانَ هَذا تَعْيِينًا لِلنَّوْعِ ولَمْ يَكُنْ تَكْرارًا.

“Menurut kami (Imam al-Razi), pernyataan innii mutawaffiika menunjukkan keadaan wafat, di mana sebagian dimensi kematian dirasakan dan sebagian lagi proses diangkat ke langit. Maka kalimat setelahnya yaitu waraafi’uka ilayya maksudnya adalah penegasan dari makna sebelumnya, bukan pengulangan.”

Tafsir al-Baidhawi

﴿يا عِيسى إنِّي مُتَوَفِّيكَ﴾ أيْ مُسْتَوْفِي أجَلَكَ ومُؤَخِّرُكَ إلى أجَلِكَ المُسَمّى، عاصِمًا إيّاكَ مِن قَتْلِهِمْ، أوْ قابِضُكَ مِنَ الأرْضِ مِن تَوَفَّيْتُ مالِي، أوْ مُتَوَفِّيكَ نائِمًا إذْ رُوِيَ أنَّهُ رُفِعَ نائِمًا، أوْ مُمِيتُكَ عَنِ الشَّهَواتِ العائِقَةِ عَنِ العُرُوجِ إلى عالَمِ المَلَكُوتِ.

“Wahai Isa, sesungguhnya Aku mutawaffiika, yakni akan mewafatkanmu dan mengakhirkan ajalmu sampai waktu yang ditentukan. Aku melindungimu dari rencana pembunuhan mereka, dan Aku mengangkatmu dari dunia, atau membangunkanmu dari tidur, atau mematikanmu dari nafsu syahwat menuju dimensi yang lebih tinggi.”

Tafsir al-Zamakhsyari

معناه: إنى عاصمك من أن يقتلك الكفار ومؤخرك إلى أجل كتبته لك. ومميتك حتف أنفك لا قتيلا بأيديهم وَرافِعُكَ إِلَيَّ إلى سمائي ومقرّ ملائكتي وَمُطَهِّرُكَ مِنَ الَّذِينَ كَفَرُوا من سوء جوارهم وخبث صحبتهم. وقيل متوفيك: قابضك من الأرض، من توفيت مالى على فلان إذا استوفيته: وقيل: مميتك في وقتك بعد النزول من السماء ورافعك الآن: وقيل :متوفى نفسك بالنوم

“Makna dari ayat ini adalah sesungguhnya Aku adalah penolongmu dari rencana pembunuhan orang-orang kafir kepadamu dan aku mengakhirkan ajalmu sebagaimana ketetapanku kepadamu. Kematianmu bukanlah di tangan mereka, dan aku mengangkatmu ke langit dan menyucikanmu dari orang-orang kafir dari perbuatan-perbuatan mereka yang buruk. Dikatakan bahwa kata mutawaffiika berarti Aku menangkatmu dari dunia. Dikatakan juga bahwa Aku akan mematikanmu kelak pada waktunya setelah engkau turun dari langit dan sekarang Aku mengangkatmu, yang bermakna mewafatkan dirimu dengan tidur.”

Tafsir al-Maraghi

والتوفى فى اللغة أخذ الشيء وافيا تاما. ومن ثم استعمل بمعنى الأماتة قال تعالى الله يتوفى الأنفس حين موتها (الزمر:42) فالمتبادر فى الاية: إني مميتك وجاعلك بعد الموت فى مكان رفيع عندى, كماقال فى إدريس عليه السلام: ورفعناه مكانا عليا (مريم:57)

“Kata al-tawaffa secara bahasa berarti mengambil sesuatu secara utuh dan sempurna. Kemudian dipakai untuk makna kematian, sebagaimana yang telah difirmankan oleh Allah: “Allah memegang jiwa (orang) ketika matinya (QS. al-Zumar [39]:42). Sedangkan yang dimaksud dalam ayat ini adalah ‘Sesungguhnya Akulah yang mematikanmu dan yang menjadikanmu setelah mati ke tempat yang tinggi di sisi-Ku’, sebagaimana firman Allah terhadap Nabi Idris: ‘Dan Kami telah mengangkatnya ke tempat yang tinggi (QS. Maryam [19]:57).’”

Tafsir al-Mishbah

Quraish Shihab menjelaskan makna kata raafi’uka ilayya, mengangkatmu di sisi-Ku. Ada dua pendapat, pertama, mengutip al-Sya’rawi, ia berpendapat bahwa Allah yang mengambil Isa secara sempurna, ruh dan jasad beliau ke satu tempat yang tidak dapat dijangkau oleh orang-orang kafir, yaitu di sisi-Nya.

Sedangkan pendapat kedua, enggan memahami kata rafi’uka dalam arti hakiki, seperti yang dipahami oleh mayoritas ulama. Mereka tidak memahaminya dalam arti mengangkat ruh dan jasad Isa ke langit. Tetapi, menurut mereka bahwa Allah mewafatkan, yakni mematikan Isa di dunia ini setelah tiba ajal yang ditetapkan Allah baginya, kematian itu di satu tempat yang tidak dikenal oleh musuh-musuhnya kemudian, setelah kematian beliau secara normal, beliau diangkat ruhnya ke derajat yang sangat tinggi di sisi Allah Swt.

Poin beliau adalah bahwa Isa hidup di langit dan kelak akan turun, atau telah wafat secara normal dan tidak akan kembali hidup ke bumi, bukanlah satu hal yang berkaitan dengan prinsip ajaran agama. Pendapat pertama atau kedua yang dipilih, tidak akan menambah atau mengurangi keberagamaan. Tetapi, dari uraian ayat selanjutnya, kita dapat mengambil pelajaran bahwa Allah membersihkanmu, wahai Isa, dari orang-orang yang kafir dan menjadikan orang-orang yang mengikutimu di atas orang-orang yang kafir hingga hari kiamat.

Tafsir Ahmadiyah

Mengutip penafsiran Maulana Muhammad Ali dalam The Holy Quran, beliau mengutip sejumlah penafsiran dari ulama terdahulu. Di antaranya mengutip pendapat Ibn Abbas yang menjelaskan kata mutawaffiika dengan mumiituka, maknanya Aku mematikan engkau. Selain itu, ia juga mengutip dari kamus Lisanul ‘Arab, yang dimaksud dengan kalimat tawaffahullaahu artinya Allah mencabut nyawanya atau mematikannya. Sehingga penggunaan kata tawaffa bermakna bahwa rencana kaum Yahudi untuk membunuh Nabi Isa pada kayu salib mengalami kegagalan dan bahwa beliau kelak akan meninggal secara wajar.

Selain itu, menurut Maulana Muhammad Ali, ayat ini memuat empat janji tentang kemenangan Nabi Isa terhadap musuh beliau dan terhadap rencana mereka. Dari empat janji ini, yang tiga sudah diberitahukan, yaitu pertama, janji bahwa beliau diselamatkan dari kematian pada kayu palang dan beliau akan mati secara wajar. Kedua, janji bahwa beliau orang terhormat di hadapan Allah, sedangkan tujuan kaum Yahudi adalah hendak menunjukkan bahwa beliau adalah orang yang dilaknat. Ketiga, janji bahwa beliau dibersihkan dari segala tuduhan palsu. Adapun janji keempat adalah bahwa para pengikut Nabi Isa akan menang mengalahkan orang-orang yang menolak beliau sampai hari kiamat. Janji yang nomor empat ini dapat disaksikan kebenarannya hingga sekarang berupa kemenangan kaum Kristen atas kaum Yahudi.

Berdasarkan uraian tersebut, jelas bahwa Isa akan wafat secara wajar di dunia ini. Tetapi, di manakah lokasi wafatnya? Merujuk pada penjelasan Mirza Ghulam Ahmad (MGA) dalam bukunya Al-Masih di Hindustan, hlm. 59-60, ia menegaskan bahwa ratusan ribu manusia telah menyaksikan dengan kasat mata bahwa kuburan Nabi Isa ada di Srinagar, Kashmir. Menurut keyakinan Ahmadi, setelah diselamatkan dari penyaliban, Isa kemudian mengembara ke berbagai wilayah di arah Timur.  Pertanyaan kembali muncul, mengapa harus ke arah Timur tepatnya ke Hindustan?

Masih dalam buku yang sama hlm. 115, MGA menjelaskan bahwa dari segi tujuan kerasulan Nabi Isa, kedatangan beliau ke negeri Punjab dan kawasan sekitarnya adalah sangat penting. Sebab, sepuluh suku Bani Israil yang di dalam Injil dinamakan domba-domba Israil yang telah hilang, sudah pindah ke negeri-negeri ini. Kepindahan itu tidak dapat diingkari oleh ahli sejarah mana pun. Oleh sebab itu penting bagi Nabi Isa untuk melakukan perjalanan ke negeri ini, mencari domba-domba yang telah hilang itu lalu menyampaikan amanat Allah kepada mereka. Dan selama beliau tidak berbuat demikian, selama itu pula tujuan pengutusan beliau tidak berhasil dan tidak sempurna.

Pemetaan Makna ‘Kenaikan’ Isa Al-Masih dalam Penafsiran

Makna wafat secara umum ada dua, yaitu pertama, wafat bermakna kematian (wafatul maut). Meski pendapat ini tidak populer, seperti yang dikutip oleh al-Thabari, Ibn Katsir dan Quraish Shihab. Selain itu, termasuk dalam pendapat ini adalah argumen yang dikemukakan oleh Ahmadiyah. Kedua, wafat bermakna bukan kematian. Dalam konteks ini, ulama beragam pendapat terkait makna wafat. (a) wafat bermakna kondisi tidur (wafatul manaam); (b) diangkat dari dunia (qaabidhuka minal ardh); (c) diangkat ke langit, diturunkan lagi ke bumi, baru di wafatkan (taqdim wat ta`khir); (d) mematikan nafsu syahwat (wafatu syahwatik); dan (e) keadaan seperti kematian (hushul al-tawaffii).

Berdasarkan penjelasan tersebut, narasi kematian Isa Al-Masih dalam Al-Qur`an menyiratkan beberapa pesan: pertama, penolakan dan penyangkalan terhadap pengkhianatan dan kesombongan yang dilakukan oleh umat Yahudi saat itu. Sekaligus melindungi dan memuliakan posisi Isa Al-Masih, mengangkat derajatnya ke sisi Allah Swt.

Kedua, menegaskan bahwa kematian adalah murni prerogatif urusan Tuhan semata. Kuasa Allah dalam menghidupkan atau mematikan siapa pun. Ketiga, keragaman tafsir tersebut menunjukkan bahwa tidak ada kata sepakat di kalangan ulama. Hal ini masuk dalam wilayah ijtihadi, jika mengutip Quraish Shihab, lebih dari perdebatan Isa wafat atau tidak, yang terpenting adalah Allah Swt menyelamatkan Isa dari konspirasi untuk menjatuhkan derajatnya. Memang sekira berpandangan pandangan umum, mayoritas umat Islam memahami Al-Masih tidak wafat di tiang salib dan sosoknya pun diangkat ke langit. Tetapi sebagaimana dibaca dalam uraian sebelumnya, ada banyak makna terkait arti kata wafat. Di sinilah pentingnya menghargai keragaman pendapat terlepas dari pendapat mana yang kita yakini.

Lebih dari itu, yang juga perlu diteladani adalah sosok kemanusiaan Al-Masih. Dalam konteks ketuhanan, umat Islam dan Kristiani tidak dapat berjumpa. Di situlah letak perbedaan fundamental. Namun, dalam hal kemanusiaan, kedua komunitas beragama ini meyakini hal yang sama. Bahkan seluruh manusia di dunia ini mengakui kepribadian Al-Masih yang penuh teladan. Karenanya, dimensi kemanusiaan ini menjadi ruang temu bagi umat beragama. Di tengah diskriminasi perizinan membangun rumah ibadah, persekusi, hingga penjajahan tanah untuk hidup di berbagai daerah, kebangkitan atau kenaikan Al-Masih ke langit seharusnya meninggalkan keteladanan yang dapat kita teruskan sebagai manusia. Wallahu a’lam bish sowwab.

 

[1] Ahmadiyah juga masuk dalam kategori Sunni. Hanya saja, karena memiliki pendapat yang berbeda terkait kematian Isa Al-Masih, maka perlu diberikan penekanan khusus.

Khawla al-Azwar: Simbol Kesetaraan Gender dalam Sejarah Islam

Isu kesetaraan gender merupakan topik yang terus menjadi sorotan dan perdebatan dalam berbagai ruang sosial, baik dalam masyarakat modern yang menjunjung nilai-nilai demokrasi dan hak asasi manusia, maupun dalam masyarakat tradisional yang masih mempertahankan struktur sosial berbasis patriarki. Adapun dalam konteks wacana Islam, kesetaraan gender sebenarnya bukanlah konsep asing, sebab ajaran Islam sejak awal telah memposisikan perempuan sebagai bagian integral dari pembangunan peradaban, dengan hak dan kewajiban yang proporsional sesuai dengan kapasitas dan potensi masing-masing individu.

Nilai-nilai keadilan dan kesetaraan tersebut telah diimplementasikan dalam praktik kehidupan sejak masa Nabi Muhammad SAW dan tercermin dalam berbagai aspek kehidupan sosial, ekonomi, politik, bahkan militer. Sebagaimana halnya sosok perempuan Muslim yang menonjol sebagai simbol keberanian, kepemimpinan, dan representasi kesetaraan gender dalam sejarah Islam yakni Khawla Al-Azwar, yang tidak hanya hidup dalam bayang-bayang sejarah laki-laki, tetapi justru tampil sebagai aktor utama dalam sejumlah peristiwa penting yang menentukan arah perjuangan umat Islam pada masa itu.

Khawla Al-Azwar Pejuang Muslimah yang Menginspirasi

Khawla binti Al-Azwar merupakan saudari dari Dhirar Al-Azwar, seorang komandan pasukan Muslim yang dikenal akan keberaniannya. Khawla hidup pada masa pemerintahan Khalifah Abu Bakar Ash-Shiddiq RA dan Umar bin Khattab RA, yakni masa ketika umat Islam menghadapi tantangan militer besar, termasuk dari Kekaisaran Bizantium.

Dalam sejumlah pertempuran besar termasuk Perang Yarmuk, Khawla tampil sebagai pejuang garis depan yang tidak hanya hadir sebagai pendukung, tetapi juga sebagai pemimpin yang turut menentukan arah perjuangan di medan laga.

Bahkan dalam salah satu kisah yang tercatat dalam sejarah Islam klasik, Khawla menyamar mengenakan baju zirah prajurit laki-laki dan memimpin pasukan Muslim dalam situasi kritis, ketika para prajurit laki-laki berada dalam posisi terdesak. Keberanian dan keterampilannya dalam bertempur begitu mengesankan sehingga para prajurit yang menyaksikannya menyangka ia adalah seorang komandan laki-laki. Identitas aslinya baru diketahui setelah kemenangan berhasil diraih dan Khawla menyingkap penutup wajahnya.

Berdasarkan peristiwa ini, menjadi bukti bahwa perempuan dengan keberanian dan kapasitasnya, dapat memainkan peran yang krusial dalam perjuangan umat. Keikutsertaan Khawla dalam peperangan bukan semata-mata anomali dalam sistem sosial patriarkal, melainkan manifestasi dari nilai-nilai Islam yang menegaskan pentingnya peran aktif perempuan dalam kehidupan masyarakat. Ia bukan hanya simbol keberanian individual, tetapi juga representasi dari legitimasi peran publik perempuan dalam Islam.

Kesetaraan Gender dalam Perspektif Islam

Islam sebagai agama yang rahmatan lil ‘alamin tidak membatasi peran perempuan hanya dalam lingkup domestik. Al-Qur’an dan al-Sunnah sendiri menyajikan banyak contoh perempuan yang aktif dalam ranah sosial, ekonomi, bahkan politik. Istri Nabi Muhammad SAW yakni Khadijah RA, adalah seorang pebisnis sukses. Lalu ada Aisyah RA yang dikenal sebagai intelektual terkemuka serta meriwayatkan banyak hadist dan menjadi rujukan utama dalam bidang fikih pada sejarah Islam.

Kemudian Khawla Al-Azwar sebagai figur historis dalam kesetaraan gender bidang militer di era modern. Munculnya sosok Khawla menjadi teladan bahwa perempuan tidak hanya bisa sejajar dalam wacana, tetapi juga dalam tindakan nyata, serta sebagai simbol bahwa perempuan dapat memimpin, berani mengambil risiko, dan menjadi pelopor perubahan sosial, tanpa mengorbankan identitas keislamannya.

Kritik Terhadap Narasi Gender dalam Sejarah Islam

Sejarah Islam yang kita warisi saat ini banyak dikonstruksi dalam bingkai patriarki. Kontribusi tokoh-tokoh perempuan seperti Khawla binti Al-Azwar, Nusaybah binti Ka’ab, Asma’ binti Abu Bakar, dan lainnya, kerap tenggelam dalam narasi yang lebih menonjolkan peran laki-laki. Narasi ini tidak hanya mereduksi realitas sejarah, tetapi juga mempengaruhi persepsi umat terhadap posisi perempuan dalam Islam. Khawla Al-Azwar lebih dari sekadar simbol keberanian, melainkan sebagai ikon kesetaraan gender dalam Islam yang lahir dari ketauhidan, keberanian dan keikhlasan dalam membela kebenaran. Dalam dirinya seperti terkumpul nilai-nilai kepahlawanan yang melampaui sekat gender.

Kisah hidupnya adalah cermin bahwa Islam sejak awal telah mengafirmasi peran publik perempuan dan menolak subordinasi atas dasar jenis kelamin. Sehingga, jika di era modern, perjuangan kesetaraan gender masih menghadapi tantangan kultural dan struktural, figur Khawla menjadi pengingat bahwa perubahan bukan hanya mungkin, tetapi juga telah menjadi bagian dari sejarah Islam itu sendiri.

Oleh karena itu, sudah saatnya umat Islam membangun kembali narasi keislaman yang adil gender, dengan menjadikan tokoh-tokoh perempuan seperti Khawla Al-Azwar sebagai inspirasi dan referensi perjuangan Islam.