Menyelamatkan Demokrasi
Oleh: K.H. Jamaluddin Mohammad, Pengasuh Pondok Pesantren Al-Kamaliyah Babakan, Ciwaringin, Cirebon
APAKAH demokrasi kita sedang baik-baik saja? Jawaban dari pertanyaan ini ada pada film dokumenter Dirty Vote. Film yang disutradarai Dhandy Laksono ini mengejutkan kita karena menghadirkan beragam rentetan fakta dan data kecurangan Pemilu. Rentetan fakta tersebut sebetulnya sudah banyak bersliweran di pelbagai media dan sudah menjadi rahasia umum.
Kotak pandora kecurangan Pemilu pecah pertama kali di Mahkamah Konstitusi (MK). Lembaga ”pengawal konstitusi” itu meloloskan salah satu pasal ”kontroversial” demi memuluskan anak presiden mengikuti kontestasi pilpres. Rupanya, di penghujung usia kekuasaannya, Jokowi masih mau menikmati kekuasaanya lebih lama lagi. Melalui orang-orang dekatnya ia pernah mewacanakan ”tiga periode”. Namun tak disambut baik oleh publik. Karena itu ia harus merancang dan mempersiapkan banyak hal untuk memperpanjang kekuasaannya. Harapannya, stelah lengser nanti, ia masih bisa mengendalikan kekuasaan dari balik bayangannya. Segala sumber daya kekuasaan dikerahkan untuk memenangkan anaknya itu. Segala cara ia lakukan meskipun harus menabrak aturan. Ia telah dibutakan oleh kekuasaan.
Semakin hari manuver politiknya semakin vulgar (bagi-bagi bansos, makan bersama calon yang didukungnya, mengadakan pertemuan dengan anaknya [Kaesang/Gibran], dll). Ia sudah lupa bahwa ia pernah berjanji akan bersikap netral. Ia tak malu menjilat ludah sendiri. Orang tak perlu berpikir lagi untuk menyebut bapak tiga orang anak ini betul-betul sedang kesetanan kekuasaan dan sedang mempertaruhkan demokrasi di negeri ini.
Yang pasti publik semakin dibuat tidak nyaman dengan manuver politik Jokowi yang semakin vulgar itu (kampanye untuk anaknya), Banyak orang mulai menyadari bahwa demokrasi kita tidak sedang baik-baik saja. Riak-riak protes mulai bermunculan di sana sini. Para guru besar perguruan tinggi berpengaruh di Indonesia mulai beramai-ramai membunyikan alarm darurat demokrasi di negeri ini. Mereka sedang mengingatkan kita bahwa demokrasi sedang dibajak oleh oligarki kekuasaan untuk memenuhi ambisi sekelompok orang yang sedang kesetanan kekuasaan.
Di sinilah signifikansi dari film ini. Film yang dibintangi oleh tiga ahli hukum ini (Zainal Arifin Mochtar, Bivitri Susanti, dan Feri Amsari) menguraikan detail-detail persoalan besar yang menggerogoti demokrasi kita. Ia menggambarkan pada kita bahwa demokrasi kita tidak sedang baik-baik saja. Tangan-tangan kekuasaan sedang berusaha merusaknya. Ia membeberkan kebenaran yang terkadang tak bisa ditangkap orang biasa. Fakta-fakta dalam film ini harus dibunyikan agar didengar orang.
Problemnya, di era post-truth politics seperti sekarang ini, sebagian orang tak butuh lagi kebenaran. Daya tarik emosi dan keyakinannya lebih dikedepankan dibanding untuk melihat dan mendapat kebenaran. Fakta-fakta objektif tak lagi berpengaruh dalam membentuk opini publik. Kebenaran telah sirna dan tak lagi relevan (Budi Hardiman, 2021). Para pendukung capres/cawapres sudah terkotak-kotak dalam keranjang. Mereka terpenjara di dalam gua sebagaimana diceritakan dalam mitos gua Plato.
Sasaran film ini bukan untuk orang-orang yang tak lagi mampu melihat kebenaran, sebagaimana diceritakan Q.S. al-Baqarah:18, melainkan untuk mereka yang masih berpikir jernih dan mau membuka mata hatinya untuk menerima cahaya kebenaran.[JM]
_______________
Pendapat yang diungkapkan dalam tulisan ini adalah milik penulis dan tidak mencerminkan sikap Rumah KitaB secara kelembagaan.
Leave a Reply
Want to join the discussion?Feel free to contribute!