78 Tahun Merdeka
Oleh: K.H. Jamaluddin Mohammad, Pimpinan dan Pengasuh Pondok Pesantren Babakan Ciwaringin Cirebon
SEBAGAI sebuah negara, Indonesia baru berusia 78 tahun. Sebagai sebuah bangsa, bibit-bibitnya sudah lama tumbuh di tanah ini.
Ada dua narasi sejarah yang perlu dibaca ulang, bahkan salah satunya merupakan mitos sejarah yang selalu muncul berulang-ulang.
Pertama, bangsa kita dijajah Belanda selama 350 tahun dan baru merdeka 78 tahun lalu. Narasi ini salah satunya muncul dari seorang Gubernur Jenderal Belanda B.C. de Jonge yang mengatakan, “Kami orang Belanda sudah berada di sini 300 tahun dan kami akan tinggal di sini 300 tahun lagi.” Soekarno dalam “Di Bawah Bendera Rovolusi” juga menulis Indonesia dijajah Belanda selama 350 tahun.
Narasi sejarah ini sudah dibantah oleh banyak sejahrawan, salah satunya ditulis G.J. Resink dalam “Bukan 350 Tahun”. Jika yang dimaksud de Jonge adalah kepulauan Nusantara, ada banyak kerajaan di Nusantara bukan di bawah kekuasaan kolonial.
Jika 350 tahun itu dihitung sejak kedatangan Belanda di Jawa, bukankah mereka hanyalah para pedagang (VOC) yang mendarat dan mendirikan kongsi dagang di Jayakarta (Batavia) kemudian menyewa, sekali lagi menyewa, kepada Kesultanan Banten.
Narasi sejarah dijajah 350 tahun tak lebih hanyalah bualan belaka. Narasi ini harus dibuang dari catatan sejarah kita, karena terbukti hanyalah mitos sejarah yang dibuat-buat. Supaya generasi kita saat ini tidak lagi dijangkiti mentalitas inlander bangsa jajahan.
Kedua, dalam buku-buku sejarah resmi disebut bahwa salah satu penanda munculnya kesadaran nasional (nasionalisme) di kalangan bumi putera adalah munculnya organisasi kepemudaan seperti Budi Utomo yang melahirkan Sumpah Pemuda.
Para santri, khususnya Nahdliyyin, memiliki versi sejarah sendiri. Di awal-awal pergerakan Kiai Wahab Chasubullah membuat satu lagu kebangsaan “Ya Lal Wathan” yang dinyanyikan para santri di pesantren-pesantren. Lagu ini membangkitkan semangat nasionalisme di kalangan santri. Nasionalisme tumbuh dari keimanan (hubb al-wathan minal iman). Di sini Kiai Wahab tdk mempertntangkan antara kebangsaan dan keislaman, nelainkan lahir dalam satu tarikan nafas.
Nasionalisme Kiai Wahab bukanlah nasionalisme sekuler seperti para pemuda STOVIA.[]
Leave a Reply
Want to join the discussion?Feel free to contribute!