PUASA DALAM PROSES PENYEMPURNAAN DIRI

Oleh Jalaluddin Rakhmat

[Cendiawan Muslim Terkemuka – Ketua Dewan Syura Ikatan Jamaah Ahlul Bait Indonesia (IJABI)]

“Ada permainan lain yang juga digemari oleh anak-anak kampung, tak terkecuali di bulan Ramadhan. Tetapi saya sendiri tidak pernah mencobanya. Karena bagi saya permainan tersebut sangat menyeramkan. Ada seorang anak, kepalanya ditutup pakai sarung, dan tangannya memengang potongan kayu atau bambu. Anak tersebut disuruh berputar-putar, sementara teman-temannya membacakan kamaran (mantera). Tak lama setelah mantera itu dibaca, tiba-tiba anak tersebut ‘kemasukan’ setan. Kemudian mengejar anak-anak yang lain dengan mengayun-ayunkan kayu atau bambu di tangannya. Kalau boleh dibilang, kurang lebih seperti permainan jailangkung. Terkadang ada yang kerasukannya cukup lama, sehingga beberapa orang dewasa menangkapnya dan memasukkannya ke dalam air supaya sadar kembali.”

 

 

Latar Belakang

Sejak kecil saya hidup bersama kakek di sebuah kampung kecil bernama Lembang Gede, Desa Bojong Salam. Karena ayah telah lama pergi meninggalkan saya. Ayah saya namanya Rakhmat Syuja’i. Beliau adalah seorang kiyai sekaligus pesilat. Beliau sangat dihormati karena dua hal itu, yaitu: karena ilmu agama dan ilmu bela dirinya. Pendek kata, di kampung beliau dikenal sebagai jawara. Beliau sempat menjadi kepala desa. Namun kemudian karena terjadi peristiwa DI/TII (Darul Islam/Tentara Islam Indonesia) beliau pergi entah ke mana. Waktu itu ada beberapa lurah di kampung yang menurut orang-orang DI/TII dibunuh oleh tentara. Sebaliknya menurut tentara, para lurah itu dibunuh oleh orang-orang DI/TII. Saya tidak tahu mana yang benar, tetapi yang jelas ayah tidak ada waktu itu. Dan ketika saya mau menikah, saya bertemu lagi dengan beliau.

Rumah kakek saya berada di samping masjid yang dibangun sendiri oleh beliau. Karena ayah saya tidak ada, maka tanggung jawab mengurus masjid diserahkan sepenuhnya kepada paman saya. Jadi beliaulah yang menjadi kiyai di masjid tersebut.

 

Suasana Ramadhan

Saya tidak tahu kapan persisnya saya mulai berpuasa penuh. Namun yang jelas, sebagaimana umumnya anak-anak, ada kemungkinan juga, dalam artian secara zhahir di depan publik, saya berpuasa langsung penuh. Dan boleh jadi, secara diam-diam saya minum ketika kehausan. Maksud saya secara zhahir itu bukan secara sufistik. Di hadapan umum, mungkin saya sudah langsung puasa penuh.

Satu hal yang paling mengesankan waktu saya masih kecil adalah, menjelang maghrib kakek saya memberikan penganan khusus kepada anak-anak kecil. Setiap sore, menjelang Maghrib, anak-anak sudah berkumpul di sekitar rumah kakek sambil bermain. Bila sudah tiba waktunya, kira-kira setengah jam sebelum buka puasa, mereka, termasuk saya juga, antri untuk mendapatkan penganan dari kakek. Peristiwa itu tidak pernah saya lupakan. Karena itulah yang menjadi cita-cita sejak saat itu; pada saat besar nanti saya ingin membagi-bagikan makanan untuk buka puasa.

Sekarang cita-cita itu terwujud. Setiap tahun di bulan Ramadhan saya mempunyai program membagi-bagikan makanan. Tidak hanya terbatas kepada anak-anak kecil, tetapi kepada orang-orang dewasa. Bahkan secara terorganisir sekarang saya menggunakan IJABI (Ikatan Jamaah Ahlul Bait Indonesia) berikut cabang-cabangnya di seluruh Indonesia untuk mengisi bulan Ramadhan dengan memberikan makanan untuk buka kepada para fakir-miskin.

Di waktu kecil dulu setiap malam di bulan Ramadhan saya bersama teman-teman mempunyai kebiasaan tidur di masjid. Biasanya, setelah shalat Tarawih, juga pada waktu sahur dengan tujuan membangunkan orang, kami menabuh bedug dengan irama tertentu—dalam bahasa Sunda disebut ‘ngadulak’. Di antara iramanya, yang masih saya ingat, adalah “duk-druk-duk-duk-duk”. Setelah ngadulak, kami lalu berlarian pulang ke rumah untuk makan sahur.

Mungkin di antara ritual Ramadhan yang paling meriah adalah shalat Tarawih. Bagi anak-anak kecil, shalat Tarawih yang menjadi momen berkumpulnya umat Muslim di masjid merupakan hiburan tersendiri. Saya senang melihat banyak orang berbondong-bondong ke masjid. Dengan latar belakang tradisi NU, shalat Tarawih di kampung saya berlangsung 20 rakaat dan ditambah shalat Witir 3 rakaat.

Suasana menjadi kian menyenangkan ketika saya bergabung dengan teman-teman di shaf belakang. Ketika bacaan shalawat dikumandangkan menandai dimulainya shalat Tarawih, kami adalah yang paling keras menjawabnya, “Shalli wa sallim wa bârik ‘alayh”. Kami kadang bercanda dan saling dorong, sehingga membuat suasana shalat Tarawih agak sedikit terganggu. Suatu saat saya ketahuan oleh kakek. Beliau marah sekali, bahkan memukuli saya menggunakan serbannya. Itu pertama kalinya saya dipukul kakek. Bukan hanya saya, tetapi ada beberapa orang teman saya yang juga dimarahi dan dipukul oleh beliau.

Selain menjalankan ritual Ramadhan, di masjid saya juga mulai belajar membaca kitab kuning. Menantunya paman yang mengajari saya. Biasanya itu berlangsung di siang hari setelah shalat Zhuhur dan setelah shalat Shubuh. Kitab-kitab yang diajarkan di antaranya adalah “al-Âjurûmîyyah”, “Safînah al-Najâh”, “Tîjân al-Darârîy”, dan lain-lain. Seluruhnya adalah kitab-kitab dasar.

Di masa-masa belakangan saya menemukan di hampir seluruh daerah di Indonesia tradisi membaca al-Qur`an bersama secara bergilir atau disebut juga dengan tadârus jamâ’îy, yang biasanya dilaksanakan setelah shalat Tarawih. Tetapi di waktu saya kecil tradisi semacam itu tidak ada di kampung saya. Tadarus memang ada, tetapi sifatnya sendiri-sendiri. Setiap orang akan saling membanggakan diri atas capaiannya dalam membaca al-Qur`an, “Saya sudah sampai surat ini di juz kesekian.” Sama, saya juga begitu. Terjadi semacam kompetisi di antara kami.

 

Ngabuburit, Menunggu Waktu Buka Tiba

Suasana ngabuburit di kampung saya sangat ramai. Banyak orang mengisinya dengan berjalan-jalan ke luar rumah, duduk-duduk di pinggir jalan, atau bermain-main di pinggiran sawah. Ada juga yang bermain layangan di lapangan. Semuanya bertujuan menunggu datangnya waktu buka.

Saya ingat, dulu kami sangat kreatif. Mainan tidak ada yang dibeli, semuanya dibuat sendiri. Di antara mainan yang paling saya sukai adalah kereta dorong yang terbuat dari bagal pisang. Cara membuatnya, bagal pisang itu saya bentuk seperti roda, tengah-tengahnya dilubangi dengan potongan bambu. Kemudian saya dorong seolah kereta yang sedang berjalan. Atau kalau bukan itu, saya kadang jalan-jalan dengan naik sepeda. Di roda depannya saya kasih pelepah bambu yang diikat pada penyangganya. Sehingga ketika sepeda itu dijalankan akan mengeluarkan bunyi seperti motor.

Ada permainan lain yang juga digemari oleh anak-anak kampung, tak terkecuali di bulan Ramadhan. Tetapi saya sendiri tidak pernah sekalipun mencobanya. Karena bagi saya permainan tersebut sangat menyeramkan. Ada seorang anak, kepalanya ditutup pakai sarung, dan tangannya memengang potongan kayu atau bambu. Anak tersebut disuruh berputar-putar, sementara teman-temannya membacakan kamaran-kamaran (mantera-mantera). Tak lama setelah mantera itu dibaca, tiba-tiba anak tersebut ‘kerasukan’ setan. Ia kemudian mengejar anak-anak yang lain dengan mengayun-ayunkan kayu atau bambu di tangannya. Kalau boleh dibilang, kurang lebih seperti permainan jailangkung. Terkadang ada yang kerasukannya cukup lama, sehingga beberapa orang dewasa menangkapnya dan memasukkannya ke dalam air supaya sadar kembali.

Di waktu kecil, hal yang sering saya lakukan juga di bulan Ramadhan, di siang hari saya suka mengoleksi (mengumpulkan) makanan yang berasal dari pepohonan. Misalnya, saya mengambil jambu, rambutan, mangga dan buah-buahan lainnya. Setelah terkumpul, saya lalu menumpuknya dalam sebuah wadah. Ketika waktu buka tiba, selain makan penganan yang diberikan kakek, saya juga memakan buah-buahan tersebut.

Saya pernah menceritakan itu dalam sebuah tulisan saya yang dimuat di salah satu media, yaitu tentang “Kita Berbuka dengan Racun”. Maksud saya begini: sekiranya Nabi Adam as. sekarang hadir di tengah-tengah kita di Jakarta, lalu kita membawanya masuk ke dalam sebuah apotek, pasti beliau akan sangat terkejut ketika melihat banyak sekali obat-obatan untuk berbagai jenis penyakit. Karena di zaman beliau dulu semua obat-obatan itu tidak ada, dan penyakit-penyakitnya pun tidak ada. Kemudian, kalau kita membawanya masuk ke sebuah mall, tentu beliau juga akan sangat keheranan ketika melihat banyak sekali jenis makanan. Karena semua makanan itu tidak ada di zaman beliau dulu. Bahkan untuk makan buah khuldi pun beliau dilarang.

Makanya pada masa kecil dulu saya merasa berbuka dengan makanan-makanan yang sehat, makan buah-buahan. Atau, saya dulu juga punya kesenangan menangkap belut dengan memakai murek (sejenis pancing tetapi khusus hanya untuk menangkap belut). Murek itu saya masukkan ke lubang di sekitar sungai, kalau sudah kena belutnya kemudian saya tarik. Setelah dapat saya lalu memanggangnya di atas perapian. Dan setelah matang lalu saya memakannya. Rasanya nikmat sekali. Belut juga merupakan makanan yang sehat, mengandung banyak protein.

Bisa dilihat, saya berbuka puasa dengan buah-buahan yang saya ambil langsung dari pohonnya, belut yang ditangkap langsung dari area sungai, dan kadang juga kolak yang dibuat sendiri. Semua itu adalah makanan yang sehat, tidak ada racunnya bagi tubuh. Dan semuanya sangat sederhana, apa adanya.

Namun sekarang saya harus kehilangan itu semua. Suasana kampung yang alami dan penuh keasrian, sekarang telah sirna termakan oleh zaman. Rimbunan pohon bambu yang tumbuh di sana-sini, sekarang sudah ditebangi dan diganti dengan pembangunan rumah-rumah mewah nan megah. Pohon-pohon yang penuh dengan buah-buah yang ranum, sekarang sudah hilang entah ke mana. Sungai dengan airnya yang sangat jernih sehingga mengundang keinginan saya untuk memancing di sana, sekarang menjadi sangat kotor, keruh, penuh sampah dan limbah.

 

Pengalaman Masa Lalu; Proses Pencarian Jati Diri

Ada beberapa pengalaman di masa kecil yang hilang, dan saya merasa kehilangan. Di antaranya suasana kampung yang alami, pengalaman ketika menyaksikan kakek atau orang-orang dewasa lainnya membagi makanan kepada anak-anak kecil, juga pengalaman ketika mencari makanan di siang hari untuk keperluan buka, semua itu benar-benar saya rindukan.

Selain itu, ada beberapa pengalaman di masa kecil yang hilang, tetapi saya tidak merasa kehilangan karena perkembangan paham keagamaan saya. Di antaranya shalat Tarawih ramai-ramai di masjid, saya tidak merasa kehilangan atau merindukannya. Karena banyak orang sekarang ini yang memindahkannya ke rumah-rumah. Dalam posisi saya sebagai ustadz, misalnya, saya sering diundang shalat Tarawih di rumah-rumah masyarakat. Fungsi saya di situ sebagai penceramah. Tetapi saya tidak merasakan suasana religius atau suasana yang memberikan pengalaman keruhanian, selain hanya untuk menghadiri acara dakwah. Atau paling tidak, meretri pengalaman saya ketika melaksanakan shalat Tarawih pada waktu kecil. Dan di masa kecil dulu saya melaksanakan shalat Tarawih memang bukan untuk pengalaman keagamaan, akan tetapi menjadi semacam hiburan. Saya kira tidak ada anak-anak yang merasakan pengalaman keruhanian di dalam shalat Tarawih selain kebahagiaan, kegembiraan dan keceriaan.

Di waktu saya masih kecil, kampung saya belum terganggu dengan kehadiran paham Muhammadiyah. Justru sayalah yang membawa paham itu pertama kali pada saat saya sudah menginjak usia dewasa. Saya mengikuti shalat Jum’at di masjid. Setelah azan pertama, semua orang berdiri untuk melaksanakan shalat Qabliyah Jum’at, kecuali saya. Saya hanya duduk mematung. Dan saya merasa semua orang memandang saya dengan pandangan permusuhan. Ketika hati saya resah, saya teringat sabda Nabi saw., “Akan datang padamu suatu zaman, orang-orang berpegang teguh pada agamanya sama seperti orang yang memegang bara api. Jika ia lepaskan, bara itu akan padam.” Keresahan saya pun berkurang. Saat itu saya merasa, saya sedang berjuang untuk menegakkan sunnah Nabi saw. Saya tidak mau bergabung melaksanakan shalat Qabliyah Jum’at, yang saya pandang sebagai bid’ah. Semua bid’ah sesat, dan semua kesesatan masuk neraka. Karena itulah saya kemudian berselisih dengan paman saya. Sehari-hari aktivitas saya mengajak berdebat dengan semua orang. Bahkan pernah suatu saat saya diturunkan dari mimbar pengajian oleh paman saya.

Kedatangan paham Muhammadiyah di kampung kemudian merubah tata cara pelaksanaan shalat Tarawih. Bacaan shalawat “shalli wa sallim wa bârik ‘alayh” dan pujian kepada empat sahabat Nabi (Abu Bakar, Umar, Utsman dan Ali ibn Thalib) yang biasanya dilantunkan setiap dua rakaat dihilangkan, karena dianggap sebagai bid’ah. Sehingga shalat Tarawih kemudian menjadi tidak ramai dan tidak menarik lagi—bisa dibilang agak kering—, khususnya bagi anak-anak. Di samping itu, rakaat shalat Tarawih yang biasanya 23 rakaat dikurangi menjadi 11 rakaat.

Kalau diamati, Muhammadiyah tampak lebih serius dalam pelaksanaan shalat Tarawih. Meski jumlah rakaatnya lebih sedikit, tetapi bacaan imamnya pelan. Bahkan ditambah juga dengan ceramah, baik sebelum ataupun sesudah shalat. Saya kira itu merupakan kreasi belakangan dari perkembangan pemikiran Muhammadiyah. Ajaibnya, sekarang acara ceramah mendominasi dalam pelaksanaan shalat Tarawih di perkotaan. Bandingkan dengan NU yang membuat kreasi melantunkan bacaan shalawat “shalli wa sallim wabârik ‘alayh” dan pujian kepada empat sahabat Nabi. Tetapi oleh Muhammadiyah itu dibid’ahkan, dan Muhammadiyah kemudian membuat bid’ah baru yaitu acara ceramah. Jadinya sama saja.

Saya melihat pada umumnya di perkotaan, kecuali di Masjid Istiqlal, pelaksanaan shalat Tarawih hanya 11 rakaat yang disertai dengan acara ceramah. Kadang dilakukan di rumah-rumah. Padahal di masa kecil saya dulu tidak shalat Tarawih dilaksanakan di rumah-rumah. Semuanya dilaksanakan di masjid atau mushalla. Malah mungkin aneh kalau dilaksanakan di rumah-rumah. Tetapi, apa yang dianggap aneh itu kemudian menjadi lazim.

Dengan pemahaman agama saya sekarang sebagai penganut Syi’ah, saya tidak melaksanakan shalat Tarawih sama sekali, kecuali kalau saya diundang untuk acara ceramahnya. Jadi, saya menghadiri shalat Tarawih kalau di situ saya memang diminta untuk memberikan ceramah saja. Itu pun kadang-kadang saja, kalau memang tidak bisa dihindari. Artinya begini: kalau saya diundang memberikan ceramah sebelum Maghrib, saya tentu tidak ikut shalat Tarawih. Kalau diundang setelah Isya`, sebelum shalat Tarawih, saya juga tidak ikut shalat. Kalau diundang setelah shalat Tarawih, saya biasanya hadir setelah shalat, hanya sekedar untuk memberikan ceramah. Sebisa mungkin saya menghindari shalat Tarawih. Kalau tidak bisa dihindari, dengan terpaksa saya mengikutinya.

Dulu, sebagaimana tradisi NU, tahlilan termasuk acara yang paling saya sukai. Karena itulah kesempatan saya mendapatkan makanan yang ‘rada’ bergizi. Biasanya, kawan saya yang kebetulan berduka-cita menjadi ‘bintang’ di dalam pergaulan sehari-hari. Saya kerap melakukan ‘PDKT’ kepadanya, karena dialah yang mempunyai hajat. Saya datangi rumahnya supaya diberi makanan.

Saya merasa pemikiran saya mengikuti perkembangan yang terjadi di tengah-tengah masyarakat. Sebagai pribadi, misalnya, saya dulu ikut shalat Tarawih ramai-ramai, itu karena memang ada di lingkungan sekitar saya. Kemudian saya mengikuti shalat Tarawih dari yang 23 rakaat menjadi 11 rakaat, itu juga karena ada di masyarakat, yaitu ketika munculnya paham Muhammadiyah.

Kalau boleh “GR”, saya katakan bahwa pemikiran saya mengikuti sejarah perkembangan pemikiran di Indonesia. Saya adalah sejarah perkembangan pemikiran di Indonesia dalam sebuah miniatur. Maksud saya begini, dulu paham keagamaan yang dominan adalah NU. Setelah itu, secara berangsur-angsur, bersamaan dengan urbanisme atau masuknya kehidupan kota, Muhammadiyah mulai masuk. Tetapi, lama-kelamaan Muhammadiyah sepertinya tidak sanggup bertahan, bahkan dalam kehidupan kota sekalipun. Malah pengaruh-pengaruh NU bisa masuk ke dalamnya. Sehingga paham keagamaan di kota lebih banyak merupakan campuran antara Muhammadiyah dan NU.

Jadi, pemikiran saya mengalir mengikuti arus. Secara pribadi, di dalam diri saya tidak ada guncangan. Saya justru mengalami guncangan dengan masyarakat. Misalnya, seperti tadi saya sebutkan, ketika membawa paham Muhammadiyah ke kampung saya berselisih bahkan sampai bertengkar dengan seluruh keluarga saya.

Kalau digambarkan, berdasarkan pengalaman hidup saya tentunya, saya telah melewati beberapa fase dalam keberislaman saya. Awalnya saya melewati fase Islam Fiqhîy. Kelompok Islam Fiqhîy selalu melihat kebenaran melalui kaca mata fikih. Mereka cenderung mengatakan, “Semua orang masuk neraka kecuali pengikut madzhab saya.” Katakanlah ketika menjadi orang NU saya menganggap orang Muhammadiyah sesat dan akan masuk neraka. Sebaliknya ketika menjadi orang Muhammadiyah saya menganggap orang NU sesat dan akan masuk neraka. Karena mereka ahli bid’ah, “Kullu muhdatsat-in bid’ah, wa kullu bid’at-in dhalâlah, wa kullu dhalâlah fî al-nâr” (Setiap hal yang baru—dalam agama—adalah bid’ah, setiap bid’ah adalah kesesatan, dan setiap kesesatan tempatnya di neraka).

Saya pernah melewati fase Islam Fiqhîy itu, baik ketika menjadi orang NU maupun ketika menjadi orang Muhammadiyah. Saya menjadi orang NU karena saya memang terlahir dari keluarga NU. Setelah dewasa saya pergi ke kota. Di sana saya bergabung dengan orang-orang Muhammadiyah. Lalu saya pun menjadi orang Muhammadiyah. Saya kemudian dididik di Darul Arqom, sebuah lembaga khusus untuk mencetak kader-kader Muhammadiyah. Setelah itu, di kota juga, saya kemudian bergabung dengan orang-orang Persis. Waktu itu, Persis dan Muhammadiyah hanya menjadi gejala perkotaan.

Setelah itu saya bergabung dengan gerakan-gerakan “ekstrem-radikal”, yang bertujuan menegakkan syariat Islam. Waktu itu saya ingat ayah saya dulu lari dari kampung dan bergabung di DI/TII. Dan saya yang merasa sebagai generasi muda harus melanjutkan perjuangan beliau dalam menegakkan syariat Islam di negeri ini. Tetapi saya tidak pernah sekalipun terlibat dalam aksi-aksi bom. Karena memang gerakan-gerakan “ekstrem-radikal” yang muncul pada waktu itu hanyalah gerakan-gerakan pemikiran semata. Berbeda dengan aliran-aliran DI/TII yang muncul belakangan ini yang mengekspresikan keyakinannya dengan melakukan kekerasan berupa aksi-aksi bom bunuh diri.

Meskipun begitu, tetap saja saya dipanggil polisi beberapa kali. Untung saja saya tidak dipenjara. Malah saya pernah dikeluarkan dari sebuah perguruan tinggi. Fase ini saya sebut dengan fase Islam Siyâsîy. Kelompok Islam Siyâsîy kerap mengatakan, “Semua orang akan masuk neraka kecuali orang Islam.” Jadi, dalam pahamnya hanya orang Islamlah yang akan masuk surga, apapun madzhabnya yang penting mereka menegakkan syariat Islam. Berbeda dengan fase Islam Fiqhîy, di mana orang yang melewatinya berkata, “Semua orang akan masuk neraka kecuali pengikut madzhab saya.”

Dilihat dari segi wacana, kelompok Islam Fiqhîy selalu mengangkat wacana-wacana fikih. Intinya, wacana-wacana fikih menjadi primadona dalam pemikirannya. Dan mereka biasanya mengukur derajat masing-masing melalui fikih. Misalnya, saya melihat ada orang shalat di masjid. Saya akan mengamati secara detail bagaimana ia melaksanakan shalat. Saya akan coba-coba nguping apakah dalam rukuknya ia membaca “Subhân-a Rabbîy al-‘Azhîm wa bi Hamdih-i”. Dari sini saya menjadi tahu ia orang NU. Kalau hanya membaca “Subhân-a Rabbîy al-‘Azhîm” saja, berarti ia orang Muhammadiyah. Kalau orang Persis lebih mudah ditandai, sebab ketika duduk untuk salam ia menggerak-gerakkan telunjuknya. Kalau sekarang yang menggerak-gerakkan telunjuk biasanya orang dari kelompok Salafi.

Bagi kelompok Islam Fiqhîy, gambaran ideal dari masyarakat adalah “masyarakat Islam di zaman Nabi”. Dalam konteks ini, hadits yang biasa mereka kemukakan adalah, “Khayr al-qurûn qarnîy, tsumma al-ladzîn-a yalûnahum, tsumma al-ladzîna yalûnahum” (Sebaik-baiknya masa adalah masaku. Kemudian setelahnya, kemudian setelahnya). Jadi, serba masa lalu, selalu bercermin kepada orang-orang salaf.

Sementara bagi kelompok Islam Siyâsîy, paling tidak dalam perkembangan pemikiran saya, masalah fikih tidak lagi menjadi sesuatu penting. Wacana utamanya adalah ideologi: Islam sebagai sebuah ideologi. Islam adalah solusi yang bisa memecahkan segala persoalan. Gambaran masyarakat yang ideal menurut mereka adalah “Masyarakat yang menegakkan syariat Islam”. Sikap mereka terhadap kelompok-kelompok non-Muslim sangat keras. Tema-tema yang selalu mereka angkat seperti kristenisasi, konspirasi dunia untuk menaklukkan Islam, zionisme internasional dan lain sebagainya.

Bandingkan dengan kelompok Islam Fiqhîy. Mereka tidak ada yang bicara tentang ideologi, kristenisasi, konspirasi dunia untuk menaklukkan Islam, zionisme internasional. Fokus mereka hanya pada masalah-masalah fikih yang tidak mendunia seperti tema-tema yang diangkat oleh kelompok Islam Siyâsîy. Saya mengalami bagaimana hidup dan menjadi bagian dari kelompok Islam Siyâsîy ini. Bahkan saya sempat membina kader-kader di Masjid Salman Bandung dan di kampus-kampus. Sampai akhirnya melahirkan pimpinan-pimpinan PKS sekarang ini. Jadi, pemimpin-pemimpin PKS yang sekarang banyak berhutang budi kepada saya. Di samping saya juga banyak mengilhami kelompok-kelompok DI TII.

Kalau dihubungkan dengan tradisi Ramadhan, bagi kelompok Islam Siyâsîy Ramadhan adalah bulan training. Saya masih ingat dulu pusat training-nya di Masjid Salman. Di situlah ideologi dimasukkan kepada para peserta training. Biasanya bersifat instan, dan ada ukurannya: kalau sebelum traning mereka tidak memakai jilbab, maka setelah training mereka memakainya. Kalau sebelum traning mereka tidak kenal agama, maka sesudah training mereka menjadikan agama sebagai jalan hidup. Pada akhirnya, yang ditanamkan ketika training adalah kecintaan kepada syariat Islam, selain juga berbagai hal yang menjadi mimpi-mimpi kelompok Islam Siyâsîy. Intinya, Islam-lah yang akan menjadi solusi bagi problem-problem masyarakat modern sekarang ini.

Di fase Islam Siyâsîy banyak tradisi saya yang berubah. Misalnya, apakah saya melaksanakan shalat Tarawih atau tidak, itu tidak penting lagi. Tetapi apakah shalat Tarawih itu berbekas dalam kehidupan sosial saya sehari-hari, itu yang dilihat. Malah pada fase itu saya cenderung meremehkan fikih. Saya tidak lagi memperdulikan tentang air suci yang mensucikan, jenis-jenis najis, larangan-larangan dalam haid atau nifas, shalat, dan tatacara ibadah lainnya. Karena saya berpandangan bahwa Islam—meminjam bahasa Imam al-Khumaini—tidak semestinya dibatasi pada tempat tidur, masjid dan toilet saja, melainkan harus dibawa ke medan kehidupan.

Menurut saya, itu juga yang terjadi di masyarakat. Maksud saya, apa yang saya alami itu menandai juga bahwa di masyarakat pun sedang muncul gelombang Islam Siyâsîy. Artinya, saya memang lebih banyak mengikuti gelombang itu dan tiba-tiba dibawa ke dalam Islam Siyâsîy hingga kemudian saya banyak mengalami perubahan.

Setelah itu saya melewati fase Islam Sufi. Pada fase ini, di samping sibuk mengajar tentang tasawuf di mana-mana, saya juga mempelajari gerakan-gerakan tasawuf dan tarekat. Saya pernah menempuh pendidikan di Iran. Di sana saya lebih banyak belajar tasawuf daripada fikih. Saya mengaji tasawuf kepada putra Ayatullah Behjat, seorang tokoh sufi terkenal di abad ini. Mungkin maqam saya belum sampai untuk mengaji langsung kepada beliau, sehingga saya hanya mengaji kepada putra beliau yang menurut saya adalah peneliti kitab-kitab tasawuf. Jadi, kesufian saya waktu itu lebih bersifat teoritis (nazharîy-falsafîy) ketimbang amali. Dan saya tetap saja seperti anak nakal yang menjadikan agama sebagai entertainment (hiburan).

Ternyata, agama sebagai entertainment sekarang sudah diinstitusionalisasikan menjadi acara-acara di televisi, juga acara-acara dzikir bersama. Sebetulnya itu adalah pengalaman masa kecil saya yang sekarang diperbesar. Namun sekarang saya sudah tidak lagi kembali ke situ. Masuknya saya ke dalam Islam Sufi paling tidak telah banyak membantu merubah paradigma saya. Dan konsentrasi saya kemudian tidak lagi kepada fikih, akan tetapi kepada akhlak. Mungkin istilah “akhlak” terdengar agak elementer, makanya saya akan menggunakan istilah “al-takâmul” (proses penyempurnaan diri). Karena dalam tasawuf—secara sederhana—diri disempurnakan dengan akhlak.

Ketika mengajar tawasuf sebetulnya yang saya ajarkan adalah tasawuf akhlak. Saya tidak lagi masuk ke tasawuf nazharîy (teoritis), karena bagi orang awam saya pikir itu terlalu berat. Makanya, ketika mendirikan Yayasan Tazkiyah Sejati, pusat kajian tasawuf, di antara pembicaraan saya adalah tentang maqâmât (perpindahan dari satu maqam ke maqam yang lain), seperti sabar dan seterusnya. Dan dalam maqâmât pun perhatian utamanya adalah akhlak. Karena itulah saya lebih mengutamakan akhlak daripada fikih. Fikih tetap saya jalankan, tetapi kalau bertentangan dengan akhlak saya tinggalkan fikih itu. Misalnya, kalau saya shalat di tengah-tengah orang NU saya shalat sebagaimana orang NU. Kalau saya shalat di tengah-tengah orang Muhammadiyah saya shalat sebagaimana orang Muhammadiyah. Bagi saya, menjaga silaturrahim itu jauh lebih penting daripada mempertahankan paham fikih saya yang sangat subyektif.

Islam Sufi adalah pengalaman saya dalam periode transisi. Kebetulan juga waktu itu di tengah-tengah masyarakat Indonesia sedang bangkit revival sufism. Di mana-mana orang larut dalam living sufism. Bahkan ada juga urban sufism. Dan satu hal yang sangat memprihatinkan, karena pada waktu itu bermunculan “para pedagang tawasuf” yang menjajakan tasawuf, tetapi menurut saya apa yang mereka klaim sebagai tasawuf sama sekali tidak ada hubungan kerabat dengan tasawuf dalam pemaknaan yang sebenarnya. Saya lebih suka menganggap itu—sebetulnya—sebagai kebangkitan ilmu kebatinan atau mistisisme Jawa yang kemudian diberi warna Islam. Akibatnya, bukan lagi mursyid yang mengajarkan tasawuf, akan tetapi “orang pintar”. Bukan lagi pengalaman ruhaniyah yang mereka alami—misalnya, fanâ` (luruh dalam Tuhan) sebagaimana yang dialami para sufi—melainkan pengalaman klenik atau pengalaman-pengalaman gaib lainnya.

Nah, dalam situasi seperti itu saya merasa terpanggil untuk menghidupkan kembali tradisi tawasuf di masyarakat kota pada waktu itu. Akhirnya saya mendirikan Yayasan Tazkiyah Sejati di daerah Kuningan Jakarta. Orang-orang yang saya ‘pancing’ ketika itu adalah masyarakat perkotaan, mulai dari kalangan elit, dan kalangan dari kelas menengah ke atas. Tidak lama kemudian yayasan yang saya dirikan itu semakin maju. Peminatnya lumayan banyak. Saya ajarkan kepada mereka tasawuf rasional yang berdasarkan ajaran Nabi saw. Sampai akhirnya sponsor yang mendanai kami bergabung juga ke dalam kelompok tasawuf yang tadi saya sebut sebagai ilmu kebatinan atau mistisisme Jawa yang kemudian diberi warna Islam. Persaingan pun terjadi, tak bisa dielakkan. Pemenangnya adalah kelompok tersebut. Saya dan yayasan saya kalah telak. Pihak sponsor menilai dengan mengikuti tasawuf kelompok tersebut lebih cepat mendapatkan pengalaman gaib ketimbang mengikuti ajaran tasawuf saya. Disebutkan, misalnya, ada orang yang dikuburkan hidup-hidup beberapa saat, kemudian ia merasakan ruhnya keluar dari tubuhnya. Inilah rupanya yang membuat pihak sponsor lebih memilih kelompok tersebut.

Upaya memberikan nasehat kepada pihak sponsor sudah saya lakukan. Saya katakan kepada mereka bahwa tasawuf model seperti itu tidak benar. Karena nasehat saya tidak didengarkan, saya kemudian menghentikan seluruh kegiatan yayasan saya. Dan bubarlah Yayasan Tazkiyah Sejati. Sekarang gedungnya kosong, tak ada kegiatan apapun. Kalau boleh saya katakan, gedung itu sekarang lebih mirip seperti kuburan. Pendek kata, Islam Sufi saya kalah oleh Tasawuf Kejawen.

Tulisan tentang itu pernah ingin saya buat, tetapi sampai sekarang tidak kunjung selesai. Rencananya mau saya beri judul “Para Perampok di Jalan Tuhan”. Maksud saya begini: ada banyak orang di zaman modern yang ingin kembali lagi kepada agama tetapi disergap di tengah jalan oleh kelompok ekstrem sehingga mereka menjadi ekstrem juga. Mereka merasa diri paling benar dan menyalahkan semua orang. Ada banyak orang yang disergap oleh aliran-aliran tasawuf hingga mendapatkan pengalaman batin. Saya sebutkan sebuah kasus, dan saya telah menulis kisahnya yang dimuat di Tempo. Seorang gadis—mahasiswi dari fakultas kedokteran pada salah satu perguruan tinggi—masuk ke dalam sebuah aliran tasawuf di Jakarta yang dalam tempo 1 minggu bisa mempertemukannya dengan Tuhan. Singkat cerita, pada akhirnya gadis tersebut kehilangan harta kekayaannya, keperawanannya, dan bahkan kesehatan jiwanya. Mula-mula saya bermaksud ingin membantu menyembuhkannya, tetapi mungkin karena dia merasa terancam akhirnya dia menghilang tanpa jejak. Ibarat kata, seperti “domba-domba yang hilang”. Sebenarnya masih banyak sekali orang yang menjadi korban aliran-aliran tasawuf baru tersebut.

Julia Day Howell, seorang peneliti tasawuf dari Australia, pernah bertanya kepada saya tentang kriteria yang membedakan antara tasawuf sejati—yang sesuai dengan ajaran al-Qur`an dan sunnah Nabi saw.—dengan tasawuf model “para perampok di jalan Tuhan”. Saya katakan, bahwa tasawuf model “para perampok di jalan Tuhan” itu biasanya mudah ditandai. Pertama, UUD (Ujung-ujungnya duit). Ada-ada saja alasannya. Misalnya, untuk mahar dan lain sebagainya. Pokoknya, setiap kenaikan maqam selalu ditandai dengan ‘kontribusi’ alias sumbangan. Dan saya melihat, ternyata UUD juga banyak digunakan oleh gerakan-gerakan Islam yang muncul belakangan. Kedua, UUS (Ujung-ujungnya Seks). Ini sering terjadi di dalam gerakan-gerakan urban sufism. Banyak yang sudah menjadi korbannya.

Dalam fase Islam Sufi itu sebenarnya saya sudah banyak dipengaruhi oleh ajaran-ajaran Syi’ah. Tasawuf yang saya pelajari dan saya ajarkan juga banyak yang bercampur dengan ajaran-ajaran Syi’ah. Makanya, dalam tingkat intelektual yang lebih tinggi, saya sering menyebut Ibn Arabi karena dia ternyata menjadi kajian orang-orang Syi’ah. Ketimbang orang-orang Sunni, orang-orang Syi’ah mempunyai peran sangat besar dalam kajian Ibn Arabi. Penulis syarh dan ta’lîqât terkait karya-karya Ibn Arabi kebanyakan dari orang-orang Syi’ah. Bahkan, orang Sunni yang menulis syarh tentang karya Ibn Arabi juga dikomentari oleh orang Syi’ah. Jadi, pengaruh Syi’ah sangat besar dalam tasawuf.

Dari Islam Sufi saya kemudian masuk ke dalam apa yang saya sebut dengan Islam Madani. Mursyid saya dalam hal ini adalah Jean Jacques Rousseau. Karena konsep Islam Madani itu memang berasal dari bukunya yang bertajuk “Du Contrat Social”. Kalau sebelumnya, pada fase Islam Sufi, mursyid saya adalah Ibn Arabi, Mulla Sadra dan lain sebagainya. Tawaran-tawara Rousseau di dalam buku tersebut telah dirumuskannya sejak abad ke-18 Masehi, 100 tahun sebelum Perang Dipenogoro. Jadi, ketika nenek moyang kita sedang berkeluyuran membuang air besar di kebun-kebun, di Perancis ada orang bernama Rousseau yang memikirkan tentang hubungan agama dengan negara.

Saya pernah menghadiri seminar internasional tentang filsafat yang diselenggarakan di Jakarta. Saya katakan, kita telah ketinggalan dari Rousseau sekitar 300 tahun. Kalau sekarang kita berbicara tentang filsafat, berarti kita telah melakukan loncatan besar sekitar 300 tahun hanya untuk menjadi seperti Rousseau. Apalagi kalau dibandingkan dengan para filsuf yang lainnya sebelum Rousseau. Dan saya pikir Rousseau dulu juga melakukan lompatan cukup besar.

Kedutaan Perancis telah menerbitkan karya Rousseau tersebut dalam versi bahasa Indonesia bertajuk “Kontrak Sosial”. Saya kebetulan yang diminta untuk memberikan kata pengantar. Dalam buku tersebut Rousseau mengatakan, dalam hubungannya dengan negara, agama bisa menjadi pesaing. Sebab, orang beragama mengalami konflik di dalam dirinya antara kesetiaannya kepada agama dan kesetiannya kepada negara. Dan biasanya, kata Rousseau lagi, kesetiaan kepada agamalah yang menang. Artinya, warga negara, antara mematuhi gereja dan mematuhi negara, mereka pasti akan memilih mematuhi gereja meskipun harus melawan negara.

Hal itu juga terjadi di dalam gerakan-gerakan Islam Siyâsîy, seperti MMI, HTI dan lain sebagainya. Mereka tidak akan setia kepada negara. Mereka hanya setia kepada agama. Agama harus didahulukan sebelum apapun, “Anâ muslim qabl-a kull-i syay`-in” (Saya adalah muslim sebelum apapun). Saya dulu pernah mempunyai seorang pembimbing yang sebetulnya, menurut saya, tidak begitu mengerti bahasa Arab. Dia bilang begini, “Anâ muslimûn-a qabl-a kull-i syay`-in” (Saya adalah orang-orang muslim sebelum apapun). Padahal dalam bahasa Arab kata “anâ” (saya) itu adalah mufrad (singular), sementara kata “muslimûn-a” adalah jama’ (plural). Antara mufrad dan jama’ tidak bisa disandingkan. Jadi mestinya, mufrad harus disandingkan dengan mufrad. Misalnya, “Anâ muslim” (Saya muslim). Artinya, banyak orang dalam kelompok Islam Siyâsîy yang secara fisikal sok arabik, padahal secara subtansial mereka tidak mengerti apa-apa.

Kelompok Islam Siyâsîy juga beragam. Ada yang ekstrem, dan ada juga yang moderat. Kelompok yang ekstrem menolak semua peraturan negara. Bahkan mereka tidak mau mempunyai KTP (Kartu Tanda Penduduk). Sementara kelompok yang moderat menolak sistem parlemen karena dianggap sebagai sistem Barat. Dalam Islam, menurut mereka, tidak ada sistem parlemen. Lebih sederhana lagi, mereka menolak setiap kebijakan pemerintah. Dan lebih sederhana lagi—biasanya ini di tingkat bawah—menolak kehadiran paham dan agama yang lain. Jadi, mereka tidak mengenal paham pluralisme. Mereka sangat eksklusif. Mereka membagi dunia menjadi dua, yang pro dan yang tidak pro. Semua yang tidak pro dianggap anti. Hidup menjadi terlihat hitam-putih.

Rousseau mengatakan, bahwa sepanjang sejarah, negara yang kuat ditegakkan di atas keyakinan agama. Orang yang berjuang untuk negara sekaligus berjuang untuk agama, maka perjuangannya untuk negara itu menjadi perjuangan yang luhur. Kalau dasarnya agama, orang bisa mengorbankan jiwa dan raganya demi negara. Seperti anak-anak muda Iran yang antri meminta izin kepada Imam al-Khumaini untuk bisa berjihad membela negara. Mereka tidak hanya membela negara, tetapi—yang paling utama—adalah membela agama. Makanya Rousseau menginginkan adanya sebuah ideologi yang dasarnya adalah agama. Dan tidak ada pertentangan antara ideologi negara dengan ideologi agama. Ideologi agama bersatu menjadi ideologi negara.

Hal yang menarik, Rousseau malah menolak kristianitas untuk dijadikan sebagai “agama baru” tersebut, sebagaimana dia juga menolak Islam. Tetapi, di dalam buku “Kontrak Sosial” dia sangat memuji Nabi Muhammad saw. sebagai seorang tokoh Islam yang dia sebut dalam bahasa Perancis “La religion sivilla”. Saya menerjemahkannya sebagai “agama madani”. Dan “agama madani” inilah yang menjadi keberagamaan saya sekarang dalam hubungannya dengan negara.

Mungkin karena masalah duit, belakangan ini banyak bermunculan gerakan-gerakan Islam yang terinspirasi oleh kaum Wahabi. Berdasarkan hasil survei, bahwa segala hal yang ada di dalam Wahabi, apapun bentuknya, semakin hari semakin popular di dalam kehidupan kampus dan di tengah-tengah masyarakat kota, khususnya Jakarta. Bisa saja sebagian orang-orang Jakarta ini ada stres, sehingga mereka membutuhkan sebuah kepastian, termasuk dalam soal agama—agama harus pasti. Dengan mengikutinya mereka yakin akan menjadi saleh. Mereka tidak ingin terlibat dalam diskusi dan perdebatan yang tak pasti. Menjalani hidup ini saja sudah letih, apalagi bila ditambah diskusi dan perdebatan. Itu sungguh akan sangat melelahkan.

Jadi, ketika memasuki agama mereka menginginkan agama itu yang sederhana (simplistik), tidak membuatnya semakin lelah. Dan yang lebih penting lagi harus membuat mereka selamat. Tidak perlu mengikuti madzhab ini dan itu. Nah, di sinilah orang-orang Wahabi datang memberikan pemecahan sederhana yang—katanya—berpijak kepada ajaran orang-orang salaf. Ajaran-ajarannya yang serba sederhana mudah diterima oleh masyarakat awam.

Tetapi ajaran Wahabi mempunyai kekurangan sangat besar yang dibutuhkan oleh masyakarat modern, yaitu kehangatan spiritual. Maka muncullah kelompok-kelompok yang menawarkan “kehangatan spiritual sesaat”—yang penting Anda merasakan hangat saja secara spiritual. Sebutlah, misalnya, ada orang yang pergi ke apotek. Sebenarnya dia sakit, tetapi tidak peduli apapun penyakitnya yang penting dia mendapatkan Panadol untuk menghilangkan rasa nyerinya. Kalau, misalnya, penyakit yang dia derita asalnya demam, yang penting minum Panadol agar tubuhnya menjadi sedikit hangat. Dari sinilah kemudian muncul gerakan-gerakan “Islam Panadol”, yaitu yang memberikan kehangatan spiritual sesaat. Misalnya, “Kalau Anda ingin memperoleh kehangatan spiritual, maka ikutilah dzikir bersama,” dan seterusnya. Inilah yang saat ini sedang menjadi trend di tengah-tengah masyarakat perkotaan.

Ayatullah Khairi—kalau tidak salah—pernah mengatakan bahwa, kalau kita mengikuti tasawuf, kita tidak boleh hanya mengambil satu obat saja darinya untuk memberikan kepada kita pengalaman keagamaan. Tetapi, tasawuf itu harus bisa merubah jalan hidup kita. Jadi, kalau kita ingin sehat, misalnya, kita tidak hanya meminum obat Panadol saja. Selain itu kita harus melakukan olah raga, mengatur pola makan dan lain sebagainya. Pokoknya kita harus mengatur jalan hidup kita dengan aturan yang baru supaya kita bisa hidup sehat.

Saya kadang merasa lucu kalau melihat tingkah laku orang-orang modern sekarang ini. Di satu sisi ada menginginkan kesederhanaan dengan memeluk paham Wahabi. Di sisi lain ada yang ingin tetap dengan paham keagamaan mereka tetapi juga memerlukan kehangatan spiritual dengan mengikuti gerakan “Islam Panadol”, termasuk juga mengikuti Jama’ah Tabligh dengan segenap ritualnya seperti khuruj, ijtima’, jaulah dan seterusnya. Sekarang saya lihat para pengikut Jama’ah Tabligh terus bertambah. Untuk persaudaraan memang bagus. Tetapi jalan hidup mereka tidak ada yang berubah. Hanya begitu-begitu saja. Saya tidak menyalahkan mereka. Saya anggap yang mereka lakukan itu sebagai upaya untuk memenuhi kebutuhan spiritual lewat jalan yang sesingkat-singkatnya.

Belakangan ini juga muncul gejala Agama Panasea. Maksud Agama Panasea ini adalah agama yang dapat menyembuhkan segala macam penyakit. Tetapi orang-orang hanya mengambil satu saja dari agama itu. Sebagian ada yang hanya mengambil dzikirnya saja. Mereka percaya dzikir dapat menghilangkan semua persoalan hidup. Sebagian lagi ada yang hanya mengambil shalat malamnya saja. Sekarang kita kerap menemukan training-training shalat malam untuk penyembuhan penyakit, penyelesaian masalah rumah tangga, masalah kenaikan pangkat, dan masalah-masalah hidup lainnya. Dengan shalat malam mereka yakin akan dapat menyelesaikan semua itu. Sebagian lainnya ada yang hanya mengambil “Jagalah Hati”. Dengan memusatkan perhatian pada “penjagaan hati” mereka percaya akan terhindar dari masalah. Sebagian lainnya juga ada yang hanya mengambil “sedekah”. Mereka percaya bahwa sedekah adalah solusi bagi segala permasalahan hidup. Mereka berkeyakinan, kalau sudah belajar dan mengerti ilmu sedekah, maka ilmu-ilmu lainnya akan gugur dengan sendirinya. Mereka tidak perlu lagi belajar ilmu kedokteran untuk menyembuhkan penyakit, tidak perlu belajar ilmu marketing untuk membuat dagangan laris-manis di pasaran, tidak perlu belajar ilmu psikologi untuk menyembuhkan penyakit kejiwaan. Karena semuanya bisa diselesaikan dengan sedekah.

Islam seperti itulah yang sekarang sedang laku di mana-mana. Sehingga muballigh seperti saya tidak laku lagi. Karena saya bertentangan dengan itu semua. Saya ingin mereka merasakan kelezatan ruhaniyah melalui sebuah pengalaman yang panjang seperti yang dirintis oleh para sufi agung. Tetapi mereka bilang, “Kami tidak punya waktu. Entar kami keburu mati.”

Saya kerap mengajak mereka kepada Islam yang memberikan kontribusi sebesar-besarnya kepada masyarakat. Karena inilah yang menurut saya di antara ciri dari Islam Madani. Islam sebagai agama, mempunyai nilai-nilai. Pertama, al-qiyam al-juz`îyyah (nilai-nilai partikular), yang hanya khusus untuk umat Muslim. Al-Qur`an biasanya menyeru umat Muslim dengan ungkapan, “Yâ ayyuhâ al-ladzîna ãmanû…” (Wahai orang-orang yang beriman…”). Di antara nilai-nilai partikular Islam adalah potong tangan bagi pencuri, mendirikan negara Islam, memakai jilbab, dan lain sebagainya. Dan nilai-nilai partikular ini bisa bertentangan dengan aturan negara.

Kedua, al-qiyam al-kullîyyah (nilai-nilai universal), yakni untuk seluruh umat manusia di muka bumi. Al-Qur`an biasanya menyeru seluruh umat manusia dengan ungkapan, “Yâ ayyuhâ al-nâs…” (Wahai manusia…). Di antara nilai-nilai universal Islam adalah memberikan kontribusi bagi seluruh umat manusia, menyantuni kaum fakir-miskin dan lain sebagainya. Nah, inilah yang saya maksud dengan Islam Madani yang saya anut sekarang. Saya tetap muslim, tetapi fokus perhatian saya adalah bagaimana saya sebagai muslim memberikan kontribusi sebesar-besarnya kepada kemanusiaan, khususnya terhadap nasib bangsa ini. Inilah ukuran saya dalam beragama. Dalam masalah pemilukada Jakarta, misalnya, saya tidak lagi menggunakan ayat, “Yâ ayyuhâ al-ladzîna ãmanû la yattakhidz-i al-mu`minûna al-kâfirîna awliyâ`…” (Wahai orang-orang yang beriman, tidaklah orang-orang mukmin memilih orang-orang kafir sebagai pemimpin) untuk menyerang pasangan “Jokowi-Ahok”. Jujur, pada pemilukada Jakarta 2012 saya memilih Jokowi. Karena menurut saya, dia telah memberikan banyak kontribusi kepada kemanusiaan. Dalam hal ini, saya berpegang teguh kepada nilai-nilai universal Islam.

Dalam suatu kesempatan saya dimintai nasehat oleh Kota Madya Bandung dalam hal pendirian Komite Penegak Syariat Islam. Jadi, ceritanya, waktu itu gubernur yang akan segera berakhir masa jabatannya mencalonkan diri lagi untuk menjadi gubernur pada periode berikutnya. Dia ingin mengangkat tema syariat Islam dan membuat Perda Syariat agar dipilih kembali oleh masyarakat Muslim di Bandung. Saya tanya, “Ini syariat Islamnya yang mana? Apakah seperti Aceh di mana semua wanita harus pakai jilbab dan para penjudi dihukum cambuk, atau seperti di Cianjur di mana seluruh pegawai negeri harus shalat berjama’ah di Masjid Agung, atau seperti di Bulukumba di mana seluruh pegawai negeri tidak boleh naik pangkat kecuali setelah pandai membaca al-Qur`an? Mau yang mana ini?” Begitu pertanyaan saya. Tetapi mereka malah bilang ke saya, “Tolong Pak Jalal sebutkan dalil-dalil tentang jilbab, potong tangan…” Saya katakan, “Begini Pak, kalau saya boleh memberikan nasehat, dalam hal penegakan syariat Islam saya menganjurkan di sini dibangun perumahan sederhana bagi fakir-miskin, memberikan modal bagi mereka supaya bisa hidup layak, menetapkan gaji minimal tertinggi bagi para pegawai yang mencukupi kebutuhan hidup mereka. Kalau untuk ini, saya akan bawakan kepada Bapak dalil-dalilnya setebal kamus Munjid tentang perhatian Islam kepada fakir-miskin dan kaum lemah dari al-Qur`an dan sunnah. Dan itu lebih banyak daripada dalil tentang jilbab dan potong tangan.”

Dalam konteks keislaman saya sekarang ini, Islam Madani, maka mempersoalkan tradisi Ramadhan menurut saya sudah tidak relevan lagi. Apapun tradisinya bagi saya tidak menjadi masalah, yang penting dapat menumbuhkan spirit-spirit kemanusiaan dan kedamaian sebagaimana diajarkan oleh Rasulullah saw. melalui al-Qur`an dan Sunnahnya.

Sebagai manusia, saya bergabung dengan para penduduk planet bumi di dalam sebuah kapal. Saya dibawa berputar mengelilingi mentari. Setahun sekali saya bertemu lagi dengan hari kedatangan saya di kapal itu. Saya merayakan ulang tahun. Suatu saat, dalam sejarah alam semesta, saya harus meninggalkan kapal. Nama saya akan dicoret dari daftar penumpang. Bersama Nabi Ibrahim as., saya ingin mengantarkan doa ini dengan seluruh jeritan hati, “Tuhanku, anugerahkan pengetahuan kepadaku. Gabungkan aku dengan orang-orang yang saleh. Berikan kepadaku kemampuan meninggalkan kenangan indah (lisân shidq) bagi generasi sepeninggalku.” Kenangan indah apa lagi selain berusaha mendamaikan sesama muslim—sejak Muhammadiyah, NU, sampai Sunni dan Syi’ah. Dengan kenangan itu, saya ingin digabungkan dengan orang-orang saleh sepanjang sejarah—para imam, para ustadz, para tokoh agama, atau umat Muslim biasa pada umumnya. Dengan setiap orang yang berjuang untuk menegakkan masyarakat Muslim yang dibangun di atas saling menghormati dan saling mencintai.

 

* Artikel ini termuat dalam buku Rumah KitaB yang diterbitkan oleh Mizan tahun 2013 berjudul “MOZAIK RAMADHAN DAN LEBARAN DI KAMPUNG HALAMAN [Menelusuri Jejak-jejak Tradisi Ramadhan dan Lebaran di Nusantara]”

Teladan Kanjeng Nabi

Oleh: Ulil Abshar Abdalla

 

PENGARANG kitab “Akhbar al-Madinah” (Sejarah Kota Madinah), yaitu Ibn Syabbah, seorang perawi hadis dan ahli sejarah yang hidup pada abad ke-3 Hijriyah, menuturkan kisah yang menarik tentang Kanjeng Nabi Muhammad saw. Kisah ini, bagi saya, penting sekali karena bisa menjadi teladan bagi orang-orang yang hendak menjadi pemimpin.

Demikian kisah yang dituturkan Ibn Syabbah:

Tahun-tahun pertama ketika Kanjeng Nabi baru datang di Madinah dan secara fisik masih cukup kuat, beliau punya kebiasaan menjenguk orang-orang yang sedang sakit keras dan menjelang maut–“ukhtudhira“, “dying“. Kanjeng Nabi akan menunggui, membacakan istighfar, memintakan ampunan bagi sang pasien, hingga yang terakhir ini meninggal. Kadang-kadang Nabi menunggu berjam-jam.

Kebiasaan semacam ini menimbulkan rasa kasihan pada sebagian sahabat. Mereka tidak tega melihat Kanjeng Nabi menunggu berjam-jam. Urusan beliau, sebagai kepala proto-negara Madinah dan pemimpin agama, tentulah banyak. Akhirnya mereka bersepakat untuk tidak memberi-tahu Kanjeng Nabi jika ada sseeorang yang sedang sekarat. Mereka akan memberi tahu Nabi setelah yang bersangkutan meninggal.

Ketika Kanjeng Nabi diberitahu, beliau akan “cekat-ceket”, segera datang, menunggui jenazah hingga selesai di-“pulasara”, dikafani, lalu menyalatinya, dan kerap juga mengantarnya hingga ke pemakaman.

Melihat hal inipun, para sahabat merasa kasihan. Kanjeng Nabi kadang harus menempuh jarak yang jauh untuk melayat seseorang. Ketika Kanjeng Nabi sudah mulai sepuh, dan badannya tak sekuat ketika masih muda, kebiasaan ini tentu memberatkan Kanjeng Nabi dan menimbulkan rasa kasihan pada sahabat-sahabatnya.

Lalu, sahabat membuat kesepakatan baru. Mereka tak akan memberi tahu Kanjeng Nabi jika ada orang meninggal. Merekalah yang akan membawa jenazah itu ke Madinah, ke sebuah tempat di dekat “ndalem” beliau. Di sana ada dua pohon kurma. Di sanalah biasanya Kanjeng Nabi manyalatkan jenazah-jenazah yang dibawa untuk “di-sowan-kan” kepada beliau. Dengan demikian, Kanjeng Nabi tak perlu repot-repot untuk mendatangi rumah setiap jenazah yang kadang letaknya jauh dari Madinah.

Teladan ini, di mata saya, mengharukan sekali. Ini contoh “a caring leader“, pemimpin yang peduli pada mereka yang menjadi pengikutnya. Apa yang dilakukan oleh Kanjeng Nabi ini tampak sederhana, tetapi dampaknya sangat luar biasa. Teladan ini menciptakan perasaan “adem” pada para pengikut: bahwa pemimpin mereka peduli, bahwa mereka diperhatikan.

Dengan tindakan sederhana ini, Kanjeng Nabi menciptakan ikatan yang erat dengan umat yang menjadi pengikut, juga “trust“, kepercayaan. Ikatan ini tak bisa lahir karena ceramah saja, melainkan teladan yang langsung dilakukan oleh sang pemimpin.

Eloquent speeches about common values, however, are not nearly enough,” kata James Kouzes dalam buku klasik mereka tentang bagaimana menjadi pemimpin, “The Leadership Challenge“. Artinya: khutbah yang berjela-jela tentang nilai yang baik, bagaimanapun, tak memadai. Tindakan seorang pemimpin jauh lebih “makjleb” dan menembus perasaan para pengikut.

Prinsip pertama tentang memimpin, menurut Kouzes, adalah “model the way,” memberi contoh. Ki Hajar Dewantara merumuskannya dalam kalimat yang indah: ing ngarsa sung tuladha, ing madya mangun karsa, tut wuri handayani.

Empat belas abad yang lampau, Kanjeng Nabi telah meneladankan prinsip yang sekarang menjadi tampak “keren” karena ditulis dalam buku-buku manajemen yang kerap kita lihat di rak-rak toko buku bandara itu.[]

 

RAMADAN YANG MENGESANKAN

Oleh Dra. Sinta Nuriyah Wahid, M.Hum

[Ibu Negara RI Ke-4 – Ketua Umum Yayasan Puan Amal Hayati]

 

“Kalau ditilik dari segi esensinya, puasa sebenarnya mengajarkan kita untuk makan secara teratur, yakni dua kali sehari (waktu buka dan sahur). Namun pada praktiknya, dana yang dikeluarkan lebih banyak di bulan Ramadhan ketimbang di bulan-bulan lainnya. Bisa dilihat dari makanan yang dikonsumsi di bulan Ramadhan, misalnya di dalam keluarga saya. Untuk buka kami biasa makan nasi, kolak, snack dan gorengan. Sebelum tidur kami juga masih menikmati snack, belum lagi makanan untuk sahur. Jadi, kalau dipikir-pikir, dalam tataran praktik, di bulan Ramadhan ternyata memang lebih boros.”

 

 

Suasana Ramadhan

Sebagai anak dari salah satu keluarga muslim, sejak kecil—umur 5 atau 6 tahun—saya sudah diajari berpuasa. Seperti biasa, orangtua mengajari saya puasa secara dogmatik—untuk tidak mengatakan memaksa. Saya tidak mempunyai hak untuk mempertanyakan untuk apa berpuasa selain bahwa itu sebagai kewajiban dari agama. Dan memang tidak pernah sedikitpun terbesit di benak saya untuk mempertanyakannya. Dalam konteks ini, rasionalitas tidak mendapatkan ruang sama sekali. Orangtua tidak pernah membiarkan anaknya menggali kesadaran dari dirinya sendiri.

Saya merasa nyaman dengan suasana di kampung yang sangat natural. Suasana puasanya lebih terasa. Dari pagi saya sudah sibuk mengumpulkan berbagai jenis makanan untuk buka. Saya ingin makan ini, itu dan segala macam. Padahal saat berbuka, makanan-makanan itu tidak termakan semuanya. Malah yang sering terjadi, minum sedikit saja saya sudah merasa kenyang, dan tidak berselera lagi untuk menyantap makanan yang lain.

Di siang hari, ummi (ibu saya) rutin menyuruh saya bersama adik-adik untuk mengaji al-Qur`an dan dipimpin oleh beliau sendiri. Di depannya sudah tersedia sebuah penggaris yang setiap saat akan melayang ke tangan kami apabila bacaan kami ada yang salah. Malam harinya, setelah shalat Isya`, kami melakukan shalat Tarawih berjamaah di surau/langgar. Bagi saya saat itu, shalat Tarawih merupakan satu di antara sekian banyak ritual Ramadhan yang paling menyenangkan. Saya bersama adik-adik dan teman-teman saya berangkat ke surau/langgar bareng-bareng. Biasalah, sebagai anak-anak kecil yang masih suka bermain, kami bergurau dan bercanda. Keramaian karena berkumpulnya para jamaah di surau/langgar membuat kami bersemangat untuk hadir di sana.

Saya melihat perbedaan puji-pujian yang dibaca ketika shalat Tarawih antara dulu dan sekarang. Seingat saya, dulu kami membaca nama-nama dan sifat-sifat Allah seperti “wujûd, qidam, baqâ`, mukhâlafat-u li al-hawâdits-i, qiyâmuh-u binafsih-i” dan seterusnya, di samping juga nama-nama dan sifat-sifat Nabi berikut ajaran-ajaran Islam lainnya yang sudah dikemas dalam bentuk syair yang dibuat oleh para ulama pesantren. Setelah shalat Tarawih, di surau/langgar biasanya ada kegiatan tadarus (ngaji al-Qur`an bersama).

Untuk anak kecil, termasuk juga saya waktu itu, yang paling sulit di bulan Ramadhan adalah dibangunkan untuk sahur sekitar jam 2 atau 3 dini hari. Biasanya sejak jam 2 ada beberapa orang yang berkeliling menabuh kentongan sambil berteriak-teriak membangunkan para penduduk kampung. Tetapi saya lebih suka melanjutkan tidur daripada bangun untuk sahur. Padahal, kalau tidak sahur besoknya ketika berpuasa saya kadang-kadang tidak kuat.

Kalau ditilik dari segi esensinya, puasa sebenarnya mengajarkan kita untuk makan secara teratur, yakni dua kali sehari (waktu buka dan sahur). Namun pada praktiknya, dana yang dikeluarkan lebih banyak di bulan Ramadhan ketimbang di bulan-bulan lainnya. Bisa dilihat dari makanan yang dikonsumsi di bulan Ramadhan, misalnya di dalam keluarga saya. Untuk buka kami biasa makan nasi, kolak, snack dan gorengan. Sebelum tidur kami juga masih menikmati snack, belum lagi makanan untuk sahur. Jadi, kalau dipikir-pikir, dalam tataran praktik, di bulan Ramadhan ternyata memang lebih boros.

Untuk hidangan buka dan sahur, yang menyiapkan adalah nenek saya yang dibantu oleh ummi dan seorang pembantu keluarga. Boleh dibilang, nenek saya adalah orang yang paling rajin di dapur. Mungkin beliau tidak terlalu percaya kepada ummi dan pembantu, kuatir masakan keduanya tidak enak. Makanya, beliau lebih sering memasak sendiri makanan untuk buka dan sahur. Dan tentu saja masakan beliau jauh berbeda dan lebih enak daripada di hari-hari biasa di luar bulan Ramadhan—kalau orang Jawa bilang, berkutengnya lebih banyak.

Terdapat beberapa kebiasaan di waktu kecil yang juga kerap saya lakukan di bulan Ramadhan, utamanya di siang hari sampai sore menjelang maghrib. Di antaranya adalah main di pinggir sungai yang tak jauh di sebelah rumah saya. Orang Belanda dulu menyebut sungai tersebut “Sungai Van Hengell”, dan kemudian orang Jawa menyebutnya “Sungai Penengel”. Di sana saya biasanya mandi dan menangkap ikan-ikan kecil, kermis (kijing) atau udang. Tetapi kalau kedapatan main di situ, saya langsung dimarahi oleh nenek. Mungkin beliau kuatir terjadi apa-apa dengan saya. Atau kalau tidak, saya biasanya pergi ke lapangan melihat anak-anak lelaki main layangan. Atau kadang-kadang saya pergi ke sawah mencari kinjeng (capung) dan kotrik (capung yang lebih kecil).

Semasa masih ada kakek, saya kadang pergi ke lapangan bersama beliau untuk menonton sepakbola. Melewati rumah-rumah penduduk, kemudian galengan (pematang) sawah. Sangat menyenangkan. Perpaduan antara hangat mentari senja dan angin yang berhembus sepoi-sepoi menghadirkan sensasi tersendiri.

Kebiasaan lainnya, saya bersama teman-teman suka berkeliling kota Jombang dengan berjalan kaki sambil membawa galah mencari buah kersen (buah kecil bulat berwarna merah dan rasanya manis). Kami memanjat pohonnya, kemudian mengambil buah-buahnya yang sudah matang dengan galah yang kami bawa.

Sambil berkeliling, kami juga mencari bungkus rokok untuk diambil capnya. Kami kumpulkan cap-cap rokok itu sebanyak mungkin. Kami menggunakannya sebagai mata uang mainan. Misalnya, kami membuat bioskop-bioskopan. Biasanya kami pakai senter yang diarahkan ke tembok. Gambarnya kami buat seperti wayang kulit. Siapapun dari teman-teman yang lain hendak menonton, harus membayar dengan menggunakan uang mainan dari cap bungkus rokok itu. Kalau tidak begitu, biasanya kami main bekel, sondah, gobak sodor, dll.

 

Ramadhan di Pesantren

Ketika sudah di pesantren, di bulan Ramadhan, kami mempunyai tradisi pindah-pindah pesantren. Sebenarnya saya adalah santri di Pesantren Tambak Beras. Kemudian di bulan Ramadhan, ketika sedang libur, untuk mengisi waktu luang saya mondok di Cukir. Dan di bulan Ramadhan berikutnya, saya mondok di pesantren yang lain. Kenapa harus pindah-pindah pesantren? Karena ada beberapa kitab di sebuah pesantren yang tidak diajarkan di pesantren lain. Katakanlah, misalnya di pesantren saya, untuk persoalan puasa, kitab yang dipelajari adalah “Fath al-Qarîb”, sementara di pesantren lain yang dipelajari adalah “Fath al-Mu’în”. Sehari-hari kegiatannya adalah ngaji kitab, full dari pagi sampai sore.

Pernah di bulan Ramadhan saya mondok di Singosari, di tempatnya Ust. Bashori Alwi, khusus untuk belajar al-Qur`an. Sebenarnya beliau tidak mempunyai pesantren. Hanya saja, pada saat itu, beliau dikenal sebagai seorang hafizh (penghafal al-Qur`an) yang ahli dalam hal qirâ`ât (mambaca al-Qur`an dengan lagu), sehingga banyak orang yang datang ke tempat beliau untuk belajar al-Qur`an. Nah, karena beliau tidak mempunyai asrama khusus santri seperti di pesantren-pesantren lain, maka mereka yang belajar di sana ngekost di rumah-rumah penduduk sekitar. Kalau saya dulu ngekost di kediaman Kiyai Nahrowi yang lokasinya tidak jauh dari kediaman Ust. Bashori Alwi.

Di kediaman Kiyai Nahrowi, saya dengan teman-teman mendapatkan perlakuan berbeda dengan di pesantren pada umumnya. Makanan yang saya nikmati adalah makanan rumahan yang sengaja disediakan oleh Ibu Nyai khusus untuk para santri yang ngekost di sana. Boleh dibilang agak sedikit mewah. Tetapi tetap saja, untuk urusan-urusan lain seperti mencuci pakaian, saya biasa mengerjakannya sendiri.

Namun, saya perlu menggaris bawahi, bahwa kegiatan saya nyantri di bulan Ramadhan itu tidak bisa disamakan dengan pesantren kilat seperti yang belakangan sedang marak. Sebab, pada dasarnya saya adalah santri dari sebuah pesantren, tetapi kemudian pindah—untuk sementara waktu, antara 15 sampai 20 hari, dan itu pun karena sedang libur panjang—ke pesantren lain di bulan Ramadhan untuk mempelajari kitab atau ilmu lain yang belum diajarkan pesantren saya. Sementara di pesantren kilat, yang masuk ke dalamnya adalah mereka yang belum menjadi santri (belum pernah mengenyam pendidikan di pesantren). Di situ mereka diajari tentang ibadah, seperti shalat dll., secara kilat.

Setiap bulan Ramadhan kegiatan saya selalu begitu. Selain untuk mempelajari kitab, menambah pengalaman, juga untuk “ngalap berkah” atau “tabarrukan” dari para kiyai— untuk memperbanyak guru. Dan sejak zaman dulu, para ulama besar pesantren seperti Mbah Hasyim Asy’ari, sering pindah-pindah pesantren. Tujuan utamanya adalah untuk menambah ilmu, memperbanyak guru dan mendapatkan berkah dari setiap ilmu yang dipelajari.

Dari segi metode pengajiannya, sebetulnya tidak ada yang berbeda antara satu pesantren dengan pesantren yang lain. Bedanya hanya di materinya saja. Suasananya juga berbeda. Teman-teman menjadi semakin bertambah.

 

Pengalaman Puasa Bersama Gus Dur

Awalnya, setelah menikah, saya dengan Gus Dur tinggal di rumah ‘Mertua Indah’ di daerah Matraman. Pengalaman puasa dengan Gus Dur biasa-biasa saja. Tidak ada yang istimewa. Hanya saja yang enak dari dia adalah karena dia tidak pernah rewel terkait urusan makanan. Tidak banyak nuntut dan tidak merepotkan. Dia makan apa adanya, baik ketika buka, sahur, dan juga di hari-hari biasa di luar bulan Ramadhan. Makanan yang paling disukainya adalah soto—soto apa saja; soto ayam, soto babat dan jenis-jenis soto yang lain. Tetapi tentu saja tidak setiap hari Gus Dur saya suguhi makanan soto. Setiap harinya saya menyediakan menu makanan yang berbeda-beda agar tidak bosan.

Setelah mempunyai anak satu, kami kemudian pindah ke Jombang dan tinggal di Pesantren Denanyar. Saat itu saya mendapatkan pengalaman menarik. Di bulan Ramadhan, saya bersama keluarga pesantren yang lain diminta secara bergiliran menjadi imam shalat Tarawih di beberapa mushalla di kampung khusus untuk ibu-ibu muslimat.

Ada momen-momen di mana saya dan Gus Dur selalu bergotong-royong dalam pekerjaan di rumah tangga, pada saat-saat tidak ada pembantu. Hanya saja memang, karena badannya agak subur, dia suka melakukan pekerjaan yang ada unsur airnya. Misalnya, kalau dia mencuci baju, saya yang menyetrika. Kalau dia mencuci perabotan, saya yang masak. Kalau dia ngepel lantai, saya yang nyapu rumah. Artinya, dia tidak menyerahkan sepenuhnya seluruh pekerjaan rumah tangga kepada saya, tetapi ada pembagian kerja yang adil dan seimbang.

Dalam hal mengurus anak juga demikian. Biasanya, yang namanya anak bayi, kalau malam pasti bangun sambil menangis minta disusui. Gus Dur biasanya bangun duluan mengganti popoknya—dulu belum pempers seperti sekarang. Setelah popoknya diganti, lalu diangkat dan diserahkan ke saya untuk disusui.

Untuk menambah uang belanja, saya melakukan kerja sambilan, yaitu menjual kacang dan es. Pekerjaan itu saya kerjakan malam hari dengan dibantu seorang pembantu yang menggoreng kacangnya, kemudian saya yang membungkus kacang dan es tersebut. Esok harinya, barang dagangan itu dibawa oleh seorang penjual dan juga dititipkan ke warung-warung.

Gus Dur memang tidak pernah enggan untuk membantu saya. Baginya, tidak ada salahnya bila suami membantu istrinya melakukan pekerjaan rumah tangga. Rasulullah saw. sendiri, yang menjadi panutan umat Muslim, semasa hidupnya juga kerap melakukannya. Dalam sebuah riwayat disebutkan bahwa, di tengah-tengah kesibukan mengurus umat, beliau masih sempat menjahit bajunya sendiri.

Kalau diamati lebih jauh, kesukaan Gus Dur membantu saya dalam mengerjakan pekerjaan-pekerjaan di rumah lebih disebabkan karena sifat romantisnya kepada saya. Harus saya akui, Gus Dur memang romantis. Dulu, ketika berada di luar negeri, Gus Dur mengirim surat-surat cinta kepada saya. Sayang sekali, surat-surat itu disimpan oleh ayah (abi) saya. Ketika rumah beliau dibongkar, lemari tempat menyimpan surat-surat itu hancur. Surat-surat itu pun hilang entah ke mana. Saya benar-benar sangat menyesalkan hal itu.

Setelah Gus Dur wafat di akhir tahun 2009, saya menemukan satu buku di antara sekian banyak buku yang dibawanya dari Baghdad-Irak. Di sampul depan buku tersebut tertulis beberapa kalimat dalam bahasa Arab dan Inggris yang ditujukan kepada saya. Tulisan tangannya sangat bagus. Kalimat pertama berbunyi, “Ma’a al-hubb wa al-tahannîy / with love and compliment” (Teriring rasa cinta dan penghormatan). Ternyata, buku tersebut dikirimkan Gus Dur kepada saya tahun 1966, tetapi tidak pernah sampai ke tangan saya. Baru setelah beliau wafat saya menemukan buku tersebut. Komentar menantu pertama saya, Mas Erman (suami Mbak Alissa), “Ya Allah bapak, masa’ kiriman bukunya baru sampai setelah 45 tahun.”

Pernah waktu di Jombang, saya dan Gus Dur naik becak. Saat itu sedang turun hujan. Biasanya, ketika turun hujan, tukang becaknya akan menutupkan tabir plastik di depan untuk melindungi penumpangnya supaya tidak terkena air. Begitu tabir plastik ditutupkan, Gus Dur tiba-tiba mencium saya. Kemudian saya bilang, “Hus…jangan gitu, nanti diintip tukang becaknya.” Dia malah menjawab, “Biarin aja, nanti biar tukang becaknya pingin.”

Sebagai seorang aktivis yang melayani masyarakat, kesibukan Gus Dur banyak sekali. Dia kerap meninggalkan saya dan anak-anak di rumah, bahkan di bulan Ramadhan sekalipun. Dia pergi ke Jakarta dan ke daerah-daerah lainnya. Mula-mula saya tidak mau ditinggalkan terus, bahkan saya sempat marah-marah sambil nangis. Tetapi lama-kelamaan saya bisa menerima itu, karena dilarang dan dicegah bagaimana pun dia juga akan tetap pergi. Kalau tidak pergi, bisa-bisa dia malah sakit.

Selama hidup dengan Gus Dur, setiap harinya saya tidak pernah melihatnya 24 jam berada di rumah. Paling lama hanya sejam atau beberapa jam, setelah itu dia pergi entah ke mana. Ada saja urusannya. Saat berada di rumah, yang dilakukannya adalah membaca buku. Yang dibacanya adalah buku-buku berbahasa Inggris, Prancis dan Arab. Ketiga bahasa ini sangat dikuasainya. Bahkan, karena senang dengan wayang kulit, dia juga menguasai bahasa Jawa Kuno (Sangsakerta). Atau kalau tidak membaca buku, biasanya dia tidur. Ketika anak-anak kami masih kecil, biasanya dia bermain bersama anak-anak sebentar, setelah itu dia tidur.

Lebih parah lagi ketika Gus Dur menjadi Ketua Umum PBNU (Pengurus Besar Nahdlatul Ulama). Waktu itu kami sudah tinggal di Jakarta. Karena kesibukannya semakin banyak, dia hampir tidak pernah ada di rumah. Sampai-sampai dia sadar sendiri, katanya, “Kalau saya terlalu lama di luar, nanti kalau pulang ke rumah, anak-anak bisa pangling ke saya. Ketika pertama kali sampai rumah, mereka mungkin akan langsung bilang, ‘Nyari siapa, Om?’”

Gus Dur sering mengajak anak-anak untuk jalan-jalan. Mereka biasanya diajak ke toko-toko buku. Tetapi anak-anak kadang tidak mau. Mereka bilang, “Nggak mau ah! Soalnya kalau di tengah jalan bapak ketemu temannya, bisa-bisa kami dicuekin sama bapak.”

 

Puasa Dawud

Saat masih di pesantren, puasa yang saya lakukan bukan hanya puasa Ramadhan, tetapi juga puasa Senin-Kamis seperti disunnahkan oleh Nabi. Kemudian, saya melihat salah seorang teman saya melakukan puasa Dawud (puasa selang-seling; hari ini puasa, hari berikutnya tidak, dan begitu seterusnya). Saya berpikir, kok sepertinya enak banget. Saya mencoba melakukan, dan saya merasa mampu. Lama-lama itu menjadi kebiasaan.

Di masa-masa awal pernikahan saya dengan Gus Dur, saya masih tetap melakukannya. Lalu ketika hamil dan kemudian melahirkan, saya berhenti berpuasa Dawud. Saya mempunyai anak kecil, tidak mungkin melakukannya. Waktu terus berjalan, dan dalam suatu kesempatan di mana saya mempunyai banyak sekali waktu luang, saya mulai melakukannya lagi.

Sampai suatu saat saya mengalami kecelakaan dalam sebuah perjalanan di bulan Ramadhan. Saya sangat bersyukur Allah masih menyelamatkan nyawa saya meskipun saya mengalami cedera amat parah. Dalam kondisi fisik yang sangat lemah, saya berhenti berpuasa, juga puasa Dawud. Kemudian, di bulan Ramadhan berikutnya, saya coba untuk berpuasa. Ternyata saya bisa dan kuat. Ketika bulan Ramadhan itu usai, saya melanjutkannya dengan puasa Dawud. Belakangan, ketika bapak mulai sering sakit, saya melakukan puasa setiap hari sampai sekarang. Tetapi saya jarang makan sahur, dan jarang sekali makan nasi. Biasanya saya hanya minum air putih dan tiga potong kue. Itupun saya sudah merasa sangat kenyang.

Tidak ada tujuan atau motivasi apapun di balik puasa yang saya lakukan setiap hari selain niat karena Allah. Saya banyak menemukan di masyarakat, ibu-ibu berpuasa untuk kelulusan anak-anak mereka menghadapi ujian sekolah. Atau untuk suami-suami mereka agar selalu sukses dalam meniti karir, baik di bidang usaha maupun politik. Malah sekarang saya banyak juga menemukan ibu-ibu pejabat yang melakukan puasa.

Saya tidak seperti itu. Saya tidak mempunyai pikiran apa-apa. Pokoknya saya berpuasa, dan itu semata-mata karena Allah. Anak-anak pernah bertanya kepada saya, “Ibu puasa tiap hari untuk apa?” Saya jawab, “Ya bukan untuk apa-apa, tetapi karena Allah.”

 

Sahur Keliling

Gus Dur diangkat menjadi presiden RI Ke-4. Kami sekeluarga mendapat hak menduduki istana negara. Memasuki bulan Ramadhan, melalui Yayasan Puan Amal Hayati yang saya dirikan jauh sebelumnya, sebuah gagasan saya cetuskan, yaitu sahur bersama kaum dhu’afa. Caranya adalah membeli makanan di warteg-warteg dan kemudian membagi-bagikannya kepada mereka yang membutuhkan, utamanya kaum dhu’afa. Waktu itu lingkupnya masih terbatas di wilayah Jakarta saja.

Kenapa sahur bersama? Kenapa bukan buka bersama? Karena buka bersama sudah banyak yang mengadakan. RT, RW, gedung bertingkat, hotel, partai politik hingga para pejabat tinggi negara, semuanya mengadakan. Namun saya heran, sebab orang-orang yang diajak berbuka kebanyakan kadang tidak berpuasa. Jangankan yang diajak, orang yang mengajak pun bahkan tidak berpuasa. Padahal tujuan buka itu untuk membatalkan puasa.

Berbeda dengan sahur bersama yang saya adakan. Setiap malam, dengan didampingi beberapa teman, saya berkeliling ke berbagai tempat di Jakarta, seperti di kolong-kolong jembatan dan perkampungan kumuh, membagi-bagikan nasi kotak kepada para fakir-miskin dan orang-orang di jalanan. Tujuannya untuk apa? Mengajak mereka untuk berpuasa. Dan saya selalu menekankan itu kepada mereka. Inilah bedanya antara buka bersama dan sahur bersama. Sebelumnya saya memberikan sedikit pengantar tentang makna dan hikmah puasa yang sebenarnya. Ketika sedang makan sahur, kami selingi dengan tanya-jawab tentang berbagai masalah kehidupan serta kesulitan-kesulitan yang mereka hadapi.

Buka bersama yang diadakan oleh para pejabat umumnya mengajak para sahabat dan kolega yang secara ekonomi mereka mampu. Demikian juga yang diadakan oleh partai-partai politik. Para mitra, kolega dan konstituen yang diundang berbuka adalah orang-orang ‘berkantong tebal’ alias banyak duit. Hidangan yang mereka sajikan bukan makanan biasa, melainkan makanan berkelas dan super mewah. Lantas di mana letak kepedulian mereka terhadap rakyat kecil?

Adapun sahur bersama yang saya dan teman-teman adakan benar-benar mengajak orang-orang tidak mampu, kaum lemah, kaum yang terpinggirkan dan kaum yang tidak dianggap keberadaannya. Makanan yang kami bagikan hanyalah nasi kotak. Saya berbaur dan mendengarkan keluh-kesah mereka. Saya katakan kepada mereka, bahwa di samping bersilaturrahim, bersahur bersama, saya juga belajar tentang makna hidup dan kehidupan yang sebenarnya dari saudara-saudara saya yang kurang beruntung itu.

Setelah Gus Dur dilengserkan, kegiatan sahur bersama itu tetap diadakan. Malah masyarakat di daerah-daerah juga meminta agar itu tidak hanya diadakan di Jakarta saja, tetapi juga di daerah-daerah. Nah, sejak itu kami mengadakan sahur keliling dari satu daerah ke daerah yang lain. Tiada tujuan dari kegiatan itu selain hanya untuk berbagi rasa dan membuat orang lain bahagia.

Beberapa teman ada yang mengusulkan agar dalam kegiatan itu juga mengajak orang-orang dari agama lain. Saya setuju dan kemudian kami mencobanya. Ternyata, itu mendapat sambutan sangat luar biasa dari Romo Beni dari Keuskupan, Matakin (Majelis Tinggi Agama Konghucu Indonesia) dan kelompok-kelompok lain. Oleh karena itu, kadang-kadang kami berbuka/sahur di Klenteng, kadang-kadang di halaman Gereja.

Kami kerap mengadakan sahur keliling di Jawa Timur, seperti di Pasuruan, Probolinggo, Jember dan daerah-daerah lainnya. Sebenarnya, dari segi fisik, saya dan teman-teman merasa letih sekali. Tetapi demi untuk berbagi kasih dan kehangatan kepada kaum dhu’afa, kami tetap melanjutkannya. Malah masyarakat di Jember berharap itu bisa diadakan lebih dari 1 hari. Mereka tidak mau kalau hanya 1 hari saja. Bahkan kadang, satu malam kami bisa di dua tempat mengadakan sahur bersama, yakni jam 1 dan 3. Jadi, dalam sebulan, kami bisa mengadakan di 35 tempat di berbagai daerah. Padahal bulan Ramadhan hanya 29 – 30 hari.

Kegiatan sahur keliling itu bukan tanpa perencanaan yang matang. Tiga bulan sebelum Ramadhan, saya sudah menghubungi cabang-cabang Yayasan Puan Amal Hayati yang ada di daerah; Inderamayu, Tasikmalaya, Lombok, Malang, Jember, Probolinggo dan Sumenep. Saya minta mereka membentuk panitia lokal.

Sampai sekarang, kegiatan tersebut masih terus berlangsung. Terdapat nilai-nilai pluralisme yang kami usung. Dalam berbagai kesempatan saya selalu menekankan, bahwa puasa memang mengajarkan untuk hidup rukun, saling merasakan penderitaan orang lain, saling menyayangi, saling menghormati, saling bergotong-royong dan menjalin persaudaraan antara sesama warga negara, termasuk dengan para penganut agama lain. Inilah sebetulnya maksud ayat al-Qur`an yang artinya, “Wahai sekalian para manusia, sesungguhnya Aku (Allah) menjadikan kamu sekalian bersuku-suku dan bergolong-golongan agar kamu sekalian saling berkenalan dan bergaul dengan sebaik-baiknya, karena sesungguhnya orang yang paling mulia di hadapan Allah adalah orang yang bertakwa,” [QS. al-Hujurat: 13]. Sedang maksud dari “la’allakum tattaqûn” (agar kalian bertakwa) di dalam ayat al-Qur`an [QS. al-Baqarah: 183] sehubungan dengan kewajiban puasa, adalah menjaga moralitas dan etika serta hubungan dengan Tuhan dan sesama manusia. Dalam bingkai moralitas ini, terkandung nilai-nilai kesabaran, kejujuran, keterbukaan, keadilan, kesetaraan, kebersamaan, kasih-sayang, toleransi dan nilai-nilai luhur lainnya.

Selama ini yang saya amati, masyarakat Muslim umumnya beranggapan bahwa berpuasa hanya sekedar untuk menggugurkan kewajiban agama tanpa mengerti hikmah dan tujuan puasa itu sendiri. Akhirnya mereka tidak mendapatkan apa-apa selain lapar dan dahaga, karena mereka memang tidak mengerti. Oleh karena itu, dengan kegiatan sahur keliling itu, saya berharap masyarakat dapat mengerti makna dan hakikat puasa yang sesungguhnya.

 

Mudik

Ketika berada di Jakarta (di rumah mertua bersama Gus Dur), mudik tidak mesti untuk berlebaran. Kapanpun, kalau memang diperlukan, kami biasa mudik ke Jombang. Kemudian, setelah mempunyai anak dan tinggal di Jombang, kalau lebaran kami pasti mudik ke Jakarta. Waktu itu kami naik kereta api Matarmaja (Malang, Blitar, Madiun, Jakarta). Atau kadang kami naik kereta api yang lebih bagus dengan harga tiket yang tentunya lebih mahal.

Ada hal yang paling berkesan dengan Gus Dur ketika berada di dalam kereta api. Saat sudah ngantuk, tidak peduli banyak orang atau tidak, dia pasti akan langsung tidur. Dan tidurnya bukan di atas kursi, melainkan di bawah beralaskan koran dan sebuah bantal sewaan. Terserah mau dilangkahi orang, pokoknya tidur saja. Sementara saya sendiri tidurnya di atas kursi.

Untuk keperluan buka dan sahur kami tidak mau ambil pusing, karena untuk mendapatkan makanan di atas kereta memang sangat mudah. Banyak orang yang berjualan makanan. Apalagi ketika kereta berhenti sebentar di stasiun Cirebon. Para penjual makanan berjubel naik ke dalam menawarkan berbagai jenis makanan. Kami tidak pilih-pilih makanan, apapun yang ada, mau nasi pecel atau apalah, kami langsung membelinya dan kemudian memakannya bersama-sama. Kami menikmatinya di tengah-tengah keriuhan suara manusia di dalam kereta yang tidak jauh beda dengan pasar.

 

Idul Fitri

Banyak hal yang harus disiapkan dalam menyambut Hari Raya Idul Fitri. Di antaranya adalah kue dan makanan-makanan lainnya. Selain itu, juga baju baru untuk saya, Gus Dur dan anak-anak. Untuk urusan kue dan makanan, saya sendiri yang menyiapkan semuanya dengan dibantu oleh anak-anak, karena anak saya perempuan semua.

Kemudian, untuk urusan baju baru, saya juga yang mengurusnya. Bahkan saya yang menjahitnya sendiri, kecuali baju untuk Gus Dur. Jadi, saya yang membeli kainnya di toko. Saya pilih yang terbaik menurut saya. Setelah itu saya potong-potong sesuai ukuran badan anak-anak, lalu saya jahit hingga menjadi baju-baju yang indah dan cantik. Gus Dur kadang protes ke saya, “Kalau anak-anak dibuatin baju, kalau saya tidak.”—tentu saja ini hanya bercanda saja.

Baju untuk Gus Dur memang bukan saya yang menjahit, sebab Gus Dur mempunyai penjahit langganan. Tetapi, yang memotong dan merapikan rambutnya saya sendiri. Dari dulu sampai saya kecelakaan, untuk urusan potong rambut, Gus Dur selalu mempercayakannya kepada saya. Di dalam keluarga, banyak hal yang saya bisa dan menjadi hobi saya; memasak, menjahit, memotong rambut, merangkai bunga, dll.

Hobi-hobi saya itu pernah saya ajarkan di pesantren, khususnya kepada para santri putri. Oleh karena itulah, setiap kali pergi keluar negeri, Gus Dur selalu membelikan saya buku-buku mode, bordil, merangkai bunga, dll. Gus Dur berharap buku-buku tersebut akan membuat saya senang dan pengetahuan saya tentang semua itu semakin luas dan matang.

Tradisi lebaran Idul Fitri antara Jombang dan Jakarta berbeda. Kalau di Jombang  penyajian ketupat biasanya dilakukan pada hari ke tujuh setelah lebaran, yang disebut Lebaran Ketupat. Tetapi makanan tersebut tidak disuguhkan untuk para tamu yang berkunjung ke rumah, melainkan dikirim ke sanak keluarga dan tetangga. Sementara kalau di Jakarta, ketupat dan lauk-pauknya serta kue-kue, dihidangkan pada hari pertama Hari Raya Idul Fitri untuk disantap oleh tamu yang datang bersilaturrahim.

 

Tradisi Nyekar dan Sungkem

Saat saya masih kecil biasanya ada tradisi nyekar atau ziarah kubur. Ayah saya sering melakukannya ke makam kakek dan para kiyai. Tetapi beliau tidak pernah mengajak saya dan ibu, karena perempuan memang tidak lazim berada di kuburan. Apalagi kami hidup di lingkungan pesantren. Begitu pun ketika saya sudah hidup bersama dengan Gus Dur. Dia melakukan ziarah ke makam-makam para leluhurnya. Sama seperti ayah saya, Gus Dur tidak pernah mengajak saya dan anak-anak. Dia tidak pernah mewajibkan kami melakukannya.

Tradisi sungkem juga ada. Ketika masih anak-anak, di Hari Raya Idul Fitri saya bersalaman dan meminta maaf kepada ayah dan ibu. Kemudian keduanya mengajak saya untuk mengunjungi rumah orang-orang yang lebih tua dan para sesepuh. Kami bersalaman dan meminta maaf. Keakraban dan jalinan silaturrahim di kampung memang sangat kuat, antara satu dengan yang lain saling peduli, saling bersimpati dan berempati. Tidak ada seorang pun yang merasa hidup terasing dan terabaikan, atau bahkan tersisihkan karena kemiskinan.

Sesudah menikah dan hidup dengan Gus Dur, tradisi sungkem menjadi tidak penting. Kami jarang melakukannya. Saya memang bersalaman dengannya, tetapi ketika saya meminta maaf dia hanya diam saja. Tidak memberikan respon apapun walaupun sekedar mengangguk, karena menurutnya, antara suami-istri semestinya memang harus selalu saling memaafkan, meskipun tidak ada acara saling minta maaf. Tradisi sungkem dan meminta maaf hanyalah formalitas belaka. Dari dulu Gus Dur memang tidak menyukai formalitas.

Ketika Gus Dur menjadi presiden, saya dan anak-anak mencoba membiasakan sungkeman. Tetapi tetap saja Gus Dur tidak suka. Saat kami mau bersalaman, dia bilang, “Ayo cepat, cepat! Salamannya jangan lama-lama!”

 

* Artikel ini termuat dalam buku Rumah KitaB yang diterbitkan oleh Mizan tahun 2013 berjudul “MOZAIK RAMADHAN DAN LEBARAN DI KAMPUNG HALAMAN [Menelusuri Jejak-jejak Tradisi Ramadhan dan Lebaran di Nusantara]”

SEMARAK RAMADHAN, BUKAN KONSUMERISME

Oleh Prof. Dr. Azyumardi Azra, MA.

[Direktur Sekolah Pascasarjana Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta dan Cendikiawan Muslim Indonesia]

 

“Di bulan Ramadhan konsumsi pasti mengalami peningkatan, tetapi itu tidak berarti juga peningkatan konsumerisme. Harus dibedakan antara peningkatan konsumsi dengan peningkatan konsumerisme. Contohnya, di bulan Ramadhan banyak orang yang merasa ada kelebihan rizki menyediakan makanan untuk ifthâr (buka puasa) atau sahur, baik di masjid maupun di rumah sendiri. Seperti saya dan keluarga yang kadang diminta oleh beberapa masjid di kampus dan lingkungan pertetanggaan untuk menyediakan makanan ifthâr atau sahur. Ketika saya melakukannya, konsumsi saya meningkat. Tetapi itu tidak ada kaitannya dengan konsumerisme. Saya dan keluarga hanya mencoba untuk berbagi dengan orang lain sebagai upaya meningkatkan kesalehan sosial.”

 

 

SAYA berasal dari Pariaman, Alam Minangkabau, yang sejak masa kemerdekaan menjadi Provinsi Sumatera Barat. Kalau Abak (ayah) berasal dari dusun Duku, Sungailimau, tidak jauh dari Pariaman, ibukota Kabupaten Padang/Pariaman. Sementara Amak (ibu) berasal dari dusun Cimpago, Kampungdalam, juga dekat kota Pariaman. Sekarang Sungailimau dan Kampungdalam menjadi dua kecamatan di Kabupaten Padang/Pariaman.

Para sejarawan hampir sepakat menyebut daerah Pariaman, wilayah pesisir barat, sebagai asal-muasal datangnya Islam. Islam menurut mereka datang pertama kali di Ulakan, tempat ulama besar Syaikh Burhanuddin, tokoh terkemuka Tarekat Syattariyah, yang makamnya di Ulakan sampai sekarang menjadi pusat ‘basapa’ (‘bersafar’) dan ibadah-ibadah lain para pengikut tarekat tersebut.

Sementara daerah pegunungan seperti Bukittinggi, Padangpanjang, Batusangkar, Payakumbuh, yang semuanya merupakan wilayah Bukitbarisan, disebut sebagai darek (darat, dataran tinggi, highland), tempat sumbernya adat. Sehingga orang-orang yang tinggal di daerah-daerah tersebut diklaim atau mengklaim diri sebagai masyarakat yang lebih beradat.

Berdasarkan pembagian Alam Minangkabau menjadi pasisia (pesisir) dan darek (dataran tinggi), maka ada ungkapan Minang, “Syara’ mendaki adaik menurun”. Maksudnya ungkapan ini adalah: Islam datang dari pesisir Pariaman, lalu naik ke dataran tinggi atau daerah pedalaman. Sedangkan adat turun dari wilayah dataran tinggi ke daerah pesisir.

Sekarang ini, kalau nama Pariaman disebut, ada orang-orang—apakah Minang atau non-Minang—yang berkomentar, “Wah, itu tempat di mana laki-laki dibeli, ya.” Saya sebagai orang Pariaman sulit membantah. Karena memang ada sebuah kebiasaan yang sudah ‘mentradisi’ di Pariaman yang menurut saya muncul belakangan, sekitar tahun 1970-an ke atas. Saat masih kecil di kampung pada 1960-an saya belum menemukan tradisi tersebut.

Tradisi yang saya maksud adalah dalam perkawinan, di mana keluarga calon mempelai perempuan memberikan sejumlah uang atau materi kepada mempelai laki-laki. Orang-orang Pariaman menyebut uang atau materi pemberian dari pihak perempuan itu dengan ‘uang hilang’. Besar-kecilnya tergantung status laki-laki calon mempelai; apakah ia sarjana atau tidak, kalau ia sarjana, maka sarjana apa. Kalau dokter, misalnya, jelas berbeda jumlah ‘uang hilang’-nya jika dibandingkan dengan SH, atau Drs.

Pihak mempelai laki-laki meminta ‘uang hilang’ tersebut dengan alasan—katanya—untuk biaya awal hidup berumah tangga. Misalnya, kalau kedua mempelai ingin mengontrak rumah, ya bisa diambil dari uang itu. Kata mereka, nanti uang tersebut akhirnya kembali juga kepada si mempelai perempuan. Tetapi kenyataannya tidak selalu begitu. Karena kemudian yang sering terjadi justru ‘uang hilang’ itu benar-benar ‘hilang’ diambil oleh pihak keluarga laki-laki. Di antaranya mungkin dipakai untuk biaya baralek (berhelat, walimah al-‘ursy resepsi pernikahan). Atau mungkin sebagian diberikan kepada anak laki-lakinya, sang pengantin.

Dalam tradisi itu, orangtua mempelai laki-laki mempunyai otoritas penuh dan hak untuk menentukan. Tidak bisa, misalnya, laki-laki dan perempuan menjalin hubungan ‘suka sama suka’ atau pacaran, lalu keduanya sepakat untuk menikah dan tidak ingin mengikuti tradisi yang berlaku tersebut, menikah tanpa ‘uang hilang’. Keduanya tetap harus mengikuti kemauan dan kesepakatan keluarga tentang ‘uang hilang’ tersebut. Tidak bisa tidak.

Banyak kritik terhadap tradisi ‘uang hilang’ tersebut, baik dari alim ulama, pemuka adat dan pemimpin pemerintahan. Tetapi tradisi itu sebagian besarnya nampak terus bertahan; dan nampaknya sudah menjadi semacam ‘gaya hidup’ dan ‘gengsi’.

Pada akhir 1940-an Abak dan Amak pindah ke Lubukalung, yang belakangan sering disingkat sebagai ‘LA’, yang terletak sekitar 25 km di selatan kota Pariaman, dan sekitar 30 km di sebelah utara kota Padang, di lintasan jalan raya Padang-Padangpanjang untuk terus ke Bukittinggi, Payakumbuh dan Pekanbaru; atau Padangpanjang untuk bisa terus ke Batusangkar, Solok dan wilayah timur Sumbar dan terus ke Jambi. Jadi, LA adalah wilayah urban, ramai dengan lalu lintas bus dan truk antar kota-antar provinsi.

Pada awal 1950-an Abak dan Amak dikaruniai dua orang anak laki-laki. Namun sayang, kedua kakak laki-laki saya ini tidak berumur panjang. Mereka meninggal sejak kecil. Setelah itu, sekitar tahun 1951, orangtua saya dikaruniai seorang anak perempuan yang diberi nama Raazni, yang setelah menikah sampai kini menetap di Jambi. Lalu pada tahun 1953 kembali dikaruniai anak perempuan yang diberi nama Azriati, yang sekarang menetap di LA. Dan setelahnya, tahun 1955 saya yang dilahirkan. Setelah saya masih ada lagi tiga orang adik; laki-laki, Azwirman, yang meninggal pada usia sekitar 20 tahun karena penyakit jantung bawaan; lalu adik perempuan, Azmailis, yang kini menetap di Parung, Kabupaten Bogor; dan terakhir Buyung Azril, yang menetap di LA. Jadi, putra-putri orangtua saya—dengan yang sudah meninggal—seluruhnya berjumlah 8 orang.

Di Lubukalung rumah kami berada di pinggir jalan raya Padang-Bukittinggi; di belakang rumah terdapat pasar yang hari pekannya adalah setiap hari Selasa. Artinya, kami tinggal di daerah yang sebetulnya bisa dibilang urban; bahkan di rumah sering menumpang tidur pedagang babelok, keliling dari satu pekan ke pekan lain. LA adalah salah satu wilayah urban di mana proses urbanisasi mengakibatkan realitas hidup sehari-hari tidak sepenuhnya sesuai dengan adat dan tradisi Minangkabau.

Yang paling jelas adalah Abak mengambil peran dan tanggungjawab sepenuhnya terhadap anak-anaknya. Kontras dengan tradisi di mana mamak (saudara laki-laki Amak) bertangungjawab pula terhadap para kemenakan (keponakan)nya. Sang mamak di wilayah urban seperti LA sebaliknya memikul tanggungjawab terhadap anak-anaknya sendiri. Paling banter, mamak hanya diberitahu hal-hal penting semacam rencana pernikahan; tetapi tidak mengambil keputusan. Saya punya dua mamak yang persis memiliki posisi seperti itu.

Hal penting lain, berbeda dengan tradisi di desa Minang zaman itu, saya sejak kecil tidak pernah tidur di surau seperti kalau tinggal di kampung. Saya tidur di rumah saya sendiri, tidak seperti anak-anak Minang lain yang suka tidur di surau. Tetapi, seperti lazim dalam tradisi Minang, anak laki-laki seperti saya di LA sekalipun tidak punya kamar sendiri; kamar hanya untuk anak-anak perempuan. Jadi, saya tidur di mana saja di dalam rumah, yang penting bisa berbaring.

Waktu itu adalah masa-masa yang sangat sulit secara ekonomi bagi masyarakat Sumatera Barat. Kita tahu di akhir kepemimpinan Bung Karno kondisi ekonomi Indonesia sangat memprihatinkan. Waktu itu saya ingat kami sekeluarga makan nasi bulgur (beras campur jagung). Itupun sangat susah untuk mendapatkannya, belum lagi lauk-lauknya yang juga tidak mudah didapat oleh masyarakat.

Abak pada waktu itu mendapatkan nafkah sebagai tukang kayu dan tukang batu. Bisa dibayangkan betapa susahnya menafkahi keluarga yang cukup besar berjumlah 12 orang: Abak dan Amak dengan enam anak kandung; dua anak tiri Amak; dan dua saudara sepupu, yang orangtuanya sudah meninggal. Tetapi Abak dan Amak tidak pernah mengeluh.

Dalam kesulitan berlapis itu, untuk makan sehari-hari, beras dan jagung dicampur lalu dimasak. Setelah matang dikepal-kepal dengan menggunakan minyak kelapa, lalu dikasih sedikit garam. Lauknya kadang ikan asin, atau kadang telur yang dicampur dengan parutan kelapa agar bentuknya menjadi lebih besar ketika digoreng sehingga bisa mencukupi untuk dimakan kami sekeluarga. Tidak ketinggalan juga sambel yang menjadi penambah selera.

Di samping kesulitan dalam hal ekonomi, juga ada problem politik. Pada akhir 1950-an sampai awal tahun 1960-an di Sumatera Barat terjadi pemberontakan PRRI. Saya ingat vividly, pada waktu itu adanya tentara—dikenal dengan tentara Jawa, karena mereka memang berasal dari Jawa—berseliweran di berbagai tempat di Sumatera Barat untuk meredam pemberontakan. Karena rumah saya berada di pinggir jalan, saya dapat melihat mereka bergerak dengan panser-pansernya yang suaranya menderum dan membuat bumi seolah bergetar.

 

Puasa Ramadhan

Kedua orangtua saya adalah orang-orang yang sangat taat dalam beragama. Abak adalah tamatan sekolah teknik rendah. Meski bukan dari sekolah agama tetapi beliau sangat rajin beribadah. Sehari-hari pekerjaan beliau mula-mula sebagai tukang kayu dan tukang batu, kemudian sebagai pedagang. Waktu itu saya ingat beliau berdagang cengkeh dan kopra. Dari situ beliau mendapatkan uang untuk menghidupi keluarganya. Sebagian beliau tabung agar bisa dimanfaatkan di masa-masa mendatang, misalnya untuk biaya pendidikan anak-anaknya.

Saya masih ingat menjelang pemberontakan G30S/PKI pada 1965, Abak menggali lubang yang cukup dalam di belakang rumah. Beliau mengatakan, penggalian lubang itu atas perintah pemerintah setempat, sebagai tempat berlindung yang aman ketika negara-negara Nekolim menyerbu Indonesia. Belakangan saya tahu, bahwa lubang itu adalah untuk Abak dan keluarganya jika PKI berhasil dalam kudeta; dan membasmi orang-orang yang mereka anggap taat beragama, termasuk Abak dan Amak. Tetapi—kita tahu semua—pemberontakan  PKI gagal, sehingga kami sekeluarga tetap selamat.

Sedangkan Amak adalah tamatan Madrasah Al-Manar di Kampungdalam, sebuah lembaga pendidikan yang dilihat dari namanya ada hubungannya dengan gerakan modernis Islam yang dicetuskan Syaikh Muhammad Abduh dan Syaikh Muhammad Rasyid Ridha di Kairo, Mesir. Dengan bekal ilmu dari Madrasah Al-Manar itu pada awal tahun 1960-an Amak menjadi guru agama PNS di sebuah SDN Jambak, sekitar 5 km dari LA setelah melalui seleksi UGA (Ujian Guru Agama) yang diselenggarakan di masa Menteri Agama Muhammad Dahlan.

Saya dan saudara-saudara saya belajar agama hanya kepada Amak di rumah. Maksudnya, kami belajar agama bukan di luar rumah seperti di masjid atau di surau sebagaimana anak-anak lain di pedalaman Sumatera Barat. Amak sepenuhnya bertanggungjawab dalam soal pendidikan dan pengajaran pengetahuan serta keterampilan praktis agama seperti membaca al-Qur`an, shalat, puasa dan lain sebagainya. Sementara Abak tidak banyak ikut campur. Paling banter beliau hanya melakukan koreksi bila mendapati salah seorang dari kami salah ketika membaca dan melafazhkan ayat-ayat al-Qur`an.

Menjelang Ramadhan kami, anak-anak, kadang pergi balimau (berlimau), yaitu mandi di sungai Batang Anai yang lokasinya tidak jauh dari rumah. Di sana, bersama para penduduk lainnya (laki-laki dan perempuan), kami membersihkan badan dengan air sungai yang sudah ditaburi daun-daun atau bunga-bunga wangi seperti mawar, melati, dan lain-lain. Tradisi mandi secara komunal ini sudah ada sejak dulu, yang hingga sekarang masih ada. Tujuannya adalah membersihkan badan dalam rangka menyambut bulan Ramadhan.

Ada beberapa ulama—yang biasa disebut ‘Buya’—di Sumatera Barat yang menolak tradisi balimau. Menurutnya, tidak pantas laki-laki dan perempuan bercampur dan mandi bersama-sama dalam satu sungai. Tetapi mereka tidak sampai membid’ahkan. Sebenarnya, kalau dilihat lebih cermat, laki-laki dan perempuan di sungai itu tidak bercampur-baur seperti yang mungkin dibayangkan sementara orang. Mereka terpisah oleh jarak tepian-tepian sungai yang lumayan jauh. Karena sungai Batang Anai itu panjang sekali. Sehingga antara mereka tidak bisa saling mendekat dan melihat.

Menjelang Ramadhan juga biasanya ada tradisi Pawai Obor. Puluhan atau bahkan ratusan anak-anak, remaja dan pemuda berjalan berkeliling kampung dengan membawa obor bambu. Kegiatan ini juga menunjukkan antusiasme masyarakat Muslim di sana dalam menyambut datangnya bulan Ramadhan.

Nah, karena di Sumatera Barat sangat kental dengan tradisi Muhammadiyah, tradisi-tradisi seperti nyekar (ziarah) yang menjadi kebiasaan masyarakat Muslim di Jawa boleh dibilang hampir tidak ada. Saya sendiri, misalnya, tidak pernah diajak Abak atau Amak untuk berziarah ke kuburan kakek, baik sebelum maupun sesudah Ramadhan. Kebanyakan orang Minang sampai sekarang tidak biasa melakukan ziarah kubur; dan juga hampir tidak ada makam yang disucikan, atau dianggap sebagai kuburan ‘wali’.

Dalam mengajarkan puasa, Abak dan Amak boleh dibilang cukup keras. Di usia 5-6 tahun saya sudah harus bisa berpuasa penuh. Kedua orangtua saya itu, terutama Abak, tidak bisa menerima alasan apapun dari saya dan anak-anaknya yang lain untuk tidak berpuasa di bulan Ramadhan. Kalau ketahuan, pasti dia akan sangat marah.

Di sore hari, tidak ada yang kami lakukan di rumah selain terus membantu Abak bekerja seperti hari-hari di luar Ramadhan ditambah mengaji sedikit-sedikit pada habis Ashar untuk mengisi kekosongan menjelang berbuka. Dari Abak pula saya terus ingat pesannya sampai sekarang, “Awak kalau puaso jan puaso ula; malam jago, siang lalok taruih ndak ado karajo,” (Kita kalau puasa jangan puasa ular, malam terus bangun, siang tidur terus tidak melakukan apa-apa).

Belum ada televisi pada waktu itu untuk sekedar menghibur diri melepas kepenatan dan keloyoan. Tidak ada pula kegiatan yang dalam bahasa Sunda disebut ngabuburit, melewatkan waktu menunggu waktu buka puasa tiba. Orangtua melarang kami keluar rumah bermain-main. Mungkin maksudnya agar kami lebih mudah diawasi. Sebab, bukan tidak mungkin ketika berada di luar rumah, di luar pengawasan orangtua, puasa kami menjadi batal karena satu dan lain hal.

Saya mengalami, dalam soal makanan di rumah, antara bulan Ramadhan dan hari-hari biasa di luar bulan Ramadhan tidak banyak perbedaan. Hal ini terkait kondisi umum masyarakat Sumatera Barat yang pada waktu itu terbelit kesulitan ekonomi. Dalam keluarga saya, khususnya, baik untuk buka ataupun untuk sahur, makanannya sangat sederhana. Paling banter tambahannya cuma kolak dan minuman yang manis-manis; biasanya berbuka langsung makan.

Di bulan Ramadhan, kami tidak hanya berpuasa saja, tetapi juga melaksanakan ritual-ritualnya yang lain, seperti shalat Tarawih. Setelah buka dan shalat Maghrib di rumah, saya bersama keluarga pergi ke Masjid Raya Pasar Lubukalung untuk melaksanakan shalat Tarawih. Lokasi masjid tersebut tidak begitu jauh dari rumah—sekitar 500-an meter saja.

Masjid Raya LA, seperti umumnya di masjid-masjid lain di Sumatera Barat dalam hal shalat Tarawih mengikuti yang 11 rakaat; Tarawih 8 rakaat dengan dua kali salam. Ditambah witir 3 rakaat satu kali salam. Bacaan imamnya juga biasa dan datar saja, tidak cepat dan tidak lambat. Waktu itu belum lazim adanya kultum (kuliah tujuh menit) atau pemberian taushiyah seperti yang marak saat ini di masjid-masjid di seluruh Indonesia. Jadi, shalat Tarawih dilaksanakan langsung setelah shalat Isya`. Setelah shalat Tarawih para jamaah langsung pulang ke rumah masing-masing.

Agar malam-malam bulan Ramadhan tidak sepi, pengurus masjid mengadakan tadarus, yaitu mengaji bersama untuk mengkhatamkan al-Qur`an. Tadarus ini hanya diikuti oleh orang-orang yang sudah dewasa, yang kemampuan membaca al-Qur`annya cukup bagus. Tetapi, tadarusan ini tidak disiarkan melalui loudspeaker, seperti sering terjadi di masa sekarang. Lagi pula, anak-anak kecil tidak boleh ikut. Alasannya mungkin karena dikuatirkan mereka lebih banyak bergurau sehingga menimbulkan kegaduhan di masjid.

Jika waktu sudah menunjukkan pukul 1 malam, kami pun semua dibangunkan untuk makan sahur; tidak ada anak-anak dan remaja yang keliling pasar membunyikan kentongan sambil meneriakkan, “sahur, sahur, sahur”. Dengan nasi dan lauk seadanya kami makan. Tidak ada protes atau perasaan kecewa di dalam diri kami saat menyantap makanan yang itu-itu saja. Bisa makan saja setiap harinya kami sudah sangat bersyukur. Dapat dibayangkan, kami berpuasa mulai dari sesudah makan sahur (sekitar pukul 2 malam) sampai Maghrib (sekitar pukul 6 sore). Kalau dihitung-hitung, sekitar 17 sampai 18 jam kami berpuasa. Relatif lebih panjang puasanya dibanding mereka-mereka yang mulai bersahur di saat mendekati waktu Imsak (sekitar pukul 4 malam) seperti lazim sekarang ini. Setelah sahur kami tidak boleh tidur. Bagaimana pun kerasnya rasa kantuk menyerang harus bisa ditahan. Kami hanya dibolehkan untuk tidur setelah melaksanakan shalat Shubuh. Itupun kalau ada yang mau tidur.

Saya berada di Lubukalung sampai tahun 1968 (setelah tamat SD dari tahun 1963 – 1968). Setelah itu, pada tahun 1969, saya pindah ke kota Padang untuk melanjutkan sekolah di PGAN 6 Tahun (1969 – 1975). Di kota Padang saya menempati rumah sendiri, yang dibeli Abak sekitar awal-awal tahun 1968. Ketika masih berada di Lubukalung, setiap sore di bulan Ramadhan saya paling hanya duduk-duduk saja di rumah tanpa aktivitas apapun selain mengaji sebentar.

Pindah ke kota Padang, saya banyak menyibukkan diri dengan membaca buku-buku cerita dan komik yang saya sewa di kios penyewaan di samping Bioskop Raya, Pasar Raya kota Padang. Kebetulan di sana ada tempat khusus untuk menyewa buku, khususnya buku-buku cerita dan komik. Di antara buku-buku yang pernah saya baca saat itu adalah serial cerita kependekaran seperti karangan Asmaraman S. Kho Ping Hoo, cerita detektif seperti “James Bond”, dan lain sebagainya.

Sebenarnya, membaca bukanlah hal baru bagi saya. Sejak masih di Lubukalung saya sudah terbiasa membaca potongan-potongan koran. Di Pasar Lubukalung saya temukan koran-koran bekas yang terbuang karena tidak terpakai lagi. Saya pungut dan saya baca. Bahkan jauh sebelum masuk SD saya sudah diajari membaca oleh Abak dan Amak. Mula-mula saya diajari mengeja huruf nama-nama bus antar kota yang lewat setiap waktu di depan rumah.

Dari situlah minat saya dalam membaca mulai tumbuh. Sebelum melanjutkan sekolah di PGAN Gunung Pangilun Padang saya sudah pernah membaca banyak novel dan cerita para pujangga baru. Di antaranya adalah “Salah Asuhan”, “Tenggelamnya Kapal Van der Wick”, dan banyak lagi.

 

Lebaran Idul Fitri

Tidak mudah bagi saya melupakan kenangan-kenangan di masa lalu, termasuk dalam soal Ramadhan dan lebaran. Istilah ‘lebaran’ tidak dikenal dalam masyarakat Minang di Sumatera Barat pada waktu itu. Istilah yang biasa dipakai adalah ‘Hari Rayo’ (hari raya)—tanpa Idul Fitri di belakangnya. Sedangkan untuk Idul Adha biasa digunakan istilah ‘Hari Rayo Haji’.

Saya ingat betul, sehari menjelang Hari Rayo, Abak pergi ke pasar untuk membeli daging. Itu adalah pemandangan sangat langka dalam masyarakat Minang; suami tidak lazim membantu istri pergi ke pasar berbelanja untuk urusan dapur. Itu adalah urusan kaum perempuan. Karena itu, Abak tidak setiap hari membantu Amak berbelanja ke pasar. Karena memang tidak lazim. Dalam setahun, beliau hanya sekali keluar rumah untuk berbelanja daging, yaitu menjelang lebaran, baik untuk keperluan sendiri ataupun untuk diberikan kepada kakak dan adiknya—rumah kakak dan adiknya itu yang ada di sebelah rumah kami. Hal ini kontras dengan kebiasaan masyarakat di daerah-daerah lain, katakanlah seperti di Jawa, di mana suami setiap harinya bisa saja membantu istri mencuci pakaian, masak, belanja, dan seterusnya.

Daging yang dibeli dari pasar itu nantinya dibuat rendang dan gulai oleh Amak. Saya sangat suka masakan Amak yang bagi saya amat enak. Di Minang tidak ada tradisi membuat ketupat Lebaran. Kalaupun ada, paling hanya membuat ketupat ketan, yang berpasangan dengan tapai (tape)—yang kemudian menjadi pasangan ‘tape-ketan’. Selain itu, Amak biasanya membuat kue-kue; seminggu sebelum lebaran beliau sudah mulai sibuk membuat berbagai macam kue. Kue yang paling beliau suka buat adalah kue sapik (kue jepit) yaitu kue dengan bahan dasar tepung beras dengan santan, gula dan kayu manis yang dijepit menggunakan dua buah besi bidang bundar di atas bara tempurung kelapa, yang kemudian digulung. Amak tahu saya sangat suka ‘kue sapik’, sehingga setelah saya pergi merantau ke Jakarta sejak akhir tahu 1975 beliau sering mengirimkannya; kebiasaan Amak ini terus berlanjut setelah saya berkeluarga; tidak jarang kue sapik itu sudah hancur sesampainya di Jakarta.

Setiap menjelang lebaran juga, Abak menyediakan baju baru untuk kami. Ini adalah di antara rutinitas tahunan beliau—setiap tahun pasti ada baju baru. Tetapi beliau tidak membelikan kami baju yang sudah jadi dan siap pakai, melainkan kain bal untuk bahan baju dan celana. Selanjutnya bahan kain itu dipotong oleh Abak dan dijahit oleh Amak. Saya benar-benar kagum kepada Amak, selain pintar masak beliau juga mahir menjahit dan membuat pakaian.

Di hari lebaran, sebelum pergi shalat Idul Fitri, kami sarapan terlebih dahulu. Makan nasi dengan rendang atau gulai. Dalam soal makan, Abak adalah orang yang sangat disiplin. Pagi-pagi diharuskan untuk sarapan. Setelah itu kami berangkat ke sebuah lapangan di sebelah utara Masjid Raya LA untuk melaksanakan shalat Idul Fitri. Masjid sendiri memang dikosongkan, tidak dipakai untuk shalat Idul Fitri.

Ritual berikutnya adalah bersilaturrahim ke para dunsanak (karib kerabat) dan tetangga. Tetapi Abak melarang saya dan saudara-saudara pergi lebaran keliling kampung atau pasar. Kami paling hanya diajak bersilaturrahim ke rumah kakak dan adik beliau, juga ke rumah kakak dan adik Amak. Alasannya, Abak kuatir kalau keliling-keliling itu motifnya adalah untuk mendapatkan ‘hadiah lebaran’ dalam bentuk uang kecil, yang sekarang di Jakarta kian sering juga disebut dengan menggunakan istilah Tionghoa sebagai ‘angpau’. Orang Minang memang memiliki tradisi seperti ini sudah sejak lama. Tetapi saya, sebagai anak kecil, jarang atau hampir tidak pernah mendapatkan duit seperti anak-anak lainnya dari orang lain. Sedangkan Amak selalu menyediakan uang-uang receh untuk diberikan kepada anak-anak kecil lain. Kebiasaan Amak ini sekarang diikuti istri saya, yang orang Sunda-Banten; ia selalu menyediakan uang kecil (Rp 2.000-Rp 50.000) untuk dibagikan kepada anak-anak—besar kecilnya tergantung pada usia anak masing-masing.

Biasanya, di setiap rumah kami selalu disuguhi makanan. Meskipun sedikit kami harus memakannya. Kalau kami tidak makan, tuan rumah biasanya marah karena merasa tidak atau kurang dihormati. Karena itu, perut selalu penuh pada Hari Rayo.

Dan biasanya, sehari atau dua hari setelah lebaran kami diajak pergi ke kampung tempat lahir Abak dan Amak di Sungailimau dan Kampungdalam. Sejak dulu pulang kampung ini disebut ‘mudiak’ (mudik); istilah terakhir ini telah sangat populer sekarang. Saya ingat beberapa kali ikut ke kampung Amak, di Cimpago, Kampungdalam. Dari LA kami berangkat naik kereta api lalu turun di Naras, stasiun kereta api yang terakhir. Dari sana kami naik bendi ke Kampungdalam. Kemudian dari sana kami menyeberang sungai dengan naik sampan. Nah, di seberang sungai itulah tempat kelahiran Amak, namanya Cimpago (Cempaka). Dan, kami menginap di rumah usali (asli, rumah asal) yang merupakan rumah panggung. Sampai sekarang masih segar bau rumah itu dalam ingatan saya.

Kegiatan kami selama berada di kampung Amak adalah bersilaturrahim mengunjungi dunsanak (kerabat). Dari Lubuk Alung Amak biasanya membawa oleh-oleh berupa makanan, kue-kue, bahan pakaian, dan kain sarung untuk dibagikan kepada keluarga dan saudara-saudaranya di kampung. Kedatangan kami disambut dengan kebahagiaan. Saya merasa senang sekali bisa kembali ke asal.

Saya melihat ada perbedaan antara masyarakat Kampungdalam dan Lubukalung. Kohesi sosial masyarakat Cimpago Kampungdalam lebih kuat dan erat. Karena mereka memang berasal dari satu daerah yang sama, di samping karena jumlah mereka yang sedikit, sehingga antara satu dengan yang lain bisa saling mengenal seperti satu keluarga. Sementara masyarakat LA tidak begitu, karena mereka berasal dari daerah yang berbeda-beda; ada yang dari Pariaman dan pesisir lain, Bukittinggi dan wilayah darek lainnya. Tentu saja, setiap daerah mempunyai adat masing-masing. Orang Pariaman, misalnya, dikenal dengan keterus-terangannya, suka bicara apa adanya. Jadi, di Lubukalung terdapat berbagai adat dan tradisi  kecil yang masih dipertahankan sebagai ciri khas dari asal masing-masing.

Suasana Ramadhan dan Lebaran yang khas di LA, dan juga di lingkungan Ciputat setelah saya alami sejak tahun 1975 akhir ketika melanjutkan pelajaran di IAIN Jakarta tidak saya temui di Amerika. Melanjutkan kuliah S2 dan S3, saya pertama kali pada Musim Panas 1986 pergi ke Southern Illinois University, Carbondale untuk memperkuat bahasa Inggris, dan itu pas Ramadhan. Waktu puasa sangat panjang, dari sekitar pukul 4 pagi sampai pukul 21.00. Dan mulai menjelang musim gugur, September 1986, saya pindah ke New York City untuk kuliah di Columbia University.

Ramadhan di New York tidak kelihatan; suasana puasa baru terasa ketika pada akhir pekan ada acara ifthâr yang diselenggarakan Muslim Student Association (MSA) dan Konsulat Jenderal RI (KJRI) New York. Selain berbuka puasa bersama juga diselenggarakan shalat Tarawih berjamaah. Ketika Lebaran datang, masyarakat Muslim New York biasanya mendapat undangan Konsul Jenderal dan Watapri di PBB dalam open house dan silaturrahim Lebaran.

 

Makna Puasa

Bagi saya, inti puasa adalah pengendalian diri sekaligus pembebasan dari cengkeraman hal-hal yang serba materi dan jasmani. Inilah makna puasa yang saya pahami dan saya hayati. Karena manusia sangat mudah terjerumus kepada hal-hal yang bersifat fisikal-material, seperti harta-benda, makanan, hubungan seksual, dan lain-lain. Nafsu untuk selalu memenuhi kebutuhan fisikal-material setiap saat menggoda manusia. Jadi, tujuan puasa adalah untuk melatih diri mengambil jarak atau distansi—bukan memutuskan—dari hal-hal yang bersifat material.

Sekarang banyak pejabat negara yang semestinya menjadi contoh, justru terjerumus ke dalam prilaku-prilaku yang tidak patut. Saya melihat itu karena ketidakmampuan mereka menjaga jarak antara diri mereka dan hasrat fisikal-material. Gejolak birahi yang tidak bisa ditahan, inilah yang mendorong mereka berselingkuh dan berzina dengan orang lain yang bukan pasangannya, atau juga memotivasi mereka untuk menikah lagi. Godaan untuk cepat kaya, punya rumah megah, mobil mewah, inilah yang membuat mereka melakukan korupsi.

Karena itu puasa merupakan latihan untuk mengendalikan diri; bersikap sabar, disiplin, dan puas diri (qanâ’ah) dengan rizki halal yang diberikan Allah. Inilah salah satu tantangan berat yang dihadapi umat Muslim sekarang ini karena dalam proses globalisasi yang terus berlangsung secara intens, kehidupan materialistik dan hedonistik terus menggoda dan menyeret orang ke dalam kehidupan yang serba affluent. Di tengah tantangan itu, puasa menawarkan kesempatan kepada umat Muslim untuk meningkatkan kualitas rohani, menuju maqâm (posisi) spritual yang lebih tinggi.

 

 

Semarak Ramadhan: Konsumsi dan Konsumerisme

Suasana Ramadhan di Indonesia sekarang ini jauh lebih heboh. Ada kesemarakan, baik dalam masyarakat, maupun yang bisa kita lihat pula di berbagai stasiun televisi. Walaupun tidak semua acara televisi sesuai dengan semangat Ramadhan. Tetapi itu mungkin merupakan konsekuensi yang tidak bisa dielakkan dari terjadinya komodifikasi Islam. Karena Islam di Indonesia terlalu besar untuk tidak tersentuh komodifikasi.

Tidak banyak yang bisa kita lakukan selain terus-menerus mengingatkan agar tidak berlebih-lebihan. Namun kita juga harus mensyukuri, tidak hanya melakukan kritik dan kecaman terhadap televisi. Bagaimanapun keberadaan televisi itu mempunyai peranan penting dalam proses peningkatan islamisasi dan santrinisasi, termasuk juga dalam kemeriahan Ramadhan.

Saya tidak menemukan suasana Ramadhan di negara Muslim manapun yang seheboh dan semeriah di Indonesia. Meskipun di siang hari ada warung-warung makan yang masih buka, tetapi menurut survei akademis yang dilakukan oleh para profesor berbagai universitas luar negeri, umat Muslim Indonesia adalah yang paling taat dalam menjalankan puasa, shalat Tarawih dan ritual-ritual lainnya di bulan Ramadhan.

Saya pernah mengumpulkan bahan mengenai tingkat kepatuhan pengamalan ‘formalitas’ keagamaan. Umat Muslim Indonesia menempati posisi paling tinggi dalam ketaatan menjalankan ibadah bila dibandingkan negara-negara dengan mayoritas Muslim seperti Arab Saudi, Malaysia, Mesir dan lain-lain. Kemudian dalam hal memberi dan berbagi (giving and sharing) yang juga sering disebut sebagai filantropi Islam, di bulan Ramadhan, antusiasme masyarakat Muslim Indonesia juga sangat tinggi. Sekali lagi, walaupun tentu saja ada ekses-eksesnya, yaitu komersialisasi dan komodifikasi Islam di televisi.

Suatu saat saya dalam dialog ‘live’ di sebuah saluran televisi, mereka mengatakan bahwa di bulan Ramadhan konsumsi mengalami peningkatan. Itu artinya, konsumerisme juga mengalami hal serupa. Saya katakan, di bulan Ramadhan konsumsi pasti mengalami peningkatan, tetapi itu tidak berarti juga peningkatan konsumerisme. Harus dibedakan antara peningkatan konsumsi dengan peningkatan konsumerisme. Contohnya, di bulan Ramadhan banyak orang yang kelebihan rizki menyediakan makanan untuk ifthar (buka puasa) atau sahur, baik di masjid maupun di rumah sendiri. Seperti saya dan keluarga yang rutin diminta beberapa pengurus masjid untuk menyediakan makanan ifthar atau sahur. Ketika saya melakukannya, maka konsumsi saya otomatis meningkat. Tetapi itu tidak ada kaitannya dengan konsumerisme, karena konsumsi saya sendiri dan keluarga hampir saja tetap sama. Saya hanya mencoba untuk berbagi dengan orang lain sebagai upaya meningkatkan kesalehan sosial, yang melibatkan penyediaan barang-barang konsumsi.

Makanan untuk berbuka puasa di dalam keluarga saya sejak dulu sampai sekarang juga tidak ada yang aneh-aneh atau berlebihan. Malah sangat sederhana. Paling yang ada—dan semua orang di dalam keluarga sukai—adalah gorengan buatan sendiri, seperti bakwan dan sejenisnya. Kolak saja kami jarang membuatnya. Saat berbuka hanya makan bakwan dan minum cendol. Kalau saya pribadi paling hanya ngopi atau ngeteh. Jadi, konsumsi antara di luar dan di dalam bulan Ramadhan tidak banyak berubah. Tetapi kalau konsumsi untuk para tetangga dan masjid di lingkungan sekitar memang meningkat. Kami tidak mungkin memberikan bakwan kepada para tetangga dan masjid. Selain makanan kecil untuk ta’jîl, minimal harus disediakan nasi plus telur, atau nasi plus daging, atau nasi plus ayam untuk jamaah yang melakukan ifthâr di masjid.

Banyak pula orang yang mengadakan ifthâr bersama hampir setiap hari di rumahnya. Hari ini mengundang saudara-saudaranya, besoknya mengundang kawan-kawan sekantornya, besoknya lagi mengundang kawan-kawannya yang lain, besoknya lagi mengundang anak-anak yatim, dan seterusnya. Semua ini meningkatkan konsumsi, tetapi tidak otomatis dapat dikatakan sebagai konsumerisme.

Begitu pula, orang mudik tentu tidak akan berangkat dengan tangan kosong. Ia pasti membawa oleh-oleh atau hadiah untuk dibagi-bagikan kepada keluarga, sanak-saudara dan tetangga-tetangganya di kampung. Kalau ia punya mobil, sudah pasti mobilnya itu penuh dengan barang bawaan, baik berupa pakaian ataupun makanan. Lagi-lagi, semua gejala ini tidak dapat disebut sebagai konsumerisme.

Saya dan keluarga di Jakarta juga begitu. Setiap menjelang lebaran kami selalu menyiapkan paket lebaran untuk dibagikan kepada para tetangga, setidaknya 100 – 150 paket. Di dalam masing-masing paket ada baju koko, sarung, beras, sirup, biscuit dan minyak goreng. Dengan demikian, pengeluaran dan konsumsi di dalam keluarga saya memang meningkat, tetapi itu sama sekali bukan konsumerisme.

Itulah yang sebenarnya terjadi di Indonesia. Dari tahun ke tahun, antara seminggu sebelum lebaran dan seminggu setelah lebaran, uang kecil yang beredar selalu mengalami peningkatan. Di tahun 2012, misalnya, dana dalam bentuk denominasi kecil yang disiapkan oleh Bank Indonesia untuk kepentingan lebaran sekitar 90 trilyun. Begitu banyak dana yang beredar sepanjang Ramadhan, Lebaran dan musim mudik. Tetapi, saya katakan sekali lagi, pada waktu-waktu ini, konsumsi memang meningkat, tetapi yang jelas bukan konsumerisme.

 

* Artikel ini termuat dalam buku Rumah KitaB yang diterbitkan oleh Mizan tahun 2013 berjudul “MOZAIK RAMADHAN DAN LEBARAN DI KAMPUNG HALAMAN [Menelusuri Jejak-jejak Tradisi Ramadhan dan Lebaran di Nusantara]”

RAMADHAN UNTUK BELAJAR

Oleh Prof. Dr. Dawam Rahardjo, MA.

[Guru Besar Ekonomi Universitas Muhammadiyah Malang]

 

“Di bulan Ramadhan, semua sekolah diliburkan. Dan karena itulah saya sering pergi ke rumah nenek di desa Tempur Sari, Klaten. Di sana, saya menyempatkan untuk membaca buku dan majalah. Setiap hari saya membawa buku-buku dan majalah-majalah, yang saya baca di pendopo rumah nenek. Sambil membaca buku, saya duduk di kursi goyang kakek saya, dan di situlah sebetulnya saya belajar agama, termasuk belajar filsafat dan lain sebagainya. Liburan sekolah tidak saya gunakan untuk bermain melainkan membaca.”

 

 

Latar Belakang

Nama saya Dawam Rahardjo—biasa dipanggil Dawam. Nama Rahardjo itu diberikan oleh ayah saya. Tetapi sebetulnya, nama Rahardjo adalah nama kakek saya. Beliau adalah seorang petani yang hidup di kampung Tempur Sari, Klaten. Namanya Ali Rahardjo. Tetapi oleh orang kampung dipanggil Ngali Redjo. Itu hal biasa kalau di kampung. Setelah naik haji, kakek saya mengubah namanya menjadi Ali Azhar. Nama Rahardjo lalu diwariskan, diabadikan, dan ditempelkan kepada nama saya. Namun, saya baru memakainya ketika saya menjadi mahasiswa di Yogyakarta.

Ayah saya adalah lulusan pesantren dan madrasah. Mulanya beliau belajar di SD di desa, kemudian mondok di Pesantren Jamsaren-Solo, dan juga belajar di Mamba’ul Ulum, sebuah madrasah terkenal yang didirikan oleh Keraton, berdampingan dengan Masjid Besar di Solo. Setelah lulus, ayah lalu menjadi guru di sebuah sekolah Muhammadiyah. Tidak lama kemudian ayah menikah dengan ibu, Mutmainnah. Ibu saya juga seorang guru di lingkungan Muhammadiyah.

Orangtua saya dikaruniai 9 orang anak. Saya adalah anak pertama. Saya mempunyai 3 orang adik perempuan yang lahir secara berturut-turut. Saya juga mempunyai 3 saudara laki-laki, tetapi tidak lahir secara berturut-turut, diselingi perempuan. Dan adik saya yang terakhir adalah perempuan. Jadi, adik saya 5 perempuan dan 3 laki-laki. Sebenarnya masih ada lagi adik saya, tetapi ia meninggal pada waktu masih bayi. Artinya, kami bersaudara sebetulnya ada 10 orang.

Paman saya—saya menyebutnya Pak De—, bersama Kiyai Ghazali dari Solo, mendirikan sebuah organisasi baru yang diberi nama Al-Islam dengan slogannya yang terkenal, “Bukan NU, bukan Muhammadiyah, tetapi kembali kepada Islam yang asli.” Saya melihat itu lebih merupakan sejenis faham Salafi, alirannya bersifat rasional dan mengacu kepada tauhid yang murni serta mengacu kepada ajaran Salafi. Gagasan dan organisasi itu didukung oleh seluruh keluarga ayah saya. Maka, lingkungan organisasi keluarga saya ada dua, yaitu Muhammadiyah dan Al-Islam.

Pendidikan saya dimulai di Madrasah Bustanul Athfal Muhammadiyah (setingkat TK) di Kauman yang terletak di sebelah utara Masjid Besar Solo. Kemudian saya melanjutkan pendidikan di Madrasah Ibtidaiyah Muhammadiyah di Masjid Besar Solo. Pagi hari saya mengikuti sekolah umum Al-Rabithah Al-Alawiyyah di Kelas I. Ketika masuk ke Sekolah Dasar (SD), saya langsung ke Kelas II di Sekolah Rakyat Loji Wetan, yang letaknya tepat di depan Pasar Kliwon. Saya tamat pada tahun 1954. Pada usia yang sama, saya juga bersekolah di Madrasah Al-Islam di sore harinya.

Setelah tamat di Sekolah Dasar, pendidikan saya lanjutkan di Sekolah Menengah Pertama (SMP) 1 Solo. Kemudian saya melanjutkan ke Sekolah Menengah Atas (SMA) di Manahan, Solo. Setelah lulus SMA, saya melanjutkan studi di Fakultas Ekonomi Universitas Gadjah Mada.

Itulah sekilas latar belakang pendidikan saya. Dari sana barangkali terlihat suatu gambaran bahwa sejak remaja saya telah memberi perhatian kepada dua dunia itu. Saya mempelajari ilmu-ilmu umum dan juga ilmu-ilmu agama seperti tafsir, hadits, fikih (hukum Islam), kalam (teologi), tarikh (sejarah) dan sebagainya. Sejak di Tsanawiyah (setingkat SMP), saya sudah meminati buku. Mula-mula saya menekuni dan mempelajari buku-buku agama. Pada masa itu saya sudah mempunyai koleksi yang lumayan banyak mencakup buku-buku agama lama, seperti karangan Kiyai Munawwar Kholil, Abu Bakar Aceh dan yang lainnya. Saya banyak belajar agama dari buku. Dan karena yang saya perhatikan lebih pada pemahamannya, saya tidak memperdalam kemampuan saya untuk menghafal ayat-ayat dan sebagainya kecuali dalam bahasa Indonesia.

Saya juga banyak belajar dari ayah saya. Sebagai lulusan pesantren, beliau mempunyai keahlian khusus, yaitu ilmu tafsir. Semasa di pesantren, beliau pernah mempelajari tafsirnya al-Zamakhsyari yang banyak mengulas berbagai aspek dari bahasa al-Qur`an. Beliau sering memberi saya kuliah terkait dengan fokus menafsirkan ayat-ayat al-Qur`an dan juga ilmu tafsir. Inilah yang menyebabkan saya sangat berminat kepada ilmu tafsir al-Qur`an sampai sekarang. Boleh dikatakan, saya sangat akrab dengan al-Qur`an; bisa membaca dan memahaminya dengan menggunakan teori-teori ilmu sosial, termasuk ekonomi yang menjadi latar belakang pendidikan saya.

Selain dari ayah, saya juga banyak belajar dari Kiyai Dzarokah, seorang ulama besar yang pernah menjadi ketua Al-Islam dan Majlis Ulama Surakarta. Dari beliau saya belajar membaca al-Qur`an, dasar-dasar fikih, dll.

Satu aspek lain yang ingin saya kemukakan adalah, sejak SMP saya sudah membaca buku-buku sastra. Sehingga di Surakarta saya sempat tumbuh menjadi penyair muda yang aktif di dalam Ikatan Penyair Muda Surakarta (IPMS). Saya banyak menulis puisi, di antaranya ada yang saya masukkan ke rubrik Remaja Nasional di Yogyakarta. Sebagian dari puisi-puisi saya sekarang masih ada, dan sebagian sudah saya terbitkan. Tetapi banyak juga yang hilang, dan saya sangat menyesalkan hal itu. Di samping itu, saya juga menulis cerita-cerita pendek (cerpen) dan banyak artikel.

Kegemaran saya menulis cerita pendek bangkit kembali pada tahun 2000-an. Ketika saya sakit, justru saya menulis cerita pendek. Dan bersama-sama dengan cerita pendek saya yang lama, saya kumpulkan menjadi satu dan diterbitkan oleh Penerbit Jalasutra dengan judul “Anjing yang Masuk Surga”. Cerita-cerita pendek itu bernuansa sosial, dan juga keagamaan.

 

Ramadhan di Kampung

Pada waktu masih remaja, masa-masa masih di SMP dan SMA, saya sangat tekun beribadah. Dan karena rumah saya dekat dengan masjid, maka hampir setiap waktu shalat Shubuh, Zhuhur, Ashar, Maghrib, Isya`, selalu saya sempatkan untuk shalat berjamaah di sana. Apalagi shalat Jum’at. Di samping itu, saya juga aktif mengikuti pengajian-pengajian di sana. Singkatnya, waktu itu saya sangat religius.

Khusus untuk hari Jum’at, sebelum berangkat ke masjid saya mandi terlebih dahulu, lalu mengenakan baju yang paling bagus, dengan sarung batik yang mahal harganya, dan juga kopiah hitam. Intinya, kalau mau ke masjid untuk shalat Jum’at saya berhias betul. Dan niat saya benar-benar untuk ibadah.

Di bulan Ramadhan, semua sekolah diliburkan. Dan karena itulah saya sering pergi ke rumah nenek di desa Tempur Sari, Klaten. Di sana, saya menyempatkan untuk membaca buku dan majalah. Setiap hari saya membawa buku-buku dan majalah-majalah, yang saya baca di pendopo rumah nenek. Sambil membaca buku, saya duduk di kursi goyang kakek saya, dan di situlah sebetulnya saya belajar agama, termasuk belajar filsafat dan lain sebagainya. Liburan sekolah tidak saya gunakan untuk bermain melainkan membaca. Karena liburan saya punya waktu cukup banyak untuk membaca. Di situlah saya mengalami akumulasi pengetahuan di segala bidang. Karenanya, bidang kajian dan minat saya sangat luas. Bukan hanya ekonomi, akan tetapi juga agama, politik, sosial, kebudayaan dan sastra. Itu tercermin dalam perpustakaan saya.

Kampung saya di Solo adalah kampung Pasar Kliwon, yang terkenal para penduduknya terdiri dari orang-orang Arab. Dekat rumah saya terdapat sebuah masjid, namanya Masjid Al-Adzkar. Pada saat bulan Ramadhan, masjid itu kegiatannya ramai sekali. Tentu yang utama adalah Tarawih. Dan Tarawih itu 23 rakaat. Waktu shubuh juga sudah ramai. Pada waktu buka puasa juga ada acara ta’jilan. Ta’jilnya pakai hidangan buah kurma. Saat itu tidaklah seperti sekarang yang di mana pun kita bisa mendapatkan kurma. Kurma masih langka saat itu. Jadi, hidangan kurma di mesjid itu istimewa sekali. Dan banyak sekali kurma yang disuguhkan untuk ta’jil berbuka. Kurma itu umumnya dihidangkan oleh orang-orang Arab di sekitar masjid itu. Setelah buka, shalat Tarawih, kami kemudian mendengarkan ceramah agama. Setiap malam selalu begitu. Ceramahnya juga diikuti oleh para jamaah, jadi ramai sekali suasananya. Dan seingat saya saat itu tidak ada petasan seperti sekarang ini.

Lulus dari SMA saya pindah ke Yogyakarta karena kuliah di UGM. Di Yogyakarta saya tinggal di Asrama Yasman dekat Masjid Syuhada. Salah satu tugas dari penghuni asrama itu adalah menyelenggarakan kegiatan-kegiatan di masjid. Jadi di Yogyakarta pun saya dekat dan aktif dalam kegiatan di masjid.

Ketika di Yogya, bulan puasa kuliah juga libur. Tetapi saya tidak pulang ke Solo dulu. Saya justru mondok di pesantren Krapyak Yogya. Di pesantren itu terkenal dengan qira`ah-nya (teknik membaca al-Qur`an dengan lagu tertentu). Di pesantren itu saya belajar qira`ah al-Qur`an, dan juga tarawih dengan mengkhatamkan al-Qur`an. Saya ingat betul di pondok Krapyak itu bacaan dalam shalat Tarawih bukan surat-surat pendek atau penggalan ayat pendek sekedar memenuhi syarat bacaan setelah membaca surat al-Fâtihah, melainkan membaca surat-surat panjang dari al-Qur`an. Oleh karena itu saya mengerjakan shalat Tarawih dengan membawa al-Qur`an sambil membacanya. Dan ketika imam membaca bacaannya, saya cari ayatnya, lalu saya ikuti bacaan sambil berdiri. Shalat Tarawih itu bisa berlangsung berjam-jam karena bacaan ayat-ayatnya memang panjang.

Sebelum mondok di Krapyak, ketika tinggal di dekat Masjid Syuhada, saya juga suka mengerjakan shalat Tarawih di sana karena bacaan al-Qur`annya bagus. Imam-imamnya terdiri dari para qari`, khususnya qari` dari Banjarmasin yang memang terkenal qira`atnya. Jadi, di Masjid Syuhada itu, saat mengerjakan shalat Tarawih saya betah berdiri berjam-jam, karena bacaan al-Qur`annya enak didengar. Bagi saya, itu sungguh sangat mengesankan, dan terus terang sulit saya temukan sekarang ini.

Saya sudah mulai berpuasa semenjak kecil. Mungkin sekitar umur lima (5) tahun. Tidak melalui proses latihan dulu, tetapi langsung berpuasa penuh. Cucu saya pun sekarang langsung berpuasa penuh. Sesekali memang saya berpuasa sampai Zhuhur, tetapi itu karena masih kecil. Selebihnya saya selalu berpuasa penuh. Dan karena rumah saya dekat dengan masjid saya sering tidur di sana pada waktu siang setelah shalat Zhuhur.

Ibu saya pintar sekali memasak. Masakannya selalu enak. Dan pada waktu buka puasa, banyak makanan yang disediakan; makanan kecil, makanan ringan dan makanan besar. Semalaman kerjanya cuma makan saja. Yang disuguhkan ibu adalah makanan-makanan tradisional Jawa ada kolak, jadah, ketan, goreng-gorengan, makanan-makanan basah, kue-kue basah. Ketupat juga atau lontong dengan sayur tahu. Ibu saya itu nomer satu membuat ketupat itu. Sekarang beliau sudah tiada, dan saya sudah tidak bisa menikmati masakannya lagi. Solo itu terkenal dengan ketupat tahunya. Sampai sekarang ketika pergi ke Solo, saya selalu makan sayur ketupat tahu. Isinya selain tahu, kecap dikasih kacang.

 

Lebaran Idul Fitri

Saya kira semua kita tahu, salah satu tradisi berlebaran adalah berpakaian serba baru. Dan memang begitulah tradisi lebaran di kampung saya dulu. Tetapi karena waktu itu belum ada industri garmen, saya membawa kain ke penjahit untuk dijahit. Tukang jahit bekerja siang malam. Menjelang lebaran kita ambil dari tukang jahit. Pas tiba waktu lebaran, kita memakai kopiah baru, baju baru, sarung baru dan sandal baru, bukan sepatu.

Ada tradisi silaturrahim dan bermaaf-maafan waktu lebaran. Kata-kata permohonan maaf itu kalimatnya panjang sekali yang diucapkan dalam bahasa Jawa. Memang dalam menyampaikan permohonan maaf itu sudah ada semacam kalimat yang standar, harus diucapkan dengan lengkap. Kepada orangtua dan orang yang lebih tua, kami yang muda atau anak menyampaikan permohonan maaf itu, lalu mereka membalasnya. Ini semacam ikrar saling memaafkan yang harus disampaikan secara lisan. Namun lama-kelamaan kebiasaan serupa itu ditinggalkan kecuali kepada ibu karena ayah saya sudah meninggal ketika saya sudah bekerja.

Semasa di Solo, saya senang sekali mengerjakan shalat Idul Fitri di stadion Sliwidari. Karena memang stadion itu merupakan tempat shalatnya orang-orang elit. Dulu, di sana banyak khutbah dan khatib yang bagus-bagus. Saya senang mendengarkan khutbah-khutbah yang bagus. Saya tidak pernah melaksanakan shalat Id di masjid, selalu di lapangan. Hanya ayah saya yang shalat di masjid. Karena orang-orang di Pasar Kliwon itu biasanya shalat Id itu bukan di lapangan, tetapi di masjid. Dan karena ayah saya bergaulnya dengan orang-orang Arab, maka beliau tidak pernah ke lapangan. Beliau lebih memilih dan merasa nyaman shalat di masjid. Sementara saya, ibu dan adik-adik sekeluarga pergi ke tanah lapang untuk shalat Id mengikuti tradisi Muhammadiyah.

Hal lain yang harus dilakukan setelah lebaran adalah silaturrahim. Kurang lebih selama satu minggu pekerjaan kami adalah mengunjungi atau dikunjungi. Kami mengunjungi Pak De dan saudara-saudara yang lebih tua baik dari pihak ayah maupun ibu. Dan itu jumlahnya banyak sekali. Bisa benar-benar melelahkan. Tetapi tidak mungkin ditinggalkan. Belum lagi bersilaturrahim ke teman-teman ayah yang sudah seperti keluarga sendiri. Capek betul itu. Saya tidak ingat kapan kebiasaan ziarah kubur menjadi suatu ritual yang menyatu dengan awal puasa atau menjelang lebaran. Sebab ketika saya masih kecil, ziarah kubur itu hanya biasa saja, tidak berduyun-duyun seperti sekarang. Kami berziarah ke kuburan kakek dan nenek. Belakangan saya tentu berziarah ke kuburan ayah, dan yang terakhir ini ke kuburan ibu.

Tradisi lain yang menyertai perayaan lebaran adalah piknik. Sejak kecil kebiasaan itu sudah ada. Kalau di Solo pikniknya ke Tawang Mangu. Dan karena ayah saya tidak mempunyai villa, saya biasanya ikut ke tempat teman-temannya yang punya villa. Belakangan kemudian adik saya punya villa juga di Tawang Mangu. Maka setiap habis lebaran sekeluarga besar menginap di situ berjubel di satu rumah. Suasananya meriah dan benar-benar hangat meskipun udaranya sangat dingin di sana.

Ketika saya sudah bekerja di Jakarta, silaturrahim dilakukan bukan hanya dengan famili dan kerabat melainkan kepada tokoh-tokoh kita. Pada waktu Pak Natsir masih hidup, saya sering datang. Kemudian ke Pak Idham Kholid. Ya, kepada pemimpin-pemimpin Islam pada waktu itu di antaranya ke Pak Mukti Ali. Semakin lama, lebaran itu semakin praktis, lebaran itu liburan. Dan kalau lebaran, sewaktu ibu saya masih hidup, saya selalu pulang ke Solo. Atau ke mertua di Yogyakarta. Dan sekarang meskipun mereka sudah tidak ada, saya masih tetap mudik ke Solo mengunjungi adik-adik. Itulah hal yang selalu saya rindukan dari perayaan Idul Fitri, mudik ke kampung halaman, bersilaturrahim dan mengenang masa kecil di kota Solo. Saya telah melanglang buana, namun buat saya Solo adalah kampung halaman yang selalu dikenang dengan indah. Di sanalah saya lahir dan tumbuh dan menjadi cikal bakal saya, Dawam Rahardjo, yang sekarang.

 

* Artikel ini termuat dalam buku Rumah KitaB yang diterbitkan oleh Mizan tahun 2013 berjudul “MOZAIK RAMADHAN DAN LEBARAN DI KAMPUNG HALAMAN [Menelusuri Jejak-jejak Tradisi Ramadhan dan Lebaran di Nusantara]”

PUASA BERSAMA MASYARAKAT KAMPUNG

Oleh Dr. KH. Said Aqil Siradj, MA.

[Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU)]

“Untuk mendakwahkan syariat Islam di tengah-tengah masyarakat, kita tidak harus menjadikan negara ini sebagai negara Islam. Karena Islam memang tidak perlu dikonstitusikan, tetapi diamalkan.”

 

Suasana Ramadhan

Saya menghabiskan masa kanak-kanak di kampung halaman, Kempek, Palimanan, Cirebon. Saat itu, jangankan telepon dan televisi, listrik saja belum ada. Bahkan, orang yang mempunyai radio pun jarang, termasuk juga orangtua saya. Makanya, suasana bulan Ramadhan terasa sangat khusyuk. Dan karena ayah saya, Kiyai Aqil, adalah seorang ulama pesantren, maka ketika Ramadhan saya khusus mengaji kitab-kitab tertentu yang tidak pernah dikaji di luar Ramadhan.

Dalam istilah pesantren, pengajian serupa itu disebut pasaran. Pengajian pasaran juga merupakan ajang reuni. Di pengajian pasaran selalu ada alumni yang sengaja ikut pengajian. Bahkan mereka yang sudah berkeluarga datang bersama keluarganya. Praktik ngaji pasaran ini telah tumbuh dalam tradisi pesantren sejak lama. Ayah saya pun, ketika masih muda, juga sering ngaji pasaran. Misalnya ngaji kitab “Shahîh al-Bukhârîy” (kitab kumpulan hadits) di Poncol, Salatiga, Jawa Tengah. Bagi saya ini merupakan tradisi yang sangat baik yang kerap kita temukan di pesantren.

Sebelum mondok di Lirboyo-Jawa Timur di tahun 60-an, sebelum tamat tingkat SD, ngaji pasaran menjadi kegiatan rutin saya dan santri lainnya di pesantren ayah saya. Ngaji pasaran dilakukan begitu memasuki hari pertama bulan Ramadhan. Biasanya yang dikaji adalah kitab-kitab tipis seperti “al-Mawâ’izh al-‘Ushfûrîyyah” (sebuah kitab tentang logika untuk tingkat dasar) agar bisa khatam dalam waktu 20 hari. Ini tentu berbeda dengan kitab-kitab yang kami baca di luar Ramadhan. Kami mengaji kitab-kitab besar seperti “Alfîyyah” (kitab yang berisi 1000 bait rumusan gramatika bahasa Arab), “Fath al-Mu’în” (fikih), kitab-kitab ushul fikih, tafsir dan hadits. Semua ini adalah kitab-kitab wajib yang harus dipahami betul-betul oleh para santri sesuai tingkatannya. Dulu, kurikulum wajib ini biasanya diistilahkan dengan “Balagh”.

Menjalankan Ramadhan di kampung memang sangat mengesankan. Nuansa religius, penuh keikhlasan, saling menghormati dan saling menyayangi, semua itu benar-benar saya rasakan. Sering saya dapati orang yang mampu memberikan makanan kepada orang yang tidak mampu. Memang kelihatannya sepele, yang diberikan sekedar makanan untuk berbuka. Tetapi bagi kami di kampung itu sangat berarti. Itu merupakan gambaran masyarakat kampung kami tempo dulu yang hidup rukun dalam kedamaian dan saling gotong-royong.

Ketika malam datang, selepas shalat Isya`, kami melaksanakan shalat Tarawih. Karena kami NU, tentu Tarawih kami 23 raka’at yang dilakukan secara berjamaah di masjid. Meskipun begitu, shalat Tarawih bisa dilakukan kurang dari satu jam, bahkan mungkin setengah jam. Lumayan cepat memang. Tetapi bacaan imamnya sangat fasih dan menggunakan tajwid (benar cara bacanya). Setelah itu, saya bersama teman-teman melakukan tadarusan atau membaca al-Qur`an—minimal selama bulan Ramadhan bisa khatam.

Menjelang Lailatul Qadar, sepuluh hari terakhir puasa, kami biasanya berusaha meningkatkan ibadah. Kami memperbanyak ‘melek’ untuk melaksanakan shalat malam (tahajjud), berdoa, dan berdzikir sepanjang malam. Kami berharap bisa mendapatkan berkah dan pahala Lailatul Qadar yang diyakini sebagai malam yang lebih mulia daripada seribu bulan. Selaras dengan namanya, Lailatul Qadar dalam tradisi Islam diyakini sebagai malam penentuan atau “al-taqdîr”. Hal ini menyiratkan makna, bahwa pada malam itu, Allah SWT menentukan siapa saja dari hamba-hamba-Nya yang termasuk golongan al-‘Â`idîn wa al-Fâ`izîn, yaitu orang-orang yang kembali suci karena keberhasilan mereka meraih kemenangan setelah berjuang melawan hawa nafsu selama bulan Ramadhan. Orang-orang seperti itu diyakini berhak mendapat curahan ampunan (maghfirah) dari Allah. Dan karena itu, merekalah yang dipastikan terbebas dari siksaan api neraka (‘itq min al-nâr). Tiada balasan yang paling layak bagi mereka kecuali surga Firdaus kelak di hari akhir.

Dan para kiyai, sebagai panutan umat, memang senantiasa memberikan contoh teladan, termasuk agar para santri dan masyarakat saling memaafkan kesalahan dan bersilaturrahim. Jadi, bukan hanya waktu lebaran saja, jauh sebelum itu, sejak awal Ramadhan, atau bahkan sebelumnya, tradisi silaturrahim dan saling memaafkan itu sudah dilakukan. Di samping saling memaafkan, mereka juga saling mendoakan agar puasa yang dikerjakan berjalan lancar tanpa hambatan dan diterima di sisi Allah SWT. Secara batiniyah, mereka memasuki Ramadhan dalam keadaan suci.

Di kampung saya, sehari sebelum Ramadhan, banyak masyarakat yang melakukan ziarah kubur untuk mendoakan para orangtua dan leluhur mereka yang sudah meninggal. Di antara mereka juga ada yang berziarah ke makam para kiyai, ulama dan wali. Tujuannya, di samping mengharapkan pahala dalam menyambut bulan suci Ramadhan, juga mengharapkan berkah lebih melalui para leluhur yang sudah lebih dulu berada di sisi Allah SWT. Tujuan ziarah itu tentu bisa berbeda-beda tergantung berziarah kepada siapa. Kalau kepada orangtua, kami berziarah untuk mengenang dan mendoakan. Sementara ziarah kepada ulama/kiyai/wali kami bertawassul atau “menyambungkan tali” baik itu tali silaturrahim maupun berkah. Menurut saya, ini merupakan tradisi yang baik dan benar yang dasarnya dapat kita temui di dalam ajaran agama, baik al-Qur`an maupun Sunnah.

 

Ngabuburit dan Buka Puasa

Tradisi lain yang tidak kalah penting adalah ngabuburit. Secara harfiyah ngabuburit artinya menunggu sore atau menunggu maghrib. Kalau di kampung saya, menjelang maghrib, biasanya banyak orang jalan-jalan di pinggir sawah sambil menunggu waktu buka puasa. Jika kebetulan sedang musim kemarau ada yang ngabuburit sambil bermain layangan. Tetapi ada juga yang hanya menikmati suasana sore sambil melihat orang berlalu-lalang di jalan desa tepi sawah.

Saya sendiri, setamat dari Pesantren Lirboyo (sebelum melanjutkan studi di Pesantren Sarang dan kemudian di Pesantren di Krapyak), biasanya menghabiskan waktu ngabuburit untuk mengulang hafalan kitab “Alfîyyah” di pinggiran sawah sambil melihat orang-orang yang juga sedang ngabuburit; ada yang berjalan mengitari sawah menikmati pemandangan sore yang cerah, dan ada yang hanya duduk-duduk saja sambil ngobrol dengan sahabat yang dikenal.

Begitu bedug maghrib berbunyi, suasana kampung akan terasa sepi. Semua orang masuk rumah untuk berbuka. Karena Kempek itu kampung, kadang-kadang saya dan teman-teman pergi ke Gempol sekedar untuk makan di warung dengan hidangan khusus daging atau ayam. Di Gempol pada waktu itu sudah ada restoran yang terletak di pinggir jalan, jaraknya sekitar 1 km dari kampung saya di Kempek.

Dalam Islam, urusan makanan untuk buka puasa sudah diatur. Misalnya, disunnahkan untuk berbuka dengan yang manis-manis. Kalau mengacu kepada sunnah Nabi, umat Muslim dianjurkan untuk berbuka dengan kurma. Tetapi karena saat itu di kampung saya kurma sangat jarang, maka sebagai gantinya, kami makan kolak dulu dan secangkir teh manis. Setelah itu kami mengerjakan shalat Maghrib berjamaah, dan baru kemudian makan nasi (makan besar).

Ibu saya adalah sosok perempuan yang sangat senang memasak, melayani ayah dan anak-anaknya dengan sangat baik. Untuk keperluan buka puasa, beliaulah yang selalu memasak. Meskipun ada di lingkungan pesantren di mana santri kadang-kadang datang ke rumah kiyai untuk membantu, ibu saya tidak meminta bantuan santri. Beliau mengerjakan semuanya sendiri. Kami dulu tidak biasa mempekerjakan pembantu. Selagi masih bisa dikerjakan sendiri, tidak ada alasan untuk mempekerjakan orang.

 

Dididik Berpuasa Sejak Kecil

Ayah saya bisa dibilang cukup keras mendidik anak-anaknya dalam hal pelaksanaan ibadah puasa. Sejak kecil, sebelum masuk sekolah SD, saya sudah diajari berpuasa, meskipun tidak penuh satu hari sampai maghrib. Misalnya, puasa setengah hari atau sebedug (saat bedug untuk shalat Zhuhur berbunyi). Baru setelah berumur 10 tahun, saya diwajibkan berpuasa sehari penuh. Tidak ada kata ‘tidak mampu’ apalagi malas.

Secara umum, masyarakat NU, khususnya para kiyai, mendidik putra-putri mereka berpuasa dengan cara demikian supaya menjadi kebiasaan. Dengan cara itu nantinya tidak akan ada ‘rasa terpaksa’ dalam menjalankan ibadah. Saya kira inilah kelebihan masyarakat NU, yaitu mengamalkan syariat Islam dengan ikhlas, tidak dikonstitusikan. Melaksanakan shalat, puasa, zakat, haji, umrah, memakai jilbab untuk perempuan NU dan menutupi aurat, itu bukan karena ada undang-undang pemerintah, bukan karena takut kepada polisi atau sanksi, tetapi betul-betul karena keikhlasan di dalam menjalankan ajaran agama. Untuk mendakwahkan syariat Islam di tengah-tengah masyarakat, tidak harus menjadikan negera ini sebagai negara Islam. Karena Islam tidak perlu dikonstitusikan, tetapi diamalkan.

Menurut hemat saya, asas formal Islam memang tidak diperlukan di negara ini. Karena esensi Islam tidak terletak pada dimensi legal-formal simbol-simbolnya. Justru prilaku dan moralitas manusialah yang menjadi prioritas utama agar manusia bisa berakhlak mulia. Allah berfirman, “Siapakah yang lebih baik perkataannya daripada orang-orang yang berseru kepada Allah dan yang beramal saleh, lalu berujar, ‘Saya ini termasuk umat Muslim,” [QS. al-Shaffat: 33].

Ayat tersebut jelas menunjukkan bahwa formalitas Islam hanyalah sebatas syiar keagamaan yang kualifikasinya hanya berada di penghujung ayat. Sementara yang diprioritaskan adalah berseru kepada Allah dan beramal saleh. Seruan Allah tersebut memang sangat beralasan. Apabila formalitas Islam diletakkan pada peringkat pertama, tentu sangat berbahaya. Dari sinilah, orang-orang munafik (hipokrit) atau pengkhianat agama muncul, dan sering berawal dari sikap mendahulukan unsur legal-formal agama ketimbang kualifikasi amal saleh dan akhlak mulia. Dalam surat al-Ma’un Allah memberikan peringatan kepada para pengkhianat agama, yaitu yang menghardik anak yatim, apatis terhadap kemaslahatan umum dengan tidak menyantuni fakir miskin, serta orang-orang yang secara formal menunaikan ibadah shalat tetapi prilakunya banyak yang menyimpang.

Dengan demikian, bisa disimpulkan, Islam tidak dirancang untuk menjadi sebuah institusi negara. Upaya menarik Islam ke dalam sebuah formalitas politik praktis dan urusan kenegaraan justru akan semakin membawanya kepada kepentingan instan serta memerosokkannya dalam lembah distorsi doktrinal. Dan karena itu pula, pemisahan agama dan negara atau sekularisasi mutlak menjadi suatu keniscayaan. Memang, sungguh tidak mudah memahami Islam secara benar.

Saya masih ingat cara ayah saya mendidik anak-anaknya. Beliau selalu meminta agar kami dapat memenuhi harapannya. Harapan beliau hanya satu saja. Beliau mengharapkan agar anak-anaknya menjadi orang-orang alim. Tidak pernah terucap dari lisan beliau agar anak-anaknya kelak menjadi pejabat atau saudagar kaya, misalnya. Bagi beliau, yang penting anak-anaknya mengerti ilmu-ilmu agama yang disertai dengan amal saleh dan akhlak mulia.

 

Menyikapi Perbedaan

Sejak kecil saya sudah diajari bagaimana menyikapi perbedaan. Termasuk menyikapi perbedaan dalam menentukan tanggal 1 Ramadhan dan 1 Syawal. Di Indonesia, hal ini kerap terjadi antara NU dan Muhammadiyah.

Dan masyarakat NU, menurut saya, sama sekali tidak terpengaruh dengan perbedaan tersebut. Karena sebenarnya perbedaan itu boleh-boleh saja, tidak ada masalah. Misalnya saya menyakini bahwa tanggal 1 Ramadhan jatuh pada hari ini, maka saya boleh melakukan apa yang saya yakini itu. Hal yang tidak boleh adalah ketika perbedaan itu dipaksakan kepada orang lain. Suatu perbedaan tidak boleh dimaknai sebagai sebuah ketimpangan, tetapi harus dimaknai sebagai keragaman yang indah. Allah SWT berfirman di dalam al-Qur`an, “Sesungguhnya kami jadikan kalian berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kalian saling mengenal.”

Ada sebuah ucapan yang oleh sebagian orang dinisbatkan kepada Nabi. Saya tidak tahu persis ini hadits atau bukan, tetapi yang jelas para ulama masih mempertentangkannya. Ucapan itu berbunyi, “Ikhtilâf-u ummatîy rahmah,” (Perbedaan di kalangan umatku adalah rahmat atau sebentuk kasih-sayang dari Tuhan). Karena dengan perbedaan, berarti ada interaksi, ada dinamika. Manusia adalah makhluk sosial, tidak bisa hidup sendiri. Manusia selalu membutuhkan orang lain. Makanya, manusia harus bisa berinteraksi dengan manusia lainnya. Dan untuk itu di antara manusia harus punya hak yang sama.

Saya kira warga NU sekarang sangat menghormati pendapat kelompok-kelompok lain. Tidak ada upaya dari mereka untuk memberangus pendapat-pendapat yang berkembang di masyarakat meskipun bisa berbeda dengan pendapat NU. Sebaliknya perbedaan itu justru akan memperkaya diskursus keagamaan dan harmoni intelektual di kalangan umat Muslim bisa terbangun.

Dalam penentuan tanggal 1 Ramadhan, juga Hari Raya Idul Fitri atau tanggal 1 Syawal, masyarakat NU umumnya mengikuti keputusan pemerintah. Namun NU tidak menghalangi jamaah lain yang memiliki keyakinan berbeda dengan NU dalam memulai puasa di hari yang mereka yakini sebagai 1 Ramadhan. Bagi NU perbedaan harus disikapi sebagai anugerah dari Allah.

Dalam pandangan saya, NU adalah salah satu tipe organisasi Islam lokal yang mempunyai perhatian terhadap perdamaian. Lembaga keagamaan ini sangat humanis dan berhasil membumikan ajaran Islam di Indonesia. Dalam sejarah panjangnya, NU berkomitmen dalam mengawal proses pencerahan komunitas Muslim Indonesia yang menjunjung tinggi tradisi dan kebudayaan.

Pertanyaannya kemudian, kenapa NU bisa bersikap demikian? Kenapa mereka bisa menjadi cerminan sistem nilai yang berorientasi pada terciptanya masyarakat yang cinta damai dan mendambakan keselamatan lahir dan batin? Ini tiada lain merupakan pantulan dari h al-wathanîyyah (nasionalisme) yang sudah melekat dalam NU sejak didirikan.

h al-wathanîyyah yang saya maksud bukan sebatas mencintai tanah air. Lebih dari itu, kita memahami bahwa Allah menciptakan manusia di muka bumi sebagai wujud dari kepercayaan-Nya atas peran manusia untuk mengelola alam ini dengan sebaik-baiknya. Oleh karena itu, manusia wajib mencintai tanah tempat di mana ia berpijak. Mengkhianati negerinya sendiri berarti mengkhianati kepercayaan Tuhan. Dalam tatanan realitas, h al-wathanîyyah diwujudkan dengan upaya melestarikan keanekaragaman budaya. Contohnya, bangunan masjid umat Muslim kebanyakan dilengkapi dengan menara dan kubah. Padahal menara itu berasal dari kata manara yang berarti ‘tempat perapian’, yaitu sebuah tradisi-budaya para penganut Zoroaster di masa Persia Kuno. Sedangkan kubah adalah tradisi budaya Kristen di Romawi (Konstantinopel). Di Nusantara, para Wali Songo menyebarkan agama Islam tanpa memosisikannya sebagai institusi yang berhadapan vis a vis dengan budaya lokal. Para Wali Songo mengenalkan Islam sebagai agama yang ramah lingkungan, dapat dianut oleh siapapun dan di manapun tanpa memberangus budaya lokal, sepanjang tidak bertentang dengan akidah tauhid.

 

Idul Fitri dan Upaya Mewujudkan Perdamaian

Bagi umat Muslim, momentum Hari Raya Idul Fitri adalah saat-saat penting untuk bersilaturrahim dan saling memaafkan. Seluruh kesalahan yang pernah dilakukan terhadap sesama selama setahun, seolah ingin dilebur di hari lebaran itu. Di sini kita saling bermaafan, min al-‘â`idîn wa al-fâ`izîn. Sadar atau tidak sadar, ungkapan itu dalam masyarakat kita sering dimaknai “mohon maaf lahir dan batin”. Meski secara kontekstual pemaknaan itu tidak terlalu menyimpang, namun keluasan dan kedalaman makna ungkapan tersebut tidaklah sepenuhnya terwakili dalam ungkapan “mohon maaf lahir dan batin”.

Mengapa demikian? Dalam istilah agama, ada yang disebut huqûq Allâh (hak-hak Allah) dan ada pula yang disebut huqûq al-insân (hak-hak asasi manusia). Dosa atau kesalahan manusia kepada Allah menimbulkan hak bagi Allah untuk menuntut penebusan dari manusia. Kita menjalankan puasa Ramadhan, misalnya, merupakan upaya menebus dosa itu dan memohon ampunan dari-Nya. Puncaknya adalah pada momen Idul Fitri, yaitu kembali kepada fitrah kita, kepada kesucian. Kembali kepada kesucian itu yang kemudian disimbolkan dengan adanya maaf dari Allah, lalu disempurnakan dengan maaf dari sesama manusia. Dalam kehidupan keseharian atau bermasyarakat, kita pasti tidak luput dari berbuat salah kepada sesama. Allah tidak akan mengampuni kesalahan yang kita lakukan terhadap sesama jika kita tidak mau meminta maaf kepada yang bersangkutan. Di sinilah sebenarnya kaitan antara ungkapan “min al-‘â`idîn wa al-fâ`izîn” yang berdimensi vertikal dengan ungkapan “mohon maaf lahir dan batin” yang berdimensi horizontal.

Hidup pada dasarnya adalah suatu gerak, suatu aktivitas dalam waktu. Ketika Allah meniupkan ruh ke dalam jasad manusia, maka hidup telah dimulai. Meminjam istilah Dante Alighieri, hidup manusia dimulai di alam parasido, yakni alam kebahagiaan. Karena pada saat itu, fitrah atau kejadian asal manusia bersentuhan secara fisik maupun mental dengan alam materi yang membuatnya tidak lagi bersih atau suci. Ditambah lagi, manusia merupakan makhluk lemah sehingga mudah terjerembab ke dalam kenikmatan materi yang semu. Semakin lama ia tenggelam dalam kemeriahan alam materi, semakin kotor pula alam ruhaninya. Akhirnya, terjatuhlah manusia ke dalam alam inferno, yaitu alam kesengsaraan.

Untuk bisa kembali ke alam surgawi atau alam kebahagiaan, manusia harus melalui proses pembersihan diri di alam purgatorio. Bagi umat Muslim, alam purgatorio itu adalah bulan Ramadhan, yakni bulan yang mendatangkan rahmat, ampunan sekaligus mencegah manusia agar tidak jatuh ke lembah inferno, kesengsaraan. Dengan demikian, umat Muslim dapat masuk kembali ke alam paradiso, alam surgawi, alam kesucian yang dilambangkan dengan Idul Fitri.

Sebenarnya, lambang-lambang dari kecenderungan manusia untuk kembali kepada asal kejadian juga ditemukan dalam segenap kegiatan menjelang dan di Hari Raya Idul Fitri. Kita melihat, misalnya, orang-orang selalu menyempatkan diri untuk pulang kampung. Mereka bahkan rela berjejal dan berdesakan di atas kereta atau bis, saling sikut, saling dorong dan sebagainya. Bahkan banyak yang menginap di terminal atau stasiun kereta karena tidak kebagian tempat atau tiket. Hal serupa juga kita saksikan pada para pekerja migran (TKI/TKW) yang mengais rizki di negeri-negeri jiran. Mereka berbondong-bondong pulang merindukan kampung halaman.

Itulah mudik lebaran yang sebenarnya berarti “kembali ke asal”, kembali ke kampung halaman, “kembali ke fitrah”. Apa yang akan mereka lakukan di kampung halaman sama sekali bukan untuk pamer keberhasilan hidup di perantauan. Tidak jarang di antara mereka hidup di rantau dengan sengsara dalam arti sebenarnya. Dengan mudah kita bisa menebak rata-rata penghasilan para pendatang yang mengadu nasib di Jakarta atau di kawasan industri di Jabotabek sebagai pekerja pabrik atau pedagang di sektor informal. Itupun jika mereka belum kena PHK akibat pabrik gulung tikar. Jadi, tujuan mereka mudik sama sekali jauh di atas kepentingan material, tetapi didorong oleh kecenderungan spiritual, yaitu hasrat berkumpul dengan sanak saudara sekaligus untuk saling memaafkan.

Memaafkan memang merupakan pekerjaan gampang-gampang susah. Tidak semua orang mau berbesar hati memaafkan kesalahan orang lain. Apalagi jika orang tersebut menganggap kesalahan itu terlalu besar sehingga kata maaf dianggap terlalu ringan dan tidak cukup untuk menebus kesalahan tersebut. Kata memaafkan sendiri, sebagaimana termaktub di dalam al-Qur`an didahului dengan kata menahan amarah. Karena orang yang tidak bersedia memaafkan kesalahan orang lain, biasanya memendam amarah atau menyimpan dendam.

Dalam al-Qur`an, kata “dendam” yang terkait dengan fenomena manusiawi paling sedikit disebutkan dua kali. Seperti ayat yang berbunyi, “Dan Kami cabut segala macam dendam yang ada di dalam dada mereka,” [QS. al-A’raf: 43]. Kesimpulan ringkas yang diuraikan petunjuk al-Qur`an ini adalah bahwa sifat dendam, yang salah satu bentuknya adalah tidak mau memaafkan kesalahan orang lain, bukanlah sifat orang yang beriman. Sebab, Allah sendiri adalah Maha Pemaaf. Allah juga mencirikan orang-orang yang beriman sebagai orang yang mau memberi maaf apabila sedang marah.

Jelas, memaafkan adalah suatu kuantitas dan tingkatan moral tersendiri. Kalau kita memaafkan kesalahan orang lain, berarti kita menutupi kesalahan orang itu dan rasa marah kita sendiri. Sebab, keduanya saling berkaitan dengan keikhlasan untuk memberi maaf. Pertanyaannya, mampukah kita meletakkan makna ungkapan “mohon maaf lahir dan batin” dalam kerangka seperti yang dituju oleh al-Qur`an di atas? Sungguh merupakan sesuatu yang tidak mudah. Sebab, bentuk-bentuk lahiriah dari pertanyaan itu tampak lebih dominan ketimbang makna esensial yang ingin dituju. Lihat para politisi kita di depan kamera televisi yang saling berpelukan, tetapi di belakang mereka berusaha saling menjegal dan menikam.

Kiranya merupakan sesuatu yang lumrah dalam kehidupan bermasyarakat jika dalam berpolitik terjadi aneka pertentangan atau perebutan kepentingan. Akan tetapi, umat Muslim selalu diingatkan oleh ajaran agamanya, bahwa sehebat apapun pertentangan itu hendaknya segera dicarikan penyelesaian dengan mengedepankan semangat ukhuwah atau persaudaraan sejati guna membangun ishlâh atau perdamaian di antara sesama umat manusia. Bagi kalangan tertentu yang menginginkan dakwah secara radikal dan menimbulkan permusuhan, Hari Raya Idul Fitri adalah saat terbaik untuk merenungkan kembali jalan dakwah yang lebih arif dan bijak, yakni dakwah bi al-hikmah. Pesan Nabi Muhammad saw., “Jangan sampai perselisihan itu berlanjut lebih dari tiga hari.” Mudah-mudahan melalui Hari Raya Idul Fitri kita bisa memetik hikmah untuk diterapkan dalam kehidupan nyata, agar rasa damai dan persaudaraan selalu menyertai kita di manapun dan kapanpun. Amin…

 

* Artikel ini termuat dalam buku Rumah KitaB yang diterbitkan oleh Mizan tahun 2013 berjudul “MOZAIK RAMADHAN DAN LEBARAN DI KAMPUNG HALAMAN [Menelusuri Jejak-jejak Tradisi Ramadhan dan Lebaran di Nusantara]”

Refleksi Distingsi Islam Indonesia

Oleh Prof. Dr. Azyumardi Azra, MA.

 

Hai, orang-orang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa, sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa,” [QS. al-Baqarah (1): 183].

 

Berpuasa. Inilah perintah Allah yang memiliki multidimensi: dimensi masa silam, masa kini, dan dimensi masa depan. Kalau kita mau menengok sejenak ke sejarah manusia pada masa silam, puasa sebenarnya adalah salah satu perintah Allah bagi setiap manusia beriman. Puasa merupakan salah satu ibadah paling awal dan paling luas tersebar di kalangan umat manusia yang beriman, meskipun bentuk dan cara puasa mereka mungkin berbeda. Perintah berpuasa telah ada sepanjang sejarah umat manusia. Sejarah puasa adalah sejarah manusia dan kemanusiaan.

Cobalah kita perhatikan kutipan ayat al-Qur`an di atas. Kutipan ayat, “kamâ kutiba ‘alâ al-ladzîna min qablikum” (sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu), mengisyaratkan, kewajiban puasa telah diperintahkan kepada “orang-orang sebelum kamu”. Dalam perspektif al-Qur`an, yang dimaksud dengan “orang-orang sebelum kamu” di dalam ayat tersebut adalah para pemeluk agama-agama samawi yang secara historis dan doktrinal memiliki keterkaitan langsung dengan Islam; yakni Yahudi dan Nasrani. Bahasa al-Qur`an menyebutkan, kedua komunitas umat beragama ini; Yahudi dan Nasrani, sering dikategorikan sebagai Ahl al-Kitâb. Seperti umat Muslim, mereka juga memiliki kitab suci yang jelas dan berbeda; orang-orang Yahudi berpegang teguh kepada Taurat sebagai kitab sucinya, dan orang-orang Nasrani meyakini Injil sebagai kitab suci mereka. Bagi Mukmin-Muslim, wajib meyakini keberadaan kitab-kitab suci ini; termasuk salah satu rukun iman.

Karena itu, bagi sebagian ulama, semua agama samawi (Yahudi, Nasrani, dan Islam) yang jelas dan tegas datang dari Allah memiliki banyak kesamaan dan afinitas dalam beberapa aspek ajaran: banyak kesamaan dalam prinsip-prinsip pokok akidah, syariat, dan akhlak. Tidak heran karena ketiga agama tergabung dalam agama Nabi Ibrahim, Abrahamic Religion, atau dalam bahasa al-Qur`an, millah Ibrâhîm. Semua agama Ibrahim, sebagai agama-agama samawi, sama-sama mengajarkan keesaan Allah, kenabian, hari akhir, penyembahan kepada Tuhan (dalam Islam, shalat), derma (dalam Islam, ZIS), dan termasuk juga puasa. Ajaran tentang ibadah puasa, menurut agama samawi, tersebar dalam berbagai bagian kitab-kitab suci mereka.

Sekali lagi, teks ayat al-Qur`an, “Orang-orang sebelum kamu”, mengandung dimensi masa lampau, yang memiliki dimensi keberlanjutan perintah agama dengan masa sesudahnya. Perintah berpuasa bagi umat beriman (Muslim)—“seperti orang-orang sebelum kamu” merupakan perintah Allah yang berkesinambungan dari suatu umat ke umat beragama sebelumnya. Hal ini membuktikan dan menegaskan, kehadiran Islam bagi umat Muslim—yang salah satu ajarannya adalah ibadah puasa—merupakan kelanjutan dan penyempurnaan agama-agama samawi sebelumnya. Hal ini dipertegas firman Allah, bahwa al-Qur`an (ajaran Islam) datang memberikan pembenaran dan penyempurnaan sebagian ajaran agama kaum Yahudi dan Nasrani  [QS. Ali ‘Imran (3): 3; QS. al-Ma`idah (5): 48, dan; QS. al-An’am (6): 92].

Puasa tidak hanya menyangkut sejarah umat manusia terdahulu, tetapi juga berkaitan dengan sejarah manusia masa kini dan masa depan. Seperti dicontohkan “orang-orang terdahulu”, puasa menjadi salah satu cara terbaik untuk melatih pengendalian diri. Puasa sendiri, yang dalam bahasa al-Qur`an disebut sha-wa-ma memiliki makna “menahan”, “berhenti” atau “tidak bergerak”. Dengan demikian, untuk konteks masa kini dan mendatang, berpuasa secara esensial mengandung arti “menahan dan mengendalikan diri”. Proses pengendalian diri ini menjadi salah satu cara meningkatkan kualitas ketakwaan, yang menjadi tujuan puasa itu sendiri, la’allakum tattaqûn.

Di dalam pengendalian diri itu, mereka yang berpuasa (shâ`imîn dan shâ`imât) perlu memperbanyak ibadah lain. Misalnya, memperbanyak amal saleh, beramar makruf dan bernahyi mungkar, mempererat tali silaturrahim, memberi sedekah, mendirikan shalat Tarawih dan shalat-shalat sunnah lainnya, bertadarus al-Qur`an, beri’tikaf, berdoa, memperingati Nuzul al-Qur`an, ‘mencari’ Lailatul Qadar, mengeluarkan zakat fitrah pada akhir Ramadhan, dan lainnya. Bila ibadah-ibadah ini dijalankan dengan baik sepanjang Ramadhan dan dilanjutkan pada bulan-bulan berikut, ada harapan peningkatan kualitas takwa bisa dicapai di masa kini dan mendatang. Sebab, puasa seperti digarisbawahi al-Qur`an, menjadi bagian tak terpisahkan dari perintah Islam secara keseluruhan, dengan tujuan—sekali lagi—“agar kamu bertakwa” [QS. al-Baqarah (2): 183].

Ibadah puasa dan latihan-latihan pengendalian diri lain, yang oleh kaum sufi disebut sebagai riyâdhah jasmânîyyah wa riyâdhah rûhânîyyah, latihan fisik dan spiritual ke arah penyucian jiwa (tazkîyyah al-nafs), pada gilirannya dapat mengembangkan unsur lâhût (ketuhanan) dalam diri manusia. Jika ini berhasil dicapai, manusia bukan hanya akan dapat membuka “tabir” (hijâb) yang membatasi dirinya dengan Tuhan, tetapi sekaligus bisa memiliki ma’rifah, yang memungkinkannya lebih arif dalam memandang diri, masyarakat, dan lingkungan alam.

Sekali lagi, berpuasa sebagai proses latihan pengendalian diri selama Ramadhan diharapkan dapat membawa ke derajat takwa. Takwa merupakan derajat atau maqâm (tingkat kerohanian) yang sangat didambakan setiap Muslim. Sosok atau figur “orang-orang bertakwa” memiliki ciri-ciri umum, seperti digambarkan dengan jelas dalam al-Qur`an, “Kitab (al-Qur`an) ini tidak ada keraguan padanya; petunjuk bagi mereka yang bertakwa; (yaitu) mereka yang beriman kepada yang gaib, yang mendirikan salat; dan menafkahkan sebagian rizki yang Kami anugerahkan kepada mereka; dan mereka yang beriman kepada kitab (al-Qur`an) yang telah diturunkan kepadamu dan kitab-kitab yang telah diturunkan sebelummu, serta mereka yakin akan adanya (kehidupan) akhirat,” [QS. al-Baqarah (2): 2-5].

Ciri-ciri umum al-muttaqûn di atas; beriman kepada yang gaib, mendirikan shalat, beriman kepada kitab-kitab Allah, dan yakin kepada dunia-akhirat mengandung dimensi vertikal (habl min Allâh)—hubungan manusia dengan Allah. Sedangkan mendermakan rizki mengandung dimensi horizontal (habl min al-nâs)—hubungan manusia dengan manusia. Takwa  memiliki implikasi yang bersifat keimanan dan kemanusiaan. Dengan kata lain, al-muttaqûn adalah orang-orang beriman (‘âmanû) dan beramal saleh (‘amilû al-shâlihât). Karena itu, istilah îmân, ‘amal, dan taqwâ memiliki kaitan erat dalam pemaknaannya.

Orang-orang bertakwa kepada Tuhan dengan implikasi kemanusiaan, misalnya bersikap adil terhadap sesama manusia. “Berlaku adillah, karena adil itu lebih dekat kepada takwa. Dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan,” [QS. al-Mâ’idah (5): 8]. Penegakan keadilan di tengah masyarakat adalah kewajiban agama yang harus dilaksanakan setiap umat manusia. Keadilan adalah kebutuhan umat manusia.

Ketidakadilan yang merajalela di dalam masyarakat melekat dengan penindasan, kesewenang-wenangan, penyelewengan, dan berbagai kezhaliman lainnya. Ketidakadilan dalam berbagai bidang kehidupan dapat memunculkan kekecewaan dan ketidakpuasan dari berbagai kelompok masyarakat, termasuk umat Muslim. Sebab, ketidakadilan dapat berakibat rusak dan porak-porandanya nilai-nilai kemanusiaan. Kerusuhan, pembakaran, pemboman, permusuhan, dan peperangan yang mencemari kehidupan bermasyarakat dan bernegara, juga berakar pada menjamurnya ketidakadilan dalam masyarakat.

Dengan demikian, penegakan keadilan tidak bisa ditunda-tunda, apalagi dimundurkan. Berlaku adil yang merupakan hasil ibadah puasa, dapat mengantarkan seseorang menjadi bagian dari orang-orang bertakwa. Kaum al-muttaqûn, seperti dijanjikan Allah dalam al-Qur`an, akan meraih kemenangan dan keberuntungan, “Sesungguhnya orang-orang bertakwa mendapat kemenangan. (Yaitu), kebun-kebun dan buah anggur, dan gadis-gadis remaja yang sebaya, dan gelas-gelas yang penuh (minuman),” [QS. al-Naba`(78): 31-34]. Mereka akan menempati surga yang penuh dengan kenikmatan [QS. al-Dzariyat (51): 15; QS. al-Thur (52): 17; QS. al-Qamar (54): 54; QS. al-Qalam (68): 34; dan QS. al-Mursilat (77): 41].

Dengan demikian, ibadah puasa memberikan kesempatan istimewa bagi umat Muslim, termasuk di Indonesia, untuk mencapai janji Allah, yaitu orang bertakwa yang dapat meraih kemenangan di “hari kembali ke kesucian” (‘îd al-fithr). Berpuasa mengantarkan kaum Mukminin-Mukminat/Muslimin-Muslimat menjadi orang-orang menang dalam meraih kembali kesucian (fithrah).

Kedatangan hari kemenangan “kembali ke kesucian” (‘îd al-fithr) selalu dirayakan umat Muslim, khususnya di Indonesia secara besar-besaran. Perayaan hari fitri dengan meriah, bukan karena mereka telah bebas dari kewajiban puasa yang berat. Lebih dari itu, karena mereka telah kembali kepada kesucian mereka. ‘Îd al-fithr, kembali kepada fithrah, kesucian, kembali kepada keadaan semula ketika manusia pertama kali dilahirkan ke muka bumi. Karena itu Hari Raya Idul Fitri juga disebut sebagai “hari kesucian”, kadang pula disebut “hari kemenangan”, karena orang yang berpuasa menang mengendalikan diri dari berbagai nafsu setani.

“Hari kesucian” atau “hari kemenangan” yang dirayakan setiap tahun seharusnya menjadi momentum bagi pemaafan yang tulus dari berbagai kalangan anak bangsa, sehingga ishlâh, rekonsiliasi, dan perdamaian kembali terwujud di masa kini dan mendatang. Inilah salah satu ciri orang berpuasa yang mampu meraih derajat takwa dan menjadi orang yang suci, menjadi muttaqin yang fitri.

 

Ramadhan Embedded: Distingsi Islam Indonesia

Ibadah Ramadhan dan Idul Fitri (lebaran) tidak hanya sekedar pelaksanaan ajaran normatif Islam, tetapi sekaligus juga menghasilkan berbagai gejala sosial-budaya keagamaan. Dalam konteks Islam Indonesia, ibadah puasa Ramadhan dan Lebaran merupakan contoh sangat baik tentang refleksi sosio-kultural Islam Indonesia yang sangat distingtif.

Berbeda dengan Islam di kawasan Dunia Islam lain, dalam tradisi sosio-kultural keagamaan Islam Indonesia, Ramadhan dan Lebaran—dengan tradisi mudik—telah dan kian embedded dalam kehidupan. Bahkan dalam dasawarsa terakhir, ibadah Ramadhan dan Lebaran tidak hanya menimbulkan kesibukan keagamaan, tetapi juga sosial, budaya, ekonomi, dan pemerintahan.

Gejala sosial, budaya dan keagamaan Ramadhan dan Idul Fitri di Indonesia sangat kaya dan colorful. Bisa dikatakan, setiap kelompok etnis, suku bangsa dan lokalitas memiliki tradisinya dalam menyambut dan merayakan Ramadhan dan Lebaran. Perbedaan-perbedaan itu dapat dilihat jelas dalam buku “Mozaik Ramadhan dan Lebaran di Kampung Halaman” ini.

Kalangan antropolog banyak tertarik pada gejala sosial, budaya, dan keagamaan Ramadhan dan Idul Fitri. Salah satu karya sangat menarik dalam hal ini adalah karya Andre Moller, “Ramadhan in Java: The Joy and Jihad of Ritual Fasting”, yang semula merupakan disertasi pada Jurusan Sejarah dan Antropologi Agama, Universitas Lund, Swedia, 2005. Saya tahu, terjemahan bahasa Indonesia buku ini juga telah diterbitkan. Karya asli dalam bahasa Inggris setebal 446 halaman ini menarik karena beberapa alasan.

Pertama, inilah salah satu di antara sangat sedikit buku atau artikel yang mengkaji ibadah puasa dari berbagai segi, khususnya bagaimana ibadah puasa dalam realitas dan aktualitas masyarakat Muslim Jawa. Moller pertama-tama berangkat dari ajaran normatif Islam tentang ibadah puasa, dan kemudian membahas wacana publik tentang puasa dalam media massa. Bagian yang paling penting adalah pembahasannya tentang pengamalan puasa secara sosiologis dan antropologis dalam masyarakat Jawa, dan perbandingan Ramadhan di Jawa dengan beberapa kawasan lain di Dunia Muslim.

Kedua, meski berfokus pada ibadah puasa Ramadhan, karya ini lebih daripada sekedar itu. Karya ini dalam batas-batas tertentu menggambarkan dinamika Islam umumnya dalam masyarakat Jawa kontemporer. Dan, karena itu, “Ramadhan in Java” menunjukkan potret Islam yang tengah dan terus berubah di Jawa Tengah; dan saya kira juga di daerah-daerah lain di Jawa.

Karya Moller ini merupakan kecenderungan terbalik dari apa yang ditunjukkan Karel Steenbrink dalam bukunya “Dutch Colonialism and Islam” (1993). Menurut Steenbrik, sejak masa kolonial, para sarjana, peneliti, dan administratur Belanda secara sistematis berusaha melakukan pengecilan dan marjinalisasi Islam dalam berbagai kehidupan masyarakat Indonesia. Dasar-dasar asumtif maupun teoritis tentang Islam yang ‘marjinal’ tersebut selanjutnya dituangkan ke dalam kebijakan-kebijakan politik kolonial yang supresif dan diskriminatif terhadap Islam dan ‘het inlanders’, kaum pribumi yang identik dengan umat Muslim.

Pendekatan yang disebut sejarawan William Roff sebagai ‘pengkaburan’ Islam (Islam obscured) tersebut terus berlanjut dalam masa paska-kolonial. Yang paling utama tentu saja adalah antropolog Amerika Clifford Geertz melalui karyanya yang sangat berpengaruh, “The Religion of Java” (1960). Dalam kerangka Clifford Geertz dan Geertzian, Islam hanya menduduki posisi marjinal dalam masyarakat Jawa; Islam di Jawa pada dasarnya adalah ‘Islam sinkretik’, yang tidak murni, dan sangat lokal. Namun, sejak akhir 1970-an sarjana-sarjana lain sejak dari MC Ricklefs, Mark Woodward, M. Bambang Pranowo dan banyak lagi membuktikan semakin tidak relevannya kerangka Geertzian untuk menjelaskan fenomena dan dinamika Islam dalam masyarakat Jawa.

Berbeda dengan kecenderungan Geertz, setelah mengamati pengamalan ibadah puasa dalam masyarakat Jawa, Moller berkesimpulan, Ramadhan di Jawa adalah fenomena luarbiasa (extraordinary). Setelah membandingkannya dengan Ramadhan di kalangan Muslim lain di Maroko, Yordania, Turki, Arab Saudi, dan kawasan Swahili Afrika Timur, Moller menyimpulkan, “…the observance of Ramadhan in Java belongs to the more scrupulously and joyously performed rituals in the Muslim world.”

Berpuasa Ramadhan adalah ibadah; tetapi—tulis Moller—sepatutnya lebih cocok menyebut puasa Ramadhan sebagai ‘ritual complex’, karena ia mengandung banyak ‘sub-ritual’. ‘Ramadhanic ritual complex’ itu sebagiannya mungkin tidak berhubungan dengan berpuasa secara fisik, tetapi ia merupakan bagian dari selebrasi Ramadhan. Ibadah puasa itu sendiri memang hanya sebulan penuh, tetapi dengan keseluruhan selebrasinya, rangkaian Ramadhanic ritual complex itu berlangsung tidak kurang dari tiga bulan.

Ramadhanic ritual complex dalam masyarakat Muslim Jawa bermula sejak bulan Ruwah (Sya’ban). Dalam bulan ruwah (dari bahasa Arab, arwah) ini, berbagai ruwahan dilakukan untuk menyambut kedatangan Ramadhan. Ruwahan itu bisa berbentuk pengajian, slametan, saling mengirim makanan, ziarah ke kuburan (nyekar), dan lain-lain. Belakangan ini, acara ‘nishf Sya’bân’ juga semakin populer. Lalu, pada bulan Ramadhan, yang selain ibadah puasa pada siang hari juga diikuti sejumlah ibadah dan kegiatan keagamaan, sejak dari shalat Tarawih sampai memukul bedug keliling kampung menjelang makan sahur.

 

Mudik: Kembali ke Axis

Yang paling distingtif dari Ramadhanic ritual complex di banyak tempat lain di Indonesia adalah lebaran, perayaan Idul Fitri yang, baik sebelum dan sesudahnya, ditandai dengan ‘pulang mudik’. Idul Fitri, mengutip almarhum Nurcholish Madjid, adalah puncak kehidupan sosial-keagamaan umat Muslim Indonesia. Pulang mudik tidak hanya merupakan pergerakan manusia terbesar dari kota ke desa, tetapi juga pemerataan sosial-ekonomi, dan tak kurang pentingnya merefleksikan ‘perjalanan anak manusia Muslim Indonesia kembali ke akar eksistensial mereka’, kembali ke Axis.

Mudik atau pulang kampung menjelang Hari Raya Idul Fitri sangat unik Indonesia (uniquely Indonesian). Dalam observasi saya di berbagai negara Muslim, tidak ada negara berpenduduk mayoritas Muslim lain yang mengalami kehebohan luar biasa terkait mudik Lebaran. Banyak negara di Dunia Muslim lainnya tentu saja juga merayakan Idul Fitri, tetapi jelas tingkat keramaian, kemeriahan, dan kehebohan seputar perayaan Idul Fitri termasuk mudik lebaran, tidak dalam skala seperti Indonesia.

Di kalangan masyarakat lain juga ada tradisi mudik. Dalam masyarakat Amerika Serikat, dan Kanada, misalnya, mudik biasa dilakukan pada hari Thanksgiving—kesyukuran. Di AS thanksgiving dirayakan pada Kamis keempat November, dan di Kanada pada Senin kedua Oktober. Perayaan yang berakar dari tradisi kaum imigran Protestan yang semula hijrah dari Eropa merupakan kesyukuran kepada Tuhan atas hasil panen yang diberikan-Nya. Thanksgiving ditandai dengan berkumpulnya seluruh anggota keluarga yang bersama-sama memakan daging kalkun. Dalam akhir pekan menjelang dan sesudah perayaan thanksgiving 2011 misalnya sekitar 42 juta warga Amerika mengadakan perjalanan mudik dengan jarak tempuh rata-rata 75 kilometer.

Tetapi tidak semua warga Amerika dan Kanada merayakan thanksgiving. Penduduk asli yang di AS disebut sebagai native Americans atau di Kanada dikenal sebagai first nation sebaliknya ‘merayakan’ apa yang mereka sebut sebagai ‘unsgiving day’. Perayaan yang di AS berpusat di Alcatraz—yang terkenal sebagai penjara paling angker di Amerika—adalah untuk mengenang warga pribumi yang menjadi korban kedatangan imigran Eropa baik secara sosial, kultural, ekonomi dan politik.

Sebaliknya, agaknya tidak ada warga yang memprotes tradisi mudik dalam masyarakat Muslim Indonesia. Pulang mudik dan perayaan di seputar Idul Fitri meski mendatangkan banyak kerepotan berbagai pihak, tetap menyenangkan bagi semua warga Indonesia—Muslim dan non-Muslim. Setidaknya, semua warga menikmati libur terpanjang dalam setahun, yang pada 1433H/2012 M mencapai enam hari, sejak 17 Agustus sampai para pegawai dan pekerja harus kembali bekerja pada 23 Agustus 2012.

Sulit mendapatkan angka pasti berapa jumlah warga Indonesia yang mengadakan perjalanan mudik dari tahun ke tahun. Tetapi menurut berbagai estimasi pada 2011 diperkirakan sekitar 20 juta orang melakukan mudik. Bisa dipastikan, perkiraan ini jauh lebih rendah daripada angka sesungguhnya; dan bisa dipastikan pula, jumlahnya terus meningkat dari tahun ke tahun seiring dengan meningkatnya jumlah mereka yang secara ekonomis mampu melakukan perjalanan mudik.

Bisa juga dipastikan, banyak kesulitan dan kesengsaraan yang dialami para pemudik di Indonesia karena keterbatasan infra-struktur dan alat transportasi publik mulai dari kemacetan total berjam-jam sampai kepada kerawanan mengalami kecelakaan. Karena itulah dari tahun ke tahun kian banyak saja pemudik yang menggunakan sepeda motor untuk pulang kampung—menempuh jarak ratusan dan bahkan ribuan kilometer. Akibatnya, korban terus berjatuhan; dari lebih 855 kecelakaan fatal sepanjang musim mudik 2011, hampir 80 persen adalah pengendara sepeda motor.

Namun, sekali lagi, pulang mudik boleh saja mendatangkan kehebohan, dan dalam batas tertentu, kesengsaraan. Tetapi begitu pemudik sampai ke kampungnya semua rasa capek, letih, dan sengsara seolah hilang begitu saja. Sebaliknya mereka tenggelam dalam rasa suka cita berkumpul dan sekaligus berbagi dengan sanak keluarga dan karib kerabat.

Pulang mudik dari perspektif sosial-budaya merupakan kesempatan merekat kembali dan memperkokoh kohesi sosial di antara warga. Mudik adalah kesempatan untuk saling memberi dan berbagi (giving and sharing). Para pemudik bisa dipastikan membawa ‘buah tangan’ untuk sanak saudara berupa pakaian baru, makanan kering, dan bahkan ‘amplop’ berisi uang.

Dalam hal terakhir ini perlu dicatat, Bank Indonesia (BI) pada musim Ramadhan dan mudik 2011 mengeluarkan dana sebesar Rp. 81 trilyun lebih untuk kebutuhan warga; dan pada tahun 2012 diperkirakan meningkat mencapai sekitar Rp. 90 trilyun. Dana sangat besar ini memberikan kontribusi signifikan kepada peningkatan gerak ekonomi, yang melibatkan banyak warga yang di luar musim Idul Fitri dan mudik berada dalam kesulitan ekonomi.

Mudik yang melibatkan demikian banyak dana, dan juga kesulitan dalam perjalanan adalah ‘kembali’ ke asal, ke akar eksistensial, ke Axis yang hakiki. Para pemudik adalah mereka yang berada di rantau—dalam diaspora, mengapung di tengah berbagai masalah dan tantangan dalam kehidupan sehari-hari. Mereka merindukan asal, akar eksistensial dan Axis-nya. Karena itu, mudik menjadi kebutuhan eksistensial.

Adalah kebutuhan eksistensial manusia untuk berkumpul dengan lingkungannya yang paling dekat; apakah sanak famili maupun karib kerabat. Karena berbagai alasan, kebutuhan ini tidak selalu bisa dipenuhi di luar musim Ramadhan dan Idul Fitri. Mudik adalah kesempatan yang sangat boleh jadi hanya merupakan waktu satu-satunya untuk memperkuat kembali tenunan kohesi sosial yang melonggar di luar waktu tersebut.

Karena itu, negara-bangsa Indonesia sepatutnya merasa mendapat berkah dengan tradisi mudik. Pada saat yang sama, sepatutnya pemerintah berbuat lebih serius dan sungguh-sungguh memfasilitasi perjalanan mudik eksistensial yang sangat bermakna bagi penguatan kohesi sosial dan kepaduan negara-bangsa.

 

 

Ramadhan Berkah

Ramadhan berkah, Ramadhan mubârak bagi umat Muslim karena Ramadhan membawa barakah. Berkah pula karena ibadah puasa Ramadhan merupakan kesempatan sangat terbuka bagi shâ`imîn dan shâ`imât menggapai derajat ‘takwa’. ‘Takwa’ adalah maqâm—tingkat spiritualitas tertinggi dalam Islam. Menurut kaum Sufi, mereka yang mencapai maqâm ini bakal terpelihara dalam pemikiran dan perbuatannya selaras dengan ajaran Islam.

Hidup penuh berkah selalu menjadi harapan para muttaqîn. Dengan berkah, kehidupan menjadi lebih bermakna baik secara pribadi maupun sosial. Tanpa berkah, kehidupan menjadi hampa tanpa makna. Berapa banyak orang yang memiliki kekayaan melimpah, tetapi miskin spiritual karena tidak mampu mengendalikan harta benda, yang boleh jadi dia peroleh melalui cara tidak halal. Banyak orang memiliki harta seadanya, tetapi hidupnya terlihat damai dan tenteram. Ini tidak lain karena hartanya itu sendiri berkah.

Banyak pula orang yang menduduki jabatan tinggi dan terhormat, tetapi tidak memperoleh kebahagiaan karena tidak mampu mengendalikan diri; menggunakan kedudukan untuk memperkaya diri, menindas orang lain, dan melakukan ketidakadilan. Kedudukan dan kekuasaan seperti ini tidak mendatangkan berkah, malah berujung pada siksaan dan kenestapaan baik di dunia maupun di akhirat kelak.

Berkah Ramadhan tidak datang dengan sendirinya. Tetapi mesti diperjuangkan melalui ibadah puasa dan ibadah-ibadah lain. Untuk mendapatkan barakah, ibadah puasa hendaknya dikerjakan penuh keimanan dan kecermatan (ihtisâb-an). Jika tidak, puasa hanya menghasilkan lapar dan haus; tidak memberikan dampak apa-apa.

Ibadah puasa memberikan peluang bagi peningkatan kesalehan personal; karena hanya orang bersangkutan yang tahu persis tentang apakah dia berpuasa dengan benar atau tidak. Dia juga paling tahu tentang apakah ibadah puasa yang dia kerjakan dari tahun ke tahun dapat menghasilkan dampak positif dan mengantarkannya ke maqâm muttaqîn. Jika yang bersangkutan merasakan belum ada dampak positif dari ibadah puasanya, sepatutnya dia melakukan muhâsabah—evaluasi.

Tetapi Ramadhan lebih daripada sekedar ibadah untuk mencapai kesalehan personal; tetapi sekaligus kesalehan sosial. Ibadah puasa mengandung latihan (riyâdhah) jasmaniah dan rohaniah untuk mengalami lapar dan haus yang dirasakan kaum miskin yang tidak mampu memenuhi kebutuhan makan minum. Karena itu, jika secara personal, ibadah puasa merupakan penguatan habl-un min Allâh (hubungan dengan Allah SWT), secara sosial mempererat habl-un min al-nâs, hubungan antar-manusia. Islam mengajarkan, hubungan pribadi dengan Allah tidak bisa sempurna kecuali hubungan sesama manusia terjalin baik.

Berkah Ramadhan seyogyanya terwujud tidak hanya pada bulan puasa dan Idul Fitri. Tetapi juga dalam masa pasca-puasa—sepanjang sebelas bulan berikutnya sampai Ramadhan tahun selanjutnya. Jika ini bisa diwujudkan para muttaqîn, Islam juga benar-benar menjadi berkah bagi mereka yang berkubang dalam lumpur kemiskinan dan penderitaan.

Ramadhan jelas juga dapat menjadi momen berkah bagi mereka yang masih belum beruntung, yang jumlahnya puluhan juta di tanah air. Berkah Ramadhan dapat terwujudkan tidak hanya dalam bentuk solidaritas lapar dan haus, lebih-lebih lagi dalam aktualisasi kedermawanan sejak dari pemberian makanan untuk sahur dan berbuka (ifthâr), pembagian zakat, infak dan sedekah.

Ramadhan bulan meningkatnya konsumsi masyarakat: pangan, sandang, dan dana perjalanan. Agaknya tidak ada bulan lain di mana tingkat konsumsi masyarakat demikian tinggi, sehingga hukum pasar pun berlaku; karena tingginya tingkat kebutuhan dan permintaan, harga pangan, sandang dan barang-barang lain juga meningkat tajam. Pemerintah yang seharusnya mampu menetralisasi harga seolah tidak berdaya mengendalikannya.

Dengan meningkatnya konsumsi sepanjang Ramadhan dan Idul Fitri, apakah gejala ini menunjukkan ‘konsumerisme’ di kalangan umat Muslim? Apakah ibadah seperti puasa Ramadhan juga menampilkan komodifikasi agama?

Pertanyaan itu dan gejala yang ada mencerminkan kontradiksi. Karena ibadah puasa mengandung makna ‘menahan’ (imsâk) dari berbagai godaan duniawi khususnya kebendaan (materi). Jadi, umat Muslim seharusnya dapat menghindarkan diri daripada terjerumus ke dalam ‘konsumerisme’.

Pada segi lain, Ramadhan dan Idul Fitri sulit dielakkan dari meningkatkan konsumsi. Ini berkaitan dengan adanya dorongan perintah Islam bagi umat Muslim untuk mampu berbagi dan memberi (sharing dan giving). Umat Muslim yang punya kelebihan rizki dianjurkan menyediakan makanan sahur dan ifthâr, karena pahalanya senilai dengan pahala orang puasa. Karena itu, banyak dermawan Muslim, organisasi Islam dan lembaga lain menyediakan nasi kotak untuk sahur dan ifthâr dan melakukan buka puasa bersama dengan anak-anak yatim-piatu dan kaum dhu’afa lain.

Kalangan Muslim berpunya juga memberikan kepada dhu’afa di lingkungannya ‘paket lebaran’ yang biasanya terdiri dari kain sarung, baju koko, mukena, beras, sirup dan kue-kue, dan semacamnya. Tujuannya tidak lain agar kaum dhu’afa dapat juga menikmati Ramadhan dan Idul Fitri dengan bahagia.

Peningkatan konsumsi juga terjadi karena sepanjang Ramadhan, umat Muslim yang mampu mengeluarkan ZIS (zakat, infaq dan shadaqah). Sebagian ZIS ini disalurkan langsung kepada mereka yang berhak; dan sebagian lagi disampaikan melalui UPZ (Unit Pengumpul Zakat) dan lembaga amil lain di lingkungan pertetanggaan. Bagi kaum dhu’afa, ZIS yang mereka terima dapat dimanfaatkan untuk berbagai kepentingan, khususnya pangan, pakaian dan bahkan pendidikan.

Dari segi ini, peningkatan komsumsi tidak terelakkan; ia merupakan konsekuensi langsung dari ajaran Islam bagi umat Muslim yang mampu untuk mewujudkan kedermawanan—berbagi dan memberi kepada mereka yang kurang beruntung dalam kehidupan ekonomi dan sosialnya. Mengingat Ramadhan selalu datang setiap tahun, sepatutnya pemerintah senantiasa membuat perencanaan dan penanganan sistematis dan programatis untuk mengantisipasi peningkatan konsumsi—dan karena itu, mestinya tidak selalu ‘kedodoran’.

Pada segi lain, Islam melarang konsumerisme; apalagi kalau konsumerisme itu menjadi gaya hidup. Konsumerisme itu bisa mengambil bentuknya dengan misalnya melakukan ifthâr di hotel-hotel mewah, yang mengiming-imingi konsumen Muslim dengan paket-paket berbuka yang serba wah. Melakukan hal seperti ini jelas merupakan tabdzîr, pemborosan yang bertentangan dengan semangat solidaritas kepada mereka yang sulit memperoleh makan dan minum dalam kehidupan sehari-hari.

Ramadhan menekankan semangat kesederhanaan dan konsumsi yang tidak berlebihan; dan karena itu, umat Muslim hendaknya tidak terjerumus ke dalam konsumerisme. Sikap ini sepatutnya terus dipertahankan pada masa pasca-Ramadhan. Wallâh-u a’lam bi al-shawâb.

 

* Artikel ini termuat dalam buku Rumah KitaB yang diterbitkan oleh Mizan tahun 2013 berjudul “MOZAIK RAMADHAN DAN LEBARAN DI KAMPUNG HALAMAN [Menelusuri Jejak-jejak Tradisi Ramadhan dan Lebaran di Nusantara]”

Yang Rebah di Tumpuk Meugang

Dari halaman kantor Gubernur Aceh sebuah video viral ke media sosial, mempertontonkan tiga laki-laki tegap sedang dalam posisi terjerembah. Wajah mereka mencium tanah dengan tangan bergelung, digari ke punggung. Beberapa petugas bersenjata lalu membawa pergi ketiga laki-laki yang menurut kabar baru saja mengancam tembak ajudan Wakil Gubernur Aceh. Ketiganya bukan bagian Jaringan Patah Hati Nasional dan tuntutan mereka bukan mengembalikan Raisa Andriana; tapi uang Meugang.

Bahwa ada masyarakat menuntut hingga memalak uang Meugang dari instansi pemerintah di provinsi bersyariat ini bukanlah sesuatu yang tiba-tiba muncul tanpa jejak. Di Aceh, fenomena tersebut telah menjadi serial getir menjelang Ramadan dalam sepuluh tahun terakhir. Ya, lebih tepatnya satu dekade tahun politik. Rentang waktu yang singkat namun telah mencederai inti terdalam kata Meugang yang telah berabad-abad dimaknai orang Aceh. Kita akan kembali ke bagian ini beberapa saat lagi.

Uroe Meugang (sebagian menyebut Makmeugang) dalam lintas sejarahnya adalah hari kaum Muslimin Aceh bersukacita menyambut tibanya bulan puasa. Ia perayaan bagi momentum perjumpaan. Berjumpa puasa, bersua keluarga. Meugang telah lama dimaknai sebagai silaturahmi untuk menunjuk cinta kasih, berbagi, terutama kepada yang setali rahim dengan mereka. Orang Aceh yang bermukim atau mencari nafkah di perantauan lazim menanti Meugang sebagai penanda pulang ke kampung halaman. Untuk mensyukuri perjumpaan — dengan puasa dan dengan keluarga — itulah kenapa setumpuk dua tumpuk daging menjadi penting dinikmati bersama.

Kenapa daging? Karena yang merayakan Meugang mulanya adalah penduduk Aceh yang berdiam di pesisir. Bagi mereka yang bermukim di sepanjang garis pantai dan saban hari memamah ikan atau tiram, tentu wajar untuk memuliakan tibanya Ramadan dan menjamu keluarganya, daging lalu dipilih sebagai menu istimewa. Sekali pukul dalam setahun. Sepekan pertama puasa, pun sudah menjadi tradisi para nelayan Aceh tidak melaut. Ikan sementara akan jadi sumber protein langka. Demi memenuhi kebutuhannya yang masif, sapi atau kerbau penghasil daging Meugang telah dipersiapkan jauh-jauh hari.

Singkatnya, hari dan daging Meugang bukan kombinasi kenduri biasa. Daging Meugang adalah totem yang mengandung pesan kuat, meruap bersama aroma lezat kari yang nyaris serentak keluar dari bubungan dan celah rumah-rumah orang Aceh pada hari itu. Kelezatan yang mampu membuat seorang wahabi mendadak lupa kata bid’ah yang sering dilafalkannya. Namun seperti gurihnya rendang yang turut ditemani kolesterol jahat, totem Meugang turut menghantar energi negatif bagaimana ia menjelma timbangan sosial pengukur harga diri kaum lelaki. Di sini kadang laki-laki Aceh memilih melambaikan tangan.

Dalam satu masyarakat patriarki medioker, potensi kepahlawanan laki-laki memang berbanding lurus dengan risikonya menjadi korban. Itu mungkin terwakili dalam beberapa hikayat Meugang yang berisi kisah-kisah tragis bagaimana lelaki Aceh tidak mampu menolak Meugang menjadi bandul harga dirinya. Ada cerita lelaki yang sampai memotong kemaluannya untuk dibawa pulang ke rumah, demi mengganti kehormatannya yang dikebiri tuntutan menyediakan daging Meugang. Atau kisah yang lebih masuk akal, tentang seorang ibu yang menggoreng daun pandan dan bawang demi menebar bebauan masakan ke tetangga. Usaha gigih untuk menyelamatkan muka dan ketidakmampuan suaminya membawa pulang setumpuk daging. Manis.

Bagi saya kisah-kisah tersebut tidak perlu diverifikasi, ia penting berfungsi sebagai pengingat dan pelecut semangat. Karena secara moral dan etos kerja, Meugang layak berfungsi sebagai cermin dari kemauan bekerja keras dan kemampuan memberi sesuatu kepada keluarga. Etos mengakumulasi kapital lalu diberi nilai tambah oleh sosial. Di atas segalanya, Meugang punya nilai kehormatan karena yang dibawa pulang mesti dari hasil bekerja, bukan dari meminta. Itulah inti terdalam dari Meugang.

Saya kira keliru ketika persoalan Meugang ditarik pada masalah harga daging. Teknik pemeliharaan yang khusus, termasuk pakan dan kandang, untuk menghasilkan daging dengan kualitas terbaik tentu menjadikannya komoditi dengan harga khusus pula. Masuk akal secara rumus ekonomi di mana harga berbanding lurus dengan tingginya tuntutan dan ongkos produksi. Mahal memang. Tetapi pada saat kondisi masyarakat sedang sehat akan ada jaring pengaman sosial yang memproteksi agar nilai produksi dan nilai kehormatan berjalan seimbang. Ada mekanisme berbagi peran, sehingga society tidak rubuh. Di kampung saya misalkan, pemilik hewan Meugang biasanya melibatkan beberapa orang dengan ekonomi yang lebih lemah untuk membantu proses memotong, menyiangi, menumpuk dan membaginya. Bukan pekerjaan mudah dan sejak sebelum subuh mereka sudah bekerja. Atas jasa itu mereka akan diganjar dengan satu atau dua tumpuk daging. Orang-orang tersebut tidak dapat tidak pulang dengan kepala tegak membawa daging Meugang untuk makan bersama keluarga dan turut bahagia menyambut bulan puasa.

Namun ketika kondisi masyarakat sudah sakit kisah tragis bukan lagi tentang orang yang mau memotong kemaluan sendiri, tetapi lebih dari itu. Dan itu juga bukan lagi kisah fiktif. Di bagian atas kita telah memulai tulisan ini dengan peristiwa tersebut; ada orang yang mengebiri kehormatannya sembari memalak dan mengancam tembak orang lain demi memperoleh uang Meugang. Poin mengorbankan orang lain bahkan tidak pernah menjadi sesuatu yang dipikirkan oleh pembuat hikayat dalam kondisi masyarakat sehat.

Selanjutnya, dari tuntutan mereka akan “uang Meugang”, saya kira kita bisa ke sumber asumsi awal tulisan ini kenapa persoalan tersebut baru. Pergeseran frasa Sie Meugang (daging Meugang) ke Peng Meugang (uang Meugang) belum lama terjadi. Ia bisa dirunut ke tanggal tibanya lembaga-lembaga donor untuk bekerja memulihkan Aceh dari bencana alam dan kemanusiaan. Peng Meugang menjadi satu item dalam budget-budget kegiatan, baik yang dijalankan si donor sendiri maupun program yang dicangkok ke agenda aparatur pemerintahan. Meugang mulai menjadi sesuatu yang cuma-cuma, dikonversi ke uang, diberi atau diperoleh tanpa melalui usaha berarti. Nilai kehormatan Meugang yang berasal dari etos kerja perlahan lenyap. Meski lembaga-lembaga donor itu telah hengkang, satu dekade setelahnya item Meugang sebagi sesuatu yang “cuma-cuma” diadopsi ke dalam agenda jahat mereka yang mengejar kekuasaan.

Dengan durasi kampanye pemilihan politik yang kian intens — pilkada, pileg, pilpres — yang bergulir nyaris dua tahun sekali, Meugang telah menjadi bagian dari politik pesona petahana atau calon penggantinya, juga mereka yang sedang atau akan mengadu nasib mencari pekerjaan di parlemen. Mereka yang punya modal kuat sangat menunggu momentum tersebut untuk memperkenalkan diri sekaligus menyamarkan praktik money politics. Harus diakui juga, Meugang bisa menjelma teror bagi calon politisi dengan modal tanggung. Mereka biasanya akan bergegas pergi dari kampung untuk menghindari harapan orang mendapat bagian darinya. Orang-orang yang punya jabatan di kantor pemerintahan konon meniru perilaku terakhir.

Praktik sesat memaknai Meugang sebagai pemberian politik telah berlangsung dalam dua periode pemerintahan terakhir. Kita yang mendefinisikan diri sebagai rakyat, semakin terbiasa menadah dan menerima bantuan. Sebagian otomatis menganggapnya sebagai hak. Siapa yang tidak takut mengambil risiko demi hak? Setiap menjelang puasa muncul orang yang datang ke kantor-kantor pemerintahan. Datang atau kadang didatangkan. Meugang tahun 2011 beberapa di antara kita mungkin masih mengingat tatkala seratusan tukang becak yang memegang kupon daging Meugang berebut ke kediaman Muhammad Nazar, Wakil Gubernur Aceh waktu itu. Namun kupon tersebut ternyata hanya kebohongan politik yang mestinya sangat melukai hati. Tak ada pembagian daging, hanya saling lempar tuduhan siapa menggalang kampanye hitam. Apakah itu jadi pelajaran? Belum. Tahun lalu ratusan orang juga antri menunggu lembaran 100 ribu yang dibagi di pendapa Wakil Gubernur Aceh, Muzakkir Manaf. Mereka datang dari berbagai penjuru Aceh, termasuk Aceh Timur dan Singkil. Padahal untuk tiba ke Banda Aceh mereka harus mengeluarkan ongkos perjalanan Rp 150 ribu hingga Rp 200 ribu. Tetapi mereka tetap senang memperoleh satu lembar uang Rp 100 ribu dari penguasa. Atas kegagalan kalkulasi tersebut, di situ kadang kita merasa sedih.

Lantas ketika menjelang Meugang kali ini kita menonton video tiga orang yang mengambil risiko memutus kemaluannya dan mengancam menara tertinggi instansi pemerintahan Aceh, mestinya kita sedang diberi kesempatan terakhir untuk terpekur mengeja kembali hilangnya makna Meugang. Mengakui ada struktur dan kultur yang sedang patah di sini.

Dan di saat beberapa orang sedang bersilat lidah mengelak mengakui ketiga martir Meugang itu sebagai bagian dari kelompok mereka, kita mungkin perlu berjiwa besar menyatakan ketiganya adalah bagian dari kita, masyarakat Aceh, yang ingin mengembalikan badai kepada siapa yang selama ini menabur angin. []

Sumber: http://www.acehkita.com/yang-rebah-di-tumpuk-meugang/?fbclid=IwAR1J9-2HS72YlUpsiUOw09s6cP7IzcUxPAyCcnTOwulEVBWl6T73K2kAesU

Kelas Menulis Festival Mubadalah: Membangun Kesadaran Kritis bersama Lies Marcoes

Mubaadalahnews.com,- Festival mubadalah baru saja usai di gelar pada Jumat-Minggu, 26 sampai dengan 28 April 2019. Setiap kegiatan yang diikuti oleh seluruh peserta meninggalkan kesan yang tidak mudah untuk dilupakan. Begitu juga dengan kelas parallel, yakni kursus kepenulisan berperspektif keadilan bersama Lies Marcoes, Direktur Rumah Kitab.

Antusiasme peserta terlihat dari respon diskusi dan tanya jawab yang berlangsung selama kegiatan berlangsung. Terlebih ketika Amina Wadud, turut menyampaikan materi di awal sesi kelas, yang mendorong mengapa perempuan harus menulis.

Menurut pengakuan Amina, ia mempunyai papan di ruang kerjanya, yang bertuliskan “Tulis apa yang kamu sukai, dan sukai apa yang kamu tulis”.

Kalimat sederhana ini kata Amina akan menuntun perempuan, untuk menggali lebih dalam pengalamannya sebagai perempuan, terutama tentang Islam, karena kita membutuhkan pengalaman yang ditulis langsung dari orang Islam sendiri. Sementara, perkembangan Islam di masing-masing belahan dunia itu berbeda.

Setelah itu materi dilanjutkan dengan pemaparan dari Lies Marcoes, yang mengawali pembahasan Menulis Kritis Feminis, dengan sebuah kalimat yang menarik.

“Menulis adalah sebaik-baik peninggalan, karena menulis itu terus akan selalu ada. Jadi menulis adalah media untuk menunjukkan kamu harimau macam apa?”

Kalimat reflektif tersebut untuk memberi motivasi bagaimana media menulis bisa digunakan untuk menggugat keadilan yang ada di sekitar kita. Seperti mempertanyakan kemapanan, menggugat ketertindasan perempuan dan mereka yang diperempuankan, serta menggugat pengetahuan yang bias netral gender.

Kemudian pada sesi berikutnya, Lies Marcoes melemparkan isu untuk dibedah menggunakan analisa feminisme. Karena menurutnya tak elok jika ia sebagai penulis menyampaikan teknis-teknis menulis seperti sebuah resep.

“Itu jelas tak mendidik dan tidak memberdayakan. Apalagi masing-masing orang punya gaya dan ciri khas dalam menulis. Tetapi kalau saya menulis, orang sudah langsung bisa menebak, ini menggunakan analisis feminisme”, terangnya.

Ketika ditanya, Lies Marcoes belajar dari mana persoalan begitu. Lalu ia menuturkan. Bahwa Ibu  Nyai Masriyah Amva, Pengasuh Ponpes Kebon Jambu Babakan Cirebon itu luar biasa. Kemarin ia dengan Aminah Wadud mengunjunginya, setelah selama dua tahun paska Kongres Ulama Perempuan Indonesia tidak berkunjung ke sana.

Kemudian Lies dan Amina diajak untuk melihat seluruh bagian belakang di pesantren. Nyai Masriyah membuat bangunan yang besar.  Hal menarik yang disampaikan Nyai Masriyah, dan dicatat dengan baik dalam ingatan Lies ketika mengatakan.

“Saya ingin punya masjid perempuan, karena itu rumah ibadah kultur, ini bahasa saya. Secara kultural rumah ibadah perempuan itu disebut mushola, sudah informal, kecil, mepet saya nggak mau. Saya ingin masjid perempuan.”

Itulah menurut Lies yang disebut sebagai pembebasan yang dipahami Nyai Masriyah. Lalu yang kedua Nyai Masriyah tidak mau memakai nama arab. Masjid itu dinamakan Perempuan Pesantren Kebun Jambu Dua Cahaya Mulia. Apa itu Dua Cahaya Mulia? Dua hal yang bisa membebaskan perempuan yakni cahaya Allah dan cahaya dari Nabi yang mewujud dalam cahaya perempuan.

Berdasarkan pengalaman Nyai Masriyah, itulah yang dimaksud dengan kerja feminis, ia ingin masjid perempuan.

“Nyai Masriyah tidak mau dikecil-kecilin seperti mushola, perempuan nggak bisa berkhutbah disitu, ia ingin masjid perempuan. Setiap pagi, ia berdoa ya Tuhan saatnya beli semen, jadi nggak pernah merencanakan tahun ini selesai, nggak. Selama sepuluh bulan ini masjid itu hampir selesai,” tuturnya.

Kisah kedua, Lies menceritakan tentang teman perempuannya yang dipoligami, tapi dia tidak menerima diperlakukan seperti itu, apa yang dia lakukan?. Baju yang dipakai suaminya untuk sholat Jum’at, baju kokonya itu, ia setrika, hari Jumat pagi ia berhenti. Lalu ia gunting baju itu menjadi potongan-potongan yang sangat kecil.

Perempuan itu berkata “kamu nggak berhak pergi ke Masjid dengan tipu saya, kamu tidak berhak menghadap Tuhan dengan tipu saya, terlebih dahulu menyakiti saya.”

Perempuan itu nggak melawan dengan cara yang wah, perempuan itu tidak melihat perempuan lain yang salah, tetapi yang salah adalah suaminya.

Begitulah Lies Marcoes menghidupkan suasana kelas menulis berperspektif keadilan, dengan langsung melihat realitas yang harus dihadapi perempuan. Banyak cara menurut Lies, bagi perempuan untuk melakukan perlawanan.

“Dasarnya adalah soal kesadaran kritis untuk tidak ada orang lain yang menindas saya, karena saya adalah feminis. Feminisme mengajarkan kepada perempuan untuk melakukan pembebasan secara tauhid,” ungkapnya.(ZAH)

Sumber: http://new.mubaadalahnews.com/aktual/detail_aktual/2019-05-02/278

MUJARABAT SUNDA

Oleh Jamaluddin Mohammad

Kitab Mujarabat berbahasa Sunda ini memuat resep dan metode pengobatan penyakit fisik maupun mental (psikis) melalui pendekatan mistik-spiritual. Penulisnya anonim. Dalam muqaddimah kitab ini disebut bahwa “risalah ini memuat banyak faedah, keutamaan, kemuliaan, rahasia dan keajaiban yang diambil dari kitab-kitab ulama salaf Ahlussunah wal Jamaah, seperti kitab al-Rahmah, Khazinatul Asrar, Jawahir al-Lamma’ah, al-Awfaq, Manba’ Ushulil Hikmah, Ajaibul Hayawan dan Ajaib al-Makhluqat.

Di bab-bab awal kitab ini dijelaskan keutamaan-keutamaan dan kegunaan beberapa surat yang populer dalam al-Quran, seperti surat Yasin, Ayat Kursi, Waqiah, al-Ikhlash, dll. Salah satunya, seperti ditulis Bab 8, untuk mengobati stres, pikiran bingung, susah dan gelisah, tulislah surat al-Fiil dan al-Insyirah di sebuah piring kaca. setelah itu tuangkan air mawar, kemudian airnya diminum (hal 43)

Selain itu, kitab ini juga memuat beberapa faedah dan kegunaan wifik (rajah) yang ditulis menggunakan huruf, angka ataupun simbol. Ada wifik untuk pengasihan (pelet), kewibawaan (haibah), persalinan, anti sihir, dll.

Mungkin, orang sekarang menyebut “kitab medis tradisional” ini sebagai kitab perdukunan —– dukun dengan makna pejoratif sebagai lawan dokter dan ilmu kedokteran modern.

Padahal, jika kita belajar sejarah kedokteran, metode dan pendekatan seperti ini (mistik-spiritual) juga digunakan oleh dokter-dokter pada zamannya. Paradigma positivistiklah yang mengubur dan memutus mata rantai ilmu kedokteran ini. sehingga seolah-olah ia tak ada hubungannya dengan kedokteran. Jika mengikuti tahapan sejarahnya Auguste Comte, kitab ini ditulis pada masa ketika kesadaran orang masih pada tahap teologik atau metafisik, belum beranjak ke zaman positivistik.

 

Mitos dan Logos

Salah satu problem mendasar modernitas adalah perceraian antara logos/mitos, rasional/irasional, nalar/nirnalar, dan seterusnya. Yang pertama diunggulkan, sementara yang kedua ditekan dan ditindas. Yang pertama “kebenarannya” sulit dimengerti dan dianggap tidak ilmiah, sedangkan yang kedua kebenarannya dapat ditelusuri dan dapat dibuktikan secara ilmiah.

Kedua istilah tersebut sebenarnya hanya untuk membedakan antara hasil pemikiran primitive dan modern, antara yang rasional dan irasional. Padahal, keduanya sama-sama memberikan jawaban atas pertanyaan-pertanyaan yang diajukan manusia. Perbedaannya, yang pertama lebih didasarkan pada kepercayaan dan keyakinan, sedangkan yang kedua didasarkan pada proses penalaran dan bukti-bukti empiris.

Mitos dianggap sesuatu yang ilusif, tahayul, dan tidak memiliki makna. Pandangan seperti ini jamak kita temukan pada masyarakat modern. Implikasi pandangan seperti ini tidak sederhana. Manusia digiring pada satu aras pemikiran tertentu yang justru akan menjebaknya: mereka akan terjebak pada satu model pemikiran dan menolak pluralitas “kebenaran”.

Tidak menutup kemungkinan bahwa mitos mengandung sebuah “kebenaran” yang sampai sekarang tidak terpecahkan oleh model pemikiran apapun. Menurut Claude Levi-Strauss, antropolog sekaligus bapak strukturalis, mitos seseungguhnya punya logika dan kerumitannya sendiri yang baru bisa dibongkar justeru oleh sains modern.

Sebagai contoh, banyak data-data inderawi yang diintegrasikan kembali ke dalam penjelasan ilmiah sebagai sesuatau yang mempunyai makna, mempunyai “kebenaran”, dan bisa dijelaskan. Semisal, dunia pembauan. Saat ini ahli kimia bisa memberitahukan bahwa setiap bau atau rasa memiliki komposisi kimiawi tertentu. Mereka memberikan alasan mengapa secara subjektif beberapa rasa atau bau terasa ada kesamaannya bagi kita dan beberapa lainnya terasa jauh.

Selama ini kita menjauhi dan membelakangi peninggalan-peninggalan kebudayaan primitif berupa mitos. Mitos seolah-olah hilang dari diri kita. Kita sudah beranjak jauh meninggalkan mitologi dan beralih pada pemikiran saintifik. Mitos dianggap tidak produktif dan tidak memberikan jawaban atas pertanyaan, tuntutan, dan kebutuhan manusia modern. Mitos sudah dimasukkan ke dalam museum kebudayaan layaknya barang antik.

Namun, kita sudah lupa bahwa mitos memiliki logika, fungsi, dan kegunaannya sendiri, yang tidak dimiliki pemikiran saintifik.