Merebut Tafsir

SEBAGAIMANA sejarah, tafsir atas teks suci adalah milik kaum pemenang. Karenanya tafsir tak [mungkin] relatif. Tafsir, oleh kepentingan dan demi legitimasi rezim yang bekuasa, tak kuasa untuk netral. Ia senantiasa berpihak kepada kepentingan penafsir serta rezim yang menguasainya.

Di masa kerasulannya, Nabi Muhammad meletakkan dasar keberpihakannya kepada mereka yang dizhalimi. Kezhaliman itu berlangsung dalam stuktur masyarakat dengan karakteristik feodal, rasis berbasis warna kulit, patriakh, anti perempuan, anti kaum miskin, anti anak yatim, anti minoritas agama, dan anti monogami. Dalam bahasa advokasi klompok itu disebut sebagai kaum Jahiliyah atau bodoh.

Bacaan Nabi atas realitas itu—bersama wahyu yang diterimanya—melahirkan ajaran yang mendobrak dan menjungkirbalikkan struktur-struktur kuasa yang seolah sudah menjadi kebenaran. Dengan legitimasinya seluruh ketimpangan sosial diperbaiki melalui pengenalan pada prinsip-prinsip nilai baru dan contoh praktisnya. Misalnya, ajaran Islam meletakkan secara setara semua manusia, tak ada yang boleh dipertuhankan selain Tuhan. Karenanya secara prinsip manusia bebas merdeka dan setara, perbedaannya terletak pada amal perbuatannya. Gagasan itu merupakan prinsip tauhid. Sementara untuk penerapan praksisnya, diwujudkan dalam berbagai macam ibadah, misalnya dalam ibadah haji semuanya diberlakukan sama ditunjukkan dalam tata cara bepakaian sangat sederhana dan sama seperti kain ihram.

Praktik rasisme diatasi Nabi dengan mengawini perempuan hitam Koptik dari Mesir dan mengangkat Bilal–seorang budak hitam–menjadi muadzin. Mereka diberi kelas/kedudukan sosial di hadapan kelas menengah para feodal Makkah Madinah. Perempuan yang dihinakan dalam stuktur patriakh feodal, diposisikan setara secara sosial dengan lelaki dengan pemberian warisan yang esui dengan peran sosialnya. Dan karena ketika itu lelaki adalah pemimpin keluarga dan kaum, tentu sangat wajar mendapatkan dua kali lipat dari yang diperoleh perempuan. Larangan mengambil harta anak yatim, larangan mengawini budak-budak, pembatasan poligami adalah cara Nabi untuk mendidik umat soal kesantunan dan berbuat adil kepada perempuan dan mereka yang dilemahkan seperti anak yatim. Perempuan didengar pendapatnya serta direstui cara berpikirnya dalam menolak kekerasan; anak yatim dan budak dijadikan sarana penebusan kesalahan sosial dan agama; kalau batal puasa kasih makan anak yatim, kalau berzina tebus budak, kalau membunuh tebus budak lebih banyak.

Sepeninggal Nabi, penerusnya faham betul bahwa tak ada yang punya kuasa atas ajaran agama kecuali melalui tafsir. Padahal melalui dan dalam agama ada magma kuasa. Di sini tafsir lalu diperebutkan dan dibeli. Karenanya sang pemenang niscaya kaum penguasa. Pada kenyataannya berkembangnya suatu mazhab tergantung pada dukungan penguasa. Pemerintahan Muawiyah mendukung paham liberal Muktazilah yang mengutamakan rasionalisme. Paham ini dibabat habis dan nyaris punah di masa Abasyiah yang mendukung sunni dan menguatakan teks. Aliran Syiah didukung rezim Mamluk di Mesir, dan Hulagu Khan di wilayah asia tengah dan Mongol. Walhasil, perekembangan mazhab pemikiran, atau metode penafsiran bukan berkembang secara alamiah dan sebagai kebenaran atas yang lain, tetapi karena dukungan dan kepentingan penguasa. Demikian halnya mazhab Wahabi yang didukung Saudi Arabia dan beberapa negara teluk yang berkepentingan dengan tafsir ala Wahabi yang menolak perubahan.

Kalangan feminis Muslim, dalam catatan Ziba Mir Hossaini, seorang feminis Muslim dari Iran, ahli hukum Islam, terus mencoba memperlakukan tafsir sebagaimana kaum patriakh memperlakukan teks. Mereka membaca teks sesuai tafsir dan kepentingannya. Namun menafsirkan dengan cara itu hanya membuahkan tafsir pinggiran meskinpun secara subtansi telah berupaya mengembalikan ayat pada fungsinya sebagaimana dilakukan Nabi. Dalam kesadaran kaum feminis Muslim, rupanya tafsir tak bisa menjadi pandangan mainstream tanpa menggunakan kekuasaan politik. Dan mana ada kekuasaan yang memihak pada tafsir kaum feminis sedang para penguasa menikmati kejayaannya dengan menindas kaum perempuan.

Berdasakan itu, menurut Ziba, cara untuk mengembalikan penafsiran pada jalannya yang benar adalah mengkontraskan teks dengan realitas. Di sini realitas ketertindasan manusia harus dijadikan konteks yang menantang teks. Ketertindasan setiap entitas harus dihadirkan. Dan sebagaimana Nabi, dengan agama yang dibawanya, Nabi membebaskan mereka yang dilemahkan dalam struktur-struktur kelas sosial, gender, umur, posisi sosial ekonomi dan politik. Dalam makna itu dan demi membebaskan tafsir dari kungkungan rezim pemenang, maka kiblat atau pedoman untuk penafsiran haruslah jelas yaitu semangat pembebasan bagi mereka yang dizhalimi secara struktur dan kelas. Jadi siapa yang hendak Anda bela dengan tafsir Anda?[]

Ibn Taimiyah dan Fatwa-Fatwanya[1]

Jika aku terbunuh, aku termasuk syuhada paling utama. Rahmat dan ridha selalu tercurah padaku sampai hari Kiamat. Laknat abadi di dunia dan siksa di akhirat pasti menimpa orang yang membunuhku,” [Ibn Taimiyah, Majmû’ al-Fatâwâ, Juz 13, hal. 137].

Hendaknya diketahui bahwa orang mukmin wajib dibela meskipun ia menzhalimi dan memusuhimu. Sedangkan orang kafir wajib dimusuhi (diperangi) meskipun ia memberi dan berbuat baik kepadamu,” [Ibn Taimiyah, Majmû’ al-Fatâwâ, Juz 28, hal. 118].

Pendahuluan

Pemikiran Ibn Taimiyah, disadari atau tidak, merupakan salah satu asupan terbesar bagi pandangan keagamaan di dalam masyarakat Muslim secara umum dan gerakan-gerakan Islam secara khusus, atau bisa jadi yang paling besar.

Tragedi 11 September telah mengguncang dunia. Berbagai tuduhan diarahkan kepada orang-orang yang dianggap bertanggung jawab atas peristiwa besar tersebut. Dan karena semua orang yang tertuduh dalam peristiwa ini adalah muslim, maka sebagian besar tuduhan ditujukan kepada Islam.

Sejak saat itu wacana-wacana mengenai upaya menelaah kembali metode-metode pengajaran dan keharusan mengawasi sekolah-sekolah serta lembaga-lembaga keagamaan mulai terdengar, seruan-seruan untuk melakukan dialog mulai didengungkan, gagasan-gagasan baru untuk menggali nilai-nilai tolerasi dan interaksi dengan ‘yang lain’ di dalam Islam mulai bermunculan. Sebagaimana tulisan-tulisan di berbagai surat kabar dan media-media lainnya banyak menyajikan kritik terhadap metode dan gerakan para ulama muslim. Bahkan kelompok-kelompok yang berafiliasi dalam gerakan-gerakan Islam pun saling melempar tuduhan dan saling menyerang satu sama lain.

Di antara tokoh ulama muslim yang paling banyak menuai kritik adalah Ibn Taimiyah, dengan tulisan-tulisan para jurnalis dan orasi-orasi para akademisi yang tidak menyetujui pemikiran Ibn Taimiyah. Namun di lain pihak mereka pun mendapatkan perlawanan keras dari para pendukung Ibn Taimiyah. Tiap-tiap dari mereka berpijak kepada pandangan Ibn Taimiyah yang sesuai dengan pemahamannya masing-masing.

Namun demikian, hal yang perlu diingat adalah, bahwa Ibn Taimiyah telah banyak mengilhami para pendukung dan penentangnya; orang yang ingin berbicara mengenai kekerasan terhadap orang lain yang tak sepaham, bahkan memerangi dan membunuhnya, bisa merujuk kepada pandangan Ibn Taimiyah yang selaras tanpa melihat pandangan-pandangannya yang lain; orang yang ingin berbicara mengenai penguatan barisan, menghilangkan rasa takut dari hati, dakwah kepada sikap moderat, rasionalitas, dan perlindungan terhadap maslahat bisa juga merujuk kepada pandangan Ibn Taimiyah yang sesuai tanpa melihat pandangan-pandangannya yang lain.

Kita mendapati Ibn Taimiyah banyak mengilhami kaum radikal-ekstrim, pembawa bedil dan bom, serta pelaku kekerasan atas nama agama. Di samping itu, ia juga menghilhami kelompok-kelompok moderat dalam pergulatan wacana dan pemikiran.

Riwayat Hidup Ibn Taimiyah

Ia adalah Ahmad ibn Abdissalam ibn Abdillah ibn al-Khidhr ibn Muhammad ibn Taimiyah al-Numairi al-Harrani al-Dimasyqi—masyhur dengan nama Ibn Taimiyah di kalangan umat Muslim. Oleh sebagian kalangan ia dianggap sebagai salah satu ulama terbesar yang pernah di lahirkan. Ia lahir di Harran, salah satu kota induk di Jazirah Arabia yang terletak antara sungai Dajalah (Tigris) dengan Efrat, pada hari Senin 10 Rabi’ul Awal tahun 661 H. Di antara pengikutnya ia dikenal sebagai imam, alim, mujtahid, zahid dan da’i, syaikh al-Islam, pembela agama, dan penghidup sunnah Rasul.

Menurut sebagian riwayat, pada usia 7 tahun ia hijrah ke Damaskus bersama orangtua dan keluarganya karena desanya terancam serbuan tentara Tartar yang kala itu sudah menduduki Baghdad.

Sejak kecil ia belajar agama dari ayahnya, Syihabuddin, seorang ulama penganut mazhab Hanbali. Demikian juga ayah dari Syihabuddin (kakek Ibn Taimiyah), Majduddin, adalah seorang ulama besar bermazhab Hanbali.

Ia besar dan tumbuh di tengah-tengah para ulama, mempunyai kesempatan untuk mereguk sepuas-puasnya taman bacaan yang luas. Ia menghabiskan seluruh waktunya untuk belajar dan belajar, menggali ilmu terutama dari al-Qur`an dan sunnah. Kala usianya belum mencapai belasan tahun, ia sudah menguasai ilmu ushuluddin dan sudah mendalami bidang-bidang tafsir, hadits, dan bahasa Arab.

Kala itu, penduduk Damaskus menganut mazhab yang berbeda-beda, ada yang bermazhab Hanbali, al-Syafi’i, dan Maliki. Oleh ayahnya ia dimasukkan ke madrasah bermazhab Hanbali di kota Damaskus. Dari sanalah Ibn Taimiyah mendapatkan banyak pengetahuan mengenai mazhab Hanbali. Saat itu ia dikabarkan telah mengkaji musnad Imam Ahmad sampai beberapa kali, kemudian Kutub al-Sittah dan Mu’jam al-Thabarani al-Kabir. Hingga kemudian ia menjadi ulama dalam mazhab Hanbali, bukan saja dalam ilmu fikih, tetapi juga dalam ushuluddin dalam ilmu tauhid.

Meskipun dalam fikih Ibn Taimiyah menganut mazhab Hanbali, tetapi banyak fatwanya yang berlainan dari mazhab Hanbali yang murni. Dengan kata lain, Ibn Taimiyah adalah seorang ulama penganut mazhab Hanbali yang pandangannya kadang-kadang melenceng dari mazhab yang dianutnya itu. Ia terkadang berfatwa bersendiri, bebas dari garis mazhab Hanbali, namun ushul fikihnya tetap dalam koridor mazhab Hanbali.[2]

Ibn Taimiyah dikenal sebagai tokoh yang keras pendirian dan teguh berpijak pada garis-garis yang diyakininya sebagai ketentuan agama. Ia bukan hanya sebagai da’i, tetapi juga sosok pemberani yang ahli berkuda. Ia berusaha membela setiap jengkal tanah umat Muslim dari kezhaliman musuh dengan pedangnya. Bahkan ia dikabarkan pernah memimpin sebuah pasukan untuk melawan pasukan Mongol di Syakhab, dekat kota Damaskus, pada tahun 1299 M dan ia mendapat kemenangan gemilang. Dan pada Februari 1313 H, ia juga bertempur di kota Jerussalem dan meraih kemenangan. Dan sesudah kariernya itu, ia tetap mengajar sebagai ulama yang banyak pengikutnya.

Karena fatwa-fatwanya dianggap meresahkan, banyak ulama di masanya yang menentangnya. Ia pun dijebloskan ke penjara Qal’ah di Damaskus. Di dalam penjara ia tetap berdakwah dan menulis buku-buku tentang aqidah, tafsir, dan kitab-kitab bantahan terhadap mereka yang dianggapnya sebagai ahli bid’ah. Akhirnya ia wafat di dalam penjara pada tanggal 20 Dzul Hijjah 728 H, disaksikan oleh salah seorang murid setianya, Ibn al-Qayyim. Ia berada di penjara selama dua tahun tiga bulan dan beberapa hari, mengalami sakit dua puluh hari lebih. Ia dikuburkan pada waktu Ashar di samping kuburan saudaranya Syaikh Jamal al-Islam Syarafuddin.

Kitab “Majmû’ al-Fatâwâ

Kitab “Majmû’ al-Fatâwâ” adalah kumpulan fatwa Ibn Taimiyah mengenai akidah, tauhid, fikih, ushul, hadits, dan tafsir. Kitab ini sangat tebal, terdiri dari 37 jilid, masing-masing jilid memuat lebih dari 200 halaman. Dikumpulkan dan diklasifikasi oleh Abdurrahman ibn Muhammad ibn Qasim yang dibantu oleh putranya, yaitu Muhammad ibn Abdirrahman ibn Muhammad ibn Qasim. Diterbitkan atas perintah Raja Fahd Abdul Aziz Alu Sa’ud, dicetak oleh Mujamma’ al-Malik Fahd li Thaba’ah al-Mushaf al-Syarif, Madinah Munawarah, di bawah pengawasan Kementerian Urusan Keislaman, Wakaf, Dakwah, dan Bimbingan Kerajaan Saudi Arabia.

Sebagaimana kumpulan fatwa pada umumnya, sebagian besar isi kitab “Majmû’ al-Fatâwâ” adalah tanya-jawab mengenai hukum-hukum fikih dan berbagai persoalan keagamaan lainnya, dan sebagian lainnya berisi surat-surat kepada sahabat-sahabat Ibn Taimiyah dan juga kepada para penguasa. Namun tulisan ini tidak akan mengeksplorasi keseluruhan isi kitab, tetapi akan lebih fokus pada masalah jihad yang oleh Ibn Taimiyah dianggap sebagai kewajiban sangat agung yang keutamaannya sudah dijelaskan di dalam al-Qur`an dan sunnah.

Di dalam kitab “Majmû’ al-Fatâwâ” Ibn Taimiyah menyebut dua definisi jihad, yakni umum dan khusus. Dalam definisi umumnya jihad punya dua makna. Pertama, jihad adalah mengerahkan upaya, yaitu kemampuan mencapai kebenaran dan menghindari sesuatu yang bertentangan dengan kebenaran. “Hakikat jihad adalah upaya menggapai apa-apa yang dicintai Allah berupa keimanan dan amal saleh, serta menjauhi apa-apa yang dibenci Allah berupa kekufuran, kefasikan, dan kemaksiatan.”[3] Kedua, jihad adalah ‘amar ma’rûf dan nahy munkar. “Jihad adalah penyempurna ‘amar ma’rûf dan nahy munkar. Jika demikian, maka diketahui bahwa ‘amar ma’rûf dan nahy munkar serta penyempurnaannya dengan jihad merupakan kebaikan terbesar yang diperintahkan Nabi kepada kita.”[4]

Dalam definisi khususnya, menurut Ibn Taimiyah, jihad adalah “memerangi kaum kafir”. Ia berkata, “Siapa pun dari umat Muslim yang memerangi kaum kafir dengan pedang, atau tombak, atau batu, atau tongkat, maka ia adalah mujahid (orang yang berjihad) di jalan Allah.”[5]

Berdasarkan dua definisi di atas, dapat disimpulkan beberapa hal berikut:

Pertama, jihad, menurut Ibn Taimiyah, adalah kalimat komperhensif yang mencakup segala macam upaya serta pengerahan segenap kemampuan (kekuatan) dan penggunaan berbagai sarana yang disyariatkan demi terwujudnya perubahan sebagai tujuan dakwah Allah yang diturunkan kepada manusia.[6]

Kedua, jihad, dalam pemaknaan umumnya, menurut Ibn Taimiyah, adalah melawan hawa nafsu dan setan dalam mentaati Allah ‘Azza wa Jalla dan tidak bermaksiat kepada-Nya. Jihad juga mencakup perjuangan melawan kaum kafir dan orang-orang munafik dengan hujjah dan bayân, melawan ahli bid’ah dan para pelaku kemungkaran dengan “tangan, atau lisan, atau hati” sesuai dengan kemampuan.[7] Ibn al-Qayyim berkata, “Saya mendengar guru saya (Ibn Taimiyah) berkata, ‘Jihad melawan hawa nafsu adalah hukum asal jihad melawan kaum kafir dan orang-orang munafik. Sesungguhnya [orang muslim] tidak akan mampu melawan kaum kafir dan orang-orang munafik kecuali bila ia berhasil melawan hawa nafsunya terlebih dahulu dan [setelah itu baru kemudian] keluar memerangi mereka.’”[8]

Cita-cita dan tujuan jihad menurut Ibn Taimiyah adalah: pertama, tidak menyembah kecuali hanya kepada Allah, tidak meminta kepada selain-Nya, tidak shalat untuk selain-Nya, tidak sujud kepada selain-Nya, tidak berpuasa untuk selain-Nya, tidak berumrah dan berhaji kecuali hanya di Baitullah, tidak menyembeli kurban kecuali hanya untuk-Nya, tidak bernadzar kecuali hanya untuk-Nya, tidak bertawakkal kecuali hanya kepada-Nya, tidak takut kecuali hanya kepada-Nya, tidak bertakwa kecuali hanya kepada-Nya. Allah adalah Zat yang tidak ada yang kuasa mendatangkan kebaikan-kebaikan kecuali Dia, tidak ada yang kuasa menolak keburukan-keburukan kecuali Dia, tidak ada yang kuasa memberi hidayah kepada makhluk kecuali Dia, tidak ada yang kuasa menolong mereka kecuali Dia, tidak ada yang kuasa memberi mereka rizki kecuali Dia, tidak ada yang kuasa melindungi mereka kecuali Dia.[9]

Kedua, menegakkan agama Allah dan menjadikan kalimat-Nya sebagai yang tertinggi. Ibn Taimiyah berkata, “Cita-cita jihad adalah menegakkan agama Allah, bukan untuk keuntungan pribadi seseorang. Untuk itu, apapun yang menimpa mujahid, baik pada jiwa maupun hartanya, pahalanya adalah urusan Allah. Sesungguhnya Allah membeli jiwa dan harta orang-orang mukmin dengan surga.”[10] Ibn Taimiyah juga berkata, “[Cita-cita jihad adalah] sampai tidak ada fitnah (kekacauan), sampai agama Allah tegak secara menyeluruh.”[11] Di sini Ibn Taimiyah menjadikan cita-cita jihad adalah tidak adanya fitnah dan tegaknya agama Allah secara menyeluruh. Fitnah dan tegaknya agama Allah adalah dua kutub yang saling bertentangan; adanya fitnah menafikan tegaknya agama Allah, dan tegaknya agama Allah menafikan fitnah. Fitnah, menurut Ibn Taimiyah bisa dimaknai kesyirikan. Selama kesyirikan masih merajalela, agama Allah akan sulit ditegakkan.[12]

Adapun hukum jihad menurut Ibn Taimiyah adalah fardhu kifâyah, kecuali dalam keadaan-keadaan tertentu yang bersifat khusus, maka hukumnya adalah fardhu ‘ayn. Ia berkata, “Sebagaimana [hukum] jihad adalah fardhu kifâyah, kecuali dalam keadaan tertentu sehingga menjadi fardhu ‘ayn.”[13] Ibn Taimiyah mendasarkan pendapatnya tersebut pada dalil-dalil dan kaidah-kaidah berikut:

Pertama, Ibn Taimiyah berpandangan, bahwa jihad…, jika dilakukan oleh sebagian orang, maka sebagian yang lain tidak wajib melakukannya, dan keutamaannya menjadi milik mereka yang melakukannya. Sebagaimana disebutkan dalam firman Allah, “Tidaklah sama antara orang mukmin yang duduk (yang tidak ikut berperang) yang tidak mempunyai udzur dengan orang-orang yang berjihad di jalan Allah dengan harta dan jiwa mereka,” [QS. al-Nisa`: 95].

Kedua, qiyas. Ibn Taimiyah men-qiyas-kan hukum jihad dengan hukum ‘amar ma’rûf dan nahy munkar. Seperti diketahui, hukum ‘amar ma’rûf dan nahy munkar adalah fardhu kifâyah. Ia berkata, “Demikian juga ‘amar ma’rûf dan nahy munkar, hukumnya tidak wajib bagi setiap orang (fardhu ‘ayn), tetapi bagi sebagian orang (fardhu kifâyah), sebagaimana diajarkan al-Qur`an.”[14] Sama halnya dengan kerajinan-kerajinan tangan, tidak semua orang wajib mempelajarinya, meski pun di situ terdapat maslahat untuk semua orang.[15]

Ibn Taimiyah menambahkan, bahwa hukum jihad menjadi fardhu ‘ayn dalam beberapa keadaan, di antaranya:

 Ketika umat Muslim berhadapan dengan musuh atau mengepung sebuah benteng, mereka tidak bisa lari kecuali menaklukkannya. Allah berfirman, “Hai orang-orang yang beriman, apabila kalian bertemu dengan orang-orang kafir yang sedang menyerang kalian, maka jangan kalian membelakangi mereka (mundur),” [QS. al-Anfal: 15][16]

 Ketika musuh hendak menyerang negeri Islam. Ibn Taimiyah berkata, “Adapun jika musuh [datang] menyerang, maka tidak ada satu pun perbedaan [pendapat] di dalamnya, bahwa menjauhkan bahaya dari agama, jiwa, dan kehormatan adalah wajib secara ijma’.”[17] Ia juga berkata, “Jika musuh datang hendak menyerang umat Muslim, maka membela orang-orang yang hendak diserang itu adalah wajib, dan orang-orang yang tidak diserang wajib [berjihad] untuk membantu mereka.”[18]

 Ketika imam (pemimpin muslim) mengajak untuk berjihad (berperang).[19] Ibn Taimiyah menyebutkan dua hadits; (1). Hadits Nabi yang berbunyi, “Jika [imam] mengajak kalian untuk berperang, maka berperanglah,” [HR. al-Bukhari].;[20] (2). Hadits Nabi yang berbunyi, “Orang muslim hendaknya patuh dan taat terkait apa-apa yang disukai dan tidak disukai kecuali jika ia diperintah melakukan maksiat. Jika ia diperintah melakukan maksiat, maka tidak ada kepatuhan dan ketaatan.”

Ibn Taimiyah juga menyebutkan syarat-syarat wajibnya jihad. Dalam hal ini, pandangan Ibn Taimiyah tidak banyak berbeda dengan pandangan para ulama lainnya. Menurutnya, syarat-syarat jihad adalah:

Pertama, Islam. Para ulama fikih bersepakat bahwa di antara syarat wajibnya jihad adalah Islam. Islam merupakan syarat wajibnya seluruh ibadah, karena orang kafir tidak diperintah untuk berjihad. Ibn Taimiyah memang tidak secara eksplisit menyebutkannya, tetapi berdasarkan seluruh paparannya di dalam kitab “Majmû’ al-Fatâwâ”, bisa disimpulkan bahwa ia mensyaratkan Islam dalam kewajiban berjihad. Ia memandang bahwa terdapat banyak perkara di dalam agama yang syarat sahnya adalah Islam, di antaranya ibadah secara keseluruhan, seperti shalat, puasa, zakat, haji, dan lain sebagainya. Al-Nawawi berkata, “Sahabat-sahabat kami bersepakat bahwa orang kafir asli tidak wajib melaksanakan shalat, zakat, puasa, dan ibadah-ibadah furû’îyyah yang lain.”[21]

Kedua, baligh. Anak kecil yang belum baligh, tubuhnya masih lemah, dan belum mukallaf tidak wajib melakukan jihad. Diriwayatkan dari Ibn Umar, bahwa ia berkata, “Aku ditunjukkan kepada Nabi Saw. pada masa perang Uhud, saat itu usiaku empat belas tahun, dan beliau tidak membolehkanku berperang.”[22]

Ketiga, bebas/merdeka. Diriwayatkan bahwa Nabi Saw. mengambil baiat orang merdeka untuk Islam dan jihad, dan beliau mengambil baiat budak (hamba sahaya) untuk Islam tanpa jihad. Dari sini dapat disimpulkan, menurut Ibn Taimiyah, bahwa bebas/merdeka merupakan syarat wajibnya jihad.

Keempat, laki-laki. Menurut Ibn Taimiyah, laki-laki merupakan syarat wajibnya jihad, dan jihad bagi perempuan adalah haji. Untuk perempuan, haji lebih utama daripada jihad. Ibn Taimiyah menyebutkan sejumlah hadits untuk menguatkan pendapatnya ini, di antaranya yang paling populer adalah hadits Aisyah ra., bahwa ia bertanya kepada Nabi Saw., “Ya Rasulullah, aku melihat jihad merupakan amal paling utama, tidakkah kami (perempuan) boleh berjihad?’ Nabi Saw. menjawab, ‘Sesungguhnya bagi kalian (perempuan) sebaik-baiknya jihad adalah haji mabrur,” [HR. al-Nasa`i]. Perempuan boleh saja berpartisipasi dalam peperangan, tetapi bukan dalam rangka mengangkat pedang untuk melawan musuh, melainkan dengan hartanya, atau merawat dan mengobati para prajurit yang terluka dalam perang.

Kelima, selamat dari penyakit dan cacat. Kepincangan, kebutaan, dan berbagai cacat/penyakit lainnya yang menghambat manusia untuk bergerak, tidak diragukan lagi merupakan sebab-sebab lepasnya kewajiban jihad menurut Ibn Taimiyah dan para ulama fikih yang lain.

Keenam, akal. Orang gila tidak wajib melakukan jihad.[23]

Ketujuh, izin kedua orangtua. Ibn Taimiyah menegaskan wajibnya seorang anak untuk berbakti kepada kedua orangtuanya. Islam mewajibkan mentaati orangtua dalam hal selain maksiat, di antara bentuk ketaatan itu adalah seorang anak tidak pergi ke medan jihad tanpa izin dari keduanya kecuali dalam keadaan tertentu (darurat). Ibn Taimiyah berkata, “Ketika musuh memasuki negeri-negeri Islam, maka tidak diragukan lagi kewajiban membelanya bagi orang-orang terdekat (umat Muslim di negeri-negeri tetangga), karena seluruh negeri Islam posisinya seperti negeri yang satu, bahwa [siapapun] harus pergi ke sana tanpa izin orangtua dan orang yang memberinya pinjaman uang (al-gharîm).”[24]

Kedelapan, izin imam. Di dalam kitab “Majmû’ al-Fatâwâ” tidak ada penegasan bahwa izin imam merupakan syarat wajibnya jihad. Tetapi di dalam seluruh kalimat dan penjelasannya, dapat ditemukan bahwa ia memandang pentingnya mendapatkan izin imam dalam berjihad. Namun dalam kondisi-kondisi tertentu (darurat), izin imam tidak diperlukan.

Adapun sebab-sebab dilakukannya jihad menurut Ibn Taimiyah adalah:

Pertama, kekafiran. Orang kafir yang boleh dibunuh adalah orang kafir yang menabuh genderang perang. Ibn Taimiyah berkata, “Jika hukum asal perang yang disyariatkan adalah jihad dengan tujuan menegakkan agama Allah dan menjadikan kalimat Allah sebagai yang tertinggi, maka orang yang berusaha menghalanginya itu dibunuh berdasarkan kesepakatan umat Muslim. Sementara orang yang tidak punya kemampuan untuk menghalang-halangi dan memerangi seperti perempuan, anak kecil, orang lanjut usia, dan lain sebagainya, maka tidak dibunuh menurut mayoritas ulama, kecuali jika ia memerangi dengan perkataan atau perbuatan. Sebagian ulama berpendapat boleh membunuh semua orang kafir, kecuali para perempuan dan anak-anak kecil karena mereka merupakan harta bagi umat Muslim. Pendapat pertama adalah yang benar, karena perang itu dilakukan terhadap orang yang memerangi kita jika kita ingin menunjukkan agama Allah.”[25]

Kedua, kemurtadan. Ibn Taimiyah menyatakan bahwa orang murtad dari agamanya (Islam) dibunuh. Menurutnya, orang kafir dengan kemurtadan, ketika diminta untuk bertaubat namun ia tidak bertaubat, itu boleh dibunuh, baik ia memerangi atau tidak. Bahkan ia boleh dibunuh meskipun ia termasuk orang-orang yang tidak boleh dibunuh saat perang seperti orang buta, rahib, dan perempuan.[26] Ibn Taimiyah mengatakan, “Orang-orang murtad wajib dibunuh secara pasti karena tidak kembali kepada sesuatu (agama) yang mereka telah keluar darinya. Tidak boleh membuat perjanjian dengan mereka, tidak boleh menjalin perdamaian (gencatan senjata), tidak boleh memberikan keamanan, tidak boleh melepas siapapun dari mereka yang menjadi tahanan, tidak boleh membayar tebusan kepada mereka, tidak boleh memakan sembelihan mereka, tidak boleh menikahi perempuan dari mereka, tidak boleh mengambil budak dari mereka selama mereka masih tetap murtad berdasarkan kesepakatan umat,[27] orang yang memerangi dari mereka harus dibunuh, juga orang yang tidak memerangi dari mereka seperti orang tua renta dan orang buta menurut kesepakatan ulama, juga perempuan dari mereka menurut mayoritas ulama.”

Ketiga, pembangkangan dan penyimpangan dari kebenaran. Orang-orang yang menyimpang dari kebenaran, membangkang kepada imam, jika menimbulkan kerusakan besar maka boleh dibunuh. Jika mereka bisa dihentikan dengan keadilan, misalnya cukup dengan diberi hukuman yang setimpal atau dipenjara, itu bisa dilakukan tanpa harus membunuh.[28]

Keempat, penyerangan dan perampokan. Orang-orang yang melakukan penyerangan dan perampokan yang membahayakan diri harus diperangi.[29]

Kelima, kelompok Khawarij, yaitu—menurut Ibn Taimiyah—orang-orang yang membangkang kepada Ali ibn Abi Thalib dan Mua’wiyah ibn Abi Sufyan dengan tuduhan tahkim (arbitrasi). Mereka berkata ‘tidak ada hukum kecuali hukum Allah’, dan keluar dari jama’ah/barisan umat Muslim. Mereka, kelompok Khawarij ini, harus diperangi.[30]

Keenam, mata-mata, yaitu orang yang membocorkan berita suatu kaum kepada kaum lain yang tidak mengetahuinya, atau membocorkan rahasia/aurat umat Muslim.[31] Menurut Ibn Taimiyah, mata-mata muslim, kalau ia bekerja untuk musuh, maka ia harus dibunuh. Ibn Taimiyah berkata, “Orang yang kerusakannya tidak bisa dihentikan kecuali dengan dibunuh, seperti orang yang memecah-belah barisan umat Muslim, orang yang mengajak kepada bid’ah dalam agama. Inilah yang dikatakan oleh Malik dan sebagian pengikut Ahmad.”[32]

Fatwa-Fatwa Radikal Ibn Taimiyah

Ibn Taimiyah, yang hidup di abad ke-8 Hijriyah/ke-13 Masehi, oleh sebagian ulama dianggap sebagai salah satu “fitnah” terbesar bagi umat Muslim. Ia dinilai telah menyebarkan banyak pemikiran radikal dan berbau “teror” di kalangan umat Muslim; ia mengkafirkan umat Muslim, menganggap halal darah dan kehormatan mereka hanya karena perbedaan pendapat terkait pelaksanaan ibadah.

Ibn Taimiyah sudah mencapai ‘titik puncak’ dalam soal pengkafiran dan keharusan membunuh orang yang dianggap kafir. Perkataannya yang populer “diminta bertaubat, kalau bertaubat diampuni, kalau tidak bertaubat harus dibunuh” menjadi ciri khas di dalam karya-karya dan fatwa-fatwanya, bahkan dirujuk dan dijadikan slogan di kalangan kelompok-kelompok jihadis-radikal.

Fatwa-fatwa Ibn Taimiyah mengenai “pengkafiran umat Muslim dan penghalalan darah mereka” dianggap sebagai dasar yang dijadikan pijakan oleh kelompok Ikhwanul Muslimin dan kelompok-kelompok lain yang berafiliasi dengannya dalam melancarkan aksi-aksi terornya:

Pertama, dasar pemikiran kelompok Ikhwanul Muslimin dalam mengkafirkan masyarakat di Mesir bersandar kepada pendapat-pendapat dan fatwa-fatwa Ibn Taimiyah dan muridnya, Ibn al-Qayyim, sebagaimana yang tersaji di dalam beberapa karya Sayyid Qutb seperti “Ma’âlim fî al-Tharîq” dan “Fî Zhilâl al-Qur`ân”.

Kedua, dasar pemikiran kelompok Tanzhim al-Jihad—yang pada tahun 1981 melakukan pembunuhan terhadap Presiden Anwar Sadat—bersandar kepada fatwa-fatwa Ibn Taimiyah. Dasar pemikiran ini dirumuskan oleh Muhammad Abdussalam Farag di dalam karyanya yang bertajuk “al-Farîdhah al-Ghâ’ibah” yang merupakan terjemahan harfiyah Juz ke-4 dari kitab “al-Fatâwâ al-Kubrâ li Ibn Taymîyyah” yang secara khusus membahas soal jihad. Meskipun Muhammad Abdussalam Farag telah dihukum mati pada tahun 1982, tetapi kitab “al-Farîdhah al-Ghâ’ibah” diterbitkan untuk kalangan kelompok Tanzhim al-Jihad, bahkan juga dipublikasikan di internet sehingga bisa dibaca oleh banyak orang.

Ketiga, dasar pemikiran berbagai kelompok teroris yang pergerakannya meluas pada awal-awal tahun 1990-an—seperti Jama’ah Islamiyah dan kelompok-kelompok lainnya—bersandar kepada fatwa-fatwa Ibn Taimiyah, sebagaimana yang terlihat di dalam pandangan-pandangan Adil Abdul Baqi, seorang ideolog kelompok-kelompok teroris yang cukup masyhur di Mesir. Di dalam sebuah wawancara di salah satu channel televisi di Mesir pada 27/3/1994, Adil Abdul Baqi mengakui bahwa ia menyebarkan dakwah penghalalan darah dan harta orang-orang yang tidak sepaham dalam keyakinan dengan berpijak pada fatwa-fatwa Ibn Taimiyah dan kitab-kitab seperti “Ma’âlim fî al-Tharîq” karya Sayyid Qutb.

Keempat, dasar pemikiran kelompok ISIS—sebagaimana dikampanyekan di website resminya pada tahun 2014 lalu—diadopsi dari fatwa-fatwa Ibn Taimiyah. Kelompok ini, yang telah melancarkan aksi-aksi teror paling brutal dan sadis sepanjang sejarah, mengklaim menerapkan fatwa-fatwa Ibn Taimiyah yang tertuang di dalam kitab “al-Fatâwâ al-Kubrâ li Ibn Taymîyyah”.

Karya-karya Ibn Taimiyah memang berisi banyak fatwa radikal yang oleh sebagian ulama di zamannya dinilai bertentangan dengan al-Qur`an dan sunnah. Ia, misalnya, berpendapat bahwa orang muslim yang dituduh kafir harus dibunuh, baik darah, harta, dan kehormatannya adalah halal. Berikut ini beberapa contoh fatwa radikal Ibn Taimiyah:

 Dalam masalah “laki-laki yang shalat mengganggu shaf (barisan shalat) di sekitarnya dengan [menyaringkan bacaan] niat. Para jamaah menegurnya, tetapi ia tidak memperbaiki kesalahannya”. Terkait hal ini Ibn Taimiyah mengeluarkan fatwa untuk membunuhnya. Ia berkata, “Orang yang berpendapat [bahwa menyaringkan bacaan niat] itu sebagai bagian dari agama yang bersifat wajib, maka ia wajib dikenalkan kepada syariat, diminta untuk menarik pendapatnya tersebut. Jika ia tetap dengan pendapatnya tersebut, ia dibunuh.”[33]

 Ibn Taimiyah mengeluarkan fatwa bahwa orang muslim yang tidak disiplin melaksanakan shalat pada waktunya harus dibunuh. Ia berkata, “Orang yang menunda shalat karena suatu pekerjaan sampai matahari terbenam, ia wajib mendapat hukuman, bahkan wajib dibunuh setelah diminta bertaubat menurut mayoritas ulama.”[34]

 Dalam masalah “laki-laki tinggal di dekat masjid tetapi tidak shalat jamaah,” Ibn Taimiyah menjawab, “Ia disuruh shalat bersama umat Muslim. Jika ia tetap tidak shalat jamaah, ia diminta untuk bertaubat. Kalau tidak bertaubat, maka ia dibunuh.”[35]

 Dalam masalah “para musafir di bulan Ramadhaan, orang yang berpuasa dari mereka dingkari/dicela”. Ibn Taimiyah mengeluarkan fatwa membunuh orang yang berbeda pendapat dengannya, bahwa para musafir boleh berpuasa di bulan Ramadhan. Ia berkata, “Orang yang berkata bahwa berbuka (makan) tidak boleh bagi yang tidak mampu berpuasa, maka ia diminta bertaubat, kalau tidak bertaubat maka ia dibunuh.”[36]

 Dalam masalah “shalat qashar bagi musafir”. Ibn Taimiyah mengeluarkan fatwa bahwa orang yang berbeda pendapat dengannya dalam soal “shalat qashar bagi musafir” harus dibunuh. Ia berkata, “Orang yang berkata bahwa musafir harus shalat empat rakaat, maka kedudukannya sama seperti orang yang mengatakan bahwa musafir wajib puasa di bulan Ramadhan—keduanya bertentangan dengan ijma’ umat Muslim. Ia diminta bertaubat, kalau tidak bertaubat maka ia dibunuh.”[37]

 Ibn Taimiyah mengeluarkan fatwa untuk membunuh setiap muslim yang suka melakukan perbuatan-perbuatan syubhat dengan tuduhan munafik yang menyembunyikan kekafiran. Ia berkata, “Adapun membunuh orang yang menampakkan keislaman dan menyembunyikan kekafiran—berarti ia munafik, para ulama fikih menyebutnya zindiq—, mayoritas ulama fikih menyepakati untuk membunuhnya.”[38]

Ibn Taimiyah dan Perempuan

Seperti diketahui, Ibn Taimiyah menjalani kehidupan dalam keadaan membujang, tidak menikah hingga akhir hayatnya. Dari sini mungkin kita bisa mengatakan bahwa keadaan tersebut mempengaruhi pandangan Ibn Taimiyah terhadap perempuan. Meskipun kita tidak dapat memastikan bahwa itu adalah kaidah umum, namun bisa jadi orang yang sama sekali tidak menikah lebih tahu banyak soal perempuan ketimbang orang yang sudah menikah.

Di samping itu, era di mana Ibn Taimiyah hidup, menurut para sejarawan, adalah era kemunduran Islam: kemunduran peradaban, politik, pemikiran, dominasi taqlid, menurunnya produktivitas ijtihad, merebaknya tradisi-tradisi usang dan adat-istiadat tak terpuji. Semua ini merupakan ciri khas era Dinasti Mamluk di mana Ibn Taimiyah hidup. Tidak mengherankan jika banyak dari pandangan-pandangannya yang merupakan produk asli dari kebudayaan yang berkembang saat itu.

Berbagai hal yang kita ketahui dari syariat, semisal perintah untuk mewasiatkan kebaikan kepada perempuan, perempuan adalah saudara kandung laki-laki, perintah untuk berbuat baik kepada perempuan serta larangan untuk menzhaliminya, dan apa-apa yang terkait dengan hak dan kewajiban, juga hukum dan tuntunan agama, semua ini sudah jelas tanpa perlu kita sebutkan lagi, yang dikatakan oleh Ibn Taimiyah dan para ulama yang semasa dengannya maupun sesudahnya.

Apapun yang disebutkan dalam tulisan ini, di luar hal-hal di atas, mengungkapkan pemahaman Ibn Taimiyah secara khusus terhadap perempuan, tak soal apakah sama atau bertolak belakang dengan pendapat para ulama lainnya. Di sini akan dikutip beberapa perkataan Ibn Taimiyah yang menjelaskan bagaimana ia memandang perempuan dan bagaimana ia menggambarkannya.

Ibn Taimiyah memandang bahwa perempuan lebih membutuhkan perlindungan dan perhatian daripada anak kecil. Ia berkata, “Diketahui dari pengalaman bahwa perempuan membutuhkan penjagaan dan perlindungan yang tidak dibutuhkan oleh anak kecil.”[39] Perempuan, menurut Ibn Taimiyah, membutuhkan nasehat dan perwalian (pengampuan) seperti anak kecil, tetapi ia lebih membutuhkan perhatian, perawatan, penjagaan, dan perlindungan. Ibu dari seorang anak kecil, misalnya, lebih memerlukan penjagaan daripada anaknya sendiri yang dirawat dan dididiknya.

Ibn Taimiyah meriwayatkan sebuah hadits yang menyebutkan, “Perempuan itu [ibarat] daging di atas meja makan kecuali yang [sengaja] dijaga (tak dimakan).”[40] Ibn Taimiyah mengutip hadits ini tanpa menyebutkan perawinya—bahkan muhaqqiq (editor) kitab “Majmû’ al-Fatâwâ” sendiri mengatakan tidak pernah menemukan hadits seperti ini—, tetapi ia menggunakannya untuk memperkuat pendapatnya.

Karena itu, dalam soal pengasuhan anak, misalnya yang berhubungan dengan ketidaksukaan anak perempuan untuk memilih diasuh oleh salah satu dari kedua orangtuanya yang sudah bercerai, Ibn Taimiyah mengharuskan anak perempuan untuk tinggal bersama salah satu dari keduanya, tidak boleh memilih “kadang dalam beberapa waktu tertentu tinggal bersama ayahnya dan kadang dalam beberapa waktu tertentu tinggal bersama ibunya”. Berbeda dengan anak laki-laki yang boleh memilih salah satu dari kedua orangtuanya atau memilih “kadang dalam beberapa waktu tertentu tinggal bersama ayahnya dan kadang dalam beberapa waktu tertentu tinggal bersama ibunya”. Ibn Taimiyah berkata,

Adapun anak perempuan (al-bint), jika ia dibolehkan memilih ‘kadang bersama ibunya dan kadang bersama ayahnya’, maka itu akan membuatnya sering keluar mempertontonkan hiasan/kecantikannya, berpindah dari satu tempat ke tempat lain, ayahnya tidak dapat mewakili untuk menjaganya [secara penuh], ibunya tidak dapat mewakili untuk menjaganya [secara penuh]. Secara adat jamak diketahui, bahwa sesuatu yang dijaga manusia secara bergiliran pasti akan hilang. Di antara contoh yang ada: kemampuan di antara para juru masak (koki) tidaklah sama…ini merupakan perkara yang diketahui berdasarkan pengalaman bahwa perempuan membutuhkan perlindungan dan perhatian yang tidak dibutuhkan anak kecil. Segala hal yang lebih menutupinya dan lebih menjaganya itu lebih baik baginya.[41]

Pendapat lain yang dikemukakan Ibn Taimiyah terkait perempuan adalah soal kawin anak kecil perempuan (tazwîj al-shaghîrah). Sehubungan dengan anak perempuan berusia 9 tahun meskipun belum mukallaf, misalnya, Ibn Taimiyah berkata,

Perempuan [dewasa] tidak boleh dikawinkan oleh seorang pun kecuali dengan izinnya, sebagaimana perintah Nabi Saw., jika ia tidak suka, ia tidak boleh dipaksa. Kecuali ‘anak kecil perawan’, ayahnya boleh mengawinkannya [walau] tanpa izinnya. Adapun ‘perempuan janda dewasa’, ia tidak boleh dikawinkan tanpa izinnya, baik oleh ayahnya maupun yang lainnya berdasarkan kesepakatan (ijma’) umat Muslim. Demikian juga ‘perempuan perawan dewasa’, selain ayah dan kakeknya tidak boleh menikahkannya tanpa izinnya berdasarkan kesepakatan umat Muslim. Ayah dan kakeknya, keduanya harus meminta izinnya. Meminta izin ‘perempuan perawan dewasa’ adalah wajib.[42]

Anak perempuan kecil (al-shaghîrah) yang belum baligh, Ibn Taimiyah berpandangan, sebagaimana tampak jelas di dalam pernyataannya di atas, bahwa sang ayah boleh memaksanya untuk dikawinkan tanpa izinnya. Namun demikian, Ibn Taimiyah menyebutkan bahwa para ulama berbeda pendapat mengenai hukum asal (al-ashl) mengawinkan anak kecil perempuan, dan bahwa mayoritas ulama memandang boleh mengawinkannya. Di antara mayoritas ulama tersebut terdapat dua pendapat: sebagian memandang boleh mengawinkannya tanpa izinnya, dan ketika sudah dewasa ia ‘boleh memilih untuk tetap bersama atau berpisah’. Sebagian lainnya mengatakan boleh mengawinkannya tetapi harus dengan izinnya, dan ketika sudah dewasa ia ‘tidak boleh memilih untuk tetap bersama atau berpisah’. Pendapat yang kedua ini, menurut Ibn Taimiyah adalah pendapat yang sesuai dengan sunnah,[43] yaitu bahwa anak kecil perempuan tidak boleh dikawinkan kecuali dengan izinnya, dan ketika ia dewasa sesudah menikah maka ia ‘tidak boleh memilih untuk tetap bersama atau berpisah’—seolah-olah Ibn Taimiyah lebih cenderung membolehkan mengawinkan anak kecil perempuan yang belum baligh dengan syarat harus memperoleh izinnya, dan ketika ia dewasa sesudah kawin maka ia ‘tidak boleh memilih untuk tetap bersama atau berpisah’.

Padahal, dalam pernyataannya di atas, Ibn Taimiyah memandang bahwa seorang ayah boleh mengawinkan anak perempuannya yang masih kecil tanpa perlu meminta izinnya. Dan di tempat lain di dalam kitab “Majmû’ al-Fatâwâ” ia menyebutkan, “Sesungguhnya syariat tidak menetapkan [siapa pun] selain ayah dan kakek boleh memaksa anak kecil perempuan [untuk menikah] berdasarkan kesepatakan umat.”[44]

Jadi, secara prinsip, Ibn Taimiyah memandang boleh mengawinkan anak kecil perempuan, akan tetapi ia harus dikawinkan dengan izinnya—kendati usianya masih sangat belia—, tidak boleh dipaksa kawin berdasarkan petunjuk sunnah, dan ketika ia dewasa sesudah kawin maka ia ‘tidak boleh memilih untuk tetap bersama atau berpisah’. Hanya saja, dalam beberapa pernyataannya, Ibn Taimiyah jelas-jelas membolehkan ayah dan kakek memaksa anak kecil perempuan untuk kawin. Dalam persoalan ini Ibn Taimiyah tampak masih ragu-ragu.

Dan Ibn Taimiyah, meskipun memandang boleh mengawinkan anak kecil perempuan, tetapi ia bisa dibilang ‘agak longgar’ terkait pandangannya soal perempuan perawan dewasa. Ia mengatakan bahwa perempuan perawan dewasa harus dimintai izinnya, tidak boleh dipaksa untuk kawin dengan lelaki yang tak dicintainya,

Adapun mengawinkan perempuan perawan dewasa sedang ia tidak menginginkannya, maka itu bertentangan dengan dasar-dasar syariat dan rasionalitas akal. Allah tidak menetapkan (membolehkan) bagi walinya untuk memaksanya melakukan penjualan atau penyewaan tanpa izinnya, juga mengkonsumsi makanan atau minuman atau memakai pakaian yang tidak disukainya, lantas bagaimana walinya itu boleh memaksanya untuk bersenggama dan bersetubuh dengan lelaki yang tak disukainya?! Allah telah menciptakan di antara dua pasangan cinta dan kasih sayang…[45]

Soal lain, mengenai pendidikan perempuan. Ibn Taimiyah menganggap perempuan sebagai aurat; sumber dosa, keburukan, dan maksiat, makanya harus selalu ditutupi. Karena perempuan adalah aurat, berarti ia alat seks. Sebagai alat, perempuan dianggap tak punya akal, hanya sebatas pemuas hasrat seks belaka. Tidak heran bila Ibn Taimiyah menolak pandangan kelompok Muktazilah tentang wajibnya melakukan pengamatan (al-nazhr) dan konklusi (al-istidlâl) bagi setiap orang, bahkan bagi masyarakat awam dan kaum perempuan.[46] Ia berkata,

Mereka (kaum mutakallimin Muktazilah) mewajibkan al-nazhr (pengamatan) dan al-istidlâl (konklusi) bagi setiap orang, bahkan bagi [masyarakat] awam dan kaum perempuan. Padahal, mayoritas umat tak sependapat dengan itu.[47]

Perkataan “bahkan bagi [masyarakat] awam dan kaum perempuan” menunjukkan bahwa secara prinsip menurut Ibn Taimiyah perempuan tak punya kecakapan untuk melakukan pengamatan dan konklusi. Ia berkata,

Mayoritas umat tak sepakat dengan itu (pendapat wajibnya melakukan al-nazhr dan al-istidlâl bagi setiap orang, bahkan bagi [masyarakat] awam dan kaum perempuan); sesungguhnya apa-apa yang wajib diketahui, itu diwajibkan kepada orang yang mampu menghasilkan pengetahuan, sementara banyak orang yang tidak mampu menghasilkan pengetahuan secara detail, lantas bagaimana pengetahuan itu dibebankan kepada perempuan?[48]

Artinya, jika kaum perempuan dianggap tak punya kemampuan melakukan pengamatan dan konklusi karena “kurang akal”, maka pendidikan bagi mereka tidak diperlukan. Program wajib belajar bagi mereka hanya akan “membenani mereka dengan sesuatu yang tidak mampu mereka lakukan”.[49]

____________________________________________

[1]. Dipresentasikan dalam Diskusi Kitab Jihad Seri VII bertajuk “Mengkaji Pemikiran Ibn Taimiyah dan Muhammad ibn Abdil Wahab”, yang diselenggarakan oleh Rumah KitaB berkerjasama dengan Dewan Eksekutif Mahasiswa (DEMA) Fakultas Ushuluddin, Jum’at, 30 September 2016, bertempat di Ruang Teater, Gedung Fakultas Ushuluddin, Lt. 4, UIN Syarif Hidayatullah.

[2]. Dr. Muhammad Yusuf Musa, Ibn Taymîyyah, hal. 168 – 170

[3]. Ibn Taimiyah, Majmû’ al-Fatâwâ, Jilid 10, hal. 91 dan 210

[4]. Ibn Taimiyah, Majmû’ al-Fatâwâ, Jilid 28, hal. 126

[5]. Ibn Taimiyah, Majmû’ al-Fatâwâ, Jilid 28, hal. 316

[6]. Muhammad Na’im Yasin, al-Jihâd: Mayâdinuhu wa Asâlibuhu, Dar al-Nafais, Cet. IV, 1993, hal. 6

[7]. Abdul Aziz Nashir, al-Tarbiyah al-Jihâdîyyah fî Dhaw’ al-Kitâb wa al-Sunnah, hal. 8

[8]. Ibn al-Qayyim, Rawdhah al-Muhibbîn, hal. 478

[9]. Ibn Taimiyah, Majmû’ al-Fatâwâ, Jilid 35, hal. 368

[10]. Ibn Taimiyah, Majmû’ al-Fatâwâ, Jilid 28, hal. 354; Jilid 15, hal. 180; Jilid 18, hal. 493 – 494

[11]. Ibn Taimiyah, Qâ’idah al-Muhibbîn, hal. 292

[12]. Ibn Taimiyah, Qâ’idah al-Muhibbîn, hal. 292

[13]. Ibn Taimiyah, Majmû’ al-Fatâwâ, Jilid 28, hal. 80 dan 126

[14]. Ibn Taimiyah, Majmû’ al-Fatâwâ, Jilid 28, hal. 126

[15]. Ibn Taimiyah, Majmû’ al-Fatâwâ, Jilid 28, hal. 80

[16]. Ibn Taimiyah, Majmû’ al-Fatâwâ, Jilid 28, hal. 187

[17]. Ibn Taimiyah, al-Fatâwâ al-Kubrâ, Jilid 4, Editor: Syaikh Ahmad Kan’an, Dar al-Arqam, Cet. I, 1999, hal. 465 – 466

[18]. Ibn Taimiyah, Majmû’ al-Fatâwâ, Jilid 28, hal. 358

[19]. Ibn Taimiyah, Majmû’ al-Fatâwâ, Jilid 28, hal. 78

[20]. Ibn Taimiyah, Majmû’ al-Fatâwâ, Jilid 28, hal. 78

[21]. Al-Ba’li, al-Ikhtiyârât al-Fiqhîyyah, hal. 545

[22]. Ibn Hajar al-Asqalani, Fath al-Bârîy, Jilid 5, hal. 279

[23. ]. Ibn Taimiyah, Majmû’ al-Fatâwâ, Jilid 11, hal. 11

[24]. Al-Ba’li, al-Ikhtiyârât al-Fiqhîyyah, hal. 311

[25]. Ibn Taimiyah, Majmû’ al-Fatâwâ, Jilid 8, hal. 345

[26]. Ibn Taimiyah, Majmû’ al-Fatâwâ, Jilid 22, hal. 60

[27]. Ibn Taimiyah, Majmû’ al-Fatâwâ, Jilid 28, hal. 414

[28]. Ibn Taimiyah, Majmû’ al-Fatâwâ, Jilid 35, hal. 86

[29]. Ibn Taimiyah, Majmû’ al-Fatâwâ, Jilid 28, hal. 316

[30]. Ibn Taimiyah, Majmû’ al-Fatâwâ, Jilid 3, hal. 208

[31]. Ibn Taimiyah, al-Fatâwâ al-Kubrâ, Jilid 4, hal. 662

[32]. Ibn Taimiyah, Majmû’ al-Fatâwâ, Jilid 28, hal. 108 – 109

[33]. Ibn Taimiyah, al-Fatâwâ al-Kubrâ, Jilid 1, hal. 1

[34]. Ibn Taimiyah, al-Fatâwâ al-Kubrâ, Jilid 1, hal. 50

[35]. Ibn Taimiyah, al-Fatâwâ al-Kubrâ, Jilid 1, hal. 366

[36]. Ibn Taimiyah, al-Fatâwâ al-Kubrâ, Jilid 1, hal. 367

[37]. Ibn Taimiyah, al-Fatâwâ al-Kubrâ, Jilid 2, hal. 114

[38]. Ibn Taimiyah, al-Fatâwâ al-Kubrâ, Jilid 1, hal. 359

[39]. Ibn Taimiyah, Majmû’ al-Fatâwâ, Jilid 34, hal. 82

[40]. Keberadaan daging di atas meja makan tidak lain kecuali untuk dipotong-potong dan disantap, tidak bisa menjaga dirinya sendiri, bahkan lalat pun enggan menjaganya, kecuali bila daging tersebut memang sengaja dijaga (tak disantap).

[41]. Ibn Taimiyah, Majmû’ al-Fatâwâ, Jilid 34, hal. 82

[42]. Ibn Taimiyah, Majmû’ al-Fatâwâ, Jilid 32, hal. 30

[43]. Ibn Taimiyah, Majmû’ al-Fatâwâ, Jilid 32, hal. 34

[44]. Ibn Taimiyah, Majmû’ al-Fatâwâ, Jilid 32, hal. 40

[45]. Ibn Taimiyah, Majmû’ al-Fatâwâ, Jilid 32, hal. 19

[46]. Gaber Asfour, Ibn Taymîyyah wa al-Mar`ah, Koran Harian Al-Ahram, Edisi 8/10/2016

[47]. Ibn Taimiyah, Majmû’ al-Fatâwâ Jilid 20, hal. 112

[48]. Ibn Taimiyah, Majmû’ al-Fatâwâ, Jilid 20, hal. 112

[49]. Raed al-Samhouri, Naqd al-Khithâb al-Salafîy; Ibn Taymîyyah Namûdajan, Tuwa Media & Publishing Limited, Cet. I, 2010, hal. 103

Kitab al-Misykat al-Anwar karya Abu Hamid al-Ghazali: Cahaya Kebenaran

Dengan kitab karyanya ini, al-Ghazali layak masuk dalam daftar nama-nama filsuf besar Islam klasik.

Kitab al-Futuhat al-Makiyyah Karya Ibnu ‘Arabi

Sederetan nama dan gelar penghormatan disematkan pada Ibnu ‘Arabi yang diberikan dari umat Islam dan para ulama pada zamannya.