Pos

Merebut Tafsir: Mudik di Era Normal Baru

Oleh: Lies Marcoes-Natsir, M.A.

 

TAK disangka, mudik untuk berlebaran di kampung sebagai ciri masyarakat Indonesia bisa terhenti serempak gara-gara pandemi Covid-19.

Syukurlah Lebaran tahun ini, virus mulai jinak. Sebagian warga kota, atas izin pemerintah, diperkirakan akan mudik Lebaran.

Penting untuk mengamati fenomena mudik pada masa normal baru (new normal) ini, baik bagi pemudik maupun situasi di udik, di kampung halaman. Apa yang masih tetap sama dan berubah setelah dua kali Lebaran desa tak dibanjiri para pemudik?

Meskipun orang yang tinggal di kota punya udik (kampung), sebetulnya tak setiap waktu mereka bisa pulang kampung. Karena itu, meski Covid-19 sudah berkurang, desa seperti memiliki pintu imajinatif yang tak begitu saja bisa buka tutup setiap waktu.

Pintu itu seperti punya jadwal kapan dibuka dan mempersilakan orang kota memasuki desa dengan sambutan bak tamu agung dan kapan tertutup sehingga orang hanya bisa masuk secara menyelinap. Mereka yang pulang di luar jadwal mungkin akan dianggap pulang tak diundang.

Untuk pulang kampung, orang butuh alasan: menengok orangtua jika dikabarkan sakit, membawa anak liburan, ada hajatan atau kumpul keluarga (belakangan disebut reuni), atau untuk mudik Lebaran.

Pintu rumah orangtua di kampung tentu selalu terbuka bagi anak cucu yang tinggal di kota untuk pulang di luar waktu-waktu yang telah dimaklumi. Namun, orangtua butuh alasan untuk tetangga dan kerabat jika ada anak-cucunya datang tiba-tiba di luar waktu yang biasanya atau tanpa faktor ”pemanggil”, seperti ada kerabat sakit atau meninggal.

 

Tetirah

Pulang tanpa alasan hanya akan membuat tetangga bertanya-tanya. Gerangan kabar baik apa yang dibawa dari kota? Naik pangkat? Mau mantu? Beli tanah? Mau naik haji? Atau adakah kabar penting lain? Untunglah dalam kosakata Indonesia, terutama Jawa/Sunda, ada satu istilah yang semua orang di kampung akan memaklumi, ”tetirah”.

Tetirah adalah istilah psikologis untuk istirahat pikiran. Kata itu tampaknya begitu sakti. Orangtua di kampung dan orang yang pulang tanpa alasan segera mendapatkan alasan mengapa seseorang pulang kampung di luar agenda.

Tanpa istilah itu, tatkala orang dari kota pulang bukan pada jadwalnya akan memunculkan tanda tanya atau bisik- bisik. Mengapa pulang? Ketidakjelasan alasan pulang itu membuat kedua pihak, orangtua dan anak yang pulang, merasa tak nyaman. Orang mungkin menerka-nerka apakah telah menjadi petarung yang kalah berjuang di kota?

Tetirah adalah sebuah istilah medis tradisional untuk menunjuk kepada situasi di mana orang membutuhkan waktu untuk istirahat lahir batin dengan cara mengungsi atau mengasingkan diri dari tempat biasanya seseorang itu tinggal. Dalam bahasa agama itu disebut uzlah atau hijrah. Tetirah biasanya disandangkan kepada orang yang sedang dalam proses penyembuhan, baik akibat sakit pisik, mental, maupun sakit pikiran/batin.

Mudik juga sering dijadikan alasan bagi orang kota untuk tetirah secara periodik. Orang menarasikan Idul Fitri sebagai momentum ”kembali ke titik nol”. Secara sosiologis, mudik juga kerap diartikan sebagai momentum memperlihatkan hasil kerja keras di rantau. Karena itu, ini momentum bagi dua pihak untuk ”pamer” tentang sukses di rantau.

Apa pun keadaan kehidupan di kota, orangtua di kampung harus siap menyambut mereka. Sebuah sikap yang harus menerima anak-anaknya pulang dari pertempuran di kota dengan menyediakan perbekalan lahir batin. Sebagian perantau di kota tentu ada yang tercatat sebagai orang sukses dan karena itu akan berperan sebagai kasir keluarga yang juga menjadi kebanggaan keluarga.

Sebagian anggota keluarga yang lain akan sekadar menikmati kemewahan bernostalgia di kampung, disuguhi makan minum tidur gratis, dan hal-hal yang bisa men-charge kembali baterai mental untuk dibawa kembali ke kota setelah festival Lebaran usai.

 

Kesiapan Desa

Wacana larangan mudik guna memutus penularan virus Covid-19 telah semakin longgar. Masalahnya, sudahkah kita menimbang seberapa sanggup desa menyangga kedatangan orang dari kota, sementara desa sendiri tidak imun dari Covid-19. Bahkan lebih berat lagi karena di desa upaya pencegahan penyebaran virus pada kenyataannya lebih sulit jika warga umumnya menolak ”fakta” adanya Covid-19.

Selama dua tahun masa pandemi, saya pernah satu kali mengadakan kegiatan pelatihan pemberdayaan guru PAUD dengan mengambil tempat di wilayah perdesaan. Kala itu, setahun yang lalu virus Delta justru baru meningkat. Namun, para peserta menolak swab dan hanya mau menggunakan masker. Sementara itu, banyak mata menatap kami yang senantiasa menggunakan masker sebagai perilaku orang kota yang berlebihan.

Hal lain adalah soal pemulihan ekonomi keluarga. Tampaknya kita juga mesti menimbang keadaan ekonomi di kota yang belum sepenuhnya pulih akibat terdampak Covid-19. Sangat masuk akal jika orang kota butuh pulang ke desa untuk tetirah, sebab mereka hanya punya desa sebagai sanatorium sosial tempat mereka pulang dan tetirah setelah dihantam badai Covid-19.

Mungkin pemerintah pusat dan daerah perlu berunding bagaimana agar desa sanggup menyangga dirinya sendiri ketika banyak orang dari kota pulang dengan alasan mudik Lebaran dengan situasi mental dan batin kurang sehat. Mereka mungkin akan tinggal lebih lama sambil menunggu ekonomi di kota kembali pulih.

Mudik di era normal baru semoga mampu membangun kembali daya juang untuk hidup setelah babak belur dihantam makhluk mikroskopis Covid-19. Namun, tetirah atau pemulihan melalui Lebaran bukan hanya bagi mereka yang kelak akan balik lagi ke kota, melainkan juga bagi desa sendiri yang akan ditinggali sampah persoalan yang dibawa dari kota akibat Covid-19.

Selamat menikmati mudik!

 

rumah kitab

Merebut Tafsir: Mudik dan Tetirah

Oleh Lies Marcoes

Meskipun orang yang tinggal di kota punya udik (kampung), jangan dikira mereka bisa pulang kampung setiap saat. Baik bagi orang di desa maupun perantau di kota, desa seperti memiliki pintu imaginatif yang tak begitu saja bisa buka tutup setiap waktu. Pintu itu seperti punya jadwal kapan dibuka dan mengizinkan orang kota memasuki desa dengan sambutan bak tamu agung. Di luar jadwal itu orang akan dianggap pulang menyelinap tanpa ketuk pintu. Untuk pulang kampung, orang membutuhkan alasan: menengok orang tua bila dikabarkan sakit, membawa anak liburan, ada hajatan atau kumpul keluarga (belakangan disebut Reuni), atau untuk mudik Lebaran.

Pintu rumah orang tua yang ada di kampung tentu selalu terbuka bagi anaknya yang tinggal di kota untuk pulang di luar waktu-waktu yang telah dimaklumi. Namun orang tua butuh alasan untuk disampaikan kepada tetangga dan kerabat jika ada anaknya dari kota yang pulang sekonyong-konyong di luar waktu yang biasanya, atau tanpa faktor “pemanggil’ seperti ada kerabat sakit atau meninggal. Tanpa alasan itu orang akan bertanya-tanya kenapa pulang? kabar baik apa yang dibawa dari kota? naik pangkat? mau mantu? beli tanah? atau mau naik haji?

Jika sama sekali tak ada alasan- alasan itu apalagi untuk tinggal agak lama orang tua membutuhkan alasan. Untunglah dalam kosa kata terutama di Jawa ada satu istilah yang semua orang di kampung akan memakluminya; tetirah. Kata itu tampaknya begitu sakti. Orang tua di kampung dan orang yang pulang niscaya sangat bersyukur atas adanya istilah itu. Sebab tanpa istilah itu, tatkala orang dari kota pulang bukan pada waktu akan muncul berbagai dugaan yang menggamabrkan sebagai orang yang kalah berjuang di kota. Dan itu membuat kedua pihak, orang tua dan anak yang pulang merasa wirang- malu.

Tetirah merupakan sebuah istilah medis tradisional untuk menunjuk kepada situasi di mana orang membutuhkan waktu untuk istirahat lahir batin dengan cara mengungsi atau uzlah. Tetirah biasanya disandangkan kepada orang yang sedang dalam proses penyembuhan baik akibat sakit pisik yang lama atau sakit pikiran / batin. Dulu waktu saya kecil di kampung, tetangga kami Ibu Sersan pulang ke kampung halamannya untuk tetirah dengan meninggalkan anak-anaknya yang masih kecil dan hanya ditunggui anak sulungnya yang masih SMP. Saat itu Ibu Sersan sakit akibat ditinggal poligami hingga badanya kurus kering. Para tetangga pun maklum bahwa Ibu Sersan pulang untuk tetirah. Selama berbulan- bulan kami membangun dukungan kolektif bagi anak-anak yang seperti yatim piatu dengan ragam bantuan, makanan mengajak mereka main atau menginap. Ayah saya pernah meminjamkan gudang padinya untuk tetangga yang kerabatnya harus tetirah karena kena TBC.

Mudik juga sering dijadikan saat untuk tetirah. Seperti dimaklumi banyak orang glorifikikasikan Lebaran sebagai momentum “kembali ke titik nol” pulang ke hari yang fitri . Secara sosiologis mudik sering diartikan sebagai momentum untuk memperlihatkan hasil kerja keras di rantau. Mudik adalah saat -saat di mana orang tua siap dengan seluruh bekal yang mereka tabung selama satu tahun untuk menyuguhi anak cucu mantu dengan aneka ragam makanan kesukaan sambil mengenang masa kecil masing-masing. Sebagai anak yang sukses di kota, tentu di antara mereka ada yang berperan sebagai kasir keluarga besar dan itu juga menjadi kebanggaan keluarga. Sebagian anggota keluarga yang lain menikmati kemewahan bernostalgia disugungi secara gratis makan minum tidur yang jika dilakukan di tempat wisata atau hotel membutuhkan biaya yang tidak kecil.

Wacana untuk larangan mudik guna memutus penularan virus covid 19 sedang mengemuka. Kita sepakat mungkin kali ini yang di kota tak perlu ulang kampung dulu. Sebab telah banyak yang bertanya-tanya akankah desa sanggup menyangga penularan virus dari kota yang dibawa bersama mudik. Namun kita juga musti menimbang ketika di kota keadaan ekonomi memburuk, orang membutuhkan pulang kampung dan hanya punya desa bagi mereka untuk pulang dan tetirah.

Mungkin pemerintah pusat dan daerah perlu berunding bagaimana agar desa sanggup menyangga dirinya sendiri ketika banyak orang dari kota pulang dengan alasan mudik lebaran. Mereka mungkin akan tinggal lebih lama untuk tetirah karena ekonomi di kota sedang sakit.

 

Lies Marcoes, 31 Maret 2020.