Pos

Khitan Perempuan, Menjaga Kesucian?

ISU mengenai khitan perempuan hingga saat ini memang masih menjadi isu kontroversial, bukan hanya di dalam masyarakat Indonesia, melainkan juga di sejumlah negara muslim lainnya. Perdebatan mengenai isu ini terjadi antara lain karena sumber-sumber Islam otoritatif baik al-Qur`an maupun hadits Nabi tidak menyebutkan hukumnya secara eksplisit dan tegas.

Hal ini terungkap dalam diskusi Bahtsul Masail berjudul “Sunat Perempuan dalam Islam” yang digelar Yayasan Rumah Kita Bersama pada Rabu, 25 Mei 2022 di Aula Pondok Pesantren Luhur Al-Tsaqafah, Jakarta Selatan. Acara ini dihelat sebagai kegiatan Pra KUPI II di Jawa Tengah yang rencananya akan mengangkat sejumlah isu utama, di antaranya mengenai sunat perempuan dan kesehatan reproduksi.

Para peserta yang hadir dalam acara ini terdiri dari para ibu nyai dan kiyai muda yang merupakan anggota aktif lembaga-lembaga kajian keislaman berbasis referensi keagamaan klasik dan kontemporer di organisasi Islam seperti Lembaga Bahsul Masail (LBM) PBNU, LBM PWNU DKI Jakarta, Majelis Ulama Indonesia (MUI), perwakilan ulama Jaringan KUPI, para pengasuh pesantren, juga para peneliti dan pengkajian keislaman di Perguruan Tinggi Islam seperti UIN Jakarta, Institut Ilmu al-Qur`an Jakarta, dan Institut PTIQ Jakarta.

Lies Marcoes, Direktur Eksekutif Rumah KitaB, membuka diskusi dengan menegaskan, dengan mengutip data UNICEF 2021, bahwa ada lebih dari 200 juta perempuan termasuk anak-anak di 30 negara yang telah menjalani praktik sunat perempuan, dan Indonesia sendiri ternyata berada di peringkat ke-3 jumlah kasus sunat perempuan terbesar di bawah Mesir dan Etiopia.

Menurutnya, penelitian yang dilakukan di sejumlah daerah di Indonesia menemukan motif dilakukannya praktik khitan perempuan, di antaranya adalah bahwa khitan dapat menjaga kesucian anak perempuan dan kemuliaan keluarga. Karena khitan itu bertujuan untuk mengontrol hasrat-hasrat seksual perempuan yang tidak kuasa mengendalikan tubuhnya.

“Persoalan yang lebih mendasar dari sunat perempuan ada di level diskursus dan debat teologis. MUI mengeluarkan fatwa bahwa sunat perempuan adalah hal baik dan dianjurkan. Namun, para aktivis perempuan dan pemerhati hak kesehatan reproduksi perempuan merasa bahwa alasan diskursus sangat memojokkan dan merendahkan perempuan. Alasan yang mengemuka adalah bahwa sunat dilakukan dalam rangka mengontrol seksualitas dan libido seks mereka. Ini jelas persoalan. Seks perempuan hendak dikontrol karena dianggap buruk dan liar,” papar Lies.

K.H. Dr. (HC). Husein Muhammad, narasumber utama dalam diskusi ini, mengemukakan bahwa para ahli fikih sepakat bahwa khitan baik untuk laki-laki maupun perempuan merupakan tradisi yang telah berlangsung dalam masyarakat kuno untuk kurun waktu yang sangat panjang. Sebelum Nabi Muhammad Saw. lahir, tradisi ini berkembang di berbagai kebudayaan dunia. Khitan adalah “sunnah qadimah” (tradisi kuno). Kenyataan ini menunjukkan bahwa Islam sebenarnya tidak menginisiasi tradisi khitan perempuan. Dalam banyak ajaran, Islam mengakomodasi tradisi sebelumnya, tetapi dalam waktu yang sama ia juga mengajukan kritik, koreksi dan transformasi ke arah yang lebih baik, jika praktik-praktiknya tidak sejalan dengan misi dan visi Islam, yakni kemaslahatan dan kerahmatan semesta.

“Ada pertanyaan yang tersisa, untuk apa khitan perempuan dilakukan? Apakah ada manfaatnya? Apakah khitan yang tak lain adalah pelukaan atas bagian tubuh perempuan dan reduksi (pengurangan) atas kebahagiaannya, membawa manfaat bagi kesehatan reproduksi perempuan, sebagaimana yang diperoleh pada khitan laki-laki? Pertanyaan ini harus dijawab oleh para ahli medis, genecolog, sexolog dan para psikolog. Dan tak kalah pentingnya juga adalah mendengarkan suara perempuan sendiri,” tegas Kiyai Husein.

Kiyai Husein menambahkan bahwa sumber utama Islam, al-Qur`an, sama sekali tidak menyebutkan isu khitan, baik untuk laki-laki maupun perempuan. Sejumlah ulama menolak pernyataan ini, sambil mengatakan bahwa khitan disebutkan secara implisit dalam al-Qur’an melalui ayat, “Hendaklah kamu (Muhammad) mengikuti millah (agama) Ibrahim,” [Q.S. al-Nahl: 123]. Menurut mereka di antara “millah” Ibrahim adalah “khitan“. Ini merujuk pada hadits shahih al-Bukhari-Muslim dari Abu Hurairah, bahwa Nabi Ibrahim berkhitan pada usia 80 tahun.

“Sepanjang yang dapat terbaca dalam banyak buku tafsir, para ahli tafsir tidak membicarakan, mengurai atau bahkan tidak juga menyinggung sama sekali soal khitan yang dipahami dari ayat ini. Ayat ini sebenarnya berbicara mengenai hal fundamental dan pokok dalam doktrin agama, yaitu tentang keyakinan tauhid. Melalui ayat ini Nabi Muhammad untuk membebaskan diri dari penyembahan berhala dan berserah diri kepada Tuhan dengan mengikuti keyakinan Nabi Ibrahim. Jadi, ayat ini tidak ada sangkut pautnya dengan khitan perempuan,” jelas Kiyai Husein.

Dalam kesempatan ini, Jamaluddin Mohammad, Peneliti dan Riset Kajian Teks Klasik Rumah KitaB, menyebut sejumlah fatwa dan pandangan dari para ulama yang menyiratkan makna bahwa khitan perempuan bukan bagian dari Islam.

“Mari kita lihat, Syaikh Sayyid Sabiq, penulis kitab Fiqh al-Sunnah mengatakan bahwa khitan itu tidak wajib bagi perempuan, dan meninggalkannya tidak membuahkan dosa. Tidak ada di dalam kitabullah (al-Qur`an) maupun sunnah Nabi yang menetapkan bahwa khitan itu merupakan suatu yang wajib. Seluruh riwayat yang dinisbahkan kepada Nabi mengenai khitan perempuan adalah dha’if (lemah), tidak ada yang bisa dijadikan pijakan. Bahkan, Syaikh Ali Jum’ah, Mufti Nasional Mesir, mengeluarkan fatwa haramnya praktik khitan perempuan setelah mendengar kabar kematian seorang anak perempuan yang dikhitan karena dorongan para pemuka agama setempat,” ungkap Jamal.

Nabi Saw., menurut Jamal, melarang keras mengubah ciptaan Tuhan (taghyîr khalqillah). Khitan perempuan, secara kasat mata, adalah upaya untuk mengubah ciptaan Tuhan pada perempuan yang harus dilarang, dan agama menganggapnya sebagai perbuatan yang tak layak dilakukan. Seluruh organ keperempuanan bukanlah “lebihan-lebihan tak berarti” yang harus dipotong, masing-masing punya tugas dan fungsi sebagaimana organ-organ tubuh yang lain. Fungsi organ-organ keperempuanan adalah untuk membantu perempuan mencapai kepuasan seksual.

Ahmad Hilmi, Manajer Kajian Rumah KitaB, menjelaskan bahwa di dalam Islam acuan dasar dalam memutuskan hukum adalah maqâshid al-syarî’ah atau tujuan-tujuan universal syariat untuk melihat maslahat dan mafsadat suatu perkara. Tujuan-tujuan universal syariat yang dimaksud adalah: hifzh al-dîn (menjaga agama), hifzh al-nafs (menjaga jiwa/nyawa), hifzh al-‘aql (menjaga akal), hifzh al-nasl (menjaga keturunan), hifzh al-‘irdh (menjaga kehormatan), dan hifzh al-mâl (menjaga harta). Mengacu pada ini, menurut Hilmi, khitan perempuan sama sekali tidak memiliki dasar di dalam Islam (lâ ashla lahu) meskipun sebagian ulama membolehkannya.

“Di dalam kaidah fikih disebutkan mengenai bolehnya membatasi hal yang mubâh (boleh) atau bahkan melarangnya bila dipandang menimbulkan bahaya. Dunia medis telah menemukan beberapa fakta bahaya-bahaya yang muncul akibat khitan perempuan, dan itu bisa saja mempengaruhi kejiwaannya sepanjang hidup,” jelas Hilmi.

Setelah diskusi yang begitu panjang dan alot dengan menyajikan beragam pandangan ulama yang terdapat di dalam kitab-kitab klasik dan fakta-fakta medis yang memperlihatkan berbagai dampak buruk khitan perempuan, para peserta menyepakati bahwa Islam sesungguhnya tidak melegitimasi praktik sunat perempuan karena tidak ada manfaatnya dan tidak dapat menjamin kesucian perempuan. Hal ini didasarkan pada tiga argumen penting,

Pertama, khitan sama sekali tidak bisa menjaga kesucian perempuan. Sebab, secara ilmiah, otak merupakan sarana dalam tubuh yang darinya muncul hasrat-hasrat seksual perempuan. Perempuan yang telah menikah banyak terpengaruh oleh panca indera seperti penglihatan, penciuman, sentuhan, dll. Artinya, akallah yang sebenarnya mengendalikan dan mengarahkan hasrat seksual perempuan, bukan alat reproduksinya sebagaimana diyakini masyarakat. Hasrat seksual pada perempuan merupakan aktivitas yang sangat kompleks yang dapat dikendalikan oleh elemen-elemen integral seperti tingkat budaya dan lingkungan kemasyarakatan yang di dalamnya perempuan lahir.

Kedua, kesucian perempuan adalah masalah moral yang tidak ada hubungannya dengan khitan. Jika akal merupakan alat yang dapat mengarahkan perilaku seksual perempuan, berarti kesuciannya pun bersumber dari akalnya. Maka pendidikan dan pembekalan akal perempuan sejak kecil dengan moral, prinsip-prinsip keagamaan yang benar, pengetahuan dan hakikat-hakikat ilmiah yang benar, akan menjadikannya mampu membedakan antara yang benar dan yang salah, antara perilaku seksual yang sehat dan yang tidak sehat. Sementara perilaku seksual menyimpang perempuan baik sebelum menikah maupun setelah menikah itu bersumber dari kondisi lingkungan atau ketiadaan pengetahuan yang benar, dan khitan tidak ada sangkut pautnya dengan itu. Kesucian, sebagaimana diajarkan oleh seluruh agama, adalah ikhtiar yang bebas dan kecintaan terhadap kebaikan, bukan karena khitan.

Ketiga, anggapan sebagian orang bahwa perempuan yang tidak dikhitan akan melakukan banyak penyimpangan karena nafsunya yang tidak terkendali itu jelas sangat keliru. Karena penyimpangan terjadi pada perilaku manusia dan pandangan-pandangannya, bukan pada anggota-anggota tubuhnya. Mata, telinga, lisan, tangan dan anggota-anggota tubuh lainnya bisa melakukan penyimpangan, tetapi tidak berarti kita harus memotong atau merusaknya.

Sebuah hadits dari Nabi Saw. menyebutkan, “Di antara kebaikan Islam seseorang adalah meninggalkan sesuatu yang tidak bermanfaat baginya,” [H.R. al-Tirmidzi]. Karena khitan perempuan ternyata tidak membawa manfaat apapun dan sebaliknya justru membahayakan jiwa perempuan, maka berdasarkan hadits ini harus segera ditinggalkan dan dilarang.[]

Khitan Perempuan: Ditinjau dari Dalil Agama dan Tradisi

Oleh Muhammad Luthfi Dhulkifli

Dalam bukunya berjudul The Rights of Women in Islam: An Authentic Approach, Haifaa Jawad, seorang pemikir Muslim berkebangsaan Irak-Inggris sangat menentang bagaimana seksualitas perempuan selalu dijadikan terbelenggu dalam berbagai adat kebiasaan di seluruh dunia. Sebagai contoh, janda-janda peninggalan Fir’aun dikubur hidup-hidup untuk memastikan bahwa mereka tidak dapat memiliki hubungan dengan laki-laki lain. Ada pula budak-budak perempuan pada masa Roma Kuno yang diperintah memakai cincin-cincin pada labia majora (bibir kemaluan) untuk mencegah mereka dari kemungkinan hamil.

Boleh dibilang, hingga saat ini operasi kelamin yang kejam dan tidak berperkemanusiaan terus terjadi di beberapa tempat berbeda di dunia yang dikenal sebagai khitan perempuan (female genital mutilation). Terdapat kontroversi dalam praktik ini dikarenakan merupakan sebuah tradisi lama yang dilakukan dengan alasan berdasar pada budaya leluhur ketimbang alasan kesehatan.

Khitan perempuan merupakan pemotongan/perusakan organ genital perempuan. Khitan ini berbeda dengan khitan pria karena khitan pria memiliki kemaslahatan pada aspek kesehatan dan disepakati pelaksanaannya. Beberapa kalangan Muslim menyebut bahwa khitan perempuan merupakan fitrah dan tidak wajib, namun yang menjadi persoalan adalah praktiknya dalam masyarakat.

Di sebuah negara tertentu, pemotongan bahkan mencapai tingkat yang paling ekstrem ketika dua sisi yang dikhitan dijahit bersamaan, sehingga hanya menyisakan sebuah lubang yang sangat kecil untuk darah haid. Kondisi pemotongan ini dinamakan infibulation dan merupakan kondisi paling berat dari praktik tersebut. Diperkirakan, lebih dari 80 juta wanita telah mengalami pemotongan alat kelamin di seluruh dunia dan sekitar 5.000 wanita rentan mengalami pemotongan alat kelamin tiap harinya.

Menurut organisasi kesehatan dunia WHO, pemotongan alat kelamin/khitan perempuan mfemale genital mutilationeningkatkan potensi besar kematian ibu saat proses melahirkan dan resiko anak yang akan terlahir mati. Juga, beberapa wanita yang telah mengalami semacam operasi ini telah kehilangan hidup mereka karena pendarahan luar biasa yang dihasilkan dari goncangan akibat kehilangan darah yang berlebihan.

Saat ini, pemotongan alat kelamin perempuan dilaksanakan di lebih dari 20 negara. Di Indonesia, tepatnya pada tahun 2006 pernah diterbitkan surat edaran larangan bidan untuk mengkhitan perempuan, akan tetapi kemudian ditentang oleh MUI. MUI menganggap bahwa khitan perempuan merupakan makrumah (memuliakan perempuan). Surat edaran tersebut pun ditarik kembali dan direvisi pada tahun 2010.

Lantas, menjadi pertanyaan besar apakah pemotongan alat kelamin perempuan benar-benar sebuah praktik Islam yang didukung oleh al-Qur’an dan hadis? Atau ini hanya salah satu adat kuno yang telah mampu menerobos tradisi Islam dan kemudian dianggap sebagai sebuah ritual dalam prinsip Islam?

Pada dasarnya, al-Qur’an sama sekali tidak menyinggung khitan perempuan. Hal ini berarti tidak ada firman Tuhan yang ekslusif terkait praktiknya. Akan tetapi, terdapat beberapa hadis ataupun tradisi yang diduga menganjurkan tindakan khitan perempuan.

Salah satu hadis yang paling sering disebut adalah yang terkait Nabi melihat Umm Attiyah – seorang pengkhitan- yang kemudian memerintahkannya untuk “memotong sedikit saja dan tidak melakukannnya secara berlebihan karena itu lebih menyenangkan untuk para wanita dan lebih baik untuk suami”; “khitan adalah sebuah sunnah untuk pria dan makrumah (sebuah perbuatan yang mulia) untuk para wanita’; dan adakah sesuatu lain yang lebih baik daripada sebuah makrumah?”

Pengamatan yang lebih mendalam terhadap hadis-hadis terkait khitan perempuan mengungkap adanya perbedaan dan terkadang ada versi yang berlawanan. Selain itu, hadis-hadis tersebut secara umum dipandang sebagai hadis yang tidak shahih dan hadis-hadis lemah seperti dipaparkan oleh Mahmud Shaltout, mantan guru besar Universitas al-Azhar Kairo.

Dapat dikatakan bahwa khitan perempuan tidak memiliki landasan baik dalam al-Qur’an maupun sunnah. Syeikh Abbas, pimpinan Muslim Institute di Masjid Paris menguatkan pandangan ini: “khitan pria (meskipun tidak ada kewajiban) memiliki estetika dan tujuan kesehatan. Sementara, tidak ditemukan teks-teks keagamaan Islam yang dianggap mendukung khitan perempuan sebagaimana dibuktikan fakta bahwa praktik ini tidak dilakukan sama sekali di mayoritas negara-negara Islam. Dan jika memang masih ada orang-orang yang tetap melakukan khitan terhadap para wanita, ini kemungkinan dikarenakan adat-adat yang telah dilakukan sebelum masuknya orang-orang ini kedalam Islam.”

Praktik ini tidak lain hanya sebuah adat kuno yang telah dipadukan dalam tradisi Islam, dan seiring perjalanan waktu kemudan dilakukan dan diterima (di beberapa negara Muslim) sebagai sebuah perintah Islam. Hal ini juga didukung dengan beberapa argumen tentang beberapa isu yang tidak ada korelasinya seperti pengasingan, keperawanan, kesucian, kesopanan, dan poligami yang memicu atau menambah nilai dari praktik pomotongan alat kelamin perempuan.

Jadi, Islam sebenarnya tidak melarang khitan perempuan dan khitan ini bukanlah tradisi Islam. Khitan perempuan di beberapa daerah sudah dianggap sebagai kebiasaan yang sudah terinternalisasikan dalam diri masyarakat. Yang menjadi persoalan adalah adanya pemahaman yang berbeda antara masyarakat, ulama, dan pihak yang meyakini praktik ini sebagai syariat dan bagian dari adat. Hal ini seringkali bertentangan dengan keyakinan tenaga medis yang menganggap bahwa khitan tidak memberi manfaat dan lebih merugikan perempuan.

Terkait realita dalam masyarakat, peran yang lebih besar dari kubu tertentu akan menentukan sejauh mana tradisi ini terus berjalan. Wallahu A’lam.

Sumber: https://islami.co/khitan-perempuan-ditinjau-dari-dalil-agama-dan-tradisi/

PBB Serukan Diakhirinya Praktik Ancaman terhadap Perempuan dan Anak Perempuan

Dana Kependudukan PBB (UNFPA) menyerukan tindakan segera untuk menghentikan mutilasi alat kelamin perempuan, perkawinan anak dan praktik berbahaya lainnya yang dilakukan terhadap jutaan perempuan dan anak perempuan di seluruh dunia setiap tahun.

UNFPA mengemukakan seruan itu ketika menyampaikan laporan State of the World Population dari kantor pusat PBB di Jenewa, Senin (29/6).

Direktur UNFPA Mónica Ferro kepada wartawan menyatakan laporan itu mengutip sedikitnya 19 praktik penyewaan terhadap anak perempuan dan perempuan yang secara universal dikecam sebagai pelanggaran hak asasi manusia – mulai dari penyetrikaan payudara hingga pengujian keperawanan.

Ferro memaparkan studi itu juga menjadi terobosan karena praktik-praktik tersebut termasuk tindakan pelanggaran HAM. Studi itu menunjukkan setiap hari, ratusan ribu anak perempuan di seluruh dunia menjadi sasaran praktik yang membahayakan mereka secara fisik atau psikologis – dengan sepengetahuan dan persetujuan penuh dari keluarga dan komunitas mereka.

Ferro menambahkan tiga praktik yang meluas itu bersifat menghancurkan yaitu mutilasi alat kelamin, pernikahan anak dan keberpihakan pada anak laki-laki.

Sementara Ferro melaporkan “kemajuan,” dengan lebih banyak undang-undang yang dikeluarkan untuk mencegah penyalahgunaan itu dan para praktisi tradisional mengubah cara mereka, tetapi ia mengatakan pandemi COVID-19 dapat membalikkan kemajuan tersebut.

Ferro menjelaskan lockdown terkait pandemi telah memisahkan perempuan untuk mengakses layanan perawatan terkait dengan masalah medis dan rumah tangga, dan kasus-kasus kekerasan terhadap perempuan dapat meningkat. Ia mengakatan, “Kita tidak bisa memperlambat langkah” untuk mengatasi masalah ini. [mg/lt]

Sumber: https://www.voaindonesia.com/a/pbb-serukan-diakhirinya-praktik-ancaman-terhadap-perempuan-dan-anak-perempuan/5483771.html

Menyambangi Sunatan Massal Perempuan Terbesar di Indonesia

Di sebuah yayasan agama Kota Bandung, ratusan bocah hingga bayi perempuan disunat dalam momen tahunan. WHO dan berbagai dokter mengecamnya, namun mereka berkukuh ini ajaran agama.

oleh Adi Renaldi ; foto oleh Iqbal Kusumadirezza

Tangis Salsabila* seketika tak bisa dibendung lagi pagi itu. Farah*, ibunya, buru-buru membopong bocah satu tahun itu keluar klinik sambil sesekali mengusap wajah si bocah. Di luar ruangan, seorang perempuan tua berhijab mengulurkan satu kantong besar bingkisan dan sebuah amplop kepada Farah.

“Mungkin tadi dia takut atau kaget karena ramai,” kata Farah saat melangkah keluar klinik dan ditemui VICE. “Pas disunat malah enggak nangis dia.”

Selain Salsabila, ada 150-an anak perempuan lain yang mengikuti sunat massal, dari bayi usia 3 bulan hingga yang sudah 11 tahun. Sejak pukul 4 pagi, mereka berkumpul di teras sebuah gedung koperasi yang beberapa bagiannya disulap menjadi ruang khitan. Mereka datang dari berbagai daerah sekitar Bandung Raya. Tak ada persyaratan khusus buat turut serta. Orang tua cukup mendaftar lewat WhatsApp tanpa dikenakan biaya apapun.

Farah datang bersama suami dan anaknya pagi itu. Mereka berangkat dari rumahnya di pinggiran kota Bandung pukul 5 pagi dengan sepeda motor. Di depan gedung dia disambut dua perempuan yang duduk di belakang meja pendaftaran ulang. Farah kebagian antrean nomor 30.

Dia mengatakan telah merencanakan untuk menyunat putrinya jauh sebelum kelahirannya. Farah, seorang ibu rumah tangga yang juga berdagang kelontong, merasa kesulitan mencari dokter atau mantri yang mau mengkhitan anak perempuan. Terlebih, dia tak punya biaya buat itu. Maka mengikuti sunat massal itu menjadi pilihan paling logis buatnya. “Kebanyakan rumah sakit tidak mau menyunat anak perempuan,” kata Farah. “Jadi mending ikut di sini. Gratis dan dapat angpao juga.”

Yang paling mendasari niat Farah sebetulnya ada dua hal, selain angpao dan sunat gratis: tradisi dan agama. Semua perempuan dalam keluarga besarnya disunat. “Sudah tradisi,” kata Farah yang pagi itu memakai hijab warna merah muda, sembari memangku putrinya yang perlahan mulai tenang.

“Dulu saya juga disunat, dan mungkin nenek dari nenek saya juga disunat. Sudah jadi kepercayaan kalau disunat itu sesuai ajaran agama.”

 

1578422540169-sunat-massal-perempuan-24

Seorang ibu membawa dua anak perempuannya untuk disunat, tiba di gerbang Yayasan Assalaam Kota Bandung.

 

Sunatan massal itu rutin diadakan Yayasan Assalaam Bandung setiap tahun, saat Maulid Nabi Muhammad bulan Rabiul Awal dalam penanggalan Hijriyah. Yayasan itu didirikan Habib Ustman Al-Aydarus, salah seorang tokoh Nahdlatul Ulama (NU) Jawa Barat yang disegani, konon pernah mengkhatamkan Al-Quran lebih dari 6.000 kali semasa hidupnya.

Ulama 52 tahun itu, menurut cerita, adalah seorang penyayang anak yang kerap menyantuni yatim piatu. Pada 1938, Ustman mendirikan Yayasan Assalaam yang berkutat di isu sosial-keagamaan. Kini Yayasan Assalaam lebih dikenal sebagai lembaga pendidikan, yang membangun pesantren dan sekolah, dari TK hingga SMA, yang semuanya terletak di Jl. Sasakgantung, Kota Bandung.

Pada 1948, yayasan itu mulai mengadakan sunatan massal yang menjadi tradisi tiap tahun. Deden Syamsul Romly, ketua bagian penelitian dan pengembangan Yayasan Assalaam dan koordinator sunatan massal, mengatakan sunat massal diadakan setiap tahun untuk menghormati wasiat Ustman. “Semua diadakan semata demi meneladani sikap-sikap Nabi Muhammad, terutama adab bersuci atau thaharah,” tuturnya. “Ini sudah menjadi tradisi yang mendarah daging, buat kami maupun para peserta.”

Deden menjadi pria paling sibuk pagi itu. Dengan walkie talkie di tangan dia mondar-mandir memastikan jalannya acara sesuai jadwal. Dia tahu acara itu tak akan berjalan sesuai jadwal. Sebab antusiasme masyarakat selalu melebih ekspektasinya.

Dia mengantar saya berkeliling komplek Assalaam. Sebuah jalan sempit yang cuma bisa dilalui satu mobil, dan pasti menimbulkan macet saat jam berangkat dan pulang sekolah, memisahkan gedung koperasi dengan SD Assalaam yang menjulang dengan dua lantainya. Di sampingnya, berdiri madrasah tsanawiyah (setingkat SMP). Semua bangunan didominasi warna hijau.

“Gedung koperasi ini baru saja kami beli,” katanya dengan senyum lebar. “Sebelumnya sunatan massal diadakan di belakang gedung SD. Lebih tertutup.”

Total ada 230 anak laki-laki dan perempuan ikut khitan massal, sedikit melebihi kuota. Dia menargetkan jumlah anak perempuan yang turut serta di angka 130, tapi yang mendaftar mencapai 220 anak perempuan bulan ini. “Selalu seperti ini sepanjang tahun,” katanya sambil tersenyum kecut. Kuota dipatok lantaran biaya operasional, tambah Deden. “Kalau kuota tidak kami batasi, bisa seharian penuh acaranya.”

Setiap anak yang ikut sunat mendapat amplop berisi Rp200 ribu, ditambah bermacam bingkisan dan makanan. “Coba dikalikan dengan jumlah anak tadi, berapa dana yayasan yang sudah dikeluarkan?” dia tertawa. Deden mengatakan, tak ada batasan usia perempuan yang bisa mengikuti sunat massal. Dari mulai bayi baru lahir hingga perempuan paruh baya.

 

1578422600908-sunat-massal-perempuan-21

Salah satu anak perempuan yang kelar disunat memegang uang ‘hadiah’.

 

Lebih dari 200 juta perempuan ditengarai menjalani sunat perempuan di 30 negara, masih menurut WHO. Sementara di Indonesia, angka perempuan yang pernah menjalani prosedur sunat juga tinggi, jika merujuk pada laporan beberapa lembaga dunia. Data yang diperoleh Unicef pada 2016 menyebut Indonesia menempati posisi ketiga negara dengan prevalensi sunat perempuan tertinggi, setelah Gambia dan Mauritania, dengan angka 54 persen pada kelompok usia 14 tahun.

Setidaknya ada 13,4 juta perempuan Indonesia berusia atau kurang dari 11 tahun mungkin pernah menjalani khitan perempuan. Gorontalo berada di posisi teratas dengan angka 83.7 persen, Bangka Belitung 83.2 persen, lalu Banten 79.2 persen.

Adapun survei lembaga riset Population Council pada 2003 menyebut 96 persen keluarga melakukan sunat terhadap anak perempuannya sebelum menginjak usia 14 tahun. Angka itu mungkin belum mewakili fakta di lapangan. Sebab kebanyakan sunat perempuan dilakukan secara mandiri oleh keluarga dalam upacara privat, dengan bantuan mantri atau bidan, tanpa prosedur medis yang resmi.

Sunat perempuan, atau female genital mutilation/cutting (FGM/C), tidak diakui dalam dunia kedokteran lantaran tak memiliki manfaat medis. Menurut WHO, sunat perempuan justru membawa risiko kesehatan serius, dari pendarahan, kista, hingga komplikasi saat proses melahirkan. Pendek kata, sunat perempuan adalah pelanggaran terhadap hak-hak perempuan. Yang termasuk kategori FGM/C, menurut WHO, adalah semua tindakan memotong sebagian atau keseluruhan bagian luar genitalia perempuan, termasuk mengubah, atau melukai/menggores klitoris tanpa alasan medis yang jelas.

Ada empat tipe FGM/C menurut WHO:

  • Clitoridectomy, pemotongan sebagian atau seluruh klitoris, atau selaputnya;
  • Excision, pemotongan sebagian atau seluruh klitoris dan/atau labia minora dengan atau tanpa memotong labia majora;
  • Infibulation, mempersempit lubang vagina dengan selaput penutup, dengan memotong atau mengubah bentuk labia majora dan labia minora, tanpa melukai klitoris;
  • Serta tindakan lain yang melukai vagina tanpa tujuan medis, seperti menggaruk, menusuk, atau menggores area kelamin perempuan.

Deden tak sepakat dengan kategorisasi ilmiah tersebut. Dengan nada bangga, Deden mengatakan sunat perempuan massal yang dia kelola menjadi satu-satunya di Indonesia, terutama yang telah dilembagakan. Dia menolak jika sunat di Yayasan Assalaam disebut termasuk kategori FGM/C.

Menurutnya, tidak ada pemotongan ataupun tindakan yang melukai alat kelamin. Deden mengatakan, apa yang menjadi tradisi sunat di Assalaam adalah membuang selaput yang membungkus klitoris. “Coba anda lihat, tak ada anak yang menangis setelah disunat,” kata Deden. “Karena prosedurnya tidak seperti yang digambarkan media. Tidak ada darah.”

Praktik sunat perempuan di Yayasan Assalaam bukan tanpa penolakan. Pada 2006, sebuah tim dari WHO pernah mendatangi sunat massal tersebut untuk melihat langsung praktik khitan perempuan. Organisasi kesehatan PBB tersebut mendesak Assalaam buat menghentikan tradisi tersebut setelah mendapat laporan dari aktivis perempuan.

 

Tonton dokumenter VICE soal upaya dokter memulihkan luka traumatis akibat sunat perempuan:

 

Pada 2007 dan 2008, Yayasan Assalaam sempat menghentikan sunat massal perempuan menyusul ramainya pemberitaan dan desakan WHO. Deden mengatakan, selama dua tahun vakum tersebut, ulama di Yayasan Assalaam mengkaji lebih lanjut hukum sunat perempuan dalam ajaran Islam.

Banyak perdebatan soal sunat perempuan dalam mazhab Islam. Ulama mazhab Syafi’iyah berpendapat bahwa khitan wajib dilakukan terhadap laki-laki maupun perempuan. Mazhab Hanabilah dan Malikiyah berpendapat senada. Sementara mazhab Hambali memberi opini berbeda, dengan tafsir bila khitan wajib bagi laki-laki, dan keutamaan untuk perempuan—artinya bisa tidak dilakukan. Para ulama di Yayasan Assalaam sepakat dengan Hambali. Sunat perempuan bersifat makrumah, kata Deden. “Perempuan yang disunat itu dimuliakan sesuai telaah kami berdasarkan kajian hadis,” lanjutnya. “Dia bersinar di hadapan suaminya.”

“Selama ini perempuan kan susah mencapai orgasme, sunat bisa memberikan itu. Bukankah itu suatu bentuk keadilan?”

Deden menolak saat VICE meminta izin untuk melihat ruang tindakan saat prosesi khitan. Dia tak mau mengambil risiko untuk memicu perdebatan lagi di media, seperti 13 tahun lalu, selain karena alasan etika.

Pukul 9 pagi, suasana di Yayasan Assalaam berangsur sepi. Hanya tinggal beberapa anak menunggu giliran. Dr. Yanne Cholida, bersama seorang bidan dan lima ustazah asistennya, tengah sibuk membereskan meja kerja kayu—disulap menjadi tempat tidur dengan sehelai kain—yang baru saja digunakan untuk mengkhitan anak-anak perempuan.

Di atas meja ada lampu duduk yang masih menyala terang. Di sampingnya, tiga stoples plastik berisi kapas, jarum suntik bermacam ukuran, dan antiseptik luka, masih terbuka. Yanne memakai jas putih lengan pendek khas seragam dokter umum dan hijab krem pagi itu. Krim anti-jerawat terlihat di pipi kirinya.

Dia adalah cicit dari pendiri Yayasan Assalaam Ustman Al-Aydarus. Bahkan klinik tempat dia praktik cuma terletak beberapa meter dari gedung koperasi sunat massal itu. Sejak 2008, dia menjadi dokter utama di yayasan itu yang fokus pada praktik sunat perempuan, sambil memberi pelatihan pada para ustazah dan bidan.

Dia lulus dari Fakultas Kedokteran Universitas Jenderal Ahmad Yani, Cimahi, pada 2005. Yanne sempat menjadi relawan medis di pelosok Kabupaten Bandung. Alih-alih mengejar karir spesialisasi, Yanne mendapat sertifikasi di bidang hipnoterapi dan akupuntur. Selain membuka praktik sebagai dokter umum, Yanne juga menjalankan sebuah klinik kecantikan dan perawatan kulit.

Dia menjelaskan proses sunat perempuan selangkah demi selangkah, dari ukuran jarum yang diperlukan (semakin besar angkanya, semakin kecil ukuran jarum), hingga bagian apa yang dikhitan. Menurut Yanne, klitoris tertutup oleh selaput yang selain menghalangi sensasi seksual, juga berisiko menjadi tempat penumpukan kotoran (smegma).

Khitan yang dilakukannya, bermaksud membuang selaput klitoris itu, dengan harapan membuatnya lebih bersih dan meningkatkan kenikmatan orgasme, sekaligus menurunkan libido perempuan.

“Jadi hanya menggores saja kepala atau bungkus dari klitoris. Kalau dari segi medisnya, sekarang secara logika, sesuatu yang terbungkus dengan yang tidak dibungkus, lebih sensitif mana, kira-kira?” tanya Yanne. “Maka ketika klitoris itu terbuka, otomatis sensasinya lebih terasa.”

1578423028143-sunat-massal-perempuan-7

Jarum jam belum menunjuk angka 9, puluhan orang tua bersama anak-anak perempuan mereka sudah memadati halaman Yayasan Assalaam mengantre sunat. Ada yang datang ke lokasi sebelum subuh.

 

Yanne menolak bila tindakannya disebut bertentangan dengan anjuran lembaga kesehatan seperti WHO. Dia beranggapan, selama tidak ada pemotongan atau melukai, sunat perempuan yang dilakukannya aman. “Yang jelas kami tidak masuk dalam tiga tipe yang dikategorikan WHO sebagai mutilasi,” kata Yanne.

Selain sebagai dokter utama, Yanne juga melatih beberapa ustazah untuk menjadi juru sunat atau asisten. Awalnya para perempuan itu menjadi asisten Yanne selama beberapa bulan sampai dinilai sanggup menjadi juru sunat.

Aminah* mengaku telah menjadi juru sunat selama lima tahun. Dia tak punya latar belakang kedokteran sama sekali. Keahliannya didapat dari pengamatan dan praktik langsung dari para seniornya. “Saya menjaga amanah dari Yayasan saja,” kata Aminah tentang alasannya melakukan praktik khitan perempuan. Dia menolak menjelaskan lebih lanjut soal profesinya sebagai juru sunat, namun dia percaya profesinya tak melanggar peraturan apapun.

Pandangan pemerintah terhadap FGM/C yang tertuang dalam peraturan Kementerian Kesehatan masih abu-abu. Ia tidak sepenuhnya melarang sunat perempuan. Dalam Permenkes 2010, definisi sunat perempuan yang diperbolehkan merupakan tindakan menggores kulit yang menutupi bagian depan klitoris, tanpa melukai klitoris. Itu, menurutnya, berbeda dari FGM/C.

Permenkes tersebut telah diganti dengan peraturan 2014, yang menyebutkan bahwa sunat perempuan “pelaksanaannya tidak berdasarkan indikasi medis dan belum terbukti bermanfaat bagi kesehatan.” Namun karena secara tradisi sunat perempuan masih dilakukan, Kementerian Kesehatan hanya mengimbau supaya khitan perempuan “harus memperhatikan keselamatan dan kesehatan perempuan yang disunat, serta tidak melakukan mutilasi alat kelamin perempuan.”

Sikap Majelis Ulama Indonesia (MUI) bertolak belakang dari Kemenkes. Sepanjang tidak melukai berlebihan dan hanya menghilangkan kulup klitoris, fatwa MUI menghalalkannya.

Sementara itu, dunia kedokteran di Indonesia secara tetap tidak mengakui prosedur sunat perempuan. Ketika VICE berkunjung ke sebuah rumah sakit ibu dan anak di kawasan Kemang, Jakarta Selatan, pihak hubungan masyarakat mengaku tidak melayani atau menawarkan sunat perempuan. “Jika ada orang tua yang ingin anak perempuannya disunat, tidak bisa kami layani di sini,” kata petugas humas.

 

Dr. Mahesa Paranadipa dari Ikatan Dokter Indonesia (IDI) menilai klaim sunat perempuan dapat memberikan orgasme lebih dan menurunkan libido tidak bisa dipertanggungjawabkan secara medis. Sebaliknya, berdasarkan beberapa catatan ilmiah, sunat perempuan justru memicu disfungsi seksual dan kesulitan mencapai orgasme.

“Sunat perempuan tidak pernah diajarkan di bangku kuliah kedokteran manapun,” kata Mahesa. “Tidak ada panduan ilmiah tentang sunat perempuan. Sehingga seharusnya tidak ada dokter yang melakukan praktik sunat perempuan.”

Mahesa melanjutkan setiap dokter diikat oleh sumpah dokter dan kode etik. Di dalam kode etik diatur bahwa semua tindakan medis harus mengacu kepada standar profesi tertinggi. Lantaran tindakan sunat perempuan tidak memiliki standar kedokteran, maka jika ada dokter yang melakukan praktik tersebut dapat dikenakan sanksi, terutama jika menimbulkan dampak negatif bagi pasien, kata Mahesa.

“Masyarakat yang mengalami kerugian dari pelayanan dokter tersebut dapat mengadukan hal itu ke IDI,” tambahnya.

 

1578422899676-sunat-massal-perempuan-5

Salah satu orang tua menunjukkan antrean sunat anaknya.

 

Di Indonesia, dengan mayoritas penduduk beragama Islam, sunat perempuan adalah simpul rumit akibat persinggungan tradisi budaya dan ajaran agama. Di Sumatera Selatan ada tradisi Bakayekan, di Gorontalo ada Mo Polihu Lo Limu atau ritual mandi lemon, Suku Bugis punya tradisi Makatte, sementara di Jawa sunat perempuan disebut Tetesan.

Sunat perempuan jamak ditemui dalam tradisi masyarakat Sumatera Barat, Maluku, dan Madura. Sebuah kajian dari Universitas Indonesia pada 2016 menemukan dari 700 responden, 96 persen percaya sunat perempuan merupakan anjuran agama.

Lies Marcoes, peneliti lembaga Rumah Kita Bersama, pada 1998 pernah melakukan kajian soal sunat perempuan beberapa daerah Indonesia, bersama peneliti Perancis Andre Feillard. Dia mendapati sunat perempuan adalah tradisi komunal, alih-alih ritual yang bernilai religius. “Praktik sunat merupakan gabungan adat dan proses inisiasi atau penanda keislaman di sejumlah daerah di Nusantara.”

“Sunat dilakukan oleh dukun sunat dalam bentuk simbolis,” tulis Lies. “Ujung klitoris bayi/anak disentuh oleh kunyit atau menggunakan alat [pisau kecil, gunting, atau jarum].”

Di sejumlah daerah seperti Sulawesi Selatan, ritual ini dirayakan keluarga dengan pesta adat. Tapi di banyak tempat, ritual itu hanya diketahui ibu dan dukun yang melaksanakan. Tak jarang seorang anak tak pernah tahu jika dia pernah disunat, bahkan ketika telah dewasa. Feillard menyebut ritual itu sebagai “rahasia kecil” antar perempuan.

Dita Savitri, perempuan Muslim Jawa 23 tahun, termasuk yang percaya bahwa perempuan yang disunat termasuk dimuliakan. Dalam tradisi Jawa, sunat tak ubahnya tolak bala yang akan membawa kebahagian bagi perempuan kelak ia dewasa. Dalam prosesi tersebut, si anak dimandikan dengan kembang setaman sebelum dirias dan duduk di sebuah kursi lengkap dengan sesaji.

 

Tonton dokumenter VICE soal tradisi pesta gila-gilaan merayakan sunat di Sumedang:

Dita disunat saat usia 8 tahun lewat sebuah upacara tradisional dengan berbagai macam ritual tersebut. Keluarganya memang termasuk relijius serta memegang teguh adat Jawa. “Yang kuingat kayanya pahaku kayak dicolek gitu, dan enggak ada sakitnya. Soalnya aku enggak nangis waktu itu,” kata Dita saat dihubungi lewat pesan singkat.

Dari pengalamannya, Dita tak sependapat jika sunat berpengaruh terhadap orgasme. Kehidupan seksualnya tergolong biasa saja, tanpa libido yang menurun. “Kayanya enggak ada kaitannya deh antara orgasme sama sunat,” beber Dita. “Kalau ada klaim kayak gitu aku enggak tahu juga, tapi buatku enggak [pengaruh] sih.”

Dua bulan lalu Dita baru saja melahirkan seorang anak perempuan. Dia berencana menyunat anaknya, dalam ritual sama yang pernah dia jalani sewaktu kecil.

Saat hari beranjak siang, beberapa petugas tengah sibuk membersihkan gedung koperasi Assalaam. Ibu-ibu petugas yang sedari tadi duduk di meja pendaftaran tampak sedang merekap jumlah peserta sunat massal. Sementara Deden sedang bersiap ke acara selanjutnya. Siang nanti bakal ada tabligh akbar dihadiri sejumlah ulama penting dan pejabat Jabar. Sederet pertanyaan soal sunat perempuan tadi seakan masih mengganggu pikirannya.

Dia masih tak habis pikir kenapa banyak pihak yang berupaya melarangnya. Sebab, menurutnya, perdebatan antara agama dengan dunia kedokteran tak bakal menemukan titik terang.

“Ini soal akidah,” timpalnya. “Kepercayaan kadang tidak bisa dilogika bukan? Kami hanya menjalankan syariah. Itu saja. Kalau sampai dilarang kami jelas siap melawan.”

Terlebih, Deden melihat perkara perzinaan dan seks bebas sebagai akibat dari tingginya libido perempuan yang tidak bisa dikontrol. Maka menurutnya sunat perempuan adalah jalan menuju seks yang lebih sehat dan halal.

“Kadang kalau saya melihat perempuan yang kerap berganti-ganti pasangan, atau seks bebas terutama di kota besar, saya bertanya dalam hati, ‘kamu itu dulu disunat enggak sih?'” tandas Deden.


*Beberapa nama disamarkan untuk melindungi privasi. Adelia Rahma Santoso berkontribusi dalam liputan ini.

 

Sumber: https://www.vice.com/id_id/article/akwdb5/ritual-sunatan-massal-perempuan-terbesar-di-indonesia-bandung-sunat-perempuan-dilarang-kemenkes

Sunat Perempuan Indonesia

Siapa yang tak kaget ketika Unicef – Badan Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk Anak-Anak- meluncurkan hasil penelitian soal sunat perempuan. Menurut laporan itu Indonesia menjadi penyumbang ketiga tertinggi angka praktik sunat perempuan dunia.

Data Unicef 2016 mencatat 200 juta perempuan dan anak perempuan mengalaminya , naik 60 juta dari data tahun 2014 yang mencatat ada 140 juta praktik sunat di dunia. Di Indonesia, menurut penelitian itu, separuh anak perempuan usia 11 tahun ke bawah mengalami sunat.

Keterkejutan itu wajar karena kita seperti tak melihat praktik itu di kiri – kanan kita. Berdasarkan pengamatan panjang , tulisan ini berupaya memberi konteks dalam memahami isu ini.

Tahun 1998 bersama Andre Feillard, peneliti dari prancis, kami menulis artikel soal sunat perempuan di Indonesia untuk jurnal Archipel (Vol 56/1998). Tulisan ini memperlihatkan bahwa praktik sunat merupakan gabungan adat dan proses inisiasi atau penanda keislaman di sejumlah daerah di Nusantara.

Saat penelitian dilakukan, sunat perempuan hanya tradisi komunal. Sunat dilakukan oleh dukun sunat dalam bentuk simboli; ujung klitoris bayi/anak disentuh oleh kunyit atau menggunakan alat (pisau kecil, gunting, atau jarum). Di sejumlah daerah atau Sulawesi Selatan, ritual ini dirayakan keluarga dengan pesta adat. Maka orang tahu ada hajatan sunatan anak perempuan. Namun, di banyak daerah, ritual itu hanya diketahui ibu sang bayi dan dukun yang melaksanakan. Feillard menyebut ritual itu bersifat ”rahasia kecil” antar perempuan.

Ketika dunia mempersoalkan praktik itu dengan melihat akibat buruknya sebagaimana terjadi di Afrika Utara-utamanya Mesir, Sudan, Somalia, dan Etiopia-banyak pemerhati isu kesehatan reproduksi perempuan menengok ke Indonesia mengingat praktik ini banyak terjadi di negara-negara Islam. Sejumlah penelitian dilakukan, misalnya oleh Yayasan Kesejahteraan Fatayat. Penelitian-penelitian itu melihat bahwa sunat perempuan tak hanya dilakukan oleh peraji/dukun, tetapi juga oleh bidan atau petugas kesehatan. Penelitian itu juga melihat dampat kesehatannya. Kesimpulannya, sunat dilakukan dengan sejumlah kasus kecil infeksi, tetapi secara umum tidak ada persoalan pada kesehatan reproduksi permepuan sebagaimana praktik di Afrika.

Pro dan Kontra

Persoalan lebih mendasar ada dilevel diskursus dan debat teologis. MUI mengeluarkan fatwa bahwa sunat permpuan adalah hal baik dan dianjurkan. Namun, para aktivis perempuan dan pemerhati hak kesehatan reproduksi perempuan merasa bahwa alasan diskursus sangat memojokkan dan merendahkan perempuan. Alasan mengemuka adalah; sunat dilakukan dalam rangka mengontrol seksualitas dan libido seks mereka. Ini jelas persoalan. Seks perempuan hendak dikontrol karena dianggap buruk dan liar.

Debat pro dan kontra makin mengemuka ketika pemerintah melalui peraturan menter Kesehatan Nomor 1636 Tahun 2010 mengatur tata laksana sunat perempuan agar memenuhi standar kesehatan. Peraturan ini merespon berkembangnya praktik sunat yang ternyata tak hanya dilakukan oleh peraji di level komunitas, tetapi juga petugas kesehatan sebagai bentuk layanan medis atas permintaan pihak keluarga.

Munculnya permintaan itu secara sosiologis sejalan dengan menguatnya kehendak untuk beragama secara penuh. Itu berarti ada peningkatan anggapan bahwa sunat perempuan bukan sekedar tradisi budaya, tetapi bagian ajaran agama.

Tentu saja tak semua mazhab menganut pandangan itu. Dalam tradisi pemikiran keagamaan yang lebih puritan (pemurnian), sunat perempuan bahkan tak dikenal sebagai bagian dari ajaran agama melainkan bagian tradisi budaya. Oleh karena itu, Muhammadiyah menolak praktik sunat perempuan.

Pada perkembangannya, Permenkes yang semula dimaksudkan untuk mengawasi dan mengontrol tata laksana sunat agar tak memunculkan persoalan medis, dibaca lain oleh pihak berbeda. MUI, misalnya, menerima peraturan itu sebagai bukti bahwa negara merestui. Di sini Permenkes menjadi kontroversial di tengah meluasnya praktik medikalisasi sunat perempuan.

Dengan alasan untuk memenuhi permintaan konsumen, sejumlah Rumah Sakit Beralin (RSB)-apalagi yang berbendera agama-memberi layanan paket sunat dan tindik sebagai bonus melahirkan. Dan ketika praktik sunat itu diambil alih oleh lembaga pemberi layanan kesehatan, seperti rumah sakit atau dilakukan bidan, maka konsekuensinya ada tindakan operasi. Tindakan perlukaan, bagaimanapun bentuknya, adalah tindakan operasi. Ini berarti sunat bukan lagi tradisi yang dilakukan simbolik, tetapi tindakan medis.

Pemerintah melalui kemenkes menyadari kekeliruan intervensi mereka dalam praktik medikalisasi sunat perempuan itu. Karenanya Kemenkes melalui Peraturan No. 6/2014 mencabut peraturan Kemenkes sebelumnya No. 1636/2010. Namun hal ini tak dengan sendirinya mengakhiri praktik itu.

Tahun 2014 wartawan CNN, Saima Mohsin, melaporkan dari Bandung dalam satu hari ratusan bayi ”disunat” dalam rangka ulang tahun sebuah RSB. Dan praktik serupa itu menjadi hal yang biasa sebagai paket layanan kesehatan. Tidak mengherankan bahwa praktik sunat perempuan ada dan meluas di Indonesia.

Namun, sebagaimana dikemukakan Feillard, praktik itu tak banyak diketahui orang karena dianggap sebagai peristiwa biasa. Saking biasanya, bahkan seorang bisa tak tahu apakah anak perempuannya disunat atau tidak. Praktik ini menguat ketika ada permintaan ”pasar” yang dijawab dengan komersialisasi layanan medis.

Di titik ini laporan Unicef jelas sebuah fakta sosial yang perlu disikapi. Indonesia menjadi penyumbang ketiga praktik sunat perempuan ketika sunat bukan lagi sekedar tradisi melainkan telah menjadi bagian dari layanan medis yang berbiaya dan menguntungkan lembaga layanan.

Dalam waktu yang bersamaan masyarakat sedang gandrung meng-agama-kan hal-hal yang semula ”hanya” tradisi, seperti sunat perempuan itu. Maka sikap paling arif adalah menjadikan fakta itu penanda arah dan bagaimana negara bersikap dalam menghormati hak reproduksi anak perempuan dan perempuan,  seperti yang telah disepakati dlaam Konferensi Beijing.

Ditulis oleh Lies Marcoes, Direktur Rumah Kita Bersama, dimuat di Kolom Opini Harian Kompas, edisi Kamis, 18 Februari 2016.

Empat Alasan Menyoal Sunat Perempuan

Wartawan Jakarta Globe Bastiaan Scherpen yang mengutip laporan UNICEF menyebutkan ada 14 juta anak perempuan di Indonesia pernah mengalami sunat perempuan. Seorang perempuan Jawa yang kini tinggal di luar negeri begitu terheran-heran dan menyimpulkan bahwa itu sebuah laporan yang ridiculous—menggelikan. Menurutnya, sebagai orang Jawa yang tinggal di Yogyakarta, ia belum pernah melihat peristiwa itu. Sementara 14 juta bukanlah jumlah yang sedikit.

Tanggapan perempuan itu tak mengada-ada. Peneliti dari Perancis Andree Feilard yang saya bantu di lapangan dan kemudian menuliskannya di jurnal The Arsipel Perancis menyimpulkan bahwa praktik sunat perempuan telah digunakan sebagai simbol “pengislaman” namun diperlakukan sebagai sesuatu yang biasa, bahkan tak dianggap penting dan cenderung dilaksanakan sebagai sesuatu yang hanya menjadi “rahasia” atau urusan perempuan semata (ibu dan paraji sunatnya). Karena ini merupakan tradisi yang tak memiliki ketentuan, bahkan aturan medis, praktik sunat perempuan cenderung menjadi kebiasaan yang tak seragam. Dalam tradisi di Sulawesi Selatan, sunat perempuan diperlakukan sebagai upacara inisiasi yang lebih meriah dan bergengsi. Demikian juga di Jawa Barat. Selebihnya adalah peristiwa yang adem ayem.

Kita baru heboh ketika wartawan CNN meliput ratusan anak perempuan mengikuti prosesi sunat massal di sebuah klinik “syariah” di Bandung. Dan dari laporan itu, jelas bahwa ini bukan praktik simbolik, tetapi melukai kelamin anak hingga tergambar anak yang menjerit-jerit, bahkan menangis kejang.

Praktik ini semestinya menjadi sesuatu yang tak “dipersoalkan” sebagaimana perlakuan pada anak perempuan yang ditindik agar bisa menggunakan perhiasan anting-anting. Tak sedikit juga tindikan itu yang membuat telinga anak bisa infeksi dan atau membuat anak jadi trauma. Lalu di mana persoalannya dengan sunat perempuan?

Setidaknya ada empat persoalan sebagaimana dibahas dalam seminar internasional Seminar Internasional “Female Genital Mutilation/Cutting: Discussions from Social-Cultural and Health Perspectives” yang digagas oleh UNFPA Indonesia pada 17 September 2015 lalu di Jakarta:

Pertama, sunat perempuan terkait dengan anatomi yang ada dalam tubuh perempuan, yaitu vagina dan clitoris-nya. Itu merupakan sumber syaraf yang berpengaruh pada penikmatan seksualnya. Juga terkait dengan alat dan fungsi reproduksinya. Jika terjadi infeksi—berbeda dari infeksi daun telinga—pada vagina akan berpengaruh pada alat dan funsgi reproduksinya.

Kedua, sunat perempuan merupakan tradisi. Namun tradisi itu mengalami proses “pengagamaan” di mana argumentasi keagamaan digunakan sebagai dasar praktik sunat itu. Seluruh debat antara setuju dan tidak setuju, antara mempraktikkan dan tidak mempraktikkan sunat itu mengambil rujukan teks keagamaan, dan karenanya menjadi sulit “dibicarakan”. Terlebih ketika agama menjadi acuan dan tolok ukur “kesalehan” dan tradisi tak gampang disaring dari praktik keagamaan. Makin besar gairah beragama di masyarakat, makin besar kemungkinan praktik sunat di-“Islamisasikan”.

Ketiga, karena terkait dengan anatomi tubuh manusia, praktik sunat perempuan mau tidak mau harus menjadi bagian dari persoalan kesehatan. Masalahnya, di dalam ilmu anatomi dan kedokteran, apa yang disebut dengan “kulit ari penutup clitoris” sama sekali tak dikenal dan tak mewujud. Ini berbeda dengan daun telinga yang wujudnya ada. Jadi, meskipun menindik adalah bagian dari tradisi, namun anatomi yang hendak ditindik memang ada, yaitu ujung bawah daun telinga. Pada sunat perempuan, dunia medis modern sama sekali tak menemukan “benda” itu. Kulit ari tipis yang menutupi klitoris hanyalah imaginasi tradisi dan agama dan karenanya pihak medis harus cari akal untuk “mengakui” keberadaannya mengingat kebenaran agama dalam waktu dan konteks dianggap harus lebih unggul dari kebenaran science.

Keempat, dan yang paling rumit adalah soal pemaknaan. Meskipun sunat itu seringkali dilakukan dalam bentuk simbolik seperti dengan mengusapkan kunyit yang dibentuk runcing atau betadin, namun gagasan soal mengapa sunat perempuan dilakukan berasal dari cara pandang yang menganggap nafsu perempuan syahwat liar dan perlu dikontrol. Anggapan itulah yang lebih berbahaya dari praktik sunat itu sendiri. Sebab kontrol atas tubuh, seksualitas, pikiran, dan kehendak perempuan diawali dari praktik sunat perempuan itu.

Karenanya sangatlah menarik pernyataan Ibu Sinta Nuriyah dalam keynote speech-nya bahwa seluruh perempuan dalam keluarga Hasyim Asy’ari, kakek KH. Abdurrahman Wahid, tidak pernah disunat. Bukan saja karena itu tak punya dalil teksnya, tapi karena praktik itu dianggap merendahkan apa yang telah dikaruniakan Allah kepada manusia. []

Ilustrasi dari StockVault.