Pos

Kisah penjual sayur keliling di Pulau Kulambing, korban kekerasan rumah tangga yang kampanyekan risiko pernikahan anak

Seorang penjual sayur, korban kekerasan rumah tangga, mengkampanyekan risiko pernikahan anak sambil mendorong gerobak jualan, langkah yang membantu menurunkan angka perkawinan dini.

Pernikahan anak berlangsung secara turun temurun di dua pulau kecil Desa Mattiro Uleng, Kabupaten Pangkajene dan Kepulauan (Pangkep), Sulawesi Selatan.

Namun beberapa tahun terakhir, tradisi itu perlahan ditinggalkan berkat kampanye risiko pernikahan di bawah umur yang digelorakan Indotang, pedagang sayur yang menjadi aktivis pencegah pernikahan anak.

“Dulu saya korban KDRT (kekerasan dalam rumah tangga),” ujar Indotang, yang selama dua belas tahun terakhir membesarkan anak perempuan satu-satunya sendirian, setelah menceraikan sang suami delapan bulan usai ia melahirkan.

Indotang, yang menikah di usia 18 tahun, bukan korban pernikahan anak. Namun, pengalamannya ketika berada dalam ikatan perkawinan yang tidak sehat, berbagai kisah pilu kasus pernikahan di bawah umur yang didengarnya, hingga mimpi untuk melihat anak perempuan semata wayangnya hidup lebih baik, cukup untuk membuatnya berempati dan tergerak untuk menghentikan siklus tersebut.

“Saya bertekad, kalau ada begitu (pernikahan usia anak), saya akan menghapuskannya supaya ke depannya tidak ada lagi,” ujarnya lantang.

Peta Pulau Kulambing dan Pulau Bangko-Bangkoang

Berdagang sayur sambil kampanye

E cakalang e, panasa lolo, boddo-boddo, lawi-lawi, tempe, tahu…” pekik Indotang sambil mendorong gerobak birunya yang dipenuhi beragam jenis sayur dan lauk pauk, satu sore pertengahan Juli lalu saat BBC News Indonesia mengunjungi kampung halamannya di Pulau Kulambing, Desa Mattiro Uleng, Kabupaten Pangkep, Sulawesi Selatan.

“Kalau ndak pagi, jam-jam tiga begini banyak ibu-ibu yang kumpul di luar rumah,” ujar Indotang, dengan dialek Bugis, menjelaskan alasannya berjualan sayur di sore hari, “biasanya untuk siapkan makan malam.”

Indotang aktivis anti-pernikahan usia anak

Sejumlah warga yang membeli sayur di gerobak Indotang bukan cuma mendapat bahan masakan, tetapi cuma pengetahuan tentang risiko pernikahan usia anak

 

Benar saja, belum jauh kami berjalan dari rumah Indotang yang berada di pinggir pantai, beberapa perempuan tampak berkumpul sambil bercengkerama santai di halaman depan. Mereka mulai menghampiri Indotang saat ia menghentikan gerobaknya di depan rumah mereka.

Sembari menawarkan barang dagangannya, Indotang langsung mengeksekusi misi keduanya: mengampanyekan risiko pernikahan usia anak kepada para pembeli.

“…Jangan dulu menikahkan anak (di bawah umur), karena itu akan berdampak pada kita sebagai orang tua,” tuturnya akrab sambil membungkuskan sekantong kecil ikan teri untuk salah satu pelanggannya.

Selepas itu, Indotang mendorong lagi gerobak sayur ke gang berikutnya, “e cakalang e, pao lolo, utti, bonte…” teriaknya lagi menjajakan ikan dan sayur mayur.

Sekelompok warga kembali mengerubuti gerobak Indotang. Kampanye pun berlanjut.

“…(Pernikahan anak) berisiko pada alat reproduksi anak perempuan kita, beda kalau dengan anak laki-laki, itu tidak apa-apa,” beber Indotang sambil memilihkan ikan cakalang yang paling segar untuk salah seorang pembelinya.

“Jangan seperti dulu, masih memakai adat bahwa kalau anak kita tidak dinikahkan, tidak ada lagi yang akan melamar. Sekarang sudah zaman now, bukan zaman dulu,” imbuhnya disambut tawa sejumlah pembeli.

Indotang aktivis anti-pernikahan usia anak

Indotang menerima penghargaan dari Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, Yohana Yembise, sebagai pelopor pencegahan perkawinan anak Desember 2018 lalu

 

‘Wejangan’ itu ia sampaikan setiap hari, setiap kali bertemu warga yang berbelanja sayur di gerobaknya. Sebagian bahkan tampak tak lagi mendengarkan seksama pesan yang tak henti-hentinya diulang Indotang sejak lima tahun lalu.

Meski demikian, hal itu ia anggap efektif untuk mengingatkan dan meningkatkan kesadaran masyarakat tentang bahaya pernikahan di bawah umur yang sudah menjadi tradisi di Mattiro Uleng.

“Kan memang dulu adat istiadat itu kan masih berlaku,” ujarnya, “dia menganggap sepele (pernikahan usia anak), karena tidak tahu risikonya apakah ini berdampak kepada anak atau kita.”

Indotang ingin para orang tua lebih memedulikan nasib anak-anak mereka yang dinikahkan di kala fisik dan mental mereka belum ‘matang’.

Tak jarang, pernikahan itu tak hanya dilangsungkan karena budaya yang mereka yakini – yang menganggap pamali jika menolak rezeki berupa lamaran orang lain – tetapi juga akibat faktor ekonomi.

“Banyak juga yang beranggapan begini: kalau saya mengawinkan anak perempuan saya, itu kan keluar dari beban saya, sudah kurang lagi beban (ekonomi) saya.

“(Tetapi) yang menanggung risiko kan anak, misalnya terjadi KDRT, dia berpisah, bercerai. Kan minimal anak perempuan yang jadi korban, terus orang tua juga tidak mungkin kan tidak ada penyesalan,” imbuhnya mencontohkan.

Perlahan meninggalkan praktik perkawinan anak

Indotang mulai aktif berkampanye lima tahun lalu. Ia bergabung dengan lembaga swadaya masyarakat (LSM) yang bergerak dalam isu kesetaraan gender dan pemberdayaan perempuan bernama Sekolah Perempuan Pulau.

Masa-masa awal dirinya mengampanyekan risiko pekawinan anak tidak mudah, sebab sebagian warga menolak pesan yang dibawanya.

“Dulu-dulu banyak juga yang kayak ‘apa itu (risiko pernikahan usia anak)? Dia kan anakku (bukan anakmu)’, itu jadi tantangan buat saya,” imbuh Indotang.

Dua tahun pertama, akunya, ia dan LSM tempatnya bernaung sempat dituduh macam-macam oleh warga dan tokoh masyarakat.

“Kita dulu dikata-katai aliran sesat,” ujar Indotang.

Namun, perlahan sikap masyarakat berubah setelah ia duduk bersama dan menjelaskan tujuannya.

Indotang aktivis anti-pernikahan usia anak

Sapiana (kanan) rutin mendengar ‘wejangan’ Indotang tentang bahaya pernikahan usia anak setiap ia membeli sayur dari gerobaknya

Sejak tiga tahun terakhir, sebagian besar masyarakat tidak keberatan dengan aksi Indotang yang berjualan sayur sambil berkampanye. Beberapa justru mengaku apa yang disampaikan Indotang bermanfaat.

Seperti Sapiana, warga Pulau Kulambing yang punya anak perempuan yang masih duduk di kelas satu SMA. Ia mengaku bahwa anaknya pernah dilamar sepupunya sendiri saat masih duduk di bangku SMP.

Saat lamaran tiba, Sapiana otomatis teringat risiko pernikahan usia anak yang kerap didengarnya dari mulut Indotang saat ia berjualan.

“Selalu kuingat itu pesan-pesannya (Indotang),” tuturnya, “ada cerita (pernikahan anak) di bawah umur (yang jadi) sakit-sakitan, sempat bilang (soal) dampaknya di belakang.”

Ia lantas memutuskan untuk menolak lamaran tersebut.

“Saya kasih tahu saja (pelamarnya), ‘tunggu, dia kan baru tamat SMP. Tunggu tamat SMA dulu, kalau ada jodohnya bisa ketemu lagi’,” ungkap Sapiana.

Ucapan Indotang juga terngiang di benak Nada, warga lainnya.

Berbeda dengan Sapiana, Nada sudah terlanjur menikahkan anak perempuannya yang berusia 17 tahun.

“Bapaknya ndak ada, jadi saya nikahkan lebih cepat, karena ada yang lamar,” imbuhnya.

Meski demikian, Nada mengaku tidak akan melakukan hal yang sama terhadap anak perempuannya yang lebih kecil setelah mendengar berbagai kisah dari Indotang.

Ia berharap mampu menyekolahkan anaknya hingga lulus SMA.

“Maunya saya sih menyekolahkan,” tutur Nada, “karena berbahaya juga untuk janinnya kalau (menikah) masih muda.”

Gotong royong cegah pernikahan di bawah umur

Upaya Indotang bertahun-tahun tidak sia-sia.

Satu per satu tokoh masyarakat setempat yang sebelumnya memandang sebelah mata kampanyenya, justru kini berbalik menyokongnya.

Salah satu tokoh masyarakat yang mendukung Indotang sejak awal adalah Tepo. Ia yang menjembatani Indotang dengan para tetua dulu.

Tepo mengaku bahwa ia sudah sejak dulu menentang pernikahan usia anak.

Meski mengakui adanya aspek tradisi dalam praktik tersebut – bahkan ia menyebut adanya budaya perjodohan oleh orang tua dari sejak anak mereka masih berada dalam kandungan – Tepo menilai faktor ekonomi lah yang mendorong suburnya pernikahan usia anak di desa Mattiro Uleng.

“(Kondisi) ekonomi (yang) tidak mampu sehingga terjadi seperti itu (pernikahan usia anak). Menurut pandangan saya, mulai dari dulu sampai sekarang ya ekonomi (penyebabnya),” tutur Tepo yang kini sudah berada di usia senja.

Ia juga memahami bahwa pernikahan anak berarti “merampas hak anak-anak”.

“(Sayangnya) orang boleh dikatakan mau menempuh pendidikan, tapi apa boleh buat, (ada) hak orang tua (untuk menikahkan), jarang anak menolak,” imbuhnya.

Alasan kondisi ekonomi sebagai biang keladi juga diamini oleh tokoh masyarakat lainnya, Alimaphan.

Imam Desa Mattiro Uleng itu menganggap bahwa aspek lemahnya ekonomi masyarakat berperan besar terhadap langgengnya praktik pernikahan anak di pulaunya.

“Kalau lagi bapaknya (pengantin anak perempuan) ndak ada kerjaan, susah cari uang, (lalu) tiba-tiba ada yang melamar gitu, lihat orangnya sudah bagus, sudah ada pekerjaan, ya tinggal terima (lamarannya),” paparnya.

Sekarang, Alimaphan juga ikut mengampanyekan pencegahan pernikahan anak di sana. Baik ia maupun Tepo, sebagai tokoh masyarakat yang biasanya didatangi para orang tua yang ingin menikahkan anak mereka, selalu mengingatkan agar usia para pengantin harus sudah dewasa.

“Kalau memang ada yang, istilahnya orang sini, mak duta (melamar), tolong lihat umurnya dulu lah, apa sudah cukup umurnya?” ujar Ali.

Sementara itu, pemerintah desa Mattiro Uleng juga menangkap kekhawatiran Indotang yang berusaha menghentikan siklus perkawinan anak yang turun temurun di sana.

“Sudah ada surat edaran untuk melarang anak usia di bawah umur untuk menikah,” ungkap Lukman Jurumiah, kepala desa Mattiro Uleng.

Kepala Desa Mattiro Uleng bersama BPD mengimbau kepada seluruh masyarakat untuk tidak melakukan: PERNIKAHAN ANAK USIA MUDA YAITU DI BAWAH UMUR 18 TAHUN, bunyi penggalan surat edaran tersebut.

“Pada intinya, imbauan untuk menyadarkan masyarakat bahwa usia anak itu mestinya duduk di sekolah, bukan untuk mengurus rumah tangga,” jelas Lukman.

Selain itu, pemerintah desa Mattiro Uleng juga telah bekerja sama dengan sejumlah instansi lain untuk mencegah praktik tersebut.

“Saya sudah sepakat dengan mungkin dari KUA kecamatan bahwa kami tidak akan memberikan surat izin untuk menikah,” tuturnya.

Tren pernikahan usia anak di Sulawesi Selatan

Dalam laporan Badan Pusat Statistik (BPS) yang didukung oleh UNICEF tahun 2016 lalu, Sulawesi Selatan – provinsi di mana Desa Mattiro Uleng, Kabupaten Pangkajene dan Kepulauan, berada – menduduki peringkat 20 provinsi dengan tingkat prevalensi pernikahan usia anak tertinggi di Indonesia.

Secara kasat mata, ranking itu jauh lebih baik ketimbang provinsi-provinsi tetangga, seperti Sulawesi Tengah, Sulawesi Barat, dan Sulawesi Tenggara yang bertengger di posisi lima teratas.

Grafik prevalensi pernikahan usia anak di Sulawesi selatan

Meski demikian, tren prevalensi perkawinan anak di Sulawesi Selatan tak bisa disebut membaik.

Pasalnya, dari data tersebut, angka prevalensi dari tahun ke tahun masih tidak stabil dan justru meningkat cukup tajam pada tahun 2015.

Di Kabupaten Pangkajene dan Kepulauan, data pernikahan anak yang direkam pemerintah berasal dari jumlah laporan dispensasi kawin (pengajuan izin untuk menikahkan anak di bawah umur) di Pengadilan Agama Pangkajene.

Angka laporan dispensasi kawin di Pengadilan Agama Pangkajene

Serupa dengan data BPS-UNICEF, selama lima tahun terakhir, jumlah laporan dispensasi kawin yang diterima pengadilan pun tidak stabil.

Menurut Amir Indara, panitera Pengadilan Agama Pangkajene, alasan pengajuan dispensasi oleh orang tua beragam.

“Pada prinsipnya, orang tua mau menikahkan anaknya karena sudah ada yang melamar. Alasannya, dari pada di luar tidak terkontrol, lebih baik dinikahkan,” ungkap Amir.

Ia menjelaskan, bahwa sebelum menjalani sidang dispensasi kawin, sebenarnya para orang tua, termasuk anak-anak calon pengantin, diberi pemahaman tentang risiko yang mereka hadapi dengan menikah dini, termasuk risiko bercerai karena belum matangnya kondisi mental pengantin.

Usia minimal perempuan menikah 16 tahun dan laki 19 tahun

“Ada (pengantin anak yang) mengajukan perceraian, karena itu, kelabilan berpikir itu, sehingga ada beberapa yang ujung-ujungnya cerai,” bebernya.

Orang tua dan pengantin anak juga disarankan untuk menunda pernikahan hingga memenuhi usia minimal untuk dapat menikah.

Sayangnya, menurut Amir, “cuma satu-dua orang yang seperti itu. Kebanyakan memang, istilahnya, suka sama suka yang paling dominan.”

Pernikahan usia anak

Terkait usia minimal seseorang untuk menikah sendiri, DPR masih memiliki pekerjaan rumah untuk menentukan batas usia minimal perempuan dalam perkawinan hingga akhir tahun 2021.

Hal itu diamanatkan keputusan Mahkamah Konstitusi pada Desember lalu, yang mengabulkan sebagian gugatan uji materi UU 1/1974 tentang Perkawinan.

MK salah satunya memutuskan bahwa perbedaan batas usia perkawinan antara laki-laki dan perempuan bisa menimbulkan diskriminasi.

Saat ini, usia minimal perempuan untuk dapat menikah adalah 16 tahun, sementara untuk laki-laki 19 tahun. MK menilai hal itu bertentangan dengan UUD 1945 dan UU Perlindungan Anak yang mengkategorikan anak sebagai seseorang yang berusia di bawah 18 tahun.

Sumber: https://www.bbc.com/indonesia/indonesia-49094275?fbclid=IwAR2b0j_y9PqQ3Dh5pWRWpwjrr7IxuBHs8v3DPQDSASJz7vYYsNMfZO0Ua_o

Ibu Haji Usman dan Kenaifan Kita Soal LGBT

Artikel ini ditulis oleh Andi Saiful Haq di Qureta.com, di-repost oleh Rumah KitaB.

Saya lebih dulu menjelaskan identitas saya, bukan karena takut dicap Homophobia atau dicap salah satu dari kelompok LGBT. Saya hanya menjelaskan posisi gender saya dan cara pandang saya, agar tulisan ini bisa sampai pada maksud dan tujuan penulisannya. 

Saya berdarah Bugis, meski bagi saya Andi hanyalah sebuah nama, namun gelar Andi di depan nama saya menunjukkan strata sosial keluarga saya dalam sistem sosial masyarakat Bugis-Makassar. Andi betul adalah gelar yang digunakan Belanda untuk mempermudah sistem administrasi mereka.

Karena kemalasan mereka merinci, kekayaan istilah dan penyebutan dalam sistem sosial, mereka menggunakan Andi sebagai gelar generik dalam sistem administrasi mereka. Orientasi seksual saya Hetero, sudah menikah dan memiliki seorang anak.

Oke, jelas yah? Oh iya, saya tidak menikah hanya untuk kamuflase murahan, atau hanya sekedar untuk menipu orang tua dan tetangga saya tentang kesejatian menjadi laki-laki dan perempuan. Sekarang, mari kita mengunjungi Ibu Haji Usman.

Ibu Haji Usman di Mata Orang Bugis

Namanya Haji Usman, dia sudah menunaikan ibadah Haji, setiap hari bekerja sebagai Indo’ Botting, profesi yang jika diterjemahkan secara sembarangan adalah Event Organizer atau Sewa Menyewa Pakaian Pengantin.

Namun makna Indo’ Botting jauh lebih dalam dari sekedar itu. Indo’ Botting punya peran sakral dalam pernikahan Orang Bugis. Tidak terlepas orang Bugis tersebut sudah memeluk agama Islam atau agama lain, ada adat yang tidak bisa mereka lepaskan. Boleh Pak Imam menikahkan, boleh juga Catatan Sipil meregistrasi pernikahan, tapi tanpa Indo’ Botting pernikahan pasangan Bugis Makassar tidak akan dianggap sah.

Sebut saja tradisi Mappasikarawa, menikahka secara batin mempelai laki-laki dan perempuan. Atau Mappacing atau Korontigi adalah prosesi yang wajib ada dalam pernikahan. Di sana peran sentral Indo’ Botting dibutuhkan. Mulai dari mengatur duduk para undangan, jumlah daging yang harus dimasak, hingga peralatan upacara adat, hanya boleh dikomandoi oleh Indo’ Botting.

Begitulah Haji Usman, hampir semua keluarga saya dinikahkan oleh beliau. Di kampung saat ada acara pernikahan, dirinya selalu berpakaian layaknya perempuan yang lain, duduk bersama mereka, yang paling penting, sapaannya adalah ‘Ibu Haji.’

Jika Anda berjalan ke kampung saya, Kabupaten Soppeng, sekitar 180 kilometer dari Kota Makassar, Anda boleh tanyakan nama Ibu Haji Usman, hampir semua orang mengenalnya. Semua berlangsung biasa dan tidak ada yang aneh. Paling anak-anak kecil yang tertawa-tawa melihat tingkah Ibu Haji Usman.

Bagi Ibu Haji itu adalah bukti bahwa dirinya dicintai, dia akan menghampiri dan membagi-bagikan permen atau uang pecahan kecil. Lalu anak-anak itu mencium tangan tanda terima kasih, meskipun tetap saja menertawakan Ibu Haji. Bagi orang Bugis itu boleh dilakukan oleh anak kecil. Tidak ada kekakuan dan pertentangan sosial yang timbul di sana, semua terjadi dalam harmoni.

Semua orang Bugis Makassar secara sosial berinteraksi langsung dengan kelompok LGBT. Posisi peran sosial karena perbedaan gender itu bahkan menciptakan saling ketergantungan satu sama lain. Terutama mereka yang memiliki strata sosial sebagai Arung atau Karaeng yang dalam Bahasa Indonesia disebut Bangsawan.

Di masa kanak-kanak, setiap penggalan hidupnya, baik anak laki-laki maupun perempuan, pasti pernah merasakan sentuhan kasih dari kelompok yang sekarang lagi beken disebut LGBT. Tapi tidak semua orang Makassar tahu apa itu LGBT dan mengapa dia jadi begitu meresahkan banyak orang belakangan ini.

Karena bagi mereka, dalam setiap penggalan-penggalan penting kehidupan Orang Bugis-Makassar, persoalan gender tidak pernah dipersoalkan. Semua mendapat tempat dan peran sosialnya. Anda tentu tahu bagaimana anak laki-laki dalam sistem feodal, dia adalah pelanjut darah kebangsawanan. Untuk mendidik dan membesarkan Sang Putra Mahkota saja dipercayakan kepada gender yang khusus.

Rumah Orang Bugis dan Kampanye LGBT

Jika Anda berjalan ke beberapa daerah di Sulawesi Selatan, Anda wajib mengetahui hal ini. Bola dan Saoraja, keduanya merujuk kepada kata rumah, atau tempat tinggal, yang membedakan hanya simbolik untuk menandai stratifikasi sosial dalam masyarakat Bugis.

Saoraja adalah rumah yang dihuni oleh mereka yang berdarah bangsawan. Meski sekarang banyak yang sudah beralih ke bangunan permanen, namun hal yang tidak berubah adalah apa yang disebut Timpa’laja atau Tampinon (bagian depan atap rumah yang berfungsi sebagai sirkulasi udara di atas plafon).

Itu pun berbeda-beda, kebanyakan terdiri dari tiga sampai lima susun. Itu menunjukkan kadar kebangsawanan mereka. Jika terdiri dari 5 susun maka Saoraja tersebut pasti dihuni oleh Bangsawan tanpa darah yang bercampur.

Tapi yang pasti, baik Bola maupun Saoraja, ketika Anda mampir dan berkunjung, jangan pernah tidak menyentuh makanan atau minuman yang mereka suguhkan. Karena bagi orang Bugis, sebuah kehormatan ketika makanan yang disajikan habis oleh tamu. Itu juga menjelaskan mengapa mereka selalu memasak dalam jumlah berlebih.

Orang Bugis akan sangat senang ketika Anda kekenyangan dan kemudian memutuskan menunda perjalanan. Jika tidak percaya, Anda boleh coba ke salah satu sahabat Anda yang berdarah Bugis, katakan kepadanya bahwa Anda ingin sekali berkunjung ke kampungnya. Bukan di Kota Makassar yang sudah kosmo itu, namun ke salah satu kabupaten.

Lalu apa hubungannya dengan LGBT?

Anda harus tahu hal ini, di semua Saoraja pasti akan Anda temukan salah satu dari dua gender ini: Calabai atau Calalai. Semua anak keturunan bangsawan, pasti masa kecilnya diurus oleh dua kelompok ini. Calabai adalah sebutan bagi mereka yang secara fisik adalah laki-laki namun gerak-geriknya lebih lembut, sementara Calalai sebaliknya.

Anak-anak bangsawan ini, sejak bangun hingga tidur akan diurus oleh mereka. Anda akan terheran-heran ketika pagi hari, dari atas tangga Saoraja, berteriak seorang perempuan tapi beberapa pekerja laki-laki terbungkuk-bungkuk menerima perintahnya. Orang Bugis tidak asing dengan suasana seperti itu.

LGBT selalu hadir dalam kehidupan sosial orang bugis, apakah mereka melakukan rekruitmen? Ini lebih tidak masuk akal lagi, yang kami orang Bugis tahu bahwa signal mereka selalu kuat jika bertemu dengan orang yang memiliki kecenderungan gender yang sama. Bahkan mereka bisa tahu hanya dengan tatapan mata. Itu mengapa mereka selalu tidak bercampur rumah dengan masyarakat yang lain.

Lalu bagaimana dengan persoalan penyimpangan seksual? Bagi orang Bugis, penyimpangan seksual itu adalah persoalan yang tegas disikapi secara sosial dan hukum adat. Jangan pernah mencoba melakukan pemerkosaan, perselingkuhan apalagi terhadap anak kecil.

Sejak lahir saya sudah puluhan kali melihat tetangga dekat saya harus pergi dari kampung karena melanggar hukum adat. Saya malah tidak pernah mendengar Orang Bugis mengusir Calabai dan Calalai dari kampungnya. Kebanyakan karena perselingkuhan atau hamil di luar nikah.

Bagi orang Bugis yang terpenting adalah menjaga perilaku sosial, sepanjang Anda tidak melanggar itu, maka kehormatan akan diberikan kepada Anda.

Puncak Pencapaian Spiritual Bernama Bissu

Suatu malam, suara kecapi mengalun dalam sunyi, sudah hampir tengah malam. Suara seseorang mengalun seperti bernyanyi namun dalam irama yang lebih cepat. Mungkin mirip dengan mengaji. Namun bahasanya aneh, beberapa diksi terdengar berbahasa Bugis, namun lebih banyak tidak saya mengerti.

Bapak dan ibu saya juga tidak paham terjemahan pastinya. Usia saya masih Sekolah Dasar ketika itu. Saya tidak boleh keluar kamar, tapi saya boleh mengintip dari balik jendela kamar kakek saya.

Redup cahaya obor menyala mengelilingi panggung kecil. Seorang laki-laki berpakaian Baju Bodo duduk menghadap sebuah bantal yang dilapisi tujuh lembar sarung sutera Bugis. Panggung itu didominasi warna merah dan hijau.

Puluhan orang duduk, tidak seorang pun berbicara. Saya ingat betul detail acara itu, karena saya ketakutan luar biasa, tapi tetap penasaran. Itu mirip dengan ritual orang-orang sedang menunggu datangnya makhluk lain di tengah mereka. Saya membayangkan akan ada cahaya dari langit yang jatuh dan raksasa muncul lantas mengabulkan keinginan orang-orang itu.

Belakangan saya tahu, itu tradisi Massure’ yang artinya bersurat (mengirimkan pesan) atau membaca surat (penerima pesan). Ritual itu jarang diadakan, sejak saat itu saya tidak pernah melihatnya lagi. Orang yang membacakan itu adalah Bissu yang didatangkan dari kampung yang jauh. Tidak semua kampung ada Bissu.

Yang dibaca dalam ritual tersebut adalah naskah tua, yang lembarannya terpisah satu sama lain, namun berhasil dirangkum oleh Arung Pancana Toa menjadi Kitab I Lagaligo. Konon naskahnya ditulis di atas daun lontar, atau kertas yang sudah usang. Dan yang bisa membacakannya hanyalah seorang Bissu, karena hanya dirinya yang mampu mencapai komunikasi langsung dengan Langit.

Bagi Orang Bugis, Bissu bukan laki-laki dan bukan perempuan. Bissu jauh dari semua definisi manusia tentang gender. Dia adalah utusan untuk menghubungkan anak-anak Dewata yang ditunjuk sebagai Pemimpin di dunia, untuk berkomunikasi dengan kerajaan langit.

Tidak pernah Massure’ diadakan sembarangan. Hanya dalam keadaan genting atau sakral. Saat itu kemarau memang mengancam panen petani di kampung. Dan ajaib, tepat pagi hari, hujan turun lebat sekali, lalu semua orang kembali pada agama masing-masing, mengucapkan syukur pada Tuhan. Sang Bissu telah pulang ke kampungnya atau mungkin juga ke kampung lain.

Yang Orang Bugis Tidak Pahami dari LGBT

Kembali ke soal LGBT, apakah orang mereka diijinkan menikah? Bagi orang Bugis, pernikahan itu hanya ada di antara laki-laki dan perempuan. Makanya tuntutan untuk menikah sesama jenis juga tidak pernah ada. Mengherankan juga jika ada yang menuntut pernikahan sesama jenis dari kelompok LGBT. Itu hanya cari sensasi dan tidak memahami esensi dari pernikahan.

Sistem sosial bernama pernikahan lebih didasari pada tertib administrasi sosial dan alat untuk mengontrol pertumbuhan populasi. Jika ada yang hamil karena berhubungan sesama jenis, baru kemudian tuntutan menikah sesama jenis menjadi relevan. Selama tidak ada konsekuensi kehamilan, bagi orang Bugis, kenapa harus menikah?

Persoalan apakah mereka berhubungan seks atau tidak di antara sesamanya, itu ruang privat, Anda jangan coba-coba melakukannya di ruang publik, karena antara laki-laki dan perempuan yang sudah suami-isteri pun itu masih merupakan hal yang tidak biasa dilakukan di ruang publik.

Persoalan transgender adalah satu hal yang tidak dikenali orang Bugis, karena itu sama saja dengan pengingkaran mereka terhadap keaslian mereka. Mengapa harus mengganti kelamin dengan cara operasi? Bukankah mereka otentik justru karena bentuk fisik dan karakter yang berbeda dengan yang lainnya. Ini malah menunjukkan penyimpangan cara pandang.

Mungkin bisa dikatakan, LGBT yang ingin membunuh identitas dirinya, atau untuk kepentingan seks komersil seperti yang terjadi di Bangkok. Tapi sebagai identitas sosial, ini justru pernyataan takluk atau inferior terhadap konstruksi sosial yang ada.

Tulisan ini mengajak kita untuk berhenti berpolemik sejenak. Tulisan ini lebih mengajukan sebuah interupsi kecil, bisa didengar bisa tidak. Untuk mengajak kita melakukan sebuah refleksi atau anggaplah ziarah ke masa silam kita. Refleksi bahwa pada abad di mana kehebatan pengetahuan dan kemajuan teknologi menjadi panglima, ternyata kita masih sangat suka berpolemik tentang hal yang tidak subtansial.

Jika benar identitas gender adalah penyimpangan, adalah sebuah penyakit, sehingga bisa ditularkan melalui kampanye, tentu tidak akan pernah anak bangsawan Bugis diserahkan kepada kelompok LGBT.

Sebuah tradisi, adat istiadat ribuan tahun di dataran Sulawesi Selatan, bahkan mampu sedemikian arif menyikapi persoalan LGTB. Atau justru kemajuan yang kita puja-puja itu adalah juga berarti kematian kemanusiaan? Jika benar, jangan-jangan kita justru telah menjadi mesin, bukan manusia lagi.

Kawin Anak dan Panik Sosial

Pasar Pannampu, Makassar, adalah pasar tradisional di mana banyak pedagang yang juga tinggal di pasar tersebut. Lingkungannya dihiasi gang sempit dengan sebagian rumah di perkampungan juga berfungsi ganda sebagai kios. Ini menarik karena ‘ruang’ begitu sempit bagi anak & remaja untuk bergerak, dan kepanikan orang dewasa melihat anak gadis remaja mereka menyebabkan tekanan menjadi lebih intensif (dalam bentuk gosip maupun pengawasan langsung) dari keluarga maupun tetangga. Saya menduga inilah yang menyebabkan, menurut orangtua salah satu anak itu, banyak yang kawin muda, di samping gabungan budaya (siri) dan ajaran agama (sara’).

Saya mencoba mewawancarai dan mengikuti satu (mantan) ‘geng’ anak perempuan (bertetangga, tinggal di pasar) yang terdiri dari 5 anak perempuan. Tiga orang sudah menikah, dua sedang hamil, satu sudah melahirkan, sementara dua lainnya belum menikah, satu putus sekolah, yang satu kelas 2 SMA.

Di bawah ini hasil wawancara salah satu anak tersebut, J (17 thn):

J lahir tahun 1997, berhenti sekolah saat kelas 2 SMP, menikah Agustus 2013 di usia 15 tahun. Kini, Februari 2015, dia mengandung 9 bulan. Dia lahir dan tumbuh di sebuah rumah mungil, di salah satu gang, di kawasan Pasar Pannampu, belahan utara Kota Makassar.

Kini dia tinggal bersama orangtua sejak suaminya berangkat kerja di Luwuk Banggai, Sulawesi Tengah sebagai mandor pekerja bangunan. Suaminya saat ini 29 tahun. Sebelumnya dia tinggal mengontrak rumah di bagian tengah kota (Jl. Andalas). Dia berencana akan bergabung bersama suaminya di Luwuk Banggai dua bulan setelah melahirkan.

J pernah pacaran tapi tidak lama, mungkin hanya seminggu, karena begitu ketahuan sama kakaknya, sang pria dipukuli kakaknya dan melarangnya berpacaran dengan adiknya. J pernah dilamar seorang pemuda 17 tahun (waktu itu). Orangtua lelaki itu yang mendatangi orangtua J. Ayah J belum memastikan karena dia harus bertanya kepada anaknya, namun ibunya memaksakan pernikahan tersebut. J menolak karena pria itu masih sangat muda. Dia juga pernah dilamar oleh seorang kerabat berusia 21 tahun. J menolak sekali lagi karena alasan yang sama—pria itu masih terlalu muda.

Melihat ibunya belum berubah pikiran, J memutuskan melarikan diri. Dia bersembunyi di bagian timur kota dengan menyewa rumah. Selama sebulan lebih dia tinggal di sana hingga memutuskan pulang. Karena ingin tahu kabar orangtua, J menelepon bibinya, “Pulanglah Nak, ibumu menunggu. Mereka sudah membatalkan lamaran pria itu. Kau bawalah orang yang kau pilih.”

Dia lalu membawa pacarnya yang kelak menjadi suaminya, berjumpa orangtua dan langsung melamar setelahnya. Setelah menikah, dia dan suaminya tinggal di sebuah rumah kontrakan hingga suaminya berangkat ke Luwuk Banggai.

Dia mengenang betapa dia senang bergaul bersama empat kawan perempuannya yang lain. Mereka kadang berkumpul di sekitar pasar, atau jalan-jalan bersama mencari makan sambil menikmati suasana kota. Mereka sering berbincang tentang pria dan alat-alat kosmetik terbaru.

“Padahal saya cuma pergi bersama kawan, tidak terjadi apa-apa.”

Kini tinggal dua kawannya yang belum menikah.

Catatan lapangan Nurhady Sirimorok, diolah oleh Lies Marcoes