Pos

Memahami Persetujuan Korban

Dalam kejahatan-kejahatan yang secara nyata pelaku, baik pribadi maupun kolektif, memiliki dan menggunakan kekuatannya, ”consent” tak dibutuhkan. Namun, ”consent” harus dihadirkan dalam relasi-relasi abu-abu

Persetujuan korban (consent) dalam praktiknya berspektrum luas. Hal itu terpetakan dengan jelas dalam diskusi dengan Sri Widyanti Eddyono, ahli hukum dengan perspektif feminis.

Dalam kasus tertentu consent bahkan tak dibutuhkan. Namun, dalam kasus lain dibutuhkan agar menghasilkan penilaian obyektif bagi para pihak yang bersengketa dalam kasus kekerasan seksual.

Penilaian adil

Consent bisa menghasilkan penilaian yang adil bagi seseorang yang disangkakan pelaku atau yang mengaku jadi korban dalam relasi yang gampang terperosok dalam penilaian suka sama suka.

Consent membantu menjelaskan adanya relasi tak setara/tak kentara yang berpengaruh pada ”keputusan” seseorang untuk menerima perlakuan tak senonoh dari pelaku dalam tindakan yang mengarah ke hubungan seksual atau pemaksaan hubungan seksual. Consent juga menerang-jelaskan adanya struktur sosial/politik yang membuat korban tunduk.

Consent juga menerang-jelaskan adanya struktur sosial/politik yang membuat korban tunduk. Dengan demikian, consent dibutuhkan untuk menelisik secara teliti terjadinya kekerasan/kejahatan seksual. Dalam sejumlah kasus di luar isu kekerasan seksual di kampus, consent bisa dibedah dengan contoh berikut guna memperlihatkan spektrumnya yang luas.

Runtuhnya Yugoslavia tahun 1991 memunculkan perang etnis Bosnia dan Serbia. Maret 1992, Bosnia bersama wilayah-wilayah bekas Yugoslavia lain menyatakan kemerdekaan melalui referendum. PBB mengakui kemerdekaan mereka, tapi Serbia menolak.

Dengan kekuatan plus sejarah panjang kebencian etnis, suku, dan agama, Serbia terus menyerang Bosnia. Selama perang Bosnia 1992-1995 terjadi pembantaian warga sipil dan kekerasan seksual pada kaum perempuan dan anak-anak. PBB kemudian turun tangan dan dengan bantuan masyarakat internasional tercapai kesepakatan damai pada 1995.

Namun, bagaimana dengan korban perang di kalangan sipil? Dalam kasus kekerasan seksual, PBB tidak membutuhkan consent korban. Kejahatan Serbia sudah terlalu jelas. Penguasa militer Serbia dihukum sebagai pelaku kejahatan perang dan kejahatan seksual.

Hal serupa berlaku dalam kasus kekerasan dalam konflik di Aceh. Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR) tak membutuhkan consent korban dalam kekerasan seksual. Namun, kesaksian kaum perempuan dikumpulkan untuk memperlihatkan dimensi jender yang menggambarkan perbedaan pengalaman, situasi, peristiwa, kondisi yang memaksa, dampak, dan akibat antara lelaki dan perempuan yang terlibat dalam konflik dan menempatkan warga Aceh sebagai korban.

Namun, laporan KKR tahun 2021 sebagaimana disampaikan Komnas Perempuan dianggap lebih fokus kepada korban politik dan eks kombatan (lelaki) dengan mengabaikan penderitaan kaum sipil dan perempuan, terutama dalam kekerasan yang memaksa mereka ”menerima” perlakuan kekerasan seksual.

Jadi, consent dalam konflik Aceh tak dibutuhkan, tetapi untuk pembuktian adanya kejahatan seksual, kesaksian perempuan telah dikumpulkan dan sebagian dihadirkan dalam KKR meski hasil akhirnya tidak memuaskan pihak korban.

Reynhard Sinaga, mahasiswa Indonesia di Inggris, beberapa tahun lalu terbukti melakukan hubungan seks secara paksa kepada lelaki lain yang dibuatnya pingsan oleh minuman racikannya. Setidaknya polisi mengidentifikasi 48 pemuda yang mengakui menjadi korban dan diperkirakan 159 orang—melalui proses konseling—menjadi korban lainnya.

Meskipun sama-sama dewasa, dan korban masuk ke apartemen Sinaga secara sukarela karena diajak singgah, consent korban tak dibutuhkan. Bahwa sebagian besar korban bungkam, tak melapor karena trauma dan tak punya bukti, itu tak bisa membatalkan tuntutan atas kejahatannya.

Di wilayah timur, di sebuah lingkungan gereja, ada warga kehilangan anak-anak gadis mereka. Pemimpin gereja berulang kali meyakinkan jemaat, mereka telah pamit merantau. Anehnya mereka tak pernah menelepon kepada keluarganya. Ini sudah beberapa tahun dan yang ”pamit” bertambah.Beberapa perempuan lain akhirnya buka mulut atas kebejatan moral sang pemimpin gereja.

Warga bertanya-tanya. Namun, ia pemimpin agama mereka. Lalu seorang perempuan membuka mulut, dirinya pernah dibujuk, dirayu, diminta pertolongannya agar mau menuruti kebutuhan birahinya.

Sang anggota jemaat merasa kasihan, ia tak berkutik, dan tak hanya sekali. Sang pemimpin gereja menjanjikan keselamatan dunia dan akhirat. Pengakuan itu dipicu oleh laporan sang ayah yang kehilangan si gadis ke polisi.

Melalui pemeriksaan intensif, polisi membuktikan ada kejahatan seksual, bahkan kuburan korban ditemukan. Beberapa perempuan lain akhirnya buka mulut atas kebejatan moral sang pemimpin gereja.

Pada kasus ini, persetujuan korban atau consent korban atas hubungan seks dengan pelaku tak dibutuhkan meski hubungan itu dilakukan lebih dari sekali. Pertama, korban telah wafat. Kedua, pada korban yang masih hidup terbukti karena pelaku memanfaatkan posisi rentan korban dan atau sebaliknya pelaku memanfaatkan otoritas yang dimilikinya.

Di Jawa Timur, sejumlah santri putri usia remaja dalam rentang sekolah tingkat tsanawiyah sampai aliyah dalam tahun yang berbeda-beda buka suara kepada keluarga. Keluarga kemudian mengadukan kepada polisi. Anak-anak itu mengalami pelecehan seksual (bahkan penetrasi seksual) oleh seorang lelaki dewasa dalam posisi sebagai gus/anak kiai, guru mereka, jagoan di lingkungannya.

Sejauh ini perkara masih mengambang. Saksi-saksi korban dan keluarga mengaku mengalami intimidasi. Kasus mulai diarahkan kepada perbuatan ”suka sama suka” berdasarkan consent para korban dalam tafsir polisi.

”Consent” dalam tafsir polisi

Bagaimana menggunakan konsep consent dalam kasus seperti ini? Polisi seharusnya melihat apakah ada posisi sosial, umur, kekuasaan, pengaruh, otoritas yang dimiliki dan dimanfaatkan pelaku dalam aksinya? Jika benar suka sama suka, apakah izin/kesediaan (consent) korban terbukti tidak ada unsur keterpaksaan?

Apakah dapat dibuktikan relasi itu bebas dari perasaan sungkan untuk menolak anak kiai, bebas dari perasaan takut untuk menyatakan tidak mau, bebas dari perasaan kasihan karena sang gus mengiba-iba minta pembuktian cintanya atau pelaku menawarkan iming- iming material? Apakah sang perempuan juga terbebas dari ancaman akan adanya penyebaran percakapan (chat) yang dapat mempermalukan diri dan keluarganya?

Consent dalam kasus ini seharusnya tak dibutuhkan karena terjadi pada anak-anak di bawah umur. Namun, kalaupun diperlukan dengan alasan sang perempuan sudah cukup umur, polisi harus mampu memastikan bahwa dalam kejadian itu tidak terdapat kerentanan, ancaman paksa, pemaksaan, penyalahgunaan kekuasaan, atau posisi rentan sang korban hingga seolah-olah pelaku telah mendapatkan persetujuannya.

Dalam kekerasan di lembaga-lembaga di mana kedua pihak sudah dewasa, seperti di kampus, di tempat kerja, consent sangat dibutuhkan, baik untuk melindungi korban maupun mereka yang dianggap pelaku. Dalam menimbang consent ini, hal yang harus diperhatikan adalah siapa yang dianggap memiliki otoritas?

Tolok ukurnya bisa dirinci dengan menerjemahkan ”kekuasaan” dan ”otoritas” yang dimiliki pelaku yang menyebabkan korban terpaksa masuk ke dalam lorong ”sukarela”, padahal maknanya ”tak berkutik”.

Dalam kejahatan-kejahatan yang secara nyata pelaku, baik pribadi maupun kolektif, memiliki dan menggunakan kekuatannya, consent tak dibutuhkan. Namun, consent harus dihadirkan dalam relasi-relasi abu-abu agar pelaku dan korban mendapatkan keadilannya.

Dalam menghadirkan consent korban, sangatlah penting untuk menghitung dan menimbang struktur-struktur sosial, politik yang mungkin tak kentara, tetapi secara nyata berpengaruh pada kerentanan korban yang disebabkan oleh ketimpangan struktur itu.

Ini bisa menunjuk ke umur, jabatan, posisi sosial, ekonomi, pengaruh, otoritas, kekuasaan, wibawa, dan janji-janji yang menyebabkan korban bertekuk lutut, atau bahkan dianggap suka sama suka. Dalam saat seperti itulah consent harus dihadirkan sebagai mekanisme pembuktian ada atau tidak adanya kekerasan dengan ancaman dan kondisi yang memaksa korban.

Lies Marcoes, Peneliti Rumah Kitab

Tahun 2020, krisis multidimensi bagi perempuan

Pandemi Covid-19, bukan sekadar memicu krisis kesehatan, tetapi juga berimbas pada krisis ekonomi, hingga sosial-politik.

Manda Firmansyah

Manda FirmansyahMinggu, 13 Des 2020 13:10 WIB

Pandemi Covid-19 telah membuktikan sistem perekonomian global yang patriarkis selama ini hanya diperuntukkan untuk kepentingan segelintir orang. Hal tersebut, disampaikan Koordinator Program Badan Eksekutif Nasional Solidaritas Perempuan (SP), Arieska Kurniawaty.

Menurut dia, pemiskinan, ketidakadilan, dan ketimpangan memperburuk krisis yang telah lama terjadi. Pandemi Covid-19, bukan sekadar memicu krisis kesehatan, tetapi juga berimbas pada krisis ekonomi, hingga sosial-politik.

“Bagi perempuan, tahun 2020 ini adalah tahun krisis multidimensi dan semakin menambah lapisan penindasan yang dialami, termasuk bagaimana krisis ini memperkuat kekerasan dan ketidakadilan gender yang sudah ada sejak sebelum krisis,” tutur Arieska dalam keterangan pers virtual Peluncuran Catatan Akhir Tahun Advokasi Kasus Solidaritas Perempuan Tahun 2020, Minggu (13/12).

Dia mengungkapkan, beberapa kasus pengaduan yang diterima SP. Pertama, menjelang peringatan hari kemerdekaan Indonesia pada Agustus lalu, para perempuan dari masyarakat adat Pubabu, Desa Linamnutu, Kecamatan Amanuban Selatan, Kabupaten Timor Tengah Selatan, Nusa Tenggara Timur (NTT) menangis ketakutan karena mendengar tembakan dari Brimob.
Kemudian, melihat anak-anak dimasukkan dalam mobil secara paksa, serta diinjak leher dan kepalanya dengan sepatu lars.

Kedua, para perempuan pesisir tergusur proyek strategis nasional Makassar New Port yang dikecualikan dalam daftar penerima paket bantuan sosial pemerintah setempat, karena dianggap selalu melawan.

Padahal, sebelum pandemi Covid-19 melanda Indonesia, para nelayan perempuan tersebut telah terhimpit secara ekonomi akibat semakin susahnya melaut. Ketiga, para perempuan di wilayah perbatasan Indonesia.

Menurut dia, perempuan buruh migran terdampak penundaan deportase akibat pandemi Covid-19 harus mengalami siksaan dan tindakan tidak manusiawi, seperti melahirkan tanpa bantuan medis.

Berkaca dari berbagai kasus tersebut, Arieska membandingkan, nasib Rancangan Undang-Undang Perlindungan Pekerja Rumah Tangga (RUU Perlindungan PRT) dan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU PKS) dengan Omnibus Law Undang-Undang Nomor 11 tahun 2020 tentang Cipta Kerja.

“Kita tahu bagaimana mandeknya RUU Perlindungan PRT. Kami sangat sedih, RUU PKS ditarik dari Prolegnas. Bagaimana sebenarnya RUU keadilan dan kesetaraan gender itu tidak dibahas secara serius oleh pemerintah dan parlemen. Seperti pemerintah itu sangat serius mengesahkan Omnibus Law UU Cipta Kerja atau dengan cepat mengesahkan RUU Minerba,” ujar Arieska.

Para perempuan yang tidak bisa melaut, bertani, atau memanfaatkan hasil hutan akan terjerumus menjadi buruh migran tanpa ada sistem perlindungan yang jelas. Para perempuan tersebut akan terjebak dalam sistem-sistem yang eksploitatif.
Sumber: https://www.alinea.id/nasional/tahun-2020-krisis-multidimensi-bagi-perempuan-b1ZY09zqR

Apa yang Berat dari RUU PKS Hingga Belum Juga ‘Tembus‘ di DPR?

RUU Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU PKS) akhirnya dicabut dari Prolegnas Prioritas tahun 2020. Komnas Perempuan menilai DPR belum memahami situasi genting kekerasan seksual di Indonesia.

Perjalanan panjang pembahasan Rancangan Undang-undang Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU PKS) kembali menemui hambatan. Wakil Ketua Komisi VIII DPR dari Fraksi PKB, Marwan Dasopang menyatakan pencabutan RUU PKS dari Program Legislasi Nasional (Prolegnas) Prioritas tahun 2020 karena sulit.

“Kami menarik RUU Penghapusan Kekerasan Seksual. Karena pembahasannya agak sulit,” ujar Marwan dalam rapat bersama Badan Legislasi (Baleg) DPR, Selasa (30/6/2020), seperti dilansir dari Kompas.

Keputusan DPR tersebut dianggap banyak pihak mencederai hak perlindungan korban kekerasan seksual, mengingat angka kekerasan seksual semakin tinggi setiap tahunnya. RUU PKS juga disebut penting agar negara mempunyai payung hukum terkait kekerasan seksual.

“Kan anggota dewan ini pintar-pintar, lulusan sarjana kan, bisa kerja sama dengan akademisi atau para ahli kalau cuma tentang definisi dari kekerasan seksual,” sebut Luky Fitriani, salah satu warga yang geram dengan terlemparnya RUU PKS keluar dari Prolegnas Prioritas tahun 2020.

“Padahal kalau Undang-undangnya disahkan, akan sangat menjamin hak dari korban kekerasan seksual untuk mendapat rehabilitasi, dan juga pelakunya pun akan mendapat rehabilitasi. Yang paling penting lagi adalah Undang-undang ini kan menyusun mengenai pencegahan kekerasan seksual. Jadi sekali lagi, DPR kita ngapain sih?” ujar Natalia Gita, salah satu warga yang juga kecewa dengan dikeluarkannya RUU PKS dari daftar prioritas.

DPR sebut RUU PKS terhambat revisi RKUHP

Anggota komisi VIII DPR RI dari Fraksi PKB, Maman Imanulhaq mengatakan salah satu alasan dicabutnya RUU PKS dari Prolgenas Prioritas 2020 karena sedang menunggu penyelesaian RUU Kitab Undang-undang Hukum Pidana (RUU KUHP)

“Kita memang sedang menunggu pengesahan revisi Kitab Undang undang Hukum Pidana yang terkait dari sisi penjatuhan sanksi, karena bagaimanapun rancangan KUHP ini akan segera disahkan, lalu RUU PKS bisa masuk dalam prolegnas prioritas,” jelas Maman kepada DW Indonesia, saat dihubungi Jumat (03/07).

Symbolbild - Gewalt gegen Frauen (Imago Images/Panthermedia/basshingum)

Foto ilustrasi

 

Selain itu, menurutnya jalan panjang RUU PKS juga terhambat soal pembahasan judul dan definisi kekerasan seksual, serta pemidanaan. Hingga kini, anggota dewan belum satu suara tentang judul dan definisi kekerasan seksual yang tertuang dalam draf RUU PKS.

Terbentur konservatisme

Maman mengatakan tantangan lainnya adalah terbenturnya draf RUU PKS dengan paham konservatisme. Fraksi PKS (Partai Keadilan Sejahetra) adalah yang cukup vokal menolak draf RUU PKS di Komisi VIII DPR RI.

“Kita melihat bahwa perdebatan soal definisi kekerasan seksual itu kan dalam pola pikir mainstream kelompok-kelompok konservatif selalu menganggap bahwa ada beberapa tindakan yang tidak dianggap kekerasan seksual, ketika hukum dalam tanda kutip, agama, harus ditegakkan. Itu pula yang sebenarnya jadi perdebatan kita,” tambahnya.

Komnas Perempuan yang menginisiasi RUU PKS sejak tahun 2012 karena menilai Indonesia telah darurat kekerasan seksual, menyesalkan pencabutan RUU PKS dari Prolegnas 2020.

“Penundaan pembahasan RUU PKS bisa menimbulkan kesan bahwa tampaknya sebagian besar anggota DPR itu belum memahami ataupun merasakan situasi genting karena kekerasan seksual ini,” ujar Komisioner Komnas Perempuan Satyawanti Mashudi, kepada DW Indonesia, Jumat (03/07).

Ia menambahkan, berdasarkan pengamatan dan kajian yag dilakukan, salah satu masalah penghambat pengesahan RUU PKS adalah akibat terbenturnya draf RUU itu dengan paham konservatisme.

Persepsi keliru yang berkembang di masyarakat

Tantangan lainnya, menurut Satyawanti adalah persepsi keliru yang berkembang.

“Kalau orang membaca kemudian persepsinya keliru, lalu yang berkembang adalah persepsi yang keliru itu, maka yang sebetulnya, yang sebenar-benarnya termaktub di dalam RUU PKS itu, menjadi tidak tersosialisasi dengan baik,” jelasnya.

Menurutnya, salah satu paham yang bertentangan dengan RUU PKS yang paling sering dibahas adalah terkait pemidanaan pelecehan seksual di rumah tangga. Ia menyebut, konteks pemerkosaan di dalam perkawinan (marital rape), sudah diatur dalam Undang-undang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (PKDRT).

Sementara di RUU PKS, aspeknya banyak tidak hanya kekerasan seksual dalam konteks pemerkosaan saja, tetapi juga tentang eksploitasi seksual, pelecehan seksual, hingga pemaksaan perkawinan.

Wakil Ketua Komisi VIII DPR RI Ace Hasan Syadzily mengatakan ada niatan dari Badan Legislasi (Baleg) DPR RI untuk mengambilalih pembahasan RUU PKS pada tahun 2021.

‘’Kami mendapatkan informasi dari Anggota Komisi VIII yang juga menjadi anggota Baleg bahwa ada keinginan dari anggota Baleg untuk mengambilalih pembahasan RUU PKS ini oleh Baleg. Tentu kami dengan senang hati menyerahkan kepada Baleg untuk membahasnya,” ujar Ace kepada DW Indonesia melalui pesan singkat, pada Kamis (02/07). Ia menambahkan, sementara ini RUU PKS diserahkan dan diambilalih pembahasannya oleh Baleg DPR. (pkp/hp)

Sumber: https://www.dw.com/id/apa-yang-berat-dari-ruu-pks-hingga-belum-juga-tembus-di-dpr/a-54038952?fbclid=IwAR2G-_ULHoksVDG2nFZwojAq5ANuJSl4xZptg_lU-9Jr7NuG1Sy1njZ45lM

Apa Benar RUU Penghapusan Kekerasan Seksual Tidak Sesuai dengan Nilai-nilai Islam?

Oleh Achmat Hilmi, Lc., MA.

Berdasarkan Data yang dirilis oleh Komnas Perempuan tahun 2013, terdapat 15 Bentuk Kekerasan Seksual yang terjadi merujuk pada hasil pemantauan selama 15 tahun terhadap kasus ini, dimulai dari tahun 1998 sampai dengan tahun 2013, yakni 1) Pemerkosaan; 2) Intimidasi seksual termasuk ancaman atau percobaan pemerkosaan; 3) Pelecehan seksual; 4) Eksploitasi Seksual; 5) Perdagangan Perempuan untuk tujuan seksual; 6) Prostitusi paksa; 7) Perbudakan seksual; 8) Pemaksaan perkawinan termasuk cerai gantung; 9) Pemaksaan kehamilan; 10) Pemaksaan Aborsi; 11) Pemaksaan kontrasepsi dan sterilisasi; 12) Penyiksaan seksual; 13) Penghukuman tidak manusiawi dan bernuansa seksual; 14) Praktik tradisi bernuansa seksual yang membahayakan dan mendeskriminasi perempuan; 15) Kontrol seksual, termasuk lewat aturan deskriminatif beralasan moralitas dan agama.

Betapa pentingnya kehadiran RUU PKS diharapkan dapat menjawab persoalan yuridis dan menjadi payung hukum bagi perempuan dan anak-anak yang menjadi korban. Mereka harus diberikan kejelasan dan kepastian hukum terkait kekerasan seksual yang dialami. Kehadiran RUU PKS dapat menyejahterakan semua rakyat Indonesia sesuai amanat proklamasi. Sejahtera bagi perempuan Indonesia berarti bebas dari segala bentuk kekerasan, termasuk kekerasan seksual.

Dalam Islam, Perempuan memiliki hak, otonomi, dan otoritas atas tubuhnya sendiri, karena itu segala jenis kekerasan terhadap perempuan tidak dibenarkan oleh agama. Dasar Argumentasinya Sabda Nabi, “tidak boleh membahayakan orang lain dan tidak boleh membahayakan diri sendiri.” Setiap bentuk kekerasan seksual merupakan bentuk pelanggaran terhadap kemuliaan manusia yang dijamin oleh Tuhan. Allah Swt. berfirman, “Dan Sesungguhnya Kami telah muliakan anak-anak Adam (manusia)”, (QS. Al-Isra/17 :  70 ).

Islam mengharamkan berbagai bentuk kekerasan baik di dalam keluarga maupun di luar keluarga. Larangan perilaku kekerasan seksual dalam Islam itu berlaku secara umum, tidak ada ruang pengecualian. Islami memiliki visi sebagai agama yang menjamin kemaslahatan kepada seluruh manusia. Setiap bentuk pelanggaran atas kemaslahatan itu merupakan pelanggaran terhadap visi Islam itu sendiri. Allah Swt. berfirman, ”“Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu”. (QS.  Al Baqarah: 185).

Karena itu larangan melakukan kekerasan seksual juga berlaku di dalam keluarga. Sekalipun dalam lembaga perkawinan, Islam memperkenankan suami isteri untuk melakukan hubungan seksual, namun harus dilakukan dengan cara yang bermartabat dan atas dasar kerelaan bagi kedua pihak. Pemerkosaan dalam perkawinan merupakan bentuk pelanggaran serius atas nilai-nilai perkawinan ideal dalam Islam. Allah berfirman, “Dan para perempuan mempunyai hak yang seimbang dengan kewajibannya menurut cara yang ma’ruf”. [Terj. Q.S. Al-Baqarah/2:228].  Imam Qurthubi berkata: “Maksud ayat ini yaitu Allah memerintahkan laki-laki untuk mempergauli isteri dengan baik, begitu juga sebaliknya”.

Dalam konteks fikih, Islam mewajibkan setiap laki-laki untuk memperlakukan perempuan dalam ruang domestik dan ruang publik dengan sangat baik, berinteraksi dengan penuh cinta dan kasih sayang. Bahkan. Islam memerintahkan laki-laki untuk menjadi penjaga perempuan dari berbagai bentuk perilaku kekerasan. Rasulullah bersabda, “istaushǔ bi al-nisâ-i khayran (Aku wasiatkan kalian untuk berbuat baik kepada perempuan)”[HR. Muslim 3729]. Sabda Rasul juga, “Khairukum khairukum li ahlihi wa anâ khairukum li ahlî (sebaik-baik kalian adalah yang paling baik terhadap isterinya dan aku adalah orang yang paling baik terhadap isteriku) [HR. At-Tirmidzi].

Islam menyediakan lembaga keluarga tidak sebatas untuk melegalkan hubungan seksual namun sebagai lembaga yang mampu mempersiapkan generasi yang berkualitas. Di dalamnya terdapat struktur keluarga yang memiliki peran dan tanggung jawab dalam penanaman nilai-nilai yang luhur. Lembaga keluarga adalah tempat pertama anak-anak berkenalan dengan konsep akhlak atau etika, tentang apa itu yang baik dan apa itu yang buruk. Peran orang tua, baik ibu atau bapak, dalam lembaga keluarga menjadi krusial. Terutama peran ibu sebagai pendukung pengembangan nilai-nilai yang positif dalam keluarga.

Beragam bentuk perlindungan bagi perempuan yang telah dipraktikkan di dalam Islam. Pertama, Islam telah berhasil menghapus tradisi-tradisi jahiliyah arab yang mendiskriminasi perempuan, antara lain mengubur bayi perempuan hidup-hidup, poligami, perbudakan seks, dan prilaku kekerasan-diskriminatif. Allah Swt Berfirman, “Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling taqwa di antara kamu”. [Terj. Q.S. Al-Hujurat : 13].

Kedua, perempuan diberikan hak untuk meraih pendidikan sama tingginya dengan laki-laki. Nabi bersabda, “Menuntut ilmu merupakan kewajiban bagi muslim (laki-laki) dan muslimah (perempuan)”. [Imam Nawawi, Al-Majmu’, 1/24].

Ketiga, Nabi Muhammad juga telah berhasil membebaskan budak-budak perempuan agar dapat hidup setara dengan laki-laki. Begitu pun budak laki-laki juga banyak dimerdekakan oleh kanjeng Nabi. Allah Swt. berfirman, “(Hendaklah) ia memerdekakan seorang hamba sahaya.” [Terj. QS. An Nisâ’: 92]

Keempat, Perempuan  diberikan hak memperoleh warisan dari harta pusaka yang ditinggalkan oleh mendiang orang tuanya. Bahkan Prof. Dr. Hazairin, Guru Besar Hukum Islam di era 50-an mengatakan bahwa Islam membagi warisan laki-laki dan perempuan dengan bagian yang sama, secara kualitas maupun kuantitas. [Hukum Kewarisan Bilateral Menurut Al-Qur’an dan Hadits, 1].

Kelima, Para ulama seperti Syaikh Muhammad Abduh, Tengku Hasbi Ash-Shiddiqi berkontribusi dalam melarang keras poligami. Allah berfirman ; “Dan kamu sekali-kali tidak akan mungkin (mustahil) dapat berlaku adil pada isteri-isteri(mu)”. [Terj. Q.S. An-Nisa ; 129].