Pos

rumah kitab

Merebut Tafsir: Menyoal Konsep “suami adalah imam”

Akhir Juli 2021, Dr. Budhy Munawar Rahman dalam kapasitasnya sebagai koordinator kajian di LSAF mengajak saya menjadi pemantik diskusi dengan para peserta kajian LSAF tentang “Gender dan Islam” didasarkan buku saya yang disunting Mirisa Hasfaria “Merebut Tafsir” (Amongkarta 2021).

Saya sangat terharu dengan begitu hangatnya respons peserta. Juga karena buku itu mengingatkan saya pada banyak kenangan hidup, pergulatan dengan ruang iman dan pemikiran. Bagian dari buku itu merupakan olah perjumpaan lahir batin saya dengan almarhum suami, Ismed Natsir (yang besok 7 Agustus mustinya genap 71 tahun). Buku itu memuat sejumlah hal tentang konsep gender, agama dan feminisme yang saya upayakan menjadi tulisan ringan dan renyah (meski tak selalu gurih), sederhana tanpa menyederhanakan masalah. Ismed selalu mengingatkan jangan jadi “bungkus kacang” yang tak menyisakan permenungan bagi yang baca.

Dalam diskusi itu, seorang peserta (maaf sekali saya lupa namanya), menceritakan tentang riset untuk studi S3nya tentang tema “alasan perceraian”. Sangat menarik karena alasan yang diajukan para perempuan itu bukan hal yang selama ini dikenali dalam referensi di Peradilan Agama seperti tidak memberikan nafkah, sering cekcok, kekerasan atau menolak dipoligami. Ia sedang mewawancarai sejumlah perempuan  yang gundah karena suaminya ternyata tak memenuhi kriteria sebagai imam dalam rumah tangga yang dibangunnya.

Sampai beberapa hari saya terus merenungkan pertanyaan itu. Kalau kita periksa referensi perkara-perkara yang ada di Peradilan Agama dalam sepuluh dua puluh tahun ke belakang, niscaya alasan serupa itu tak pernah mengemuka. Di Pengadilan, tuntutan itu harus jelas, ada tolok ukurnya. Menuntut suami menjadi “imam” keluarga sejauh saya tahu tak pernah hadir dalam realitas hukum.

Jadi darimana gagasan bahwa lelaki itu harus mampu menjadi “imam bagi istri dan keluarganya?” Saya menduga hal itu muncul mengiringi cerita-cerita sinetron. Bagi saya ini sekali lagi memperlihatkan betapa nisbinya dunia virtual dan realitas, dunia online dan offline. Dalam kehidupan, kita kadang mendengar peristiwa ajaib dimana “mimpi kali ni ye” menjadi kenyataan. Kita menyaksikan orang mendapatkan inspirasi hidup setelah ia mendengar cerita, kisah-kisah inspiratif, bacaan atau  pengalaman orang lain. Namun sangat jelas, basisnya adalah pengalaman hidup. Gagasan tentang kriteria bahwa suami idaman adalah imam keluarga tampaknya tak hanya ada dalam sinetron tetapi menjadi bagian dari ceramah-ceramah agama atau materi konsultasi perkawinan yang menolak gagasan tentang kesetaraan gender dan keadilan hakiki bagi perempuan berdasarkan peran biologis dan sosialnya sebagai perempuan. Ini berarti gagasan itu berangkat dari  tafsir keyakinan yang tak sepenuhnya teruji dalam kehidupan.

Padahal selama ini konsep kepemimpinan dalam keluarga dipetik dari teori- teori ilmu sosial, kebudayaan, agama, antropologi, psikologi atau cabang-cabangnya yang lebih spesifik dan bisa diverifikasi dengan premis-premis ilmu pengetahuan yang terus-menerus ditantang oleh perubahan-perubahan sosial termasuk oleh pengalaman perempuan yang juga menunjukkan kemampuannya dalam memimpin dengan model kepemimpinan yang tak seperti dalam konsep imam.

Sementara dalam konsep “suami adalah imam” orang diajak loncat dari dunia imajinasi seperti di sinetron ke dalam kenyataan. Karenanya ketika seorang penda’i yang selama ini dikenal sebagai imam keluarga yang mengajarkan dan mengajarkan “suami adalah imam”, lalu ternyata mengkhianati perkawinannya, orang pun heran dan ternganga-nganga.

Sampai sejauh ini, konsep apa dan siapa itu imam merupakan sebuah konsep yang lebar untuk tidak dikatakan abstrak yang belum dibangun oleh basis pengetahuan yang teruji secara empiris. Bisa jadi itu merupakan gagasan ideal normatif tapi tak realistis. Kriterianya multi tafsir dan bisa melar mengkeret. Dalam pemahaman kekinian sebagaimana sering didengar dalam ceramah-ceramah, lelaki sebagai imam adalah lelaki yang bisa jadi imam shalat (masih bisa dipelajari), pemimpin yang bijak, tempat istri dan anak berlindung, pencari nafkah untuk mencukupi kebutuhan,  tempat bertanya dan minta pertimbangan, membimbing  dan memberi petunjuk,  menjadi tauladan kebaikan, menjadi komandan yang akan membawa istri dan anaknya masuk surga bersama-sama dan seterusnya. Dalam konsep itu gagasan mubadalah atau kesalingan suami istri dan anak sama sekali tidak masuk.

Namun karena tuntutan menjadi imam itu seringakali ada di ruang “harapan” yang  membutuhkan infrastruktur pendukung, maka permakluman atas ketidak sanggupan lelaki memenuhi perannya sebagai imam juga lebar. “Suami saya masih belajar, dia sedang berusaha, masih banyak cobaan iman dan kesabaran bagi ma’mum”, dan seterusnya.

Ini berbeda dengan tuntutan kepada sang ma’mum, istri dan anak-anaknya. Tuntutan ini konkrit dan terukur. Ma’mum adalah orang yang harus sabar, tunduk dan patuh kepada imam. Ia mengurus rumah tangga dari pagi hingga malam,  menjadi manajer dari urusan dapur, cucian, bersih-bersih rumah sampai baju dan amplop kondangan. Ia harus menjadi ibu guru dan ustazah bagi anak-anaknya, atau bahkan menjadi sekretaris suami dan perawat keluarga. Ia harus senantiasa siap atas apapun kehendak suami, tak menolak kebutuhan biologisnya bahkan jika sang suami minta tambah istri!

Bagi saya konsep suami adalah imam patut terus dipersoalkan. Bukan saja karena memunculkan problem kesenjangan dalam menjalankan peran tanggung jawab dan pembagian kerja di dalam keluarga, tetapi rentan memunculkan kekerasan kepada istri dan anak yang harus menjadi ma’mum  dalam relasi yang tak setara. Mereka rentan mengalami pendisiplinan untuk tidak dikatakan kekerasan.  Bagi istri  tuntutan untuk sempurna sebagai ma’mum harus  kontan, sementara bagi suami tuntutan menjadi imam bisa dicicil bahkan nunggak.  Dan hal yang lebih membahayakan adalah tercederainya prinsip tauhid ketika bangunan imajinasi suami adalah imam itu diartikan bahwa suami sebagai  (wakil) Tuhan di bumi! #Lies Marcoes 7 Agustus 2021.

https://magdalene.co/story/konsep-laki-laki-pencari-nafkah-ketaatan-perempuan

Jinan: Kisah Ketaatan Istri dan Anak Perempuan

Konon cinta pertama anak perempuan adalah ayahnya, dan mereka mendambakan suami dengan karakter yang mirip dengan sang ayah. Konsep itu sama sekali tidak diyakini “Jinan”, perempuan muda yang menjadi salah satu responden untuk sebuah penelitian saya.

Saat kami berbincang pada Agustus 2020 di sebuah kedai di kawasan Dago, Bandung, raut wajah perempuan berusia 21 tahun itu langsung berubah jengkel ketika pembicaraan menyinggung sang ayah.

“Teman-teman aku kalau lagi cerita, katanya pengen dapet suami kayak ayah mereka. Teu harayang teuing (enggak mau banget) aku, mah,” ujarnya seraya merapikan jilbabnya. Tak lama kisah keluarganya meluncur dari bibirnya, soal ketaatan istri pada suami, dan izin suami agar istri bisa bekerja.

Istri Dilarang Suami Bekerja

Ia menceritakan bagaimana ibunya telah bekerja sebelum menikah di sebuah penerbit kampus ternama di Bandung. Sebelum memutuskan menikah dengan ayah Jinan, keduanya menyepakati bahwa sang ibu akan terus bekerja dan meniti karier. Sayangnya, setelah menikah, sang ayah melanggar kesepakatan itu dengan alasan bahwa Jinan dan adik laki-lakinya masih kecil.

Sekitar tahun 2008, saat Jinan masuk SD, ayahnya mengalami pemutusan hubungan kerja dari PT. Industri Pesawat Terbang Nurtanio (PTN). Indonesia ketika itu mengalami imbas dari krisis ekonomi global, dan PTN memberhentikan banyak pekerja agar tidak jatuh dalam krisis yang lebih parah.

Untuk menambah pemasukan keuangan rumah tangga, ibu Jinan berinisiatif untuk berjualan minuman di dekat rumahnya, namun ayahnya melarang. Padahal menurut Jinan, tempat berjualan tersebut sering dilewati banyak orang sehingga peluang pembelinya cukup banyak. Alasan sang ayah, dia gengsi dan malu jika ibu Jinan bekerja, karena “seharusnya yang mencari nafkah itu laki-laki bukan perempuan.”

Ayah Jinan juga tidak mengizinkan ibunya mengikuti kelas profesi rias pengantin, lagi-lagi dengan alasan bahwa anak-anak masih kecil. Padahal sang ibu mengikuti kelas itu agar punya keterampilan yang dapat menghasilkan uang demi menambah pemasukan keluarga.

Ibu Jinan tidak berbuat apa-apa selain mematuhi permintaan suaminya. Ia terpaksa meminta bantuan kepada nenek Jinan untuk membiayai administrasi kelas profesi tersebut. Ayahnya baru mengizinkan ibunya bekerja merias pengantin saat Jinan dan adiknya sudah cukup besar. Syaratnya, ibunya harus menyelesaikan kewajiban mengurus rumah tangga, dan anak-anak harus membantu menyelesaikan pekerjaan itu.

Konsep Laki-laki sebagai Pencari Nafkah Masih Mengakar

Dengan apa yang terjadi pada keluarganya, Jinan masih mengamini konsep laki-laki sebagai pencari nafkah. Ia menuturkan bahwa mencari nafkah adalah kewajiban suami. Akibatnya, jikaeorang suami tidak mengizinkan istrinya bekerja, istri harus patuh. Setidaknya itulah yang Jinan pahami dari ajaran agama yang selama ini ia serap.

Jinan memahami potongan ayat, arrijalu qawwaamuuna ‘alannisaa, bahwa laki-laki adalah pemimpin atas perempuan. Dengan begitu, ayahnya adalah pemimpin bagi Jinan dan ibunya. Setuju atau tidak, Jinan dan ibunya harus patuh pada setiap permintaan ayahnya.

Namun, bukan hanya itu yang mendasari pandangan Jinan. Tahun 2017, setelah masuk perguruan tinggi di sebuah Universitas Islam Negeri, Jinan mengikuti organisasi mahasiswa di Masjid Salman Bandung. Ia juga mengikuti kajian-kajian keagamaan daring dari ustaz-ustaz populer, salah satunya ustaz Adi Hidayat. Ia masih ingat satu ceramah yang disampaikan oleh ustaz Adi Hidayat, bahwa perempuan tidak punya kewajiban bekerja, sehingga tempat terbaik bagi perempuan adalah di rumah.

Pada saat yang sama Jinan bimbang atas pemahaman agamanya. Diatu sisi, Jinan tidak setuju keputusan ayahnya yang melarang ibunya bekerja. Sementara di sisi yang lain, Jinan juga sepakat bahwa seorang istri sebaiknya patuh kepada suami, termasuk bila suami melarangnya bekerja.

Ketika Jinan SMA, ayahnya memulai usaha jualan makanan empal gentong di sebuah pusat perbelanjaan di Bandung. Penghasilan dari jualan empal gentong hanya bisa memenuhi kebutuhan sehari-hari keluarga. Ibu Jinan sesekali membantu ayahnya berjualan, begitu juga Jinan dan adiknya. Ibunya sesekali bercerita kepada Jinan bahwa ia tidak bahagia karena ayahnya tidak cukup memenuhi apa yang ibunya butuhkan. Jinan pun merasakan hal yang sama.

Izin Ayah untuk Anak Perempuan

Selain melarang ibunya bekerja, ayah Jinan juga dirasa terlalu keras mendidik anak-anaknya. Jinan kehilangan kebebasan untuk menentukan setiap pilihan dan keputusannya. Peluang Jinan untuk bernegosiasi hilang, apalagi keberanian untuk melawan setiap keputusan ayahnya. Sepanjang hidupnya, Jinan sudah belajar untuk menahan diri mengutarakan keinginan dan pendapatnya yang berbeda dengan ayahnya.

“Aku pingin kuliah S2, tapi kalau dilihat dari segi ekonomi mungkin harus kerja dulu. Kalau misalkan Ayah enggak ngijinin kerja, ya sudah mungkin bantu orang tua jualan, atau enggak ya ngapain aja gitu, yang menurut aku lebih bermanfaat,” ujarnya lirih.

Betapa Jinan dan ibunya kehilangan kuasa atas diri sendiri. Rumah dan keluarga yang semestinya menjadi ruang aman dan nyaman, tempat mereka bisa mencurahkan semua yang mereka inginkan hilang oleh sikap egois dan gengsi ayahnya. Sikap ini memaksa mereka membenamkan setiap keinginan yang bertentangan dengan keinginan sang ayah. Sebagai kepala keluarga, ayahnya menggenggam otoritas penuh untuk membatalkan setiap keputusan yang akan diambil Jinan dan ibunya.

Dalam keterbatasan ekonomi keluarganya, Jinan hanya mampu menerima dan menjalankan setiap kegiatannya lewat izin sang ayah, baik sekolah maupun membantu ayahnya berjualan. Itu satu-satunya cara Jinan dan ibunya bisa tetap bertahan hidup, meskipun dalam kondisi tak berdaya.

Tulisan ini diolah dari catatan  penelitian yang dilakukan pada tahun 2020 oleh Rumah KitaB, lembaga riset untuk kebijakan yang memperjuangkan hak-hak kaum termarginalkan seperti perempuan, orang dengan disabilitas, serta kelompok minoritas suku, ras, dan agama yang mengalami diskriminasi akibat pandangan sosial keagamaan yang bias gender. Penulis mendapatkan pelatihan penulisan kreatif dari Rumah KitaB atas dukungan We Lead.