Pos

PUISI: MUNGKIN AYAHKU LUPA

Karya: Roro Alit

Ayahku berkisah
Kakek moyangnya orang pelaut
Mereka mengarungi samudra
Berlayar dari Makassar hingga Madagaskar

Tapi aku teringat Oana
Perempuan pintar, teguh, pemberani dari Lautan Teduh.
Mungkin Ayah lupa cerita tentang Nenek
Nenek moyangku juga pelaut

Ayahku berkisah
Kakek moyangku petani sawah
Mereka mengolah ladang, membuka hutan dan tegalan
Ditangannya
benih berubah menjadi bulir padi

Tapi aku teringat kisah Dewi Sri
Tangannya kasap mengolah sawah sehari-hari
Mungkin Ayah lupa cerita tentang nenek
Nenekku juga seorang petani

Ayahku berkisah
Kakek moyangku seorang pedagang
Mereka berniaga merambah Jalan Sutera
Dibawanya rempah dan harum cendana

Tapi aku ingkat Khadijah
Perempuan kaya dari Semenanjung Arabia
Mungkin Ayah lupa cerita tentang nenek
Nenekku juga seorang pedagang

Ayahku berkisah
Kakek moyangku pekerja keras
Mereka menjadi pamong, guru desa
bahkan presiden

Tapi aku teringat emakku dan para Inak
Mereka bekerja lebih keras
Mencari nafkah dan mengurus Ayah
Mungkin Ayahku lupa
Ibuku seorang pekerja keras

Lalu ayah bertanya,
apa ceritamu Nak?
Di mataku tergambar jelas
Nenekku, ibuku, embokku, dan para inak
Di pelupuk mataku mereka menari-nari
Ada Ibu guru, Ibu bidan, Ibu Lurah, Ibu dokter, dan penyair
Juga Inak yang jadi pelaut, nelayan, petani, pegawai hingga saudagar
Dimanakah Ayah menyimpan kisahnya ?
Padahal bagiku
Merekalah teladanku!

Bogor 170221

Seri 3 Webinar Muslimah Bekerja: Opening Remarks: Allaster Cox

Seri 3 Webinar Muslimah Bekerja

Opening Remarks: Allaster Cox (Charge d’Affaires of the Australian Embassy Jakarta)

Saya menyampaikan selamat kepada Rumah KitaB atas peluncuran kampanye Muslimah Bekerja hari ini, yang bertujuan untuk mendukung perempuan bekerja.

Kami dari pemerintah Australia senang bisa mendukung kampanye ini melalui program IW. Kampanye Muslimah Bekerja menegaskan bahwa perempuan bisa berpartisipasi aktif di seluruh lapisan masyarakat Indonesia. Kami menyadari bahwa hambatan sosial, budaya, dan agama bisa membatasi ruang gerak perempuan bekerja.

Melalui jaringan mitra Rumah KitaB, Kampanye ini memastikan bahwa percakapan terkait narasi agama ini akan dipimpin oleh individu yang terpercaya dan berwibawa. Diskusi hari ini juga akan membahas narasi yang mendukung partisipasi perempuan dalam bidang ekonomi, termasuk peluang dan tantangannya.

Kesetaraan gender adalah salah satu tantangan global yang paling mendesak saat ini, terlebih saat pandemi.

Data lembaga riset SMERU menyebutkan bahwa pada masa pandemi Covid-19 ibu-ibu di Indonesia mengambil tanggung jawab pengasuhan—yang tidak dibayar- tiga kali lebih besar dibandingkan ayah. Di masa pandemi, tingkat PHK perempuan juga lebih tinggi daripada laki-laki. Data menunjukkan, 20 persen perempuan yang ingin berpartisipasi di dunia kerja merasa terhambat disebabkan oleh peranan pengasuhan mereka.

Tantangan bersama untuk memastikan pertumbuhan ekonomi yang inklusif gender telah menuntut Indonesia dan Australia untuk bekerjasama lebih baik lagi. Melalui program IW, kami mendukung koalisi bisnis Indonesia untuk mempromosikan kesetaraan gender di tempat gender.

Melalui mitra IW, kami ingin menghilangkan adanya stereotip gender di masyarakat—yang seringkali menjadi hambatan bagi perempuan bekerja. Pemerintah Australia yakin bahwa dengan memaksimalkan keterlibatan perempuan dalam ekonomi maka Indonesia dan Australia bisa bersama-sama keluar dari krisis Covid-19.

 

Seri 2 Webinar Muslimah Bekerja: Memilih Peluang Memanfaatkan Kesempatan

Ringkasan Pidato Kunci
Memilih Peluang Memanfaatkan Kesempatan

DR. (H.C.) Shinta Nuriyah Abdurrahman Wahid, M.Hum.

Pertama-tama saya ingin menyampaikan SELAMAT HARI PEREMPUAN INTERNSIONAL yang ke 64 – jika dihitung sejak peresmiannya oleh PBB tahun 1975. Atau yang ke 111 jika kita hitung dari awal gerakan kaum permpuan yang mempelopori lahirnya Hari Perempuan Internasional di berbagai belahan dunia. Memakai tahun yang manapun, bagi saya, 8 Maret sangatlah istimewa. Karena bertepatan juga dengan hari ulang tahun saya. Jadi tanpa ada pesta pun, seluruh dunia selalu merayakannya. Dalam kesempatan ini, saya akan menyampaikan pokok-pokok pikiran saya mengenai topik : Memilih Peluang Memanfaatkan Kesempatan.

Dalam suasana pandemi seperti sekarang ini, peran perempuan menjadi sangat penting, karena dalam situasi yang tidak normal, perempuan justru menjadi tumpuan bagi setiap keluarga. Saat para lelaki bingung dan mengalami depresi karena kehilangan pekerjaan, perempuan menjadi penentu keutuhan keluarga. Perempuan menjadi tumpuan kegalauan suami menghadapi tekanan- tekanan hidup. Kalau pemerintah tidak responsif pada perubahan-perubahan ini, dan kalau perempuan tidak kuat, maka keutuhan keluarga bisa terancam. Tapi jika pemerintah responsif gender, memperhatikan perubahan-perubahan relasi yang terjadi yang disebabkan oleh pandemi ini maka perempuan akan tangguh dan kuat, bisa membangkitkan dirinya sendiri dan atau membangkitkan semangat suami (lelaki), membantu menyelesaikan tekanan hidup secara bersama-sama. Perempuan tidak hanya dituntut berperan ganda, tetapi harus menjalankan multi peran; sebagai ibu, istri, pendidik, sekaligus juga tulang punggung keluarga demi kelangsungan hidup rumah tangga dan keluarganya. Dan untuk itu dukungan pemerintah, sistem di dalam masyarakat, sektor usaha serta pandangan sosial keagamaan harus ikut mendukung.

Data Biro Pusat Statistik menunjukkan, jenis pekerjaan perempuan telah menyebar di berbagai profesi, mulai dari sektor jasa sampai sektor kepemimpinan. Survey tahun 2018 dan 2019 menunjukkan gambaran luasnya kesempatan kerja bagi perempuan ( Lihat Gambar 1)

Sebagaimana terlihat dalam diagram di atas, sektor jasa merupakan profesi yang paling banyak menyerap tenaga kerja perempuan, sebesar 58,91%, disusul tenaga profesional, tehnisi dan tenaga usaha penjualan (marketing), sekitar 55%, pejabat pelaksana, tenaga tata usaha dan sebagainya, sekitar 50%, tenaga usaha pertanian, perburuhan dan sebagainya 49%, tenaga produksi, operator alat angkutan dan sebagainya 24%, tenaga kepemimpinan dan ketatalaksanaan 21,66%, lain-lain 8%.

Data ini menunjukkan, pertama terbukanya berbagai jenis lapangan pekerjaan bagi kaum perempuan. Saat ini hampir tidak ada lagi jenis pekerjaan yang tabu dilaksanakan oleh kaum perempuan, demikian sebaliknya; kedua meningkatnya profesionalitas sebagai ukuran dalam pekerjaan. Artinya penerimaan tenaga tidak lagi mempertimbangkan faktor gender (jenis kelaminnya) tetapi pada profesionalitas seseorang. Ketiga, meningkatnya profesionalitas kaum perempuan dalam berbagai bidang pekerjaan sehingga bisa berkompetisi dengan kaum laki-laki.

Data-data penyebaran tenaga kerja perempuan di berbagai bidang profesi menunjukkan bahwa saat ini taraf pendidikan dan penguasaan soft skill perempuan sudah meningkat secara signifikan sehingga mampu berkompetisi secara profesional dengan kaum lelaki.
Masuknya perempuan dalam berbagai ragam pekerjaan itu merupakan sesuatu yang membahagiakana dan patut dirayakan, namun bukan berarti hal tersebut menunjukkan hilangnya masalah atau tantangan bagi kaum perempuan.

Paling tidak ada tiga hal pokok yang menjadi tantangan atau masalah bagi tenaga kerja perempuan. Pertama, soal kesetaraan upah antara kaum lelaki dan perempuan terutama disektor pekerjaan informal. Data statistik menunjukkan sejak tahun 1990 hingga 2013 upah/gaji yang dterima oleh pekerja perempuan selalu lebih rendah jika dibandingkan dengan pekerja lelaki. Kesenjangan upah/gaji rata-rata antara pekerja lelaki dengan perempuan sekitar 30% setiap dekade. (Abdullah, 1995). Kondisi ini mengindikasikan masih adanya konstruksi sosial yang masih menempatkan perempuan secara subordinat dalam berbagai kegiatan ekonomi.

Kedua, soal etos kompetisi dan peningkatan kualitas bagi kaum perempuan. Dalam suasana kompetisi yang sudah terbuka seperti sekarang ini, d imana persoalan seharusnya gender bukan menjadi penghalang untuk memperoleh pekerjaan, maka yang dibutuhkan adalah peningkatan skill dan profesionalitas bagi kaum perempuan agar memiliki kualifikasi yang tinggi sehingga memenangkan kompetisi. Ini merupakan kesempatan sekaligus tantangan bagi kaum perempuan. Artinya, meski kesempatan sudah terbuka, berbagai lapangan pekerjaan terbuka, tetapi jika kaum perempuan tidak mampu memanfaatkan dengan meningkatkan kualitas diri serta tidak ada daya dukung sosial di keluarga untuk bersama-sama mengatasi beban rumah tangga maka dengan sendirinya perempuan akan tersingkir dan kalah dalam kompetisi. Sehingga pintu yang telah terbuka akan tertutup kembali. Bukan kerena persoalan dia pekerja perempuan tetapi karena tenaga kerja perempuan tersebut tidak memiliki kualifikasi yang memadai, baik akibat beratnya beban karena menghadapi beban ganda maupun kuatnya hal-hal yang menghalanginya untuk berani bersaing. Tantangan ini hanya bisa dijawab dengan meningkatkan kualitas diri naik secara ketrampilan (skill) maupun intelektual serta perubahan di tingkat keluarga yang mendukung mereka.

Ketiga, soal pemahaman keagamaan yang sempit dan dangkal. Ini persoalan serius terkait dengan memilih dan memanfaatkan kesempatan bekerja yang telah terbuka bagi kaum perempuan. Pemahaman agama yang sempit dan dangkal bisa menjadi belenggu bagi kaum perempuan untuk memperoleh kesempatan kerja yang telah terbuka. Saat ini ada sejumlah perempuan berhenti menjadi karyawan dan tenaga profesional setelah mengikuti gerakan hijrah. Ada di antara mereka yang sudah sampai menduduki jabatan manager di suatu bank, menjabat di posisi strategis di suatu perusahaan dan lembaga bergengsi. Tapi mereka keluar dengan alasan perintah agama dan ingin mencari rejeki yang halal. Cara pandang seperti ini telah menutup kesempatan dan pintu bagi kaum perempuan untuk berkarya mengembangkan profesinya yang sebenarnya juga merupakan perintah agama. Fenomena ini menunjukkan bahwa pemahaman agama yang sempit bisa menutup pintu pekerjaan kaum perempuan yang sudah terbuka.

Tiga tantangan utama inilah yang harus dijawab dan diselesaikan oleh kita bersama terkait dengan upaya memilih peluang dan memanfaatkan kesempatan untuk memperoleh pekerjaan bagi kaum perempuan. Jika ketiga tantangan tersebut tidak bisa diselesaikan, maka terbukanya pintu dan kesempatan yang sudah terjadi seperti sekarang ini bukan tidak mungkin akan tertutup lagi. Sebaliknya jika kita semua bisa menjawab dan menyelesaikan tiga persoalan dasar di atas, maka kaum perempuan tidak saja bisa mempertahankan kesempatan dan peluang tetapi justru akan menjadi pemenang dalam setiap kesempatan dan peluang. Dengan demikian perempuan bisa benar-benar merayakan ragam perkerjaan yang telah diperolehnya melalui kompetisi yang sehat dan profesional serta kebijakan yang responsif dan sensitif kepada keadaan perempuan dengan peran-perannya yang multi fungsi tadi [].

Seri 10 IWD 2021: Kerja Kaum Perempuan di Kampung-Kampung di Nusa Tenggara Timur

Seri 10 IWD 2021 / Rumah KitaB / Muslimah Bekerja

Kerja Kaum Perempuan di Kampung-Kampung di Nusa Tenggara Timur

Oleh: Fransiska Filomena Weki Bheri

Sebagai seorang perempuan yang berasal dari Nusa Tenggara Timur, saya sudah terbiasa melihat perempuan-perempuan di sekitar saya bekerja. Saya tidak heran melihat perempuan bekerja macam-macam pekerjaan. Ada yang dibayar, namun lebih banyak yang tidak dibayar. Tapi semuanya butuh waktu, tenaga dan biaya.

Di Desa Nggela, Kecamatan Wolojita, Kabupaten Ende, Nusa Tenggara Timur, yang merupakan kampung halaman saya, para perempuan bekerja mencari nafkah seperti bertani di kebun dan menenun. Ada juga yang bekerja formal seperti guru, bidan atau aparat desa. Tapi perempuan umumnya mengerjakan banyak hal. Tetangga saya, Ibu Klara Badhe salah satunya.

Mama Klara demikian biasanya dia dipanggil. Umurnya mungkin 56 tahun karena anaknya yang sulung, laki-aki sudah tamat SMP beberapa tahun lalu dan pergi merantau entah kemana. Sehari-hari Mama Klara mencari nafkah dengan menenun. Kadang ia menerima upah menenun atau menenun dengan modal benang yang ia beli sendiri. Setiap hari ia menenun hampir 12 jam diselingi memasak, mengambil air atau mencari kayu bakar.  Selain menenun ia juga mengurus rumah tangga sambil merawat ibunya yang sudah tua yang tinggal bersamanya. Mama Klara bekerja untuk memenuhi kebutuhan ekonomi keluarganya. Sejak beberapa tahun lalu dia menjadi orang tua tunggal setelah suaminya meninggal. Dialah tulang punggung keluarga untuk anak-anaknya dan ibunya.

Sebagaimana perempuan-perempuan lain di kampung kami, Mama Klara juga aktif dalam berbagai kegiatan sosial dan kegiatan rohani. Di kampung kami yang mayorias beragama Katolik hampir sepanjang tahun ada kegiatan keagamaan baik kegiatan harian, mingguan atau yang bersifat rutin tahunan. Puncak kesibukan warga kampung saya, seperti warga di kampung lain di NTT adalah Perayaan Natal, Paskah dan Perayaan Bulan Maria.

Perayaan Bulan Maria menurut saya meupakan perayaan yang unik. Tidak semua wilayah yang beragama Katolik seperti di Jawa mengadakan upacara adat seperti ini. Bulan Maria biasanya berlangsung pada bulan Mei atau Oktober sesuai ketentuan Gereja di NTT.  Secara adat pada bulan itu orang mengadakan upacara Devosi. Devosi adalah sebuah upacara penghormatan kepada Bunda Maria dengan cara mengarak patung Bunda Maria dipindahkan dari satu kampung ke kampung lain. Dulu upacara itu dihubungkan dengan saat setelah musim panen. Semua warga akan ikut terlibat dengan kegiatan itu. Meriah sekali di sepanjang jalan di kampung-kampung yang dilalui arak-arakan patung itu. Mereka akan memakai kain tenun yang bagus berjalan menuju desa tetangga sambil mengarak patung. Keiatan itu bisa berlangsung sesorean hingga malam dan selama berhari-hari. Dan jika sedang perayaan Bulan Maria pekerjaan  menenun bisa ditunda atau berhenti sama sekali.

Di luar hari-hari keagamaan dengan komunitas seperti itu, Mama Klara punya banyak kegiatan di komunitas. Ikut kerja membantu tetangga yang akan punya pesta baik perkawinan, kematian atau yang berkaitan dengan kegiatan keagamaan seperti upacara Sambut Baru. Sambut Baru adalah upacara penerimaan sakramen maha kudus atau biasa juga disebut penerimaan Komuni. Masyarakat Desa Nggela masih sangat lekat dengan tradisi dan kegiatan adat serta agama. Semuanya diikuti dengan patuh oleh warga.

Dengan begitu selain mencari nafkah Mama Klara juga sibuk  dengan kegiatan lainnya. Kegiatan-kegiatan itu memang tidak berbayar, tapi jika Mama Klara punya hajat dia dan keluarganya juga akan mendapat bantuan dari tetangganya. Di bulan tertentu beliau terlibat dalam  kegiatan adat bersama  warga masyarakat lainnya sesuai ayunan musim dan siklus adat/ gereja.  Selain itu Mama Klara  juga aktif di kegiatan gereja seperti mengikuti perayaan Ekaristi, membersihkan gereja, mengikuti ziarah rohani, doa rosario, dan mengikuti latihan koor. Semua kegiatan tersebut dilakukan secara rutin.

Di Desa Nggela mayoritas pekerjaan perempuan sering hanya didata sebagai ibu rumah tangga atau menenun. Para perempuan di desa tersebut sama halnya dengan Mama Klara ternyata sangat sibuk sekali. Selain bekerja sesuai profesi mereka juga mengadakan dan melaksanakan kegiatan lainnya yang ada di kampung. Misalkan  musim tanam dan panen mereka membantu para suami atau tetangganya di kebun. Ada kegiatan adat, gereja, sosial dan pemerintah para perempuan juga ikut andil dalam kegiatan tersebut. Tujuan mereka menjalankan semua kegiatan dan profesi tersebut adalah memenuhi kebutuhan sehari-hari, bersosialisasi, dan menjaga kekerabatan untuk saling membantu mengatasi beban di komunitas. Walaupun berbeda profesi tapi para perempuan di desa selalu mempunyai cara untuk tetap berkumpul seperti mengadakan arisan dan kegiatan upacara-upacara dari kelahiran sampai kematian. Ibu Klara selalu sibuk, hampir tidak ada waktu tersisa yang bisa ia gunakan untuk dirinya sendiri.

Dari cerita Mama Klara, selain menjadi penenun untuk memenuhi kebutuhan ekonomi, ia juga bekerja 100% di ruang domestik, mengurus rumah, ibunya  dan anak-anaknya. Ia juga bekerja di komunitas, melakukan pelayanan secara adat dan agama, yang kesemuanya tidak dibayar. Melalui kisah Mama Klara, di momen Bulan Perempuan Internasional ini, sudah semestinya kita mengenali kerja-kerja rangkap yang perempuan lakukan. Mencari nafkah, mengurus anak dan keluarga, ikut dalam kegiatan komunitas atau mengerjakan ketiganya secara bersamaan.Tanpa perannya, mungkin upacara adat, keagamaan, dan mengurus komunitas akan terhenti, karena perempuan-lah yang menjadi penggerak dari segala urusan tersebut. Tanpa adanya rekognisi, takkan ada upaya untuk menanggapinya, dan perempuanakan terus menanggung beban rangkapnya [].

Seri 8 IWD 2021: Memilih Batas Tepi Antara Angan dan Realitas Kehidupan

Seri 8 IWD 2021 / Rumah KitaB / Muslimah Bekerja

Memilih Batas Tepi Antara Angan dan Realitas Kehidupan

(Cerita  perempuan  tanpa suami yang tinggal di lingkungan Salafi)

 

Oleh: Dwinda Nur Oceani

 

Ummu Putri (36) adalah ibu tunggal untuk Putri, berumur 9 tahun. Kesehariannya mengurus anaknya dan berdagang jajanan seperti onde-onde dan telur asin yang ia produksi sendiri. Untuk memenuhi kebutuhannya ia harus berjualan setiap hari karena kue-kue yang dijual tak bisa disimpan. Selain itu ia juga menjual makanan ringan dititipkan di mana ia hanya mengambil untung kecil dari selisihnya. Keahlian lainnya adalah pijat dan bekam. Keahilan itu ia peroleh dari sesama jemaah yang dimanfaatkan untuk mencari nafkah. Ia tidak menyia-nyiakan keahliannya dengan menjual jasa tersebut sebagai tambahan.

 

Sejak tiga tahun lalu Ummu Putri memilih bercerai karena suaminya sering melakukan tindakan kekerasan. Ummu mengurus sendiri perceraiannya karena suaminya tidak mau menceraikan. Menjadi seorang janda dan ibu tunggal bagi seorang anak perempuan ternyata bukanlah  perkara mudah untuk ia jalani di lingkungan yang menormalisasi ajaran Salafi. Sebutan perempuan mandiri dan independen jelas tidak berlaku di lingkungan ini. Berbagai “aturan” yang diterapkan di lingkungan tempat ia tinggal membatasi ruang gerak dan pikirannya. Namun, ia masih menganggap bahwa batasan-batasan itu merupakan amalan yang sudah seharusnya dijalani oleh perempuan, apalagi seorang janda.  Ummu Putri telah memeluk keyakinan yang tumbuh dari pemahaman Salafi melalui proses yang tidak sebentar. Mulai mempelajari ketika semasa ia duduk di bangku SMP/MTs (Madrasah Tsanawiyah), mendapatkan pembelajaran dari teman sekelasnya juga dari melalui majalah Salaf. Setelah dewasa, ia kemudian mencari tempat dan lingkungan yang memegang ajaran Salafi ini. Hal tersebut bagaikan mimpi menjadi kenyataan baginya, setelah mendambakan untuk tinggal di lingkungan yang dikelilingi oleh teman-teman satu komunitas/kelompok yang memiliki pemahaman sama dengannya terkait ajaran agama. Ia pun memilih untuk melanjutkan kehidupannya di lingkungan tersebut.

 

Perempuan bekerja merupakan hal yang tidak lazim bagi perempuan-perempuan di kelompok Salafi. Tentu saja sedapat mungkin mereka berikhtiar, namun dijalankan dari rumah. Karenanya memiliki keterampilan seperti memijat dan bekam dengan membuka praktek di rumah itu penting. Tapi keahlian itu juga dimiliki perempuan-perempuan lain yang pernah ikut kursus bekam. Dengan anggapan bahwa sebaik-baik perempuan adalah  yang tinggal di rumah dan mengurus keluarga, perempuan-perempuan yang ada di dalam komunitas itu umumnya tidak bekerja di luar rumah. Paling jauh mereka jadi guru di dalam lingkungannya.

Dalam keyakinan mereka, tinggal di rumah adalah hal yang diharuskan. Alasan paling umum adalah untuk menjaga kehormatan perempuan dan suaminya yang berkewajiban melindunginya. Keharusan untuk tinggal di rumah juga karena mereka meyakini secara kodrati perempuan adalah sumber fitnah yang dapat menimbulkan kegoncangan di dalam masyarakat. Untuk menghindarinya, perempuan  secara fitrah  seharusnya tinggal di rumah, mengurus keluarga, mengerjakan hal-hal domestik, dan fokus beribadah saja. Adapun pekerjaan yang diperbolehkan dalam lingkungan atau kelompok Ummu Putri, seperti menjadi pengajar/guru untuk kalangannya dan berdagang namun harus didampingi oleh mahram. Hal tersebut ditujukan salah satunya untuk menghindari ikhtilath (bercampur/interaksi dengan yang bukan mahram) antara perempuan dan laki-laki. Sudah menjadi hukum paten.

 

Ummu Putri memang memiliki keyakinan yang tumbuh dari ajaran Salafi. Namun realita kehidupannya tidak dapat memenuhi  harapan atas pemahaman tersebut. Hal itu membuatnya seakan berada di tengah garis antara harus menjalani yang ia yakini mengenai fitrah perempuan namun mengenyampingkan realita kehidupannya, atau ia menjalani realita hidupnya dengan bekerja sebagai pedagang dan menjual jasanya namun stigma negatif akan terus datang padanya.

 

Resah yang ia simpan direspon oleh salah satu jemaah yang tinggal di lingkungan yang sama. Awalnya ia merasa bahwa rekannya berada di sisinya untuk mendukung dan memberikan solusi namun nyatanya menjadi buntu. Ia justru diminta untuk introspeksi diri, dianggap sebagai perempuan yang melanggar aturan agama dan menyalahi fitrahnya sebagai perempuan, karena ia berdagang seorang diri tanpa ditemani mahram, dan menjajakan apa yang bisa ia jual dengan usahanya sendiri. Ia justru diceramahi untuk banyak berdoa agar dipermudah mendapatkan suami yang dapat menanggung beban kehidupannya, agar ia dapat kembali ke rumah dan hanya mengurus keluarga sebagai bentuk amalan kehidupan. Ummu Putri merasa bahwa rekannya tidak memiliki rasa empati, padahal ia tahu bagaimana keadaan Ummu Putri.

 

“Dia tau gimana keadaan aku, kenapa aku kerja keras dan tidak diam saja di rumah. Aku juga tau apa yang aku lakuin bukan sunnahnya perempuan. Tapi ya aku balik lihat keadaanku untuk memenuhi kebutuhan ya harus mencari nafkah. Kalau aku nurutin kata orang dari mana aku dapat penghasilan. Sedih kalo cuma dengerin kata orang, karena orang yang ngomong ke aku secara finansial sudah mapan, makanya mudah saja bilang seperti itu.” Ungkap Ummu Putri. Namun, tekanan tersebut membuat Ummu Putri menjadi resisten dan berpikir bodo amat karena  siapa lagi yang akan menolong dirinya kalau bukan dirinya sendiri. Lantaran ia butuh. Angan-angan menjadi istri soleha yang bertugas di ranah domestik dan berkewajiban mengurus suami dan mendidik anak ia kesampingkan dengan perasaan yang berat pastinya. Kembali pada realita kehidupannya menjadi prioritas. Jika hanya mendengarkan orang-orang yang sebenarnya tidak betul-betul peduli dan tidak mengakui kehadirannya sebagai perempuan mandiri hanya akan membuang waktu dan menggerus perasaannya.

 

Sudah terlalu lelah mendengar dan menanggapi apa yang orang katakan. Ia memilih untuk tidak mendengarkan walau ada perasaan sedih yang tidak diungkap pada orang-orang yang menceramahinya. Dengan memilih untuk terus bekerja, berjuang untuk menghidupi dirinya dan anak perempuan satu-satunya merupakan bukti bahwa ia tidak menyerah dengan keadaan dan pada aturan yang membelenggu ruang gerak dan pikirannya. Ia mencoba menciptakan ruang tak bersekat bagi dirinya untuk dapat bertahan di jalan ridha Allah sesuai yang ia pahami dan ia jalani. [DNO]

 

Sumber gambar: https://www.google.com/amp/s/m.republika.co.id/amp/qeydtg320

Seri 7 IWD 2021: Siapa Bilang Bekerja Bukan Untuk Perempuan, Apalagi Perempuan Menikah

Seri 7 IWD 2021 / Rumah KitaB / Muslimah Bekerja

 “Siapa bilang Bekerja bukan untuk Perempuan, apalagi Perempuan Menikah?”

 Oleh Faurul Fitri

Sebelum pandemi COVID-19 ‘menyapa’ Indonesia, saya beserta dua peneliti Rumah KitaB tinggal dan berbaur dengan masyarakat di Bekasi untuk melakukan penelitian etnografi. Tinggal di wilayah industri ternyata cukup menantang. Macet, panas, lingkungannya padat serta bising. Situasi ini terasa semakin sesak ketika bertemu dengan seorang perempuan pekerja di salah satu pabrik di Kabupaten Bekasi. Seorang perempuan yang telah mengabdikan diri di pabrik makanan instan selama lebih dari 8 tahun. Untuk Penelitian ini saya menyebutnya Ratna. Melalui perbincangan dengan Ratna saya punya catatan yang saya rasa relevan untuk diceritakan dalam kerangka hari Perempuan Internasional tahun ini.

Dahulu, diawal masa kerja, Ratna punya teman yang sangat banyak. Mereka datang dari suku, etnis, bahasa dan latar belakang kebiasaan atau budaya yang bermacam-macam. Banyak hal yang dapat dipelajari dari pertemanan yang banyak itu. Kita jadi mengenal kebiasaan, makanan, ungkapan-ungkapan termasuk adat istiadat. Namun seketika hubungan pertemanan itu menjadi tersekat-sekat ketika muncul pandangan-pandangan yang mengatur banyak hal terkait apa yang boleh dan tidak boleh dilakukan oleh perempuan berdasarkan agama. Begitu rumitnya, akhirnya Ratna memilih hanya berkawan dengan beberapa teman non-muslim saja.

Sebagaimana banyak pekerja yang datang dari daerah, awalnya, Ratna belum banyak teman. Tapi ia berusaha membaur dan berteman dengan siapapun. Sifatnya sebagai perempuan Jawa membuatnya enggan atau “pekewuh” – nggak enak hati-  untuk menolak berteman dengan siapa saja. Lagi pula ia merasa banyak manfaatnya dengan berteman. Antara lain berteman dengan mereka yang mengajak ikut kegiatan pengajian.

Bersama dengan teman-temannya Ratna mulai mengikuti kajian rutin mingguan yang diselenggarakan oleh pengurus masjid pabrik. Hari Jumat adalah kajian paling ramai karena sering menghadirkan ustad dari luar pabrik dan dari berbagai kalangan. Seiring berjalannya waktu Ratna semakin sering mengikuti kajian, meski sebenarnya banyak hal-hal yang tidak sejalan dengan pemahamannya sebagai seseorang yang tumbuh di lingkungan NU kultural, namun Ia sulit menolak karena ‘pekewuh’.

Di saat tertentu setelah mengikuti pengajian Ratna merasa ada hal-hal yang mengganjal pikirannya. Ia sering mendapatkan ‘siraman rohani’ yang menjelaskan kewajiban-kewajiban perempuan. Antara lain kewajiban untuk mengurus rumah tangga dan larangan bagi perempuan bekerja karena akan banyak menimbulkan fitnah. Ajaran ini sering membingungkan Ratna. Ia juga mendengar teman-temannya yang akhirnya memutuskan untuk keluar dari pekerjaan ketika sudah menikah atau akan menikah, mereka hanya ingin taat dan melayani suami di rumah.

Pergolakan pikiran pun terjadi pada Ratna. Ia ingin mengikuti ajaran dengan dalil-dalil yang menjelaskan mengapa perempuan sebaiknya hanya tinggal di rumah. Namun hati nuraninya mengatakan ia tidak ingin berhenti bekerja. Baginya, Ia bekerja atas dasar kemauannya dan hak atas pilihan hidupnya. Suaminya pun tak memaksanya untuk berhenti bekerja dan tak juga memaksanya untuk bekerja. Bekerja atau tidak bekerja adalah hak sang istri. Sebuah keputusan yang menurut saya sangat demokratis dan adil, dan buat saya ini menggembirakan mengingat pasangan itu bukan datang dari kalangan berpendidikan namun mereka mampu menerapkan rumah tangga yang setara.

Tidak hanya berhenti disitu, Ratna kerap diingatkan teman-temannya untuk berpakaian syari, berkerudung lebar dan menutup dada. Maklum, Ia hanya berkerudung sederhana dengan diikat ke belakang. Namun menurutnya untuk bekerja di pabrik yang membutuhkan pakaian yang simple dan aman itu lebih penting daripada pakaian yang memenuhi syar’i tapi membahayakan. Hal yang membuat Ratna kurang senang mereka mengingatkan dengan cara yang cenderung memaksa. Ratna merasa pilihan-pilihannya dalam cara berpenampilan telah dinilai dengan cara yang negatif padahal ia tetap menggunakan jilbab. Cara itu membuatnya seperti terpojok tak diberi hak untuk memilih atas tubuhnya.

Di tahun-tahun awal bekerja Ratna masih menenggang rasa atas ajakan-ajakan teman-temannya. Itu lantaran merekalah orang-orang yang ia kenal saat menjadi pekerja baru. Titik balik yang membuatnya melepaskan diri dari lingkaran tersebut adalah ketika mereka kerap kali mengajaknya untuk “berjihad” saat kasus penistaan agama bergulir dalam konteks Pilkada DKI. Mereka pun berbondong-bondong ikut dan mengajaknya untuk melakukan aksi membela Islam sampai berkali-kali.

Ratna merasa ajakan mereka sudah tidak masuk akal. Bekerja bagi Ratna adalah berjihad juga. Baginya tak perlu turut berdemo untuk berjihad, dengan bekerja pun seorang pekerja telah berjihad. Demikian juga dengan melakukan kebaikan kepada sesama itu juga berjihad. Definisi berjihad baginya tidak sebatas berdemo dan berperang saja, lebih dari itu.

Perlawanannya dengan cara menolak berdemo berkali-kali, menolak paksaan berkerudung besar, serta menolak berhenti bekerja karena telah berkeluarga, membuatnya dijauhi teman-temannya. Bukan bersedih, namun Ia malah senang, Ratna merasa terbebas dari ajakan dan tekanan kelompoknya. Ia merasa hidupnya untuk dirinya sendiri bahkan suaminyapun tak pernah memaksa. Ratna merasa ia berhak secara penuh atas tubuh dan pilihannya.

Pada akhirnya Ratna berani berkata ‘tidak’ kepada elompok-kelompoknya dengan tetap masih bekerja di pabrik yang sama, Ia dapat menyelamatkan diri dari toxic relationship, baik pertemanan maupun hubungan-hubungan lainnya. Bagi ratna, dan saya setuju pada pilihannya, setiap orang berhak atas tubuh dan ketubuhannya, serta berhak memilih atas pilihan-pilihan hidupnya. FF []

Seri 5 IWD 2021: PEREMPUAN SANTRI ADALAH PEREMPUAN YANG BEKERJA

Seri 5 IWD 2021 / Rumah KitaB / Muslimah Bekerja

PEREMPUAN SANTRI ADALAH PEREMPUAN YANG BEKERJA

(Ibuku Perempuan Kepala Keluarga)

 

Oleh Jamaluddin Mohammad

 

Saya hidup dan besar di lingkungan pondok pesantren. Ayah saya seorang guru ngaji sekaligus pimpinan pesantren. Sebelum menjadi PNS, ayah saya sepenuhnya menjadi pengasuh para santri. Sebagai guru ngaji yang tak berpenghasilan tetap, ayah saya pernah nyambi mencari nafkah macam-macam usaha; berjualan bakso keliling, berkebun, hingga berternak ayam.

 

Untuk mencukupi perekonomian keluarga, ibu saya membuka warung nasi untuk para santri. Ibu pernah bercerita, setiap jam dua malam ia pergi ke pasar belanja keperluan warung sekaligus dilanjutkan untu memasak, menyiapkan sarapan untuk para santri. Setelah beranjak tua dan memiliki enam orang anak, segala urusan warung diserahkan kepada para santri putri senior yang berhidmat kepada pesantren ayah saya. Mereklah yang kemudian mengelolanya.

 

Ibu saya tipikal perempuan tangguh yang tak mau bergentung pada suami. Untuk menutupi kebutuhan keluarga, ibu saya berdagang, berkebun juga bertani. Seingat saya, selama saya sekolah dan mesantren, saya selalu meminta uang kepada ibu. Jarang sekali meminta kepada ayah. Menurut pengakuan ibu, ia jarang diberi uang oleh ayah. Tapi ibu memaklumi. Hari-hari ayahku  dihabiskan seluruhnya untuk mengajar — dari pagi hingga larut malam nyaris tanpa libur. Ia hanya mengandalkan gaji bulanan PNS guru madrasah yang tak seberapa. Ayah saya dimasukkan PNS oleh paman saya yang ketika itu —- sekitar tahun 70an — pemerintah sedang membutuhkan guru agama.

 

Dalam kehidupan keluarga, ibu saya praktis berperan sebagai kelapa keluarga.  Hampir seluruh tanggung jawab dan kebutuhan keluarga ditangani oleh ibu dan cara ibu. Secara de facto ibulah kepala keluarga di rumah tangga orang tua saya. Semua persoalan keluarga dipikirkan dan kemudian diputuskan oleh ibu setelah dibicarakan dengan ayah. Ayah biasanya hanya mengamini dan menyetujui. Meskipun demikian, ayah saya tak pernah menunjukkan bahwa beliau merasa dilangkahi atau diambil alih wewenangnya sebagai “kepala keluarga”. Mungkin, secara normatif, ayah saya adalah kepala keluarga. Namun, seluruh tugas dan fungsi kepala keluarga, wewenangnya ada pada ibu saya.

 

Mungkin, bagi sebagian orang yang cara pandang keagamaannya masih sederhana, perempuan sebagai kepala keluarga masih dianggap aneh, di luar mainstream, bahkan bertentangan dengan norma dan ajaran agama. Pandangan dan pemahaman bahwa suami sebagai kepala keluarga memang sudah melembaga baik dalam Undang Undang Negara maupun agama. Undang Undang No. 1 Tahun 1974 tentang perkawinan Pasal 31 Ayat 3 menyebut bahwa “Suami adalah kepala keluarga dan istri ibu rumah tangga”. Begitu pun dalam agama, mayoritas ulama menafsiri QS An-Nisa:34 dengan laki-laki sebagai kepala keluarga.

 

Sebagai kepala keluarga, suami memiliki otoritas dan tanggung jawab penuh terhadap keluarga, termasuk di dalamnya tanggung jawab terhadap kehidupan ekonomi keluarga. Dari sini kemudian lahir pembagian peran dan tugas berdasarkan jender. Suami bekerja di luar (ruang publik) sedangkan istri mengurus rumah tangga (ruang domestik). Pembagian peran dan tugas ini seolah-olah sesuatu yang given alias sudah paten dan tak bisa diganggu gugat. Bahkan ia disebut sebagai prototype keluarga ideal dan idaman.

 

Padahal, realitasnya tak sesederhana itu. Dalam struktur masyarakat yang masih bersahaja, boleh jadi pembagian kerja yang biner tersebut tak bermasalah. Beban dan tugas keluarga masih bisa ditanggung dan dipikul semuanya oleh seorang suami. Namun, dalam struktur masyarakat dan susunan pembagian kerja yang kompleks, membangun keluarga tak cukup hanya mengandalkan suami. Sebuah keluarga butuh kerjasama suami-istri secara timbal balik, saling mengisi dan memenuhi fungsi dan tugas masing-masing yang kadang-kadang harus bersilangan untuk membangun kesalingan. Karena itu, pembagian kerja berdasarkan jender antara domestik dan publik sulit menemukan relevansinya  lagi. Mengingat kedua ruang tersebut saat ini siapapun bisa saling mengisi dan bertukar tempat.

 

Demikian halnya  yang dilakukan ibu saya. Ketika semua waktu suaminya dihabiskan untuk mengajar dan mendidik santri-santrinya, maka ruang kosong lain diisi ibu saya. Ibu berdagang dan bertani untuk menopang kehidupan ekonomi keluarga sekaligus membantu para santri yang bagi ibu saya juga dianggap anak-anaknya. Anehnya, hal ini terjadi di sebuah keluarga santri, keluarga yang sangat ketat menjaga norma-norma dan ajaran agama. Sebuah keluarga kiai yang pasti membaca QS An-Nisa:34 itu. Artinya, dalam kehidupan nyata, tafsir keagamaan begitu lentur dan fleksibel, bisa beradaptasi dengan ruang dan waktu. Hal ini sejalan dengan salah satu kaidah fikih: “al-hukmu yadurru ma’a illatihi wujudan awa adaman” (keberadaan hukum bergantung pada ada/tidaknya illat [alasan yang mendasari hukum]). Jika ilat itu berubah, maka hukum pun ikut berubah dan menyeseuaikan diri.

 

Karena itu, pemahaman dan penafsiran QS An-Nisa: 34 harus dilihat menggunakan kaca mata kesetaraan dan keadilan. Ayat tersebut tidak sedang mensubordinasi perempuan. Jika ayat itu dipahami secara tidak adil dan bias jender, maka akan bertentangan dengan ayat-ayat lain yang mengabarkan dan mengajarkan kesetaraan. Ajaran Tuhan tak mungkin kontradiktif dan saling menegasikan. Sebagaimana disebut dalam QS al-Imran: 195, QS al-Nahl: 97, juga QS An-Nisa 123 yang menyebut bahwa seluruh amal perbuatan manusia, baik laki-laki maupun perempuan, akan mendapat balasan setimpal dari Allah SWT. Ampunan Allah SWT berlaku sama baik untuk laki-laki maupun perempuan (QS Al-Ahzab: 23-24). Allah SWT juga tak membeda-bedakan jenis kelamin kecuali berdasarkan ketakwaan (QS al-Hujurat: 13).

 

 

Stereotype Perempuan

 

Hasil penelitian Rumah KitaB tentang “Perempuan Bekerja di Ruang Publik” menunjukkan ada semacam trend baru di kalangan muslim perkotaan untuk merumahkan perempuan. Mereka ingin menghidupkan lagi nilai-nilai dan ajaran konservatif yang membatasi aktivitas dan pekerjaan perempuan hanya di dalam rumah. Salah satunya berangkat dari pandangan stereotype bahwa perempuan adalah aurat dan sumber fitnah. Karena itu, bukan hanya tubuhnya yang harus ditutup rapat-rapat, ruang hidupnya pun harus dibatasi. Salah satu alasan kenapa perempuan tak dibolehkan keluar atau bekerja di luar rumah adalah karena alasan ini. Hal ini didukung pula oleh penafsiran dari ayat  “Berdiam dirilah di dalam rumah dan jangan menampakkan perhiasan (aurat) di hadapan orang lain (QS al-Ahzab: 33).

 

Jika melihat asbab nuzul (konteks) ayat ini, seseungguhnya bukan perintah untuk mendomestikasi perempuan. Ayat ini menyuruh istri-istri Nabi SAW untuk bersikap dan berprilaku sederhana sekaligus memperbanyak ibadah. Namun, mengapa ayat ini dipukul rata untuk semua perempuan? Hal ini tak lain dan tak bukan karena berangkat dari steretoype bahwa perempuan adalah aurat, sumber fitnah, karena itu fitrahnya di dalam rumah.

 

Jika kita jujur membaca ayat-ayat tentang aurat dan perintah menundukkan pandangan (ghaddul bashar), sesungguhnya tak hanya berlaku bagi perempuan (QS An-Nur: 31), melainkan berlaku juga bagi laki-laki (QS An-Nur: 30). Artinya, kita harus jujur dan proporsional, jika perempuan dianggap sebagai seumber fitnah karena aurat, harusnya laki-laki pun demikian karena sama-sama memiliki aurat. Namun, kenapa hanya perempuan yang disebut suber fitnah? Di sinilah pentingnya bersikap adil sejak dalam pikiran, dengan membaca ayat-ayat Allah dalam kehidupan. Wallahu a’lam bi sawab

 

Sumber foto: https://komunita.id/2016/04/07/pekka-perjuangkan-martabat-perempuan-kepala-keluarga/