Pos

Fenomena Perempuan Berhaji Tanpa Mahram

Pemerintah Arab Saudi pada tahun ini untuk pertama kalinya mengizinkan perempuan penduduknya menunaikan ibadah haji tanpa didampingi mahram atau laki-laki yang dianggap dapat melindunginya, seperti suami, anak laki-laki, dan sebagainya. Praktik itu sejatinya telah banyak dilakukan di negara-negara berpenduduk mayoritas Muslim. Bahwa itu dilakukan Arab Saudi pada ibadah haji merupakan salah satu dobrakan dalam reformasi sosial mereka.

Pengumuman tersebut dikeluarkan oleh Kementerian Haji dan Umrah Arab Saudi, 14 Juni lalu. Ibadah haji tahun ini hanya dibuka bagi 60.000 warga yang tinggal di kerajaan ini, baik warga Saudi maupun orang-orang asing di negara tersebut.

Dalam infografis Kementerian Haji dan Umrah Arab Saudi disebutkan, ibadah haji tahun ini hanya diperbolehkan bagi warga berusia 18-65 tahun, memiliki surat keterangan sehat dan negatif Covid-19, serta sudah menjalani vaksinasi Covid-19 lengkap. Tertera pula bahwa perempuan boleh menunaikan haji tanpa perlu didampingi mahram. Para perempuan ini akan dikelompokkan menjadi satu jemaah.

Berdasarkan data Pemerintah Arab Saudi, Rabu (21/7/ 2021), sebanyak 40 persen anggota jemaah haji tahun ini adalah perempuan. Ini mencakup mereka yang beribadah dengan mahram ataupun dalam kelompok khusus perempuan.

Bagi Bushra Shah (35), warga Pakistan yang tinggal di Jeddah, aturan tersebut sangat membantu. Ia dan suaminya, Ali Murtada (38), bisa menunaikan haji secara bergiliran. Pasangan ini memutuskan agar Bushra berhaji tahun ini, sementara Ali di rumah mengasuh anak-anak mereka. Tahun depan, giliran Ali yang berencana berangkat haji.

”Saya bisa konsentrasi beribadah karena tidak perlu mengurus suami dan anak pada saat bersamaan. Berkat aturan ini pula, biaya haji jadi lebih murah bagi keluarga kami karena hanya untuk satu orang,” tutur Shah.

Reformasi

Perubahan aturan ini adalah salah satu reformasi sosial yang dicetuskan oleh Putra Mahkota Arab Saudi Pangeran Mohammed bin Salman. Ia berambisi melepas ketergantungan Arab Saudi pada ekonomi yang berbasis minyak dan menanam modal pada pengembangan sumber daya manusia. Pada tahun 2017, ia membuat gebrakan bahwa perempuan diperbolehkan sekolah setinggi-tingginya, masuk ke bursa tenaga kerja secara bebas, dan menyetir mobil.

Tahun 2018, perempuan diizinkan berwiraswasta ataupun berwirausaha tanpa izin mahram. Pada tahun 2019, perempuan Arab Saudi boleh membuat paspor tanpa perlu izin mahram dan bebas pergi ke luar negeri. Adapun pada bulan Februari 2021, Pangeran Mohammed menyatakan, perempuan boleh bergabung dengan militer kerajaan.

Di luar reformasi terhadap peran jender, juga ada aturan yang dikeluarkan melalui Kamar Dagang Arab Saudi bahwa toko-toko tetap boleh buka selama waktu shalat. Alasannya, guna mendorong sektor swasta, terutama usaha kecil dan menengah, lebih berkembang.

Berbagai terobosan ini mendapat reaksi berbeda-beda di masyarakat. Ada kelompok yang menyambut baik dan menganggap reformasi ini adalah langkah menuju Arab Saudi yang modern dan tidak kalah dari negara-negara maju. Akan tetapi, kelompok konservatif menilai gebrakan ini merusak tatanan nilai keagamaan yang selama ini menjadi ciri khas budaya Saudi.

Perubahan tafsir

Antropolog jender Lies Marcoes–Natsir menjelaskan, Arab Saudi melakukan tasaruf atau pengalihan tafsir keagamaan. Praktik ini sebenarnya sudah berkembang di sejumlah negara dengan mayoritas penduduk Muslim, seperti Indonesia dan Malaysia.

”Dalam tradisi masyarakat Arab, mahram itu diurus kaum atau bani tempat perempuan berasal. Secara alamiah, mahram adalah ayah, paman, saudara laki-laki, dan suami dari perempuan yang bertanggung jawab melindungi dan menafkahi perempuan,” paparnya.

Menurut Lies, setelah sistem pemerintahan tradisional berubah menjadi negara bangsa, peran perlindungan ini diambil alih oleh undang-undang yang bersifat mengikat untuk semua rakyat. Konsepnya bukan lagi ”siapa yang menjadi pelindung”, melainkan ”semua dilindungi oleh negara dan menikmati manfaat perlindungan”.

Di Indonesia, perempuan berangkat naik haji tanpa mahram sudah hal biasa karena peran mahram diambil alih oleh negara, dalam hal ini melalui Kementerian Agama. Untuk anggota jemaah perempuan dibentuk kelompok tersendiri yang memiliki jadwal, pemandu, serta transportasi yang ditanggung oleh negara agar keberadaan mereka selama menunaikan haji terjamin keamanannya.

”Sistem ini kemudian diamati dan dicontoh oleh Arab Saudi. Tetapi, jika berbicara dari konsep, reformasi jender ini masih sangat pragmatis, belum masuk pada landasan falsafah Saudi. Meski begitu, ini adalah perkembangan yang baik dan patut dihargai,” tutur Lies. (AFP/REUTERS)

Artikel ini telah terbit di koran KOMPAS