Meluruskan Sejarah Perempuan Bekerja dalam Tradisi Kenabian bersama Komunitas Aisyah Humaira
KOMUNITAS Aisyah Humaira (KAH) mengundang kehadiran Rumah KitaB dalam kegiatan pertemuan rutin KAH pada hari Minggu, 11 Agustus 2024, yang berlokasi di Jakarta Islamic Center (JIC) Koja – Jakarta Utara.
Komunitas Aisyah Humaira, atau disingkat KAH, merupakan salah satu mitra Rumah KitaB sejak tahun 2021. Pada saat itu, KAH bersama berbagai komunitas lainnya di Jakarta dilibatkan dalam program penguatan kapasitas perempuan bekerja dalam perspektif Maqashid Syariah Lin Nisa. Turut hadir para pendiri komunitas KAH saat itu, yaitu Bunda Aisyah Raiman dan Ustaz Dani Hidayat, serta beberapa pengurus utama KAH seperti Dian, Yurma, dan Sutriyatmini.
KAH didirikan dan digerakkan oleh Bunda Aisyah Raiman, seorang tokoh mubaligh perempuan kelahiran Jawa Barat yang sudah lama menetap di Jakarta. Komunitas Aisyah Humaira didirikan untuk mengajak partisipasi sebanyak mungkin perempuan di pinggiran Jakarta, khususnya dalam keterampilan dan kemandirian mereka dalam mengelola kegiatan. Misalnya, melatih mereka menjadi MC, dengan harapan perempuan tidak lagi hanya menjadi penonton dalam komunitas laki-laki, tetapi berperan jauh lebih aktif sebagai pengelola acara dalam kegiatan-kegiatan kemasyarakatan.
Pada kegiatan rutin kali ini, KAH kembali mengundang partisipasi Rumah KitaB untuk penguatan kapasitas para jamaah perempuan terkait “Hak Perempuan Bekerja dalam Islam.” Narasumber yang hadir di antaranya Achmat Hilmi, Sityi Maesarotul Qoriah, dan Nurhayati Abbas.
Peserta yang hadir pada kegiatan ini merupakan perwakilan dari 20 majelis taklim di Jakarta, sebanyak 120 orang perempuan atau sekitar sepertiga dari anggota KAH di seluruh Jakarta dan Bekasi. Mereka yang hadir berusia antara 20 – 60 tahun, tinggal di pusat-pusat permukiman terpadat seperti Tanjung Priok, Cilincing, Semper Barat, Semper Timur, Senen, Jatinegara, Cakung, Marunda, dan Kabupaten Bekasi.
Menurut Bunda Aisyah dan Ustaz Dani, sebagian besar peserta yang hadir merupakan perempuan pejuang nafkah keluarga yang sangat aktif berdagang di pasar tradisional dan kaki lima. Mereka berjuang memenuhi kebutuhan keluarga, seperti kebutuhan pangan. Jika ada dana lebih, mereka alokasikan untuk mendukung pendidikan anak-anak mereka.
Selama ini, sebagian ruang majelis taklim menjadi panggung dakwah bagi patriarkisme, mensosialisasikan keunggulan laki-laki, dan mendakwahkan perumahan peran perempuan. Misalnya, cerita-cerita terkait perempuan penghuni surga biasanya dinarasikan oleh sebagian pendakwah sebagai dalil bagi perumahan perempuan. Contohnya adalah pembelokan kisah Khadijah binti Khuwailid sebagai pengusaha perempuan yang justru ditampilkan sebagai perempuan pelayan suami yang hanya menyediakan makan bagi suaminya, atau Aisyah sebagai ulama perempuan yang berperan besar dalam menghentikan laju buta huruf masyarakatnya yang malah digambarkan sebagai perempuan yang selalu di rumah mengurusi kebutuhan domestik Rasulullah SAW. Banyak kisah sahabat perempuan lainnya yang memiliki peran besar bagi keluarganya dan publiknya, tetapi mengalami distorsi atau pemutarbalikan sejarah, sehingga sejarah tidak tampak ramah bagi perempuan.
Dakwah perumahan perempuan sangat berlawanan dengan fakta di lapangan. Sebagai contoh, jamaah KAH sebagian besar merupakan perempuan pejuang nafkah di tengah keterbatasan kemampuan sebagian laki-laki untuk berperan lebih dalam dunia ekonomi. Keterampilan dasar yang dikuasai perempuan seperti memasak justru menjadi modal bagi mereka untuk mendirikan rumah makan, atau sekadar berjualan nasi di pagi dan malam hari, menyediakan kebutuhan bagi kelompok pekerja industri di Cilincing dan Tanjung Priok.
Dalam kesempatan tersebut, Hilmi menjelaskan kisah-kisah inspiratif perempuan dalam sejarah keluarga Nabi Muhammad SAW, mengembalikan kisah asli yang sebelumnya diputarbalikkan, dengan mengandalkan referensi Tarikh Ibnu Hisyam yang dibaca dalam perspektif Maqashid Syariah Lin Nisa. Khadijah adalah salah satu perempuan tulang punggung ekonomi keluarga, bahkan tulang punggung dakwah kenabian, sebelum Utsman bin Affan, seorang pengusaha besar Mekkah, masuk ke dalam barisan umat Nabi. Khadijah berperan penting dalam pembiayaan dakwah Nabi dalam memerdekakan budak-budak kulit hitam yang mengalami diskriminasi oleh para tokoh Mekkah. Khadijah sangat berjasa dalam dakwah rahasia kanjeng Nabi yang penuh rintangan, menjadi mitra diskusi suaminya di kala membutuhkan ketenangan dan rasa aman. Khadijah adalah manusia pertama yang mempercayai dakwah keislaman, bukan laki-laki. Begitu juga Aisyah, jasanya merawat hadis-hadis Nabi menjadikannya penyambung utama lisan Nabi dengan kelompok perempuan yang mengalami diskriminasi akibat tradisi patriarki Mekkah.
Kemudian, Sityi memperkuatnya dengan konsep dasar gender, khususnya terkait pembagian peran, dan contoh-contoh perilaku diskriminatif yang tidak disadari perempuan.
Seorang peserta dari Sukapura, Jakarta Utara, maju ke panggung saat sesi tanya jawab, dan menyampaikan kesan bahagianya setelah mengikuti kegiatan tersebut. Ia berkata,
“Setelah mengikuti pengajian ini, saya merasa sangat bersyukur menjadi seorang perempuan. Sebagai manusia, saya memiliki posisi yang sama di hadapan Allah SWT., yaitu sebagai makhluk. Sebagai seorang perempuan/istri/ibu, saya harus bekerja di dalam rumah dan di luar rumah. Saya sangat bersyukur karena menjadi seorang perempuan yang tangguh dan bisa berjuang untuk keluarga saya.”
Seorang peserta lainnya, pengurus KAH yang berasal dari Cilincing, mengatakan di sela-sela kesibukannya mengurus konsumsi bahwa dirinya sangat senang hadir dalam majelis keagamaan yang sangat jarang membicarakan peran penting perempuan dalam semua kesempatan, baik di rumah maupun di tempat kerja. Bunda Aisyah dan Ustaz Dani berterima kasih atas kehadiran tim Rumah KitaB yang senantiasa hadir membersamai Komunitas Aisyah Humaira, memperkuat keagamaan yang ramah perempuan.