Pos

Wajah Bapak-Ibuisme Keterkaitan dengan Perilaku Korupsi

KETIKA membaca berita kepala daerah terkena operasi tangkap tangan (OTT), maka pertanyaan yang berkelindan di pikiran adalah apakah korupsi merupakan persoalan personal individu, ataukah persoalan sistem dan struktur sosial masyarakat yang membudaya, sehingga membentuk dan mendorong pelaku korupsi.

Berdasarkan keterangan Wakil Ketua KPK, Nurul Ghufron, ada 429 kepala daerah hasil Pilkada yang terjerat kasus korupsi. Fenomena jumlah fantastis kepala daerah yang terjerat kasus korupsi, serta fenomena gunung es yang belum terungkap, dapat dijelaskan melalui pernyataan Julia Suryakusuma. Menurut Julia, di era Orde Baru, rajanya hanya satu yaitu Soeharto, sementara di era desentralisasi, terjadi devolusi kekuasaan yang menyebar, sehingga muncul raja-raja baru di daerah.

Julia Suryakusuma, dalam disertasi Ibuisme Negara, menjelaskan bagaimana munculnya kekuasaan otoriter yang didasari oleh doktrin bapak-ibuisme.

Hubungan Patron-Klien Penyebab Budaya Ewuh-Pakewuh (Sungkan)

Menurut Langenberg (1986: 9–10), pengertian tentang bapak adalah dasar dari seluruh struktur stratifikasi sosial di Indonesia. Setiap patron adalah bapak, dan setiap klien memiliki seorang bapak. Dengan demikian, paham “bapakisme” merasuki perilaku aparat negara di semua tingkat, di mana semua hubungan menjadi hubungan “bapak-anak buah”. Hubungan patronistik ini adalah ciri khas feodalisme, berupa ketergantungan antara patron dan klien.

Bapak-ibuisme, dengan patronnya yang bercirikan “priyayisme,” adalah perpaduan antara kapitalisme dan feodalisme Jawa (Julia Suryakusuma, 2011). Kata kunci patron-klien menggambarkan hubungan antara pemimpin dengan anak buah atau rakyat. Hal ini menjelaskan bagaimana sistem demokrasi yang seharusnya memberikan ruang bagi individu untuk independen dan bebas berpikir serta memutuskan pilihan, tidak dapat terwujud karena kontrol hubungan patron-klien.

Ideologi bapak-ibuisme, dengan patronnya yang bercirikan priyayisme, feodalisme Jawa, serta struktur hierarki kekuasaan birokrasi negara, memanifestasikan stratifikasi sosial yang hierarkis dan sentralistis. Hal ini menjelaskan bagaimana korupsi terjadi. Sejalan dengan pendapat Profesor Etty Indriati, korupsi terjadi akibat kekuasaan yang bersifat absolut, sentralistis, manipulatif, serta minim kejujuran dan integritas.

Dalam sistem pemerintahan yang cenderung feodal, kekuasaan dari atas masih sangat berpengaruh dan ditakuti. Kecenderungan ini menjelaskan mengapa instruksi atau perintah lisan harus dilaksanakan, kecuali bawahan tersebut rela kehilangan jabatannya.

Dapat dipahami bahwa di era otonomi daerah, korupsi yang masif dan terstruktur di daerah-daerah disebabkan oleh ideologi bapak-ibuisme yang hierarkis, sentralistis, dan absolut. Sistem pemerintahan yang cenderung feodal ini masih tertanam dalam alam bawah sadar masyarakat, di mana kekuasaan dari atas masih sangat berpengaruh dan elite memiliki “kekuasaan” atas bawahan.

Selain itu, Orde Baru telah mematangkan sistem otoritarianisme sebagai pondasi dalam kehidupan bernegara dan bermasyarakat. Sistem yang anti-demokrasi dan minim paradigma hak asasi manusia ini telah mengurat-saraf, tidak hanya dalam tubuh penyelenggara negara dan birokrat pelaku administrasi kenegaraan, tetapi juga menginternalisasi dalam pola pikir dan cara pandang masyarakat.

Doktrin Negara Kuat Orde Baru mengacu pada paham integralistik, yang menekankan pada komunitarianisme dengan mengesampingkan hak asasi manusia sebagai hak setiap individu yang harus dilindungi. Hubungan paling dekat antara birokrasi dan hak asasi manusia terletak pada sektor pelayanan publik. Namun, penerjemahan prinsip-prinsip hak asasi manusia ke dalam kerja-kerja pelayanan publik mendapat tantangan dari sifat birokrasi yang patrimonialistik dan elitis.

Patrimonialistik dan Kecenderungan Korupsi

Patrimonialistik merujuk pada politik kekerabatan, di mana anak atau istri dari pejabat daerah (hingga presiden) menggantikan ayah atau suami mereka. Ketika kuasa pelaku patrimonial bertambah besar, kecenderungan berperilaku korup dan sewenang-wenang menjadi sulit dihindari.

Birokrasi patrimonialistik melahirkan akumulasi kekuasaan yang terus-menerus, sehingga tercipta jaringan korupsi yang sistemik dan terstruktur dalam jalur birokrasi.

Miftah Thoha, dalam Ahsinin et al., mencatat bahwa historiografi kekuasaan Orde Baru telah membentuk wajah birokrasi dalam arena kekuasaan politik, di mana korupsi dengan sangat mudah berkembang. Kualitas kinerja birokrasi terkungkung dalam sistem hierarki yang kaku, sehingga orientasi birokrat bergeser hanya untuk menjalankan perintah atasan, bukan untuk pemenuhan hak rakyat.

Masalah utama di Indonesia adalah praktik korupsi yang sulit diberantas karena dilakukan secara berkelompok. Budaya ewuh-pakewuh (sungkan) juga menjadi penghalang. Seseorang enggan melaporkan atasannya atau rekannya yang melakukan korupsi karena merasa tidak enak hati, atau bahkan menerima bagian dari hasil korupsi tersebut.

Ancaman Feodalisme dan Fasisme terhadap Demokrasi

Apa yang dikhawatirkan tentang feodalisme dan fasisme yang membelenggu demokrasi?

Penjelasan ini mengacu pada pemikiran Syahrir tentang feodalisme dan fasisme. Fasisme adalah ideologi absolut yang memposisikan perintah pemimpin laksana titah raja. Fasisme tumbuh subur dalam kultur feodalistik, di mana budaya hamba membungkuk kepada majikan (penguasa) secara berlebihan.

Bagaimana Mengikis Mental Feodalisme Penghambat Demokrasi

Perilaku korupsi berupa ancaman dan pemerasan kepada kepala dinas agar memberikan sejumlah uang untuk modal money politics di Pilkada, yang dilakukan oleh pemimpin daerah yang tertangkap OTT, menggambarkan perilaku otoriter yang cenderung fasisme.

Syahrir sudah memikirkan cara untuk keluar dari belenggu feodalisme dan kecenderungan fasisme. Fasisme yang disebut Syahrir dengan otoriter, misalnya perilaku membungkam kebebasan berpikir dan berpendapat dengan cara kekerasan, baik fisik maupun intimidasi (bullying).

Syahrir menganjurkan revolusi sosial untuk mengendalikan feodalisme dan kecenderungan otoriter. Revolusi sosial itu bertujuan membebaskan rakyat dari belenggu feodalisme lama dan dari jebakan-jebakan fasisme yang muncul bersamaan dengan imperialisme-kapitalisme yang tak terkendali (Sjahrir, 1994:11–12).

Pendapat Syahrir tentang pendidikan yang berorientasi pada cita-cita tinggi adalah untuk membentuk budi baru, manusia baru, dan masyarakat baru (Sjahrir, 1982:240).

Bagaimana Membentuk Budi Manusia Baru dan Masyarakat Baru dengan Mengikis Feodalisme

Salah satu cara adalah dengan pendidikan individu dan keluarga sepanjang seluruh siklus kehidupan mereka melalui metode pendampingan. Alasannya adalah dengan memutus mata rantai hubungan patron-klien, sembari menumbuhkan karakter nation, kesetaraan, keadilan, dan kemandirian yang disatukan oleh nasionalisme dan cinta tanah air tanpa ketergantungan pada hubungan antara individu dengan organisasi, kelompok, atau kader dalam partai.

Menghilangkan ketergantungan hubungan antara patron dan klien dapat menghapus karakter yang membungkuk, menghamba, dan bergantung.

Pembentukan nation and character masyarakat Indonesia, yang dicita-citakan para pendiri bangsa, harus dilakukan melalui pendidikan berkelanjutan sepanjang seluruh siklus kehidupan manusia dan pendampingan oleh tenaga ahli yang terlepas dari intervensi hubungan birokratis dan hierarki kekuasaan.

Pendidikan nation and character building dengan pembentukan nasionalisme haruslah berdasarkan kemanusiaan. Menurut Syahrir, nasionalisme tanpa demokrasi akan bersekutu dengan feodalisme yang mengarah ke fasisme. Kunci sosialisme-demokrasi atau sosialisme-kerakyatan adalah kemanusiaan.

Konsep ini sudah saya canangkan dalam program Rumah Pengasuhan Anak dan Pendidikan Keluarga, yang diharapkan dapat dilaksanakan oleh kader perempuan NU dan Muhammadiyah.

Kemanusiaan dan Peran Civil Society dalam Pembangunan Karakter

Kemanusiaan, menurut Syahrir, berdasarkan pada kepercayaan terhadap persamaan, keadilan, dan kerja sama sesama manusia. Hal ini dapat diwujudkan dengan mendorong keterlibatan kelompok civil society, seperti organisasi Muslimat NU, Fatayat NU, dan Aisyiyah, melalui konsep filantropi. Operasional rumah pengasuhan anak dan pendidikan dijalankan secara gotong royong dengan konsep filantropi.

Kebiasaan berfilantropi atau berbagi untuk sesama akan mengikis mental materialistis, atau kebendaan, yang merupakan ciri inlander. Ketamakan akan kebendaan dapat menyebabkan manusia bertindak otoriter karena ideologi bapak-ibuisme bercirikan petit borjuis, yang merupakan perpaduan antara kapitalisme dan feodalisme Jawa.

Ketika manusia membiasakan diri berbagi dengan sesama dan melayani, feodalisme yang menganggap kelompok tertentu sebagai elite dan priyayi akan berubah menjadi rasa kemanusiaan.

Nasionalisme yang tunduk pada demokrasi harus dilaksanakan berdasarkan kemanusiaan, menurut Syahrir. Nilai kemanusiaan adalah dasar dari pembentukan nation and character.

Peran Perempuan dalam Membangun Ketahanan Keluarga

Alasan dari keterlibatan perempuan sebagai garda terdepan pencanangan program rumah pengasuhan anak dan pendidikan keluarga adalah karena sifat domestifikasi perempuan sebagai ibu.

Domestifikasi perempuan bisa menjadi gerakan positif jika diarahkan dengan cara yang tepat untuk membangun ketahanan keluarga Indonesia.

Kongres Perempuan Kedua tahun 1935 mencanangkan perempuan Indonesia sebagai ibu bangsa yang menanamkan nilai nasionalisme di keluarga dan masyarakat.

Domestifikasi perempuan dapat berperan dalam menanamkan nilai nasionalisme di keluarga dan masyarakat.

Ketahanan keluarga Indonesia melibatkan peran ibu atau perempuan dalam pembentukan nation and character. Sebagaimana yang dituliskan Syahrir, tentang manusia dengan budi baru, manusia baru, dan masyarakat baru.

Memutus mata rantai hubungan patron-klien agar fasisme, yang bercirikan otoriter dan tercerminkan dalam kehidupan sosial masyarakat seperti tawuran, kekerasan dalam berbagai bentuk (termasuk relasi kuasa), kecenderungan bertindak semau gue selama berkuasa, serta korupsi fantastis dan penyalahgunaan kekuasaan, dapat dikikis dari mental inlander. Tujuannya adalah membentuk budi baru, manusia baru, dan masyarakat baru.

Ironi Rendahnya Keterwakilan Perempuan dalam Kabinet Merah Putih

Sebuah potret miris tersaji saat mengamati komposisi Kabinet Merah Putih pimpinan Presiden Prabowo Subianto dan Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka. Hanya 14 perempuan atau 12,5% saja yang menduduki jajaran kabinet yang total berjumlah 112 orang untuk masa tugas 2024 hingga 2029.

Kabinet ini terdiri dari 48 menteri, 56 wakil menteri, lima pejabat setingkat menteri, Panglima TNI, Kapolri, dan Sekretaris Kabinet. Adapun ke-14 menteri dan wakil menteri perempuan tersebut adalah sebagai berikut sebagaimana diambil dari Tempo.co:

  • Veronica Tan – Wakil Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak
  • Sri Mulyani – Menteri Keuangan
  • Meutya Hafid – Menteri Komunikasi dan Digital
  • Rini Widyantini – Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi
  • Widiyanti Putri Wardhana – Menteri Pariwisata
  • Arifatul Choiri Fauzi – Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak
  • Ribka Haluk – Wakil Menteri Dalam Negeri
  • Ni Luh Puspa – Wakil Menteri Pariwisata
  • Christina Aryani – Wakil Menteri Perlindungan Pekerja Migran
  • Stella Christie – Wakil Menteri Pendidikan Tinggi Sains dan Teknologi
  • Dyah Roro Esti Widya Putri – Wakil Menteri Perdagangan
  • Ratu Isyana Bagoes Oka – Wakil Menteri Kependudukan dan Pembangunan Keluarga
  • Diana Kusumastuti – Wakil Menteri Pekerjaan Umum
  • Irene Putri – Wakil Menteri Ekonomi Kreatif.

Kalah Kompetensi atau Stigma Patriarki yang Mengakar?

Jika dijabarkan lebih lanjut, dari 14 tersebut, hanya lima orang yang menjabat sebagai menteri, sementara sisanya menduduki posisi sebagai wakil menteri. Pertanyaan besar pun mengemuka mengenai faktor penunjukan yang sangat sedikit tersebut. Sebagaimana kita ketahui, posisi di dalam kabinet memang lebih sarat keputusan politis.

Banyak posisi menteri, wakil menteri, atau yang setara dengan itu diisi oleh tokoh yang berasal dari partai politik pendukung pemerintah. Jikalau pun demikian, seharusnya jumlah pejabat kabinet perempuan tetap lebih banyak dari 14, mengingat ada banyak politisi perempuan di Dewan Perwakilan Rakyat.

Pertanyaan pun tak pelak mengerucut menjadi: apakah jumlah tersebut semata lantaran stigma patriarki yang mendarah daging, bahkan hingga level pemerintahan? Sistem patriarki sendiri adalah sistem sosial yang meletakkan laki-laki sebagai pemegang dominasi dalam organisasi dan struktur di masyarakat.

Keputusan presiden dan wakil presiden di atas tentunya ironis mengingat era emansipasi perempuan sudah melahirkan begitu banyak perempuan berbakat dan cerdas dalam segala bidang. Untuk membawahi bidang level nasional, seharusnya perbandingan kompetensi menjadi metrik yang dipakai, bukan hanya condong kepada salah satu jenis kelamin.

Ambil contoh, untuk memilih Menteri Kebudayaan, standar yang dipakai haruslah mencakup gelar akademis terkait bidang tersebut dan/atau kiprah selama ini di bidang yang sama. Seorang Menteri Kebudayaan juga haruslah orang dengan relasi kuat dengan pegiat seni dan kebudayaan Nusantara. Portofolio yang mencakup kompetensi teknis, pengalaman lapangan, dan relasi inilah yang seharusnya membuat ia masuk ke jajaran kabinet, bukan lantaran faktor gender apalagi titipan partai politik tertentu.

Signifikansi Bertambahnya Jumlah Perempuan di Kabinet

Sangat disayangkan pergantian kabinet masih kurang memberikan ruang ekstra bagi perempuan cerdas nasional. Hingga keputusan semacam ini berubah, kita harus terus menggaungkan pentingnya jumlah keterwakilan perempuan dalam kabinet secara obyektif.

Mengapa ini begitu penting?

Pertama, dengan bertambahnya kepercayaan kepada perempuan Indonesia akan memberikan teladan positif bagi generasi muda perempuan Tanah Air. Ada banyak perempuan hebat di Indonesia yang layak menduduki posisi tertinggi pada bidangnya masing-masing sesuai keahlian mereka. Jika kebiasaan memberikan posisi sepenting menteri atau wakil menteri masih sedikit, dikhawatirkan mengurangi ruang berkarya sekaligus mengabdi perempuan muda hebat di luar sana.

Kedua, kepemimpinan feminis mempunyai keunggulan khas berupa sifatnya yang merangkul siapa saja. Dengan begitu, menteri atau wakil menteri akan lebih berempati pada jajarannya demi menciptakan lingkungan kerja yang lebih sehat. Dalam dunia birokrasi yang selama ini dikenal kaku, kepemimpinan feminis lebih mengutamakan berbaurnya antar eselon. Gebrakan ini akan berdampak pada pelayanan publik yang lebih berkualitas karena dilakukan oleh pegawai yang diakomodir pendapatnya.

Meski susunan kabinet telah ditentukan, tidak seharusnya gaung kesetaraan jumlah perempuan di kabinet berhenti. Dalam kesempatan apa pun, kampanye semacam ini harus dilakukan agar kesempatan berkarier bagi perempuan Indonesia bisa berkibar setinggi-tingginya.

Selama ini, sudah banyak perempuan Indonesia yang menduduki posisi tinggi di perusahaan swasta hingga BUMN. Sekarang, masih menjadi pekerjaan rumah bersama agar hal serupa bisa terwujud pada berbagai kementerian dan lembaga nasional. Sebab jika memang perempuan Indonesia layak dan mampu, kenapa tidak?

Melihat Hubungan Peran Perempuan dan Lingkungan Melalui Kisah Ummu Mahjan


Pekerjaan domestik seperti menyapu dan mengepel, dengan tujuan menjaga kebersihan dan keindahan suatu tempat, seringkali identik dengan pekerjaan perempuan. Meski dianggap remeh, pekerjaan ini memiliki kisah spesial pada masa hidup Rasulullah SAW. Dikisahkan dalam kitab sahih al-Bukhari, Muslim, dan Ibnu Majah bahwa Rasul memuliakan seorang perempuan lanjut usia yang sehari-hari membersihkan Masjid Nabawi. Kisah ini menggambarkan bagaimana Rasulullah merespons hubungan antara peran perempuan dan lingkungan.

Perempuan lanjut usia tersebut dikenal dengan nama Ummu Mahjan. Setiap hari, ia menyapu dan membersihkan Masjid Nabawi. Ketika Ummu Mahjan jatuh sakit, Rasulullah berpesan agar ia disalatkan sebelum dimakamkan. Namun, saat Ummu Mahjan meninggal, para sahabat tidak memberi tahu Rasul karena beliau sedang tidur. Para sahabat beranggapan bahwa Ummu Mahjan bukanlah orang penting, sehingga tidak mengapa jika tidak mengabari Rasulullah.

Beberapa hari kemudian, Rasul merasa aneh karena sudah lama tidak melihat Ummu Mahjan. Beliau pun akhirnya mengetahui bahwa Ummu Mahjan telah meninggal. Rasul segera menuju makamnya dan melakukan salat ghaib di dekat makam Ummu Mahjan. Dalam beberapa riwayat disebutkan, tidak sembarang orang yang wafat bisa disalatkan langsung oleh Rasul, bahkan di dekat pusaranya.

Kisah perjuangan Rasul sering dinarasikan melalui saat-saat beliau bertempur di medan perang melawan berbagai upaya agresi. Pekerjaan yang dilakukan Ummu Mahjan semasa hidupnya mungkin tampak sederhana dan dianggap remeh. Bahkan, para sahabat menganggap Ummu Mahjan bukan orang penting sehingga tidak mendesak untuk mengabari Rasul tentang wafatnya. Namun, kisah Ummu Mahjan dalam pekerjaan membersihkan masjid menunjukkan bahwa perjuangan tidak harus berada di medan perang. Cara Rasul memuliakan Ummu Mahjan hingga wafat menunjukkan bahwa Islam mengajarkan nilai penghargaan terhadap perempuan, terutama dalam menghadapi diskriminasi, dan pentingnya merawat lingkungan.

Meremehkan Peran Perempuan Sama dengan Meremehkan Alam

Kisah Ummu Mahjan yang dimuliakan oleh Rasul menjadi pelajaran penting dalam merespons kerusakan lingkungan. Peran perempuan dalam menjaga lingkungan sering kali dianggap remeh dan tidak diakui. Padahal, perempuan memiliki hubungan erat dengan alam. Di sisi lain, perempuan juga merupakan kelompok rentan terdampak krisis iklim. Dengan kondisi lingkungan yang saat ini sedang mengalami krisis, hubungan perempuan dengan alam menghadapi tantangan yang menjadi beban tersendiri. Contohnya, krisis iklim seperti cuaca panas ekstrem menyebabkan kekeringan dan krisis air bersih, membuat perempuan harus berupaya lebih keras untuk mendapatkan air.

Di tengah kondisi lingkungan yang sedang krisis, survei Mintel menunjukkan bahwa perempuan cenderung memiliki sikap positif dalam menjalin hubungan dengan lingkungan. Sebanyak 71% perempuan mencoba hidup lebih beretika terhadap lingkungan, sedangkan laki-laki hanya 59%. Bahkan, 65% perempuan mendorong teman dan keluarga untuk hidup lebih ramah lingkungan, sementara hanya 59% laki-laki yang melakukan hal serupa.

Krisis lingkungan yang semakin nyata adalah bentuk dari eksploitasi dan manipulasi terhadap alam. Akibatnya, perempuan yang memiliki hubungan erat dengan alam turut menjadi pihak yang dimanipulasi dan dieksploitasi. Hal ini terlihat dari bagaimana peran perempuan sering diabaikan dalam pekerjaan menjaga lingkungan. Salah satu contohnya adalah kasus izin pembangunan pabrik di Kendeng, Jawa Tengah.

Memuliakan Alam dan Perempuan dengan Prinsip Kesetaraan Gender

Dalam artikel ilmiah berjudul Gender dan Lingkungan dalam Perspektif Al-Qur’an, dijelaskan bahwa merawat alam erat kaitannya dengan sikap damai, telaten, penuh cinta, dan kasih sayang. Sayangnya, karakter yang dianggap terlalu “feminin” ini membuat pekerjaan merawat lingkungan seolah menjadi tugas perempuan saja.

Padahal, dalam Undang-Undang No. 23 Pasal 67 Tahun 2009 dijelaskan bahwa setiap orang wajib memelihara kelestarian lingkungan hidup dan mengendalikan pencemaran. Bahkan, menurut artikel yang ditulis oleh Shodiq dan Abu Anwar, Al-Qur’an tidak membedakan potensi laki-laki dan perempuan dalam berbuat kebaikan, termasuk menjaga lingkungan.

Dengan adanya kesetaraan gender, upaya merawat lingkungan tidak hanya menguntungkan perempuan tetapi juga seluruh umat manusia. Jika alam lestari, maka manusia akan hidup sejahtera. Sebaliknya, jika lingkungan rusak, semua manusia, baik laki-laki maupun perempuan, akan menderita.

Rasul telah menjadi teladan bagi umat manusia untuk peduli pada lingkungan. Dalam beberapa hadis, beliau menganjurkan untuk menanam pohon, melarang buang air kecil di air yang tenang karena dapat mencemari sumber air bersih, dan menghemat penggunaan air. Selain itu, melalui kisahnya yang memuliakan Ummu Mahjan, kita diajak untuk melihat dan menghargai alam, serta menghilangkan diskriminasi terhadap peran penting perempuan dalam merawat lingkungan.

Aroma Perempuan yang Hilang di Balik Sebatang Rokok

Aroma tembakau yang berubah warna menjadi cokelat kehitaman menguar ke udara. Padahal, matahari lebih terik dari biasanya. Namun, perempuan-perempuan ini seolah tak peduli. Mereka bergegas memungut daun demi daun, seolah-olah Malaikat Israfil tengah mengintai langit dan akan menurunkan hujan.

Saya tersenyum melihat para buruh tembakau perempuan ini saling bersahutan. Ada saja bahan candaan untuk mengurangi rasa lelah saat terus-menerus merunduk. Dalam ruang ingatan saya, tanah lapang ini memang selalu beralih fungsi menjadi tempat penjemuran saat musim tembakau tiba. Jadi, mereka yang biasanya berlatih sepak bola harus mengalah dan mencari tempat lain.

Saya masih ingat betul masa itu, ketika teknologi belum menyentuh kami di sini. “Tivi hitam putih” menjadi pajangan mewah di ruang tamu. Saat itu, di seberang tanah lapang ini, di tepi jalan provinsi Jember-Banyuwangi, tiap petang bus pariwisata yang membawa wisatawan asing sering berhenti. Mereka adalah turis yang akan menyeberang ke Bali menggunakan jalur darat. Saat melintasi desa kami, pemandu wisata menawarkan kepada mereka kesempatan untuk melihat proses penjemuran tembakau sebelum akhirnya dijual ke gudang dan diolah menjadi rokok kretek.

Turis-turis ini, seperti biasa, cekatan mengeluarkan kamera dari ransel mereka untuk memotret para petani dan buruh tembakau perempuan di tanah lapang. Sementara itu, anak-anak kecil seusia saya berebut mendekati bus, mengulurkan tangan. Lucunya, ibu-ibu pun tak mau kalah. Mereka yang berbadan besar maju ke kerumunan, berebut pemberian dari turis. Entah permen, sabun, sampo hotel, atau apa pun, asal pemberian turis, pasti membuat mereka melonjak kegirangan.

Saya yang bertubuh kurus ceking punya cara lain. Alih-alih berebut, saya memilih mendekati turis yang turun ke lapangan. Pada mereka, saya melontarkan pertanyaan bahasa Inggris yang sudah saya hafal sebelumnya. Bagi saya, musim tembakau adalah kesempatan untuk praktik bahasa Inggris. Saya yang tidak terlalu menyukai hafalan rumus tenses akan mendatangi guru di kelas untuk meminta bantuan menyusun kalimat bahasa Inggris untuk menyapa turis. Kalimat-kalimat itulah yang saya hafalkan. Meski sering kali saya tidak memahami jawaban mereka, saya tetap meneruskan percakapan dengan kalimat-kalimat hafalan saya. Tak heran, tetangga mengira saya fasih berbahasa Inggris, padahal percakapan kami seperti dua jalan yang tak bertemu.

Ah, tapi itu dulu. Itu kenangan masa kecil yang sekarang tak lagi bisa saya temui. Wisatawan mancanegara tidak lagi melewati jalur darat ini. Satu-satunya yang masih saya saksikan adalah bagaimana petani dan buruh tembakau silih berganti memenuhi tanah lapang tiap tahunnya.

Saya tak menampik bahwa Jember menjadikan tembakau sebagai ciri utama. Ada sejarah panjang yang membuat daun satta ini begitu melekat di kalangan petani. Sejarah itu bermula pada masa Hindia Belanda, ketika Jember masih bagian dari Afdeeling Bondowoso. Pemerintah Hindia Belanda yang gencar membudidayakan berbagai jenis tanaman mencoba peruntungan dengan menanam tembakau.

Meski saat itu Jember belum banyak berpenduduk, para kompeni tak menyerah. Mereka mendatangkan penduduk dari Madura untuk mendiami wilayah Jember utara dan timur, sementara penduduk dari Nganjuk, Blitar, dan wilayah Jawa Mataraman ditempatkan di Jember selatan.

Pembagian ini secara tidak langsung berpengaruh pada jenis tembakau yang ditanam. Mereka yang berkultur Madura menanam tembakau jenis Voor-oogst yang digunakan untuk rokok kretek. Sedangkan mereka yang berkultur Jawa menanam tembakau jenis Na-oogst yang merupakan bahan utama cerutu. Hingga saat ini, cerutu buatan Jember terkenal di mancanegara, bahkan pernah menduduki peringkat kedua dunia setelah Kuba.

Dengan sejarah panjang ini, tak heran jika tembakau menjadi urat nadi petani. Menanam tembakau menjadi candu tahunan. Meski rugi ratusan juta tahun ini, mereka tetap akan menanam lagi tahun depan. Tembakau dan petani bagaikan dua sisi koin yang tak terpisahkan.

Namun sayangnya, tembakau kerap diidentikkan dengan maskulinitas. Rokok yang berasal dari tembakau sering diasosiasikan dengan laki-laki. Iklan-iklan rokok di televisi menampilkan sosok lelaki gagah. Saya tidak hendak mengkritik hal ini. Saya hanya ingin menyuguhkan cerita lain—bagaimana sebatang rokok yang dicecap para lelaki di angkringan atau tepi jalan, sesungguhnya berasal dari keringat perempuan yang berjuang keras dengan air mata.

Jika tak percaya, mari kita bergeser sebentar dari tanah lapang. Di sebelah barat lapangan, terdapat tiga gudang tembakau penyortiran. Ratusan buruh perempuan berpakaian putih berebut keluar dari gudang. Wajah mereka kusut masai, peluh mengucur deras. Ketika petang tiba, jalanan semakin padat, kendaraan bergerak perlahan. Tak sedikit dari mereka yang bergegas menaiki kendaraan tumpangan—entah itu pick-up terbuka, angkot langganan, atau menuju suami yang menunggu di tepi jalan.

Pemandangan ini menyayat hati. Di tengah kemarau yang kering kerontang, banyak dari perempuan ini bangun pukul tiga pagi. Mereka mencuci baju, membersihkan badan, menyiapkan sarapan, lalu berangkat ke gudang untuk bekerja dari pagi hingga petang menyortir tembakau. Sepulangnya, pekerjaan rumah sudah menanti—mencuci piring atau menyapu rumah. Meski lelah, mereka melakukannya dengan ikhlas karena ada utang yang harus dibayar dan dapur yang harus tetap mengepul.

Melihat para buruh perempuan ini, saya kerap bertanya, “Seandainya tidak ada lagi tembakau, bagaimana nasib mereka?” Pertanyaan ini bukan sekadar kata-kata. Perlahan, sawah-sawah di Jember makin menyusut, disulap menjadi perumahan atau pabrik industri. Akibatnya, makin sedikit petani yang menanam tembakau, dan sayangnya, perempuanlah yang merasakan dampaknya paling kuat.

Peluang kerja sebagai buruh tembakau semakin kecil, pendapatan menurun, dan hal ini sering memicu kekerasan dalam rumah tangga (KDRT). Selain itu, krisis air semakin memburuk. Jember yang sebenarnya memiliki banyak gumuk—bukit-bukit yang berfungsi sebagai serapan air—telah banyak dikeruk, menyebabkan jumlahnya berkurang drastis.

Entah sampai kapan tembakau di Jember akan bertahan, saya tak bisa memastikan. Namun, satu hal yang pasti—ada aroma perempuan dalam setiap batang rokok yang dicecap para lelaki, meski hal ini tak pernah diakui. Tidak pernah.[]