Pos

Menjaga Raja Ampat dari Tambang Nikel: Menyelamatkan Masa Depan Biodiversitas Dunia

Keputusan pemerintah melalui Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) pada 11 September 2025 untuk kembali memberikan izin operasi kepada PT Gag Nikel di Raja Ampat, Papua Barat Daya menjadi keprihatinan kita bersama. Ketua Tim Kampanye Hutan Greenpeace Indonesia Arie Rompas menilai keputusan tersebut merupakan kabar buruk bagi upaya melindungi salah satu ekosistem laut terkaya di dunia.

Ia menyebut bahwa pemberian izin operasi tambang nikel ini adalah bentuk pengabaian langsung terhadap kekayaan ekologis Raja Ampat. Kawasan ini diketahui menjadi rumah bagi 75 persen spesies terumbu karang dunia. Artinya, setiap keputusan yang berpotensi merusak wilayah ini bukan hanya berdampak lokal, tetapi juga global.

“Raja Ampat bukan sekadar harta nasional, ia adalah warisan dunia,” tegas Arie.

Oleh karena itu, dengan kembalinya izin operasi PT Gag Nikel di Raja Ampat sangat berpotensi memicu kerusakan permanen di alam Papua, mulai dari degradasi terumbu karang, pencemaran laut, rusaknya rantai ekosistem, hingga terganggunya kehidupan masyarakat adat yang menggantungkan hidup dari laut. Jika semua ini dibiarkan, maka yang dikorbankan adalah keberlanjutan generasi masa depan anak cucu.

Jangan Merusak Alam

Islam adalah agama yang tegas melarang segala bentuk perusakan alam, sehingga aktivitas pertambangan semacam ini jelas bertentangan dengan ajaran Islam.

Allah Swt berfirman dalam al-Qur’an Surat al-Araf ayat 56:

 وَلَا تُفْسِدُوْا فِى الْاَرْضِ بَعْدَ اِصْلَاحِهَا وَادْعُوْهُ خَوْفًا وَّطَمَعًاۗ اِنَّ رَحْمَتَ اللّٰهِ قَرِيْبٌ مِّنَ الْمُحْسِنِيْنَ ۝٥٦

Janganlah kamu berbuat kerusakan di bumi setelah diatur dengan baik. Berdoalah kepada-Nya dengan rasa takut dan penuh harap. Sesungguhnya rahmat Allah sangat dekat dengan orang-orang yang berbuat baik (QS. al-A’raf ayat 56).

Ayat ini, bagi saya menjadi peringatan agar manusia tidak menjadikan bumi sebagai objek untuk terus menerus dieksploitasi. Karena bagaimana pun setiap tindakan yang merusak lingkungan, pada akhirnya akan menghancurkan tatanan ekosistem, degradasi terumbu karang dan pencemaran laut.

Musyawarah Keagamaan Kongres Ulama Perempuan Indonesia (KUPI) pada 2017 juga telah menegaskan bahwa hukum melakukan perusakan alam yang mengakibatkan ketimpangan sosial adalah haram secara mutlak.

Dengan begitu, relasi manusia dengan alam bukanlah hubungan penakluk dengan yang ditaklukkan, tetapi relasi untuk saling menjaga, merawat bahkan melindungnya dari berbagai kerusakan alam.

Al-Qur’an bahkan memberikan penekanan pada posisi manusia sebagai khalifah di bumi:

وَاِذْ قَالَ رَبُّكَ لِلْمَلٰۤىِٕكَةِ ِانِّيْ جَاعِلٌ فِى الْاَرْضِ خَلِيْفَةًۗ قَالُوْٓا اَتَجْعَلُ فِيْهَا مَنْ يُّفْسِدُ فِيْهَا وَيَسْفِكُ الدِّمَاۤءَۚ وَنَحْنُ نُسَبِّحُ بِحَمْدِكَ وَنُقَدِّسُ لَكَۗ قَالَ اِنِّيْٓ اَعْلَمُ مَا لَا تَعْلَمُوْنَ ۝٣٠

(Ingatlah) ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat, “Aku hendak menjadikan khalifah di bumi.” Mereka berkata, “Apakah Engkau hendak menjadikan orang yang merusak dan menumpahkan darah di sana, sedangkan kami bertasbih memuji-Mu dan menyucikan nama-Mu?” Dia berfirman, “Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui” (QS. al-Baqarah ayat 30).

Dari ayat tersebut menegaskan bahwa menjadi khalifah bukan bebas menguasai alam seenaknya, melainkan menjaga, merawat, dan memakmurkan bumi dengan baik.

Karena itu, kebijakan pemerintah yang kembali mengizinkan operasi PT Gag Nikel di Raja Ampat adalah ancaman yang nyata. Alih-alih berorientasi pada pembangunan berkelanjutan, kebijakan ini justru memperlihatkan betapa pendeknya pandangan pemerintah Indonesia dalam mengelola sumber daya alam.

Raja Ampat bukan sekadar gugusan pulau indah atau destinasi pariwisata, melainkan jantung biodiversitas dunia. Jika kerusakan terjadi, maka akan semakin memvalidasi bahwa pemerintah kita gagal dalam merawat salah satu karunia paling berharga dari Tuhan.

Ke depan, bangsa ini harus berani mengubah cara pandang yang lebih peduli dan menjaga alam dari berbagai kerusakan. Karena tidak semua sumber daya harus dieksploitasi atas nama pertumbuhan ekonomi. Ada batas etis, ekologis, dan spiritual yang harus dijaga.

Sehingga sudah saatnya pemerintah mendengar suara masyarakat adat, komunitas lokal, dan seruan publik yang menolak tambang di surganya Indonesia seperti Raja Ampat.

Karena menjaga bumi bukan hanya urusan kebijakan teknis, tetapi juga bagian dari ibadah. Kerusakan ekologis adalah bentuk pengkhianatan terhadap amanah Allah, sedangkan menjaga kelestariannya adalah wujud nyata ketakwaan.

Kisah Perempuan Enggros Menjaga Hutan Perempuan di Teluk Youtefa

Hutan Perempuan adalah nama untuk hutan bakau khusus perempuan yang ada di Teluk Youtefa, Jayapura, Papua. Hutan ini dirawat, dilestarikan dan juga dijaga oleh Mama-mama Enggros.

Salah satu kebudayaan yang menarik di Teluk Youtefa, khususnya di Kampung Enggros adalah adanya pembagian wilayah mencari sumber penghidupan antara laki-laki dan perempuan. Di sini, hutan bakau dikhususkan hanya untuk perempuan, hingga akhirnya disebut dengan hutan perempuan. Sementara laki-laki, mereka harus mencari di wilayah laut.

Menurut Mama Adriana Youwe Meraudje, salah satu Mama Enggros, hutan bakau adalah bagian dari adat yang tak terpisahkan dari kehidupan perempuan Teluk Youtefa. Seperti dikutip dari econusa.id, perempuan di Kampung Enggros memiliki sejarah panjang dalam menjaga kelestarian hutan bakau. Di sanalah mereka mencari sumber penghidupan, mulai dari kerang, udang, hingga ikan.

Selain menjadi sumber penghidupan, hutan ini juga merupakan tempat berkumpul mama-mama Enggros. Tidak ada pembagian wilayah, setiap perempuan bebas masuk dan beraktivitas di seluruh area hutan perempuan.

Sesuai namanya, hutan ini memang menjadi wilayah kekuasaan perempuan. Sehingga dalam aturan adat, laki-laki hanya boleh masuk untuk mengambil kayu demi keperluan rumah tangga, ketika tidak ada kaum perempuan di dalamnya.

Jika ada laki-laki yang berani masuk atau mengintip ke dalam hutan ketika ada perempuan di dalamnya, ia wajib membayar denda adat berupa manik-manik, yang dianggap sebagai perhiasan sekaligus harta berharga masyarakat adat Kampung Enggros.

Aturan Adat Menjaga Hutan Perempuan Teluk Youtefa

Meski hutan perempuan bebas untuk dikunjungi oleh mama-mama Kampung Enggros, secara adat mereka tetap harus mematuhi berbagai aturan. Di antara aturan yang berlaku ialah harus membawa bekal secukupnya. Hal ini bertujuan supaya tidak meninggalkan sampah, terutama sampah plastik.

Selain itu, demi menjaga kelestarian hutan perempuan, masyarakat dilarang menebang kayu sembarangan. Untuk keperluan kayu bakar, mereka hanya diperbolehkan mengambil ranting yang sudah jatuh.

Lebih dari itu, mereka juga dilarang mengambil hasil tangkapan secara berlebihan. Karena itu, Mama Yos misalnya tidak pernah membawa ember atau wadah penampung yang besar selama mencari udang, kerang atau ikan di hutan perempuan. Hal ini bertujuan untuk mempertahankan populasi hasil tangkapan dan menghindari eksploitasi besar-besaran.

Hutan Bakau, Rumah Aman Perempuan

Sebelum menyeburkan diri ke hutan bakau, biasanya Mama-mama Enggros akan melepaskan pakaiannya terlebih dahulu. Baru setelah itu, mereka masuk ke hutan sambil bercengkrama.

Menurut Mama Prisilla Sanyi, tubuh akan terasa gatal jika tidak melepas pakaian saat mencari kerang, udang, atau ikan. Karena itu, melepas pakaian menjadi cara agar mereka lebih nyaman beraktivitas di hutan perempuan.

Selain menjadi tempat menangkap kerang, udang, dan ikan, hutan perempuan juga jadi tempat yang aman bagi Mama-mama Enggros untuk saling berbagi perasaan. Mulai dari urusan dapur, cuaca yang tidak menentu, urusan keluarga dan yang lainnya.

Karena hal inilah, banyak perempuan yang betah berlama-lama tinggal di hutan bakau. Sebab di kampung, mereka tidak memiliki kebebasan berbicara. Di para-para (tempat membicarakan persoalan adat, tanah dan laut, serta berdiskusi soal politik), perempuan sering kali hanya ditempatkan di para-para rumah saja. Sehingga mereka tidak punya kesempatan untuk menyuarakan pendapatnya.

Karena itu, perempuan menciptakan ruang sendiri untuk berbagi keluh kesah, pendapat, dan pandangan tentang berbagai persoalan yang mereka hadapi. Ruang aman itu adalah hutan perempuan. Hingga kini, Mama-mama Enggros tetap menjaganya agar tidak dirusak oleh tangan-tangan yang tidak bertanggung jawab.

Tantangan dalam Menjaga Hutan Perempuan

Meskipun Mama-mama Enggros terus berupaya menjaga hutan perempuan, ancaman kerusakan ekosistem bakau tetap ada. Salah satunya adalah banyaknya sampah yang menyangkut di akar-akar pohon bakau.

Meskipun dari jauh tampak hijau, tetapi di dalam hutan ternyata penuh dengan tumpukan sampah. Di antara akar pohon bakau, sampah botol plastik, kulkas, mesin cuci, bantal, tikar, penanak nasi, tas, sepatu, hingga kursi semuanya menyangkut di sana.

Pemandangan ini tidak seberapa, karena jumlah sampah yang sudah tenggelam dan bercampur dengan lumpur jauh lebih banyak. Sehingga mengganggu ekosistem hutan bakau. Bahkan karena sampah-sampah ini, hasil tangkapan pun menjadi berkurang karena tertutup oleh sampah. Di sisi lain, di hutan perempuan juga kini banyak nyamuk, membuat orang yang beraktivitas di sana tidak nyaman.

Melansir dari Mongabay.co.id, sampah-sampah ini datang dari arah Abepura, Entrop dan Hamadi. Saat hujan sampah datang melalui beberapa daerah aliran sungai menuju ke kampung dan hutan ini. Saat air naik sampah-sampah ini masuk hingga ke tengah hutan bakau, lalu tenggelam bersama lumpur saat air turun.

Selain persoalan sampah, hutan perempuan juga kian terancam karena alih fungsi lahan. Banyaknya pembangunan di kawasan Teluk Youtefa membuat pencemaran di kawasan hutan perempuan meningkat. Seiring diresmikannya Jembatan Holtekamp yang menghubungkan Kota Jayapura dengan Skouw, perbatasan Papua Nugini, alih fungsi lahan hutan bakau di kawasan hutan perempuan terus-menerus terjadi.

Bahkan pembangunan arena dayung Pekan Olahraga Nasional (PON) XX pada tahun 2021 yang membuka kawasan hutan perempuan juga sangat berdampak pada masyarakat Kampung Enggros. Rumah mereka sempat kebanjiran akibat tidak adanya pohon bakau yang menahan air laut.

Berangkat dari keresehan tersebut, sampai saat ini Mama-mama Enggros terus menjaga tradisi “Tonotwiyat” (mengunjungi hutan bakau oleh perempuan). Dikutip dari Econusa.id, tradisi ini telah dilakukan secara turun temurun, sejak sebelum tahun 1850an.

Tidak ada yang mencatat bagaimana tradisi tonotwiyat dimulai. Tetapi sudah sejak lama para perempuan di Kampung Enggros mengunjungi hutan bakau untuk mencari pasokan bahan pangan seperti kerang (dalam bahasa lokal disebut bia), udang, kepiting dan ikan.

Karena diyakini sebagai warisan turun temurun, Mama-mama Enggros terus menjaga tradisi ini. Mereka tidak ingin, keberadaan hutan perempuan hanya tinggal dongeng sebelum tidur. Karena bagi mereka menjaga hutan, sama dengan menjaga kehidupan tetap ada. []

Catatan Suram Janji Penegakan HAM

Persoalan penegakan HAM menjadi pekerjaan yang belum tuntas dari pemerintah.

tirto.id – Persoalan HAM masih menjadi pekerjaan rumah bagi rezim yang berkuasa. Kasus-kasus HAM lama hingga persoalan HAM di Papua masih menjadi catatan. Kinerja pemerintah dalam penanganan HAM dapat dilihat dari indeks HAM yang dibuat organisasi pegiat HAM.

Setara Institute, organisasi yang fokus pada masalah pluralisme, kemanusiaan, demokrasi dan hak asasi manusia, mengeluarkan laporan Indeks Kinerja Hak Asasi Manusia (HAM) di Indonesia. Indeks ini merupakan hasil dari survei persepsi tentang situasi HAM di Indonesia. Ada 8 variabel pengukuran, yaitu penyelesaian pelanggaran HAM masa lalu; kebebasan berekspresi dan berserikat; kebebasan beragama/berkeyakinan; hak rasa aman warga dan perlindungan warga negara; penghapusan hukuman mati; penghapusan diskriminasi; hak atas ekonomi, sosial, dan budaya; serta RANHAM (Rencana Aksi Nasional HAM) dan kinerja lembaga HAM.

Tren data indeks kinerja HAM menunjukkan peningkatan sejak 2014 hingga 2016; pada 2014 skor indeks sebesar 2,25 dan naik menjadi 2,83 pada 2016 (skor tertinggi 7). Namun, peningkatan tersebut tidak signifikan lantaran kenaikannya hanya sebesar 0,58 dalam rentang tiga tahun. Selain itu, skor 2 pada indeks menunjukkan bahwa performa kinerja HAM Indonesia masih sangat rendah. Sayangnya indeks ini hanya mencatat hingga periode 2016 saja.

Infografik Periksa Data Hukum dan Kinerja HAM

 

Bila merujuk laporan Setara, selama dua tahun pemerintahan Jokowi-JK, masalah HAM belum menunjukkan kemajuan signifikan. Setara Institute menilai, agenda pemajuan dan pemenuhan HAM belum menjadi perhatian pemerintahan Jokowi-JK. Pemerintah masih dianggap fokus pada ekonomi dan infastruktur.

Bila ditilik, sub indeks dengan performa kinerja HAM paling rendah adalah penyelesaian pelanggaran HAM masa lalu. Selama tiga tahun berturut-turut performanya tidak berubah dengan skor indeks di bawah angka dua. Sub indeks dengan skor terendah lainnya adalah kebebasan berekspresi/berserikat yang skornya terus menurun dengan rentang skor 2,10-2,24 dan kebebasan beragama/berkeyakinan dengan rentang skor 2,24-2,57 pada 2014 sampai 2016.

Infografik Periksa Data Hukum dan Kinerja HAM

 

Hal yang termasuk dalam penyelesaian pelanggaran HAM masa lalu adalah kasus penghilangan orang secara paksa, Peristiwa 1965, Kasus Tanjung Priok, Kasus Trisakti, Semanggi I dan II, Kasus Pembunuhan Munir, Kasus Wamena-Wasior, dan Prakarsa Pengungkapan Kebenaran dan Rekonsiliasi.

Pada sub indeks kebebasan berekspresi/berserikat juga menurun, lantaran pembubaran kegiatan diskusi dan kriminalisasi terhadap aktivis HAM, warga Papua, dan jurnalis. Juga termasuk dalam kebebasan beragama adalah kebebasan mendirikan tempat ibadah, perlindungan kebebasan beragama/berkeyakinan terhadap agama/keyakinan minoritas, regulasi negara yang membatasi kebebasan beragama, penanganan/peradilan terhadap kasus kekerasan terhadap kelompok agama/keyakinan minoritas.

Selain Setara Institute, kinerja HAM di Indonesia juga dapat dilihat dari laporan Rule of Law Index keluaran The World Justice Project (WJP), organisasi multidisiplin dan independen yang berupaya meningkatkan kualitas negara hukum di seluruh dunia.

Indikator dikelompokkan menjadi delapan faktor, yaitu pembatasan kekuasaan pemerintah, ketiadaan korupsi, pemerintahan yang terbuka, hak-hak fundamental, ketertiban dan keamanan, penegakan peraturan, hukum perdata, dan hukum pidana.

Untuk meninjau kinerja HAM Indonesia, maka dapat merujuk pada faktor hak fundamental yang mengukur perlindungan HAM yang berdasarkan Deklarasi Universal Manusia dan yang paling terkait erat dengan masalah peraturan hukum.

 

Infografik Periksa Data Hukum dan Kinerja HAM

 

Faktor ini mencakup kepatuhan terhadap hak-hak fundamental berikut: penegakan hukum yang efektif yang memastikan perlindungan yang sama, hak untuk hidup dan keamanan orang tersebut, proses hukum yang berlaku dan hak-hak terdakwa, kebebasan berpendapat dan berekspresi, kebebasan berkeyakinan dan agama, hak atas privasi, kebebasan berkumpul dan berserikat, dan hak-hak buruh yang mendasar.

Sepanjang empat tahun terakhir, skor Indonesia untuk faktor fundamental ini cenderung menurun. Secara berturut-turut, Indonesia memperoleh skor sebesar 0,54 pada 2014, lalu turun jadi 0,52 pada 2015 dan 2016, serta 0,51 pada 2017-2018 (skor tertinggi 1). Pada 2017-2018, Indonesia menempati peringkat 63 dari 113 negara. Hal ini menunjukkan lemahnya penerapan dan rendahnya kepatuhan hukum di bidang HAM, akibatnya perlindungan dan pemenuhan HAM pun tak maksimal.

Dari delapan sub faktor, skor terendah Indonesia ada pada proses hukum. Faktor proses hukum angkanya tak berubah dalam empat tahun terakhir; ada di kisaran skor 0,35-0,37. Hal ini mengindikasikan bahwa proses hukum yang berlaku tak berjalan dengan semestinya. Tak heran jika kinerja HAM Indonesia pun tak begitu baik.

Berdasarkan data juga terlihat turunnya tiga skor sub faktor antara lain: Pertama, soal tidak ada diskriminasi. Sub faktor ini pada 2014 sempat sebesar 0,51 lalu turun menjadi 0,42 pada 2017-2018. Selain itu, Kedua skor faktor kebebasan berkumpul yang turun dari 0,72 pada 2015 menjadi 0,66 pada 2017-2018 dan skor faktor Ketiga, kebebasan berekspresi dari 0,74 pada 2014 menjadi 0,67 pada 2018.

 

Tren ketiga sub faktor yang terus menurun ini bisa terlihat dari contoh kasus-kasus diskriminasi, ancaman, dan pelanggaran kebebasan. Bentuk ancaman dan pelanggaran kebebasan contohnya adalah penyalahgunaan UU tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) yang disahkan pada 2008 dan direvisi pada 2016. UU ini sering menjadi jerat pidana dan menjatuhkan banyak korban, termasuk dalam kebebasan pers. Salah satunya adalah, Rektor Universitas Negeri Semarang (Unnes), Fathur Rokhman melaporkan Pemimpin Redaksi Serat.id, ke Polda Jawa Tengah dengan pasal 27 ayat (3).

Laporan itu terkait empat seri liputan Serat.id pada 30 Juni 2018 atas dugaan plagiat karya ilmiah yang dilakukan oleh Fathur Rokhman. UU ITE juga digunakan sebagai senjata politik untuk menjatuhkan lawan. Hal ini terlihat dari tingginya pelaporan kasus di tahun-tahun politik.

 

Ihwal kebebasan beragama, beberapa kasus yang membikin ramai adalah penyerangan terhadap minoritas agama, seperti Ahmadiyah, Kristen, Syiah, Muslim Sufi, dan kepercayaan lokal pada 2014. Ada juga kasus pidana penjara selama tiga tahun terhadap dua pemimpin komunitas religius Gerakan Fajar Nusantara (Gafatar), Ahmad Moshaddeq selaku pendiri dan Mahful Muis Tumanurung selaku Ketua Umum; wakilnya, Andry Cahya, pada Maret 2017.

Belum lagi ihwal sangkaan penistaan agama yang semakin banyak. Kasus penistaan agama paling banyak dilakukan pada 2016. Pada periode ini, sebanyak 14 kasus yang terjadi. Salah satu yang menjadi sorotan adalah pidato Ahok saat kunjungan kerja ke Kepulauan Seribu yang disertai kutipan surat Al Maidah ayat 51. Video dari pidato ini viral melalui jejaring Facebook milik Buni Yani.

 

Di atas kertas terkait indeks HAM, pemerintah memang belum mampu membuat perubahan signifikan dalam penegakan HAM dan menyelesaikan perkara HAM. Komitmen dalam menaruh perhatian kuat terhadap penghormatan, perlindungan, pemenuhan, dan penegakan HAM belum menunjukkan keseriusan.

Catatan Human Right Watch (HRW), masih ada persoalan soal kebebasan beragama, kebebasan berekspresi dan berkumpul, hak-hak perempuan dan anak perempuan, Papua dan Papua Barat, orientasi seksual dan identitas gender, reformasi dan impunitas militer, hak-hak anak, hak-hak penyandang disabilitas, dan pembunuhan tanpa proses peradilan

Padahal dalam Pidato Kenegaraan Sidang Tahunan MPR, Kamis (16/8), Presiden Joko Widodo mengungkapkan bahwa pemerintah menaruh perhatian kuat terhadap penghormatan, perlindungan, pemenuhan, dan penegakan Hak Asasi Manusia (HAM). Salah satu langkah yang telah ditempuh, menurut Jokowi, adalah mengeluarkan Peraturan Presiden Nomor 33 tahun 2018 tentang Perubahan atas Peraturan Presiden Nomor 75 Tahun 2015 tentang Rencana Aksi Nasional Hak Asasi Manusia (RANHAM) Tahun 2015-2019.

“Pemerintah berupaya mempercepat penyelesaian kasus-kasus HAM masa lalu serta meningkatkan perlindungan HAM agar kejadian yang sama tidak terulang lagi di kemudian hari,” ujar Jokowi.

Baca juga artikel terkait PERIKSA DATA atau tulisan menarik lainnya Scholastica Gerintya
(tirto.id – Hukum)

Penulis: Scholastica Gerintya
Editor: Suhendra

Sumber: https://tirto.id/catatan-suram-janji-penegakan-ham-dbFm