Pos

Wabah Ganda Bagi Petani Desa

Oleh: Faurul Fitri (Peneliti Rumah KitaB)

Pandemi Covid-19 bukan satu-satunya wabah yang dihadapi para petani di kampung saya, desa kecil di bagian utara kab. Boyolali. Sejak awal pandemi, saya pulang ke kampung halaman dan bekerja jarak jauh. Ada perasaan rindu yang terobati ketika pulang dari tanah rantau, mencium aroma tanah sawah yang khas selepas hujan ditemani hijaunya hamparan padi yang mulai menguning.

Saat saya pulang, masa panen telah tiba. Para petani, kebanayakan perempuan sepatuh baya dan sedikit lelaki tua berwajah sumringah menyambut hari untuk memanen padi dan jagung, termasuk ayah dan ibu saya. Sebagaimana umumnya pendudukan desa warga di kampung saya adalah para petani yang sangat rajin bekerja. Dari pagi hingga petang, mereka mengerjakan apa saja sesuai dengan ayunan musimnya. Tak ada kata istirahat atau liburan bagi mereka. Apalagi bagi perempuan petani; mereka mengerjakan urusan dapur sekaligus mencari nafkah melalui dunia pertanian sehari-hari. Tapi siapa sangka, musim itu adalah musim terakhir bagi para petani di kampung saya memanen hasil bumi untuk kelangsungan hidup. Selepas panen, saat para petani mulai menebar benih jagung, kacang, dan padi, segerombol hama menyerang. Lebih tepatnya ratusan ekor tikus, membabat habis seluruh biji-bijian yang mereka tanam. Bahkan tak tersisa sedikitpun. Rugi materi sudah tentu, tapi yang mereka khawatirkan adalah cara bertahan hidup di masa pandemic Covid saat tak ada sumber pangan apapun yang didapat dari bumi.

Kami tidak tahu asal muasal tikus-tikus itu datang darimana, yang kami tahu kedatangannya sangat membahayakan kehidupan para petani. Sumber pangan para petani sejak dahulu hingga sekarang adalah dari hasil bumi pertiwi. Berganti pekerjaan bagi para petani yang sudah berusia lanjut nampak mustahil. Lantas harus bekerja apalagi untuk bisa bertahan hidup?

Saya bertemu dengan seorang perempuan petani yang sudah cukup tua.  Ia datang ke rumah orangtua saya dan mengeluhkan beratnya pandemic ini. Ia hanya tinggal bersama dengan suaminya, sementara anak-anaknya sudah berkeluarga dan merantau ke ibu kota. Jangan dibayangkan mereka yang di kota bergelimang harta, hidupnya pun jauh dari cukup. Rupanya Ibu petani ini sedang menawarkan sebagian kecil tanahnya supaya dibeli oleh orangtua saya. Tanah itu hendak dijual supaya bisa bertahan dan dapat melewati pandemic covid dan wabah tikus yang menyerang. Ini hanya satu contoh, mungkin saja petani-petani lain juga menjual apa yang mereka punya untuk bertahan hidup.

Hingga satu tahun lebih pun para petani belum bisa menanam sumber pangan mereka. Betapa wabah Covid dan wabah tikus ini menghantam kehidupan para petani. Adakah pemerintah dapat melihat persoalan ini? Covid itu satu hal, tapi urusan kebutuhan pangan juga hal lain yang menentukan hidup dan matinya para petani. Bantuan langsung tunai bukan solusi bagi mereka. Dan mereka bukan “malas” bekerja tetapi tidak mungkin untuk bekerja. Duuh![]

 

Pandemi dan Tradisi

Oleh Listia Suprobo

Kami hidup sebagai pendatang di sebuah kampung di Sleman antara jalan Kaliurang dan jalan Tentara Pelajar. Sebagaimana di banyak tempat lain, mungkin kecuali di perumahan, ada adat yang harus kami jaga bersama. Saat baru pindahan, kami selenggarakan kenduri yang diisi dengan doa tahlil dan perkenalan dengan warga sekitar. Pak Dukuh menyampikan selamat datang dan meminta kami para pendatang untuk mengikuti tradisi dan kebiasaan yang berjalan di wilayah itu. Tentu saja, di mana bumi dipinjak di situ langit dijunjung, karena para pendatang berasal dari berbagai daerah bahkan dari luar Jawa. Umumnya pendatang bersedia menyesuaikan diri.

Dalam hal ritual berbagai selametan, ruwahan, merti desa, memang hanya sedikit pendatang  yang bisa aktif, karena berbagai alasan. Buat saya sendiri, ada hal yang sangat mengesankan sejak awal datang hingga kini, yaitu kidung atau singiran (melantunkan syair dalam tembang) diorkestrasi dengan tahlilan dalam langgam jawa, pada dua kesempatan; saat ruwahan (mendoakan para arwah leluhur) yang dilaksanakan menjelang puasa Ramadhan dan setiap selamatan 1000 hari orang meninggal. Apalagi Bapak yang melantunkan vokalnya sangat merdu, membuat pikiran saya membayangkan Jawa abad 15, meresapi bagaimana syair itu menjadi bagian dari tradisi. Tapi dalam urusan sosial seperti kerja bakti, ronda, macam-macam serkiler (iuran sumbangan untuk berbagai keperluan sosial), para pendatang sangat aktif, bahkan dalam beberapa segi cukup menonjol.

Kebersamaan dalam berbagai kegiatan sosial terutama telah memperkuat persatuan, sehingga jalan yang membelah kampung kami dinamakan ‘Jalan Kesatuan’ yang dibangun secara gotong royong oleh semua warga laki-laki perepuan, tua muda selama kurun waktu berbulan-bulan, sejak memecah dan menata batu dengan teknik konstruksi mac adam.

Sekitar tahun 2007 ada keluarga yang mengontrak rumah di lingkungan RT kami meninggal karena sakit. Beberapa warga mengusulkan agar jenazah diantar ke daerah asal, mengingat tanah makam juga terbatas. Namun karena berbagai pertimbangan terutama dari istri, dan pertimbangan dari para kesepuhan, bahwa almarhum rajin kerja bakti dan aktif ronda,  atas nama kemanusiaan jenazah dimakamkan di makam kampung. Untuk pelaksanaan kenduri sampai 7 hari, warga yang mampu mengirim berbagai keperluan dan makanan. Demikian pula setiap idul adha, pembagian daging merata untuk semua warga tidak membeda-bedakan agama apa yang dianut. Kebersamaan yang mengesankan.

Di antara warga baru dan lama memang tetap ada perbedaan, terutama dalam gaya hidup, pola pikir dan pengelolaan waktu sehari-hari. Tentu saja ada perbedaan riwayat pendidikan, latar budaya yang telah membentuk sebelumnya dan lingkup pergaulan, sehingga ada kalanya ‘terjadi ketidaksepakatan’, atau hal-hal membuat kurang kompak antara warga baru dan warga lama. Ya karena sesungguhnya tidak mungkin ada pemaksaan kehendak oleh salah satu pihak. Demikian pula dalam menanggapi pandemi panjang ini perbedaan cara berfikir sangat terasa.

Kemarin malam, salah satu warga yang termasuk warga baru meninggal dunia. Karena pemakaman harus menggunakan protokol kesehatan, jenazah harus segera dimakam malam itu. Dalam tradisi, bila warga RT kami ada yang meningal maka warga kampung sebelah yang menggalikan lubang kubur dan mereka juga mengumpulkan beras atau uang untuk membantu pelaksanaan kenduri. Sebaliknya bila yang meninggal kampung sebelah, warga kampung kami yang bertugas menggali liang kubur dan mengumpulkan sumbangan. Adanya kematian yang berturut-turut bahkan sempat sehari dua kali, saya membayangkan mereka yang menggali kubur dan ibu-ibu yang mengumpulkan sumbangan dari rumah ke rumah serta keluarga-keluarga yang secara ekonomi pas-pasan yang tentu tidak enak hati bila tidak memberi meski tidak diminta. Mungkin semangat yang sangat baik ini perlu dikemas dengan cara baru yang terasa tidak merepotkan bagi semua pihak, tanpa mengurangi kemanfaatannya.

Pemakaman malam itu hanya dihadiri putri almarhum dan suaminya, Pak Dukuh, Pak Kaum, warga kampung sebelah yang menggali makam dan seorang umat Katolik yang memimpin doa. Meski ada Pak Kaum yang biasa memimpin doa, karena yang meninggal beragama Katolik, maka yang memimpin adalah warga umat Katolik yang memang aktif di Gereja.

Tadi malam banyak warga yang menunggu suara ambulan datang agar bisa memberi penghormatan terakhir meski dari jauh. Namun ternyata ambulan mematikan sirine, demikian pula toa masjid tidak memberi pengumuman, ternyata untuk alasan mencegah kerumunan dan secara psikologis tidak menambah kekhawatiran ditengah kenaikan jumlah warga yang positif covid. Warga hanya mendapat foto-foto prosesi pemakaman telah selesai dilakukan.

Di hadapan kematian, dan banyak kematian di masa pandemi ini, tradisi budaya mempertemukan kemanusiaan, bahkan meski beda agama sekalipun. Di kampung kami, tidak ada pembedaan lokasi penguburan, karena semua jasad yang wafat akan terurai menjadi tanah. Dan arwah orang yang meninggal sudah tidak membutuhkan ruang lagi di dunia, terbebas dari sekat-sekat duniawi. Yang berbeda hanya amal perbuatan selama hidup di dunia, akankah dikenang atau dilupakan. Sedang nasib di akhirat hanya Allah, Gusti Pengeran  yang punya kewenangan menentukan.

(Nderek belasungkawa Mba Krisan, mas Nanank Marto Suwito  dan keluarga, semoga tabah dan semua yang sakit segera sehat.🙏)

Cerita Kehamilan Kedua di Masa Corona

Oleh Nurasiah jamil

Saat saya menulis ini, saya alhamdulilah sudah sehat sekitar 4-5 bulan yang lalu dari corona. Namun, hati saya tidak sedang sehat karena kita ketahui bahwa corona semakin naik terus dan variannya makin ganas. Melalui tulisan ini ingin menceritakan perjuangan kehamilan kedua saya dan kedua teman lainnya yang terkena covid – 19 yang sampai hari ini masih berjuang.

Latar belakang pekerjaan

Saya yang bekerja di NGO yang memiliki kebijakan sangat berpihak kepada perempuan sudah menerapkan work from home sejak pemerintah menyampaikan larangan Maret 2019 lalu. Namun sesekali ada kegiatan pendampingan ke lapangan itupun jarang. Dengan berbekal naik motor dan cuaca yang cukup extrem hujan dan panas bersama balita saya dan saya yang hamil saya sering melakukan perjalanan untuk pendampingan di wilayah Cianjur. Selain belum memiliki kendaraan beroda empat, saya merasa lebih aman dan nyaman menggunakan motor ketimbang kendaraan umum karena hanya bertemu suami siaga dan anak.

Sahabat saya yang pertama, namanya Rina. Ia bekerja sebagai tenaga kesehatan disebuah pusat kesehatan masyarakat di wilayah Jakarta. Tentu dia tidak ada WFH, justru ia dan temannya menjadi orang di garda terdepan disaat pandemi ini. Suaminya pun bekerja WFO diwilayah Jakarta. Ibunya positif covid dan sahabat saya dinyatakan tertuar tak lama selepas menengok ibunya.

Sahabat saya yang kedua, namanya Indri. Ia bekerja di Dinas Kesehatan di wilayah Bogor. Sesekali WFH dan WFO, suaminya tenaga kesehatan di wilayah Bogor juga. Mertuanya meninggal dan positif covid, sahabat saya dinyatakan positif setelah beberapa hari mertuanya meninggal.

Inilah ragam pekerjaan saya bersama dua sahabat saya.

Perjalanan terpapar Covid

Saya adalah orang yang pertama terkena covid-19, pada akhir bulan Februari 2021 ketika usia kehamilan saya sekitar dua bulan menuju tiga bulan. Saya tidak tahu darimana virus itu saya dapatkan, namun yang pasti saya kehujanan dan mungkin imun saya drop sehingga virus dengan mudah masuk kedalam tubuh saya.  Saya tidak enak badan semasa training hari kedua dilaksanakan, hingga akhirnya tiga hari berikutnya saya baru dilakukan tes usap dan saya sudah hilang penciuman. Saya dan anak saya positif, sedangkan suami alhamdulilah tidak terkena.

Lain lagi dengan sahabat saya Rina, ia melakukan test usap rutin karena kebutuhan untuk cek di pusat layanan kesehatan masyarakat, namun kecolongan ketika menengok ibunya dan ternyata positif hingga akhirnya dia tertular. Anak dan suaminya aman tidak terkena virus corona. Ia terkena virus sekitar bulan Maret 2021 pada saat kehamilan 3 bulan.

Kami berdua terkena virus corona dengan varian yang sebelum varian delta menyebar luas, tidak ada pengecekan spesifik virus varian yang mana, namun saat itu bukan varian delta.

Sahabat saya yang kedua, ia terpapar virus corona tak lama setelah ayah mertuanya meninggal, ia terkena virus corona bersama suaminya, namun alhamdulilah anak pertamanya negatif. Ia terkena virus corona ketika varian delta sudah menyebar dan saat itu usia kehamilan 7-8 bulan pada bulan Juli 2021.

Diantara kami bertiga, tidak ada yang tahu persis perjalanan virusnya didapat darimana, tapi kami sudah mendapatkannya.

Perjuangan saat terkena corona

Saya saat itu sedang tugas kerja di Cianjur, sehingga saya mencari pertolongan dengan melapor ke satgas covid Kabupaten yang dihubungkan ke satgas covid Desa. Sebagaimana diketahui bahwa orang tua saya merupakan orang cianjur dan saya secara KTP masih warga Cianjur. Gejala yang saya alami adalah batuk, demam, flu, sakit tulang dan anosmia (hilang penciuman dan pengecapan). Saya langsung disarankan isolasi mandiri ke pusat isolasi pemda, sehubungan kondisi saya yang hamil muda sehingga memerlukan pemantauan tenaga kesehatan. Tanpa basa-basi saya langsung menerima tawaran tersebut demi keselematan Jiwa dan raga. Selama isolasi 8 hari gejala yang sejak awal hadir itu tetap ada, namun karena kehamilan saya, saya tidak mengonsumsi obat-obatan selain vitamin.

Sebelumnya anak saya diikutkan isoman, namun karena saya tidak bisa istirahat akhirnya diputuskan dikirim kerumah orang tua untuk diasuh bersama papanya. Terpisah jauh dari keluarga selama 14 hari sangat merasa kesepian, suami saya hampir tiap hari menengok namun kami hanya bisa saling sapa dan ngobrol lewat jendela dari lantai dua. Namun alhamdulilah masih bisa bertemu secara fisik.

Sahabat saya Rini, ia harus dirawat di Rumah Sakit saat ia diketahui terkena corona, karena ada gangguan pembekuan darah dan setiap hari sampai 10 hari isolasi di RS ia harus disuntik obat agar tidak terjadi pembekuan darah tersebut dan tentu obat tambahan lain yang harus ia habiskan agar cepat pulih. Sesekali saya WAan dengannya untuk menanyakan kabar, sesekali pula kami telponan untuk sekedar bercerita langsung. Tentu keadaan dia tak bisa ditengok sama sekali karena berada di RS. Suaminya pun hanya sesekali dan jika urgent saja datang. Karena pemantauan yang ketat.

Perjuangan saya dan Rini sangat berbeda, namun alhamdulilah kami bisa peluk secara virtual karena kami dinyatakan kembali sehat.

Namun, tidak mudah bagi sahabat kedua kami, Indri. Ia saturasinya rendah dalam keadaan hamil besar, yang membuat ia harus memutuskan melahirkan anaknya dengan sectio cesaria agar anaknya bisa tertolong. Ia terpaksa harus masuk ruang intensive care unit karena kondisinya semakin lemah. Alhamdulilah anak yang lahir selamat namun kondsi Indri terus menurun kesadarannya hingga ia di intubasi. Segala upaya dilakukan oleh keluarga mulai dari donor plasma konvalesen dan juga pemberian obat gammarras yang digunakan untuk meningkatkan imun dalam tubuh, salah satunya yang dipakai dalam terapi penyembuhan covid-19.

Pada saat saya menulis cerita ini, hari ketiga setelah donor dan penyuntikan obat, dan saya bersama teman lain terus melakukan pemantauan, per hari ini alhamdulilah alat ventilator sudah dicoba dilepas meski masih di ICU. Mohon doa dari pembaca untuk kesembuhan sahabat saya.

Kehamilan saat pandemiTidak mudah bagi kami bertiga dan sebagian besar perempuan diluar sana menjalani kehamilan dimasa pandemi ini, karena dengan kondisi hamil ini mempengaruhi imunitas lebih rendah sehingga lebih mudah terpapar penyakit terutama corona. Menurut berita melalui media CNN Indonesia disampaikan oleh Perkumpulan Obstetri dan Ginekologi Indonesia (POGI) mencatat sebanyak 536 ibu hamil dinyatakan positif Covid-19 selama setahun terakhir. Dari jumlah tersebut, tiga persen di antaranya dinyatakan meninggal dunia dan 4.5 persen masuk ICU. Persentase tersebut diperkuat oleh studi lainnya yang menggambarkan bahwa seseorang yang sedang hamil memiliki risiko lebih besar dan berat ketika terkena covid.

Meski gejala awal yang terjadi relatif sama, namun dari pengalaman kami bertiga efek covid-19 ini berbeda kepada setiap orang. Melalui tulisan ini ingin mengajak semua orang untuk tetap menerapkan protokol kesehatan agar terhindar dari virus corona ini dan meminta doa dari pembaca untuk kelancaran persalinan saya dan sahabat serta seluruh perempuan yang sedang hamil di masa pandemi dan juga untuk kesembuhan sahabat saya yang saat ini masih di ICU semoga Allah angkat penyakitnya dan diberikan umur yang panjang untuk menjaga anaknya yang telah dilahirkan.

Pinta Malam Menjelang Dini Hari

Pinta malam menjelang dinihari

Hati semakin kebas menghadapi berita duka dan kematian yang datang silih berganti akibat Covid-19. Padahal untuk masing-masing keluarga ini adalah kepergian besar seperti “dirawu heulang”/ disambar rajawali.

Duuh Gusti, kapan ini semua akan berakhir? ampunilah kami manusia yang dhaif, lemah, lalai, sering takabur sombong dan tak menjaga amanah alam semesta TitipanMU.

Ya Allah, lindungi keluarga yang ditinggakan, siapapun mereka, jauh atau dekat, kerabat atau lian; semoga mereka tabah melanjutkan hidup, sabar melanjutkan amanah mengasuh dan mengasihi pasangan, anak- cucu kerabat yang ditinggalkan,

Ya Allah terimalah mereka yang telah lebih dulu menghadapMU sebagai syuhada. Ampunilah mereka, lindungilah mereka, sayangilah mereka.

Ya Allah kuatlah para petugas kesehatan yang menjadi andalan mereka yang sakit, kuatkanlah mereka, sayangilah keluarganya, lindungilah mereka, jauhkanlah dari ketertularan akibat merawat yang sakit.

Ya Allah lindungilah mereka yang diberi amanat untuk melindungi kami rakyatnya agar lurus hati teguh hati dan amanah, kuatkanlah mereka.

Ya Allah jauhkan kami dari fitnah yang membuat kami bersilang sengketa penuh amarah, gantilah dengan rasa sayang dan peduli kepada sesama tenangkanlah hati dan pikiran kami.

Ya Allah berilah kami pemahaman atas pengingatMu ini, lindungilah kami, berilah ampunan dan pertolongan. Dengan syafaat cinta dari para NabiMu kepada umatnya, hindarilah kami dari bencana yang mungkin tidak akan sanggup kami menanggungnya.

Alhamdulillah atas karunia hari ini Engkau memberi kami hidup.

Aamiiin

Gawat! Perkawinan Anak Melejit Karena Pandemi Covid-19

Suara.com – Pandemi Covid-19 membuat angka dispensasi perkawinan anak di Indonesia meningkat pesat.

Data Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KemenPPPA) mencatat selama pandemi Covid-19, ada 34.000 ribu permohonan dispensasi perkawinan anak yang diterima pengadilan agama di Indonesia.

Menteri PPPA I Gusti Ayu Bintang Puspayoga mengatakan hal ini sangat memprihatinkan, sebab banyak anak putus sekolah karena pademi tapi justru malah memilih menikah dini.

“Dalam kurun waktu Januari hingga Juni 2020, badan peradilan agama Indonesia telah menerima sekitar 34.000 permohonan dispensasi kawin yang diajukan oleh calon mempelai yang belum berusia 19 tahun, tentunya hal ini menjadi keprihatinan bagi kita semua,” kata Bintang dalam Rakornas KPAI, Senin (30/11/2020).

Dia berharap dengan terbitnya SKB 4 Menteri yang memperbolehkan pembukaan sekolah dengan protokol kesehatan pada Januari 2021 bisa mengembalikan anak ke sekolah dan fokus belajar, bukan menikah.

“Untuk itu saya harap semua pihak dapat melaksanakan lima siap dalam adaptasi kebiasaan baru di satuan pendidikan, yaitu siap daerahnya, siap sekolahnya, siap gurunya, siap orang tuanya dan siap peserta didiknya,” jelasnya.

Namun Menteri Bintang menegaskan orang tua juga tetap bisa menolak anaknya masuk sekolah jika masih khawatir dengan kondisi pandemi covid-19.

“Tidak ada pemaksaan kepada orang tua jika mempunyai kekhawatiran dan tidak nyaman ketika anaknya masuk ke sekolah. Pelajaran tetap dapat dilaksanakan secara daring,” tegasnya.

Pembelajaran tatap muka di sekolah tetap hanya diperbolehkan untuk sekolah yang telah memenuhi daftar periksa yakni ketersediaan sarana sanitasi dan kebersihan seperti toilet bersih dan layak, sarana cuci tangah pakai sabun dengan air mengalir atau hand sanitizer, dan disinfektan.

Selanjutnya, mampu mengakses fasilitas pelayanan Kesehatan, kesiapan menerapkan wajib masker, memiliki alat pengukur suhu badan (thermogun).

Daftar periksa berikutnya adalah memiliki pemetaan warga satuan pendidikan yang memiliki komorbid yang tidak terkontrol, tidak memiliki akses transportasi yang aman, memiliki Riwayat perjalanan dari daerah dengan tingkat risiko Covid-19 dan belum menyelesaikan isolasi mandiri. Terakhir, mendapatkan persetujuan komite sekolah atau perwakilan orang tua/wali.

Pembelajaran tatap muka tetap dilakukan dengan mengikuti protokol Kesehatan yang ketat terdiri dari kondisi kelas pada jenjang pendidikan anak usia dini (PAUD), pendidikan dasar dan pendidikan menengah menerapkan jaga jarak minimal 1,5 meter.

Sementara itu, jumlah siswa dalam kelas pada jenjang Sekolah Luar Biasa (SLB) maksimal 5 peserta didik per kelas dari standar awal 5-8 peserta didik per kelas.

Pendidikan dasar dan pendidikan menengah maksimal 18 peserta didik dari standar awal 28-36 peserta didik/kelas. Pada jenjang PAUD maksimal 5 peserta didik dari standar awal 15 peserta didik/kelas.

Penerapan jadwal pembelajaran, jumlah hari dan jam belajar dengan sistem pergiliran rombongan belajar ditentukan oleh masing-masing sekolah sesuai dengan situasi dan kebutuhan.

Perilaku wajib yang harus diterapkan di sekolah harus menjadi perhatian, seperti menggunakan masker kain tiga lapis atau masker sekali pakai/masker bedah, cuci tangan pakai sabun dengan air mengalir atau cairan pembersih tangan, menjaga jarak dan tidak melakukan kontak fisik, dan menerapkan etika batuk/bersin.

Selanjutnya, kondisi medis warga sekolah sehat dan jika mengidap komorbid harus dalam kondisi terkontrol, tidak memiliki gejala Covid-19 termasuk pada orang yang serumah dengan peserta didik dan pendidik.

Kantin di sekolah pada masa transisi dua bulan pertama tidak diperbolehkan buka. Setelah masa transisi selesai, kantin diperbolehkan beroperasi dengan tetap menjaga protokol kesehatan.

Kegiatan olahraga dan ekstrakurikuler pada masa transisi dua bulan pertama tidak boleh dilakukan. Setelah masa transisi selesai, kegiatan boleh dilakukan, kecuali kegiatan yang menggunakan peralatan bersama dan tidak memungkinkan penerapan jarak minimal 1,5 meter seperti basket, voli, dan sebagainya.

Kegiatan selain pembelajaran tidak boleh dilakukan pada masa transisi dua bulan pertama, setelah itu diperbolehkan dengan tetap menjaga protokol Kesehatan. Sementara itu, pembelajaran di luar lingkungan sekolah boleh dilakukan dengan tetap menjaga protokol Kesehatan.

Daftar periksa berikutnya adalah memiliki pemetaan warga satuan pendidikan yang memiliki komorbid yang tidak terkontrol, tidak memiliki akses transportasi yang aman, memiliki Riwayat perjalanan dari daerah dengan tingkat risiko Covid-19 dan belum menyelesaikan isolasi mandiri. Terakhir, mendapatkan persetujuan komite sekolah atau perwakilan orang tua/wali.

Pembelajaran tatap muka tetap dilakukan dengan mengikuti protokol Kesehatan yang ketat terdiri dari kondisi kelas pada jenjang pendidikan anak usia dini (PAUD), pendidikan dasar dan pendidikan menengah menerapkan jaga jarak minimal 1,5 meter.

Sementara itu, jumlah siswa dalam kelas pada jenjang Sekolah Luar Biasa (SLB) maksimal 5 peserta didik per kelas dari standar awal 5-8 peserta didik per kelas.

Pendidikan dasar dan pendidikan menengah maksimal 18 peserta didik dari standar awal 28-36 peserta didik/kelas. Pada jenjang PAUD maksimal 5 peserta didik dari standar awal 15 peserta didik/kelas.

Penerapan jadwal pembelajaran, jumlah hari dan jam belajar dengan sistem pergiliran rombongan belajar ditentukan oleh masing-masing sekolah sesuai dengan situasi dan kebutuhan.

Perilaku wajib yang harus diterapkan di sekolah harus menjadi perhatian, seperti menggunakan masker kain tiga lapis atau masker sekali pakai/masker bedah, cuci tangan pakai sabun dengan air mengalir atau cairan pembersih tangan, menjaga jarak dan tidak melakukan kontak fisik, dan menerapkan etika batuk/bersin.

Selanjutnya, kondisi medis warga sekolah sehat dan jika mengidap komorbid harus dalam kondisi terkontrol, tidak memiliki gejala Covid-19 termasuk pada orang yang serumah dengan peserta didik dan pendidik.

Kantin di sekolah pada masa transisi dua bulan pertama tidak diperbolehkan buka. Setelah masa transisi selesai, kantin diperbolehkan beroperasi dengan tetap menjaga protokol kesehatan.

Kegiatan olahraga dan ekstrakurikuler pada masa transisi dua bulan pertama tidak boleh dilakukan. Setelah masa transisi selesai, kegiatan boleh dilakukan, kecuali kegiatan yang menggunakan peralatan bersama dan tidak memungkinkan penerapan jarak minimal 1,5 meter seperti basket, voli, dan sebagainya.

Kegiatan selain pembelajaran tidak boleh dilakukan pada masa transisi dua bulan pertama, setelah itu diperbolehkan dengan tetap menjaga protokol Kesehatan. Sementara itu, pembelajaran di luar lingkungan sekolah boleh dilakukan dengan tetap menjaga protokol Kesehatan.

Sumber: https://www.suara.com/health/2020/11/30/172126/gawat-perkawinan-anak-melejit-karena-pandemi-covid-19?page=all

Dampak Sosial Pandemi Corona, Pernikahan Gadis di Bawah Umur di Asia Meningkat

Akibat pandemi corona, puluhan ribu gadis di Asia diyakini terpaksa melakukan pernikahan di bawah umur. Kemiskinan, PHK, dan berhenti sekolah selama penguncian dan pembatasan sosial jadi faktor utama yang mendorong.

 

Puluhan ribu anak perempuan di bawah umur di Asia dilaporkan dipaksa menikah oleh keluarganya yang putus asa karena jatuh miskin akibat pandemi corona. Isu pernikahan anak sebenarnya telah lama ditentang oleh para aktivis, tetapi hingga kini praktik tersebut masih marak terjadi.

Pernikahan anak telah menjadi hal yang umum dijumpai di masyarakat tradisional di negara-negara Asia seperti India, Pakistan, Vietnam, dan Indonesia. Tetapi hal tersebut perlahan mulai dapat ditekan seiring upaya-upaya yang dilakukan pemerintah ataupun LSM yang mendorong akses pendidikan dan layanan kesehatan untuk perempuan.

Namun, upaya ini tampaknya terhalang dengan adanya pandemi corona. Jutaan orang kehilangan pekerjaan dan para orang tua putus asa untuk menafkahi anak-anaknya.

“Semua kemajuan yang yang kami peroleh dalam satu dekade terakhir benar-benar mengalami kemunduran,” ujar Shipra Jha, Kepala Penasihat untuk Asia dari LSM Girls Not Brides.

Kemiskinan, minim edukasi, rentan akan keamanan, mendorong terjadinya pernikahan anak, dan krisis saat ini makin memperparah kondisi yang ada, ungkap Jha.

Berdasarkan data PBB, diperkirakan terdapat 12 juta anak perempuan di seluruh dunia menikah sebelum umur 18 tahun setiap tahunnya. PBB pun memperingatkan dampak ekonomi dan sosial yang bisa ditimbulkan akibat pandemi corona saat ini, karena dikhawatirkan angka tersebut dapat meningkat 13 juta dalam dekade berikutnya.

Meningkat selama lockdown

Di Asia sendiri, angka pernikahan anak diyakini meningkat bak bola salju oleh sejumlah LSM.

“Telah terjadi peningkatan pernikahan anak selama periode lockdown. Pengangguran merajalela, PHK dimana-mana. Banyak keluarga tidak mampu memenuhi kebutuhan hidup mereka, jadi mereka pikir menikahkan anak perempuan mereka adalah pilihan terbaik,” ujar Rolee Singh yang terkenal aktif mengkampanyekan “1 Step 2 Stop Child Marriage” di India.

Singh melihat bahwa keluarga menganggap pernikahan anak sebagai solusi masalah keuangan mereka tanpa peduli dampakya terhadap sang anak.

“Kami juga melihat anak-anak menikah karena pihak lain menawarkan uang atau semacam bantuan sebagai imbalan. Keluarga—keluarga ini tidak paham konsep perdagangan anak,” tuturnya.

Seperti yang dialami Muskaan (15), ia mengaku dipaksa ibu dan ayahnya untuk menikahi tetangganya yang berusia berusia 21 tahun. Ibu dan ayah Muskaan merupakan pembersih jalan di kota Varanasi, India, yang memilki enam orang anak untuk diberi makan.

“Orang tua saya miskin, apa lagi yang bisa mereka lakukan? Saya berjuang untuk menolaknya tapi pada akhirnya saya harus menyerah,” tutur Muskaan sambil menangis.

Senada dengan Singh, Jha khawatir kebijakan lockdown yang menyebabkan anak-anak tidak bersekolah dan tidak memilki aktivitas akhirnya terjerumus ke perbuatan zina.

“Ketakutan terbesar yang dimiliki keluarga adalah gadis remaja mungkin mejadi dekat dengan anak laki-laki, dan mengeksploitasi kegiatan seksual, dan akhirnya hamil,” jelas Jha.

Pendidikan jadi tameng utama

Di saat pendidikan dinilai menjadi tameng utama dalam melawan isu pernikahan anak, penguncian telah memaksa ratusan juta anak di dunia tidak sekolah. Para aktivis pun memperingatkan bahwa anak-anak perempuan miskin menjadi pihak yang paling terpukul.

Sebelumnya, pada pertengahan bulan Agustus sebanyak 275 mantan pemimpin dunia, pakar pendidikan, dan ekonom, menyerukan agar pemerintah dan organisasi global seperti Bank Dunia memastikan agar pandemi corona tidak melahirkan “Generasi COVID…yang kehilangan pendidikan dan kesempatan yang adil dalam hidup.”

“Banyak dari anak-anak ini adalah perempuan yang bersekolah, yang menjadi pertahanan terbaik melawan pernikahan anak dan harapan terbaik untuk kehidupan dan kesempatan yang lebih luas,” begitu kata surat terbuka yang ditandatangani mantan Sekjen PBB Ban Ki-Moon, mantan dirjen UNICEF Carol Bellamy, dan mantan PM seperti Shaukat Aziz, Gordon Brown, hingga Tony Blair.

Bagaimana di Indonesia?

Di Indonesia, Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) telah memperingatkan adanya potensi lonjakan kelahiran bayi (baby boom) pada awal tahun depan sebagai imbas dari pandemi corona di negeri berpenduduk 270 juta jiwa ini.

Lia (nama samaran) yang masih berusia 18 tahun, mengaku telah menikah dua kali. Pernikahan pertamanya terjadi karena dia terpergok tengah berduaan dengan seorang pria yang bukan keluarganya, sesuatu hal yang dianggap tabu di tempat tinggalnya, Sulawesi Barat. Mereka berdua pun dipaksa menikah meski sang pria berusia 30 tahun lebih tua dibanding Lia.

Setelah berpisah, Lia akhirnya menjalin hubungan dengan seorang lelaki yang masih berusia 21 tahun. Namun, Lia harus menghadapi fakta bahwa dia hamil di luar nikah di tengah masa PSBB. Keluarganya pun memaksanya untuk menikahi ayah sang cabang bayi.

“Saya bercita-cita menjadi pramugari,“ kenang Lia.

“Tapi dia gagal dan kini kerja di dapur,“ ujar suami Lia kini, Randi, yang memotong cepat kalimat sang istri.

UNICEF menyebut bahwa Indonesia termasuk salah satu negara dengan tingkat pernikahan anak tertinggi di dunia. Indonesia tahun lalu telah merevisi Undang-Undang Perkawinan yang menyebutkan batas minimal usia nikah perempuan menjadi 19 tahun dari yang sebelumnya 16 tahun.

Namun, masih terdapat celah soal kebijakan tersebut. Pasalnya, pengadilan agama bisa memberikan dispensasi perkawinan dengan syarat-syarat tertentu. Menurut Kementerian Pemberdayaaan Perempuan dan Perlindungan Anak, jumlah pengajuan dispensasi kawin selama pandemi corona tercatat mengalami peningkatan mencapai 24 ribu.

‘Tidak memikirkan masa depan’

Di Vietnam, batas minimal usia nikah adalah 18 tahun. Tetapi UNICEF meyatakan satu dari 10 anak perempuan di sana menikah sebelum usia tersebut. LSM lokal Blue Dragon mengungkap menemukan banyak kasus pernikahan anak perempuan yang masih berusia 14 tahun di tengah pandemi saat ini.

Mei (15), yang berasal dari suku pegunungan Hmong utara, terpaksa menikahi kekasihnya yang berusia 25 tahun pada Juni lalu karena kedapatan hamil. Orang tua Mei mengaku tidak sanggup membiayai kebutuhan Mei, akhirnya Mei kini tinggal bersama keluarga suaminya.

“Orang tua saya petani, dan penghasilan mereka tidak cukup untuk kami,” tutur Mei. Dia sekarang tidak sekolah dan mengerjakan pekerjaan dapur dan membantu memanen sawah.

“Saya tidak memikirkan masa depan saya,” pungkasnya.

rap/hp (AFP)

Sumber: https://www.dw.com/id/pandemi-corona-memaksa-gadis-di-asia-menikah-di-bawah-umur/a-54780124?fbclid=IwAR2fxnimouOcNZA4eCB2pm0THoyXmCYw1-Bd8uZu0518VaGBwydR5hAnCDU

Covid-19: Apakah perempuan harus bekerja lebih keras setelah pandemi virus corona?

Krisis ekonomi yang terjadi di berbagai negara selama pandemi Covid-19 diyakini melipatgandakan beban kerja perempuan, baik dalam karier profesional, maupun di rumah tangga.

Walau mayoritas sektor usaha yang terdampak pandemi merupakan bidang penyerap pekerja perempuan terbanyak, sebagian besar penduduk Indonesia menilai perempuan tidak lebih berhak terhadap lowongan pekerjaan ketimbang laki-laki.

Hasil survei yang dilakukan badan riset asal Amerika Serikat itu menempatkan Indonesia sejajar dengan Turki, Filipina, dan Nigeria.

Seperti banyak perempuan yang memiliki karier cemerlang, Simone Ramos merasa harus bekerja lebih berat untuk meraih kesuksesan ketimbang laki-laki.

Ramos berkata, sebagai pemimpin perempuan dalam industri yang didominasi laki-laki, ia harus menjadi sosok kuat dan bekerja melampaui batas.

Situasi itu dihadapinya ketika sukses menjadi manajer pelaksana sekaligus manajer pengaudit risiko di sebuah perusahaan asuransi.

“Pada awal karier, saya menyadari bahwa saya suatu hari saya harus keluar dari pekerjaan ini, saya harus belajar lebih banyak, dan harus membuktikan kapasitas diri tiga kali lebih keras dibandingkan laki-laki manapun,” ujarnya kepada BBC.

Ramos saat ini juga menjadi penasihat untuk asosiasi pekerja perempuan di bidang asuransi di Brasil. Dia akan menerbitkan buku terkait isu ini, Oktober mendatang.

Ramos ingin berkata kepada para perempuan muda bahwa mereka dapat mencapai puncak kesuksesan dengan fokus, determinasi, dan target masa depan yang jelas.

Namun seperti para ahli lainnya, Ramos mencemaskan tekanan berlebihan yang ditanggung perempuan selama pandemi Covid-19. Ia masih bertanya-tanya, apakah itu akan berdampak buruk bagi para pekerja perempuan.

Perempuan bekerja di kantor, virus corona,covid-19

Para peneliti menyebut pandemi Covid-19 membuat para ibu yang berkarier secara profesional merasa sangat lelah.

‘Sif kedua’

Pada pandemi ini banyak keluarga menghadapi kesulitan. Para orang tua diharuskan bekerja dari rumah. Pada saat yang sama, mereka juga harus mengurus anak yang sekolah di rumah serta anggota keluarga lainnya.

Merujuk laporan Organisasi Buruh Internasional (ILO), pada situasi seperti ini, perempuan harus menanggung tiga perempat pekerjaan rumah tangga tanpa bayaran.

“Bukan rahasia bahwa para ibu yang paling sering mengasuh anak dan melakukan pekerjaan domestik di keluarga,” kata Justine Roberts, pendiri dan pimpinan Mumsnet, sebuah jejaring komunitas orang tua daring terbesar di Inggris.

Roberts berkata, realita ini menumpuk tekanan pada perempuan. Akibatnya, para ibu rumah tangga berpotensi mengalami stres.

“Para ibu khawatir mereka akan kehilangan pekerjaan atau mendapat masalah di kantor karena tidak menunjukkan kinerja yang baik seperti masa sebelumnya,” ujar Roberts.

“Bahkan jika para perempuan menilai pekerjaan atau penghasilan mereka cukup aman, sebagian besar dari mereka mengaku tidak bisa menanggung beban itu dalam waktu lama,” tuturnya.

Ramos menyebut bahwa perempuan secara tradisional harus menjalankan ‘sif kerja kedua’ di rumah, ketika jam kerja profesional mereka selesai.

Ramos berkata, saat ini banyak perempuan yang dikenalnya berusaha menjalankan ‘dua sif’ itu dalam waktu yang bersamaan.

Kesehatan mental, kata Ramos, bakal mendorong mereka mempertimbangkan mengundurkan diri dari kantor, baik permanen atau sementara, selama pandemi.

Simone Ramos

Simone Ramos berkata, sejumlah perempuan berusaha bekerja dalam ‘sif ganda’, dan ada pula yang mempertimbangkan untuk menghentikan karier mereka.

“Kita sungguh perlu membuat solusi terhadap situasi yang dihadapi para perempuan di tempat kerja,” kata Allyson Zimmermann, direktur Catalyst, kelompok sipil yang berkolaborasi dengan perusahaan untuk mengatasi persoalan pekerja perempuan.

“Sistem yang ada saat ini sudah tidak relevan. Jika Anda perhatikan, perusahaan sebenarnya berkepentingan menemukan situasi normal baru di tempat kerja selama pandemi Covid-19,” ujar Zimmermann kepada BBC.

Catalyst selama bertahun-tahun menelusuri karier sekitar 10.000 perempuan dan laki-laki yang mendapat gelar master dari sekolah bisnis di Asia, Kanada, Eropa, dan Amerika Serikat.

Dalam riset itu, Catalyst mengamati rendahnya opsi kerja yang fleksibel mempengaruhi motivitasi para karyawan perempuan, terutama ketika mereka memiliki status baru sebagai ibu rumah tangga.

Perempuan bekerja di kantor, virus corona,covid-19

Catalyst mengatakan ada bias kebijakan yang memperlambat kemajuan perempuan di semua level karier.

Namun ada juga sejumlah bias kebijakan yang memperlambat karier perempuan, baik dari sisi pengalaman maupun status memiliki anak atau tidak.

Dalam riset Catalyst, misalnya, perempuan berpeluang memulai karier dari posisi yang lebih rendah ketimbang laki-laki, walau memiliki titel pendidikan serupa.

Dan lembur, sebagaimana tertuang dalam hasil riset itu, akan menggenjot karier pekerja laki-laki. Keuntungan itu tidak didapatkan pekerja perempuan.

Laki-laki lulusan sekolah bisnis dalam seketika akan mendapat gaji yang lebih besar setelah mereka berpindah perusahaan. Namun perempuan dengan titel yang sama baru akan mendapatkan kenaikan upah jika mereka bisa meyakinkan atasan.

“Perempuan harus secara terus-menerus meningkatkan kinerja, sedangkan laki-laki mendapat promosi berdasarkan potensi diri,” kata Zimmermann.

Para eksekutif perusahaan,covid-19, virus corona

Sebuah penelitian di AS menemukan kecenderungan bahwa pemegang saham perusahaan enggan menunjuk direktur perempuan pada situasi krisis ekonomi.

“Ada persepsi, jika perempuan melakukan hal yang sama seperti yang dikerjakan laki-laki, mereka akan mendapat keuntungan. Tapi sejujurnya, itu tidak terjadi.”

“Perempuan sering menghadapi standar yang lebih tinggi ketimbang laki-laki. Itu adalah bias yang ada tanpa disadari,” ujarnya.

Krisis ekonomi makin menyulitkan perempuan

Sebuah penelitian terbaru di AS menunjukkan, bias semacam itu sangat bisa muncul kembali ketika krisis ekonomi terjadi.

Perempuan yang berusaha masuk dewan direktur perusahaan menghadapi tantangan yang lebih besar saat tempat kerja mereka bergelut dengan krisis.

Setelah menganalisis 50.000 pemilihan anggota dewan di 1.110 perusahaan terbuka selama tahun 2003 hingga 2015, para peneliti menemukan bahwa pemegang saham senang mendukung direktur perempuan. Syaratnya, segala hal harus berjalan normal.

Bagaimanapun, jika perusahaan bermasalah atau diterpa krisis, mereka akan menarik dukungan mereka dari kandidat direktur perempuan.

Para perempuan itu dihadapkan pada standar yang lebih tinggi ketimbang kolega laki-laki mereka, dan lebih berpeluang keluar dari perusahaan itu beberapa tahun setelahnya.

Perempuan bekerja di kantor, virus corona,covid-19

Keberagaman memberi perusahaan banyak peluang untuk unggul dalam pasar ekononi, kata Profesor Sauervald.

Corinne Post, peneliti dari Lehigh University di AS, berkata kepada BBC, “Sulit menemukan penjelasan lain, selain tentang keraguan pada komitmen perempuan atau apakah mereka akan benar-benar bekerja keras.”

Steve Sauervald, ilmuwan dari University of Illinois, di AS, menyebut kajian lainnya menunjukkan bahwa keberagaman berpengaruh pada capaian perusahaan.

Namun, kata dia, hasil itu harus didasarkan pada minimnya penipuan dan perilaku yang lebih beretika. Kondisi itu memberi perusahaan keunggulan untuk bersaing di pasar yang dinamis.

Arjun Mitra, peneliti dari California State University, berkata bahwa perusahaan merusak bakat pekerja perempuan saat mereka seharusnya mendulang keuntungan dari kualitas kepemimpinan perempuan.

“Itu mengirimkan sinyal yang kuat bahwa perusahaan tidak begitu mendukung perempuan menjalankan peran sebagai pimpinan,” tutur Mitra.

Perempuan bekerja di supermarket, virus corona,covid-19

Pandemi virus corona mempengaruhi perempuan berpenghasilan rendah.

Perempuan berupah rendah juga terdampak

Selama 50 tahun terakhir, kesetaraan gender berkembang secara positif di berbagai negara.

Namun menurut Forum Ekonomi Dunia (WEF), terdapat negara yang membutuhkan setidaknya satu abad lagi untuk menyeimbangkan hak pekerja laki-laki dan perempuan.

Dan pandemi Covid-19 sudah berdampak terhadap para perempuan berpenghasilan rendah.

Krisis ekonomi yang saat ini terjadi lebih berdampak pada pekerjaan perempuan, ketimbang laki-laki. Penyebabnya, pandemi memukul lapangan kerja yang didominasi perempuan seperti sektor jasa akomodasi, pangan, manufaktur, dan penjualan.

Di Amerika Tengah, 59% perempuan bekerja di sektor-sektor tadi. Di Asia Tenggara dan Amerika Selatan, persentasenya mencapai 49% dan 45%.

Di AS, tingkat pengangguran perempuan lebih tinggi daripada laki-laki.

“Krisis sebelumnya menunjukkan, ketika perempuan kehilangan pekerjaan, beban mereka di pekerjaan tak berbayar meningkat. Dan ketika lowongan yang tersedia minim, perempuan kerap menolak peluang kerja yang tersedia untuk laki-laki,” tulis ILO dalam pernyataan resmi.

A woman wearing a biosafety suit walks holding a shopping bag at the Unicentro shopping center in Bogota, Colombia on July 01, 2020.

Empat puluh persen dari tenaga kerja perempuan bekerja di empat sektor yang paling terpukul selama pandemi, kata Organisasi Buruh Internasional.

Di banyak negara, terdapat pandangan yang kuat bahwa perempuan memiliki hak yang lebih kecil untuk mendapatkan pekerjaan daripada laki-laki. Kecenderungan itu muncul dalam survei di 34 negara, yang diterbitkan Juni lalu oleh US Pew Research Center.

Para responden diminta menjawab, apakah laki-laki semestinya mendapat lebih banyak hak untuk bekerja dalam krisis ekonomi.

Sekitar 80% responden di India dan Tunisia setuju dengan pernyataan itu. Sementara di Indonesia, Turki, Filipina, dan Nigeria, persentasenya mencapai 70%.

Di Kenya, Afrika Selatan, Lebanon, dan Korea Selatan, lebih dari 50% responden setuju. Adapun persentase di Brasil, Argentina, Rusia, Ukraina, dan Meksiko, mencapai 40% atau nyaris mendekati rata-rata global.

Juliana Horowitz, asisten direktur PEW di bidang tren demografi, menyebut ada tensi yang ketidaktulusan di negara yang masyarakatnya mengklaim mendukung kesetaraan gender. Mereka, kata Horowitz, yakin laki-laki lebih berhak terhadap lapangan pekerjaan ketimbang perempuan.

“Ini sepertinya menunjukkan peluang yang dimiliki perempuan saat banyak negara mengalami krisis akibat pandemi,” ujarnya.

Luciana Barretos, covid-19

Luciana Barretos menyebut pekerja perempuan perlu memastikan perusahaan yang mereka inginkan memperjuangkan nilai dan etika yang benar-benar bernilai.

‘Kita mundur satu langkah lalu maju dua langkah’

Tetapi apa pun dampaknya, pandemi Covid-19 pada akhirnya akan berlalu. Ramos yakin itu akan memberi jalan kepada ‘realitas baru’ yang sudah mulai diadaptasi dunia bisnis.

Ramos yakin, banyak perusahaan sudah mulai mengambil ‘citra penuh kasih’ dan akan menawarkan opsi kerja yang lebih fleksibel agar sesuai dengan keadaan personal karyawan.

Luciana Barretos, pimpinan eksekutif perusahaan manajemen aset dengan portofolio global senilai US$1 miliar (sekitar Rp14.476 triliun), berkata kepada BBC, “Saya pikir kita akan mundur satu langkah dan maju dua langkah.”

Barretos mengatakan, perempuan semakin sadar tentang pentingnya karier ‘untuk membebaskan dan memenuhi’ jiwa mereka. Akibatnya, kata dia, perjuangan untuk kesetaraan gender tidak berakhir di titik ini.

Namun percaya pasar kerja pasca-pandemi akan lebih penting lagi bagi perempuan untuk menguasai karier mereka, dan mempertanyakan apakah perusahaan yang mereka inginkan berjuang untuk nilai dan etika tersebut.

Zimmermann sependapat. Dia berkata, dia biasanya memberi tahu mahasiswi ilmu bisnis untuk melihat apa yang terjadi di puncak perusahaan sebelum mereka melamar pekerjaan di sana.

“Ketika Anda mencari perusahaan Anda, Anda tidak mencari kesempurnaan, tapi kemajuan. Jika Anda tidak melihat diri Anda terwakili dalam struktur kepemimpinan, atau jika Anda tidak melihat bahwa mereka secara aktif bekerja menuju hal itu, maka saya akan mencari di tempat lain,” kata Zimmermann.

Sumber: https://www.bbc.com/indonesia/majalah-53303850

Bagaimana Lika-liku KDRT di Masa Pendemi?

Tulisan ini berisi riset tentang KDRT selama wabah covid-19 terjadi

Ashilly Achidsti

Kondisi sebuah wabah bisa diibaratkan seperti situasi konflik. Orang memiliki kekacauan dan ketidakstabilan. Semua itu membuat perempuan rentan terhadap kekerasan, bahkan di tempat yang seharusnya paling aman sekalipun, rumah.

Pandemi Covid19 yang membuat tatanan perekonomian dan sosial berubah, nyatanya berdampak negatif bagi kehidupan masyarakat. Kelompok masyarakat yang rentan dalam situasi ini salah satunya adalah perempuan. Angka Kekerasan dalam Rumah Tangga (KDRT) di berbagai belahan dunia meningkat, mayoritas dilakukan suami kepada istri. Akar masalah KDRT sebenarnya adalah timpangnya relasi kuasa antara laki-laki dan perempuan yang disebabkan oleh tertanamnya norma maskulinitas. Kondisi itu diperparah dengan pembatasan aktivitas ke luar rumah yang membuat beban psikologis bertambah. Di berbagai negara, langkah responsif sudah dilakukan untuk menanggapi naiknya angka KDRT di tengah pandemi. Namun, bagaimana kesiapan pemerintah Indonesia merespon naiknya angka KDRT di masa pandemi?

Norma Maskulinitas dalam Masyarakat

Dalam tatanan masyarakat saat ini, tanggungan ekonomi biasanya bertumpu pada suami yang dianggap sebagai kepala keluarga. Meskipun fakta sebenarnya banyak pula perempuan yang menjadi kepala keluarga dan tumpuan ekonomi, namun apabila suami masih hidup dan istri bekerja, maka masyarakat menganggap sang istri hanya pencari nafkah tambahan saja. Semua ini sebenarnya dipengaruhi oleh norma maskulinitas yang sudah tertanam lama di dalam masyarakat.

Norma maskulinitas menghegemoni anggapan masyarakat dengan menempatkan laki-laki sebagai entitas yang memprioritaskan pekerjaan, mengejar status (sosial dan ekonomi), menjadi pemenang, bertindak agresif, mendominasi perempuan, berani menentukan dan mengambil resiko.[1] Dari anggapan itu, biasanya maskulinitas seorang laki-laki diukur dari beberapa hal, seperti seberapa besar jiwa kompetisi untuk menjadi pemenang, tingkat playboy dalam hubungan, sifat kekerasan yang identik dengan tingkat kejantanan laki-laki, tingkat kepercayaan diri, tingkat keberanian mengambil resiko, emosi yang meledak, dan tingkat kekuatan.[2] Dari kriteria itu, tidak heran apabila laki-laki ditempatkan oleh masyarakat sebagai pihak yang lebih tinggi dan mendominasi perempuan, termasuk dalam ranah rumah tangga.

Tuntutan masyarakat terkait norma maskulinitas di atas sebenarnya juga membebani laki-laki. Penelitian yang berjudul Age, Gender, and Suicide: A Cross-National Analysis[3] pada tahun 1993 karya Chris Girard menyatakan bahwa angka bunuh diri laki-laki paling tinggi disebabkan karena ketidakmampuan memenuhi peran-peran sosial yang secara tradisional dibebankan pada laki-laki seperti peran kepala keluarga.

Terbebaninya laki-laki atas ketidakmampuan memenuhi ekspektasi masyarakat dalam norma maskulinitas juga terjadi di masa pandemi ini. Di saat banyak pekerja dirumahkan sementara, PHK, atau bahkan kehilangan ladang usahanya membuat laki-laki yang dianggap penanggungjawab perekonomian keluarga berada dalam tekanan. Ketidakmampuan beradaptasi dalam keterbatasan ekonomi yang dihadapkan pada keharusan memenuhi sandang, papan, pangan keluarga membuat laki-laki merasa dominasinya berkurang atau bahkan timbul rasa gagal menjadi laki-laki apabila tidak dapat memenuhi kebutuhan. Laki-laki yang terinternalisasi norma maskulinitas dan merasa tertekan dengan peran gendernya akan berusaha mempertahankan posisi kekuasaan dan dominasi terhadap perempuan ke arah yang cenderung ekstrem, seperti kekerasan.[4] Dihubungkan dengan anggapan kekerasan adalah indikasi kejantanan, membuat kesan di mata masyarakat jika laki-laki yang bertindak dengan kekerasan adalah hal lumrah.

Beban Psikologis dan Pembatasan Kegiatan

Relasi timpang gender dalam norma maskulinitas diperparah dengan aturan pembatasan kegiatan di luar rumah, bahkan beberapa negara menerapkan sistem lockdown. Keterbatasan ruang pribadi akan terasa karena 24 jam penuh pasangan suami istri akan selalu bersama. Apabila rumah yang menjadi tempat tinggal terdiri dari beberapa ruang yang membuat anggotanya bisa memenuhi kebutuhan ekspresi dan aktualisasi diri, maka lockdown tidak menjadi masalah. Namun, bagi keluarga dengan luas kediaman terbatas sehingga mengharuskan keduanya bersama dan menyebabkan tidak ada ruang bagi kebutuhan dirinya, maka tekanan psikologis dapat meningkat dan memicu kekerasan yang dilakukan suami kepada istri.

Meningkatnya Angka Kekerasan dalam Rumah Tangga yang Terjadi pada Perempuan

Peningkatan KDRT selama pandemi terjadi di berbagai negara.[5] Di Prancis, terdapat peningkatan 30% KDRT selama pemberlakuan lockdown sejak 17 Maret 2020 silam. Argentina terdapat peningkatan 25% sejak lockdown diberlakukan mulai 20 Maret 2020. Di Kabupaten Jianli, China kantor polisi menerima 162 laporan KDRT pada bulan Februari 2020. Di Selandia Baru, 7 hari setelah lockdown diberlakukan terdapat lonjakan 20% KDRT. Kenaikan kasus KDRT dan permintaan tempat penampungan darurat juga terjadi di Kanada, Jerman, Spanyol, Inggris, serta Amerika.

Fenomena KDRT yang meningkat terjadi pula di Indonesia. Data dari Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak per 20 Februari hingga 17 Mei 2020 menerima 319 laporan kekerasan terhadap perempuan. Dari jumlah tersebut 62,93% nya adalah korban KDRT dengan bentuk kekerasan seksual, fisik, atau psikis. Peningkatan KDRT ini dapat terlihat pula di berbagai kota di Indonesia. Lembaga Bantuan Hukum APIK Jakarta selama tanggal 16 Maret 2020 hingga 19 April 2020 menerima 97 aduan kekerasan terhadap perempuan selama wabah Covid19. Dari 97 laporan, 33 kasus merupakan aduan KDRT yang menjadi jumlah kasus terbanyak. Di Yogyakarta, lembaga Rifka Annisa pada bulan April mencatat ada kenaikan kasus yang melebihi bulan sebelumnya, 53 kasus kekerasan terhadap perempuan terjadi Yogyakarta selama Covid19.

Angka peningkatan KDRT ini membuat miris, perempuan mendapatkan kekerasan di tempat yang idealnya menjadi lokasi teraman baginya. Dalam kondisi Covid19 yang membatasi aktivitas ke luar rumah menambah ancaman bagi perempuan korban KDRT karena harus “terkunci” dalam satu rumah dengan pelaku kekerasan.

Respon Pemerintah Berbagai Negara dalam Menanggapi Covid19

Melihat laporan United Nation Human Rights, terdapat beberapa langkah yang ditempuh berbagai negara untuk merespon KDRT selama Covid19.[6] Langkah tersebut dapat dijadikan percontohan bagi negara lain untuk membuat kebijakan yang responsif dan melindungi perempuan.

  1. Menyatakan bahwa layanan terkait KDRT adalah hal yang penting di masa pandemi. Di beberapa negara, ketika perhatian dan fokus teralih kepada penanganan kesehatan dan mengesampingkan layanan KDRT, Spanyol dan Portugal justru mengumumkan bahwa perlindungan dan bantuan kepada korban KDRT merupakan layanan penting yang tetap harus beroperasi selama lockdown. Di New York, Amerika Serikat, tempat penampungan korban KDRT juga dikategorikan sebagai layanan penting
  2. Menyediakan rumah aman tambahan untuk menghindari terkurungnya korban KDRT dengan pelaku kekerasan. Apabila rumah menjadi tempat yang tidak aman bagi korban KDRT, maka korban akan sementara dipindahkan untuk berlindung di dalam suatu bangunan yang biasa disebut rumah aman. Lokasi rumah aman dirahasiakan untuk menghindari adanya teror atau hal yang tidak diinginkan oleh korban. Italia mengalihfungsikan bangunan yang ada menjadi rumah aman baru yang dapat diakses Sedangkan di Prancis, pemerintah membiayai hingga 20.000 hari di hotel untuk melindungi perempuan korban KDRT yang melarikan diri dari pasangannya. Di Portugal, dua rumah aman darurat dibuka dengan kapasitas untuk 100 orang.
  3. Implementasi sistem aduan yang mudah diakses, proaktif dan melindungi korban selama pandemi. Tidak hanya akses aduan online, di Kepulauan Canary, Spanyol dan di Prancis, korban kekerasan dalam rumah tangga dapat pergi ke apotek dan menyebut kata “Mask19” sebagai kata sandi untuk mencari penyelamatan dari kekerasan yang terjadi di rumah tangga. Layanan aduan sengaja ditempatkan di apotek supaya tidak menggugah kecurigaan apabila korban akan ke luar rumah di masa pandemi. Ketika korban menyatakan kata sandi Mask19 ke petugas farmasi, maka itu adalah tanda perempuan tersebut sebagai korban KDRT. Demikian pula, di Argentina, pemerintah meluncurkan kampanye yang memungkinkan perempuan korban KDRT untuk mengakses layanan farmasi dan menyatakan kata kunci “a red surgical mask” untuk mencari pertolongan. Cara-cara tersebut adalah langkah agar korban tetap dapat mengadu dan bercerita secara langsung tentang kekerasan yang mereka hadapi.

Pemerintah Indonesia dalam Merespon KDRT selama Covid19

Melihat 3 langkah berbagai negara untuk merespon naiknya angka KDRT, sayangnya Indonesia belum dapat mengikuti dengan baik. Fokus pemerintah Indonesia saat ini teralih ke permasalahan kesehatan saja dan seakan meninggalkan respon terhadap permasalahan ketimpangan gender akibat Covid19, termasuk KDRT. Dari 3 langkah di atas, kita dapat melihat keseriusan pemerintah menangani layanan KDRT selama pandemi dilihat dari komitmen, akses Rumah Aman, dan implementasi sistem aduan.

  1. Implementasi Sistem Aduan KDRT hanya Online

Saat ini, aduan layanan KDRT pemerintah hanya tersedia pada saluran online.  Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KPPA) menyediakan hotline 119 untuk konsultasi psikologi korban KDRT. Selain hotline, KPPA juga menyediakan website aduan dengan form terkait data diri korban, pelaku, jenis kekerasan, foto atau data pendukung sebagai bukti KDRT. Sayangnya, layanan konsultasi online tidak bisa menangkap secara penuh emosi dan luka psikologis yang dialami korban KDRT jika dibanding dengan tatap muka.

Meskipun sarana online kurang maksimal, namun perlu diapresiasi adanya gebrakan baru mulai terlihat di ranah media sosial terutama untuk menjaring korban KDRT dari angkatan milenial. Ketika pengguna twitter mengetik kata “KDRT” dalam layanan pencarian, maka yang keluar adalah rujukan menghubungi LBH APIK atau Komnas Perempuan. Tindak lanjutnya, Komnas Perempuan akan mengalihkan kepada Unit Pengaduan Rujukan (UPR). Sedangkan LBH APIK (sebagai lembaga independen di luar pemerintah), memberi kabar gembira dengan rencana layanan aduan dan pendampingan korban KDRT secara tatap muka yang rencananya akan dibuka tanggal 2 Juni 2020 mendatang. Dari beberapa lembaga tersebut, baru LBH APIK yang meskipun lembaga di luar pemerintah, namun berani untuk membuka layanan aduan langsung selama Covid19.

Jika dikaitkan, apabila pihak kepolisian sebagai layanan keamanan dasar bagi masyarakat tetap dibuka saat pandemi, layanan aduan dan konsultasi KDRT pun layaknya tetap dibuka secara tatap muka. Karena, aduan KDRT adalah layanan dasar bagi jaminan keamanan, terkhusus bagi perempuan yang merupakan entitas rawan di masa pandemi.

 

  1. Akses Rumah Aman Terhambat

Apabila korban KDRT yang sudah mengadu perlu ada tindaklanjut, seharusnya bermuara pada Rumah Aman. Sayangnya, akses Rumah Aman di Indonesia selama masa Covid19 terbatas.[7] Korban KDRT apabila akan mengakses rumah aman harus menyertakan surat bebas Covid19 yang prosedur mendapatkannya berbelit, memakan waktu, dan berbayar mandiri. Tentu Surat bebas Covid 19 bisa didapat apabila telah melakukan rapid test atau polymerase chain reaction (PCR). Namun biaya rapid test setiap daerah berbeda, berkisar antara 200 ribu-500 ribu, sedangkan PCR seharga 1 juta-2,5 juta rupiah. Padahal, mayoritas korban KDRT yang didampingi oleh LBH APIK adalah perempuan dari kalangan menengah ke bawah.[8] Tentu biaya mandiri surat bebas Covid akan memberatkan korban KDRT. Jangan sampai karena keterbatasan ekonomi untuk mengakses surat bebas Covid membuat perempuan korban KDRT lebih memilih kembali ke rumahnya meskipun dengan konsekuensi terancam setiap waktu oleh pelaku.

Jika dilihat dari keterbatasan rumah aman dan layanan aduan yang hanya terbatas online, terlihat apabila komitmen pemerintah Indonesia menyediakan layanan KDRT terbilang rendah. Apabila pemerintah fokus terhadap kalangan rentan di masa Covid19, khususnya perempuan, maka akses rumah aman seharusnya dipermudah, biaya seluruhnya ditanggung pemerintah, dan layanan aduan dibuka secara tatap muka dengan menjalankan prosedur aman.

Angka KDRT di Indonesia selama pandemi terus naik, lantas kapan pemerintah mau meningkatkan komitmennya untuk melindungi perempuan? Jangan sampai pemerintah hanya fokus ke satu hal dalam penanganan Covid, tapi melalaikan perlindungan kepada perempuan. Karena perlindungan kepada perempuan, terutama korban KDRT adalah skala prioritas. Bukankan tujuan berdirinya negara adalah melindungi segenap bangsa Indonesia?

 

*Penulis adalah Kagama S2 Manajemen dan Kebijakan Publik sekaligus pemerhati isu gender dan kebijakan

[1] J. R Mahalik, Locke, B. D., Ludlow, L. H., Diemer, M. A., Scott, R. P., Gottfried, M., & Freitas, G. (2003). Development of the Conformity to Masculine Norms Inventory. Psychology of Men and Masculinity, 4, 3–25.

[2] Aylin Kaya, 2018, The Role of Masculine Norms and Gender Role Conflflict on Prospective WellBeing Among Men, American Psychological Association,

[3] Chris Girard, 1993, Age, Gender, and Suicide: A Cross-National Analysis, American Sociological Review Vol. 58, No. 4 (Aug., 1993), pp. 553-574.

[4] R. M. Smith, Parrott, D. J., Swartout, K. M., & Tharp, A. T. (2015). Deconstructing hegemonic masculinity: The roles of antifemininity, subordination to women, and sexual dominance in men’s perpetration of sexual aggression. Psychology of Men and Masculinity, 16, 160 –169.

[5] UN Women, 2020, Covid-10 and Ending Violence Againts Women and Girls.

 

[6] United Nation Human Rights, 2020, Covid-19 and Women’S Human Rights: Guidance

[7] https://www.antaranews.com/berita/1506168/kecepatan-penanganan-kdrt-terkendala-saat-covid-19

[8] https://www.tempo.co/dw/2347/di-masa-pandemi-corona-perempuan-indonesia-lebih-rentan-alami-kdrt

 

*Analisis ini hasil kerjasama islami.co & RumahKitaB*

Sumber: https://islami.co/bagaimana-lika-liku-kdrt-di-masa-pendemi/

HAJI DI MASA PANDEMI

Oleh Jamaluddin Mohammad

Meskipun belum ada keputusan resmi dari Pemerintah Arab Saudi, Prmerintah Indonesia sudah mengumumkan tidak memberangkatkan haji tahun ini. Kesempatan umat Islam untuk menunaikan ibadah haji tahun ini terpaksa batal atau ditunda tahun selanjutnya.

Dari kelima rukun Islam, ibadah haji merupakan ibadah paling mahal. Bukan hanya ongkos dan biaya perjalanan, tapi juga waktu dan kesempatan. Dari tahun ke tahun minat dan keinginan umat Islam untuk menggenapkan rukun Islam ini semakin tinggi, sementara waktu, kesempatan, juga tempat sangat terbatas.

Untuk mengatasi semua keterbatasan ini, saya teringat tawaran (ijtihad) Salman Ghanim dalam bukunya “Min Haqaiq al-Quran” yang diterjemahkan penerbit LKis menjadi “Kritik Ortodoksi Tafsir Ayat Ibadah, Politik, dan Feminisme”. Menurutnya, berdasarkan QS al-Baqarah [2] (97), ritual haji sesungguhnya tak hanya dibatasi pada 9, 10, dan 11 Dzulhijjah, melainkan bisa memilih tiga hari dalam rentang bulan Syawwal, Dzulqadah, hingga Dzulhijjah. Di Indonesia, tawaran serupa juga dilontarkan Kiai Masdar Farid Masudi.

Jika tawaran waktu ini disetujui dan bisa dipakai, niscaya bisa mengurangi beban antrian kuota haji di seluruh dunia. Minat berhaji umat islam akan semakin tinggi dan tentu akan menggembirakan pemerintah Arab Saudi. Namun, tak mudah merobohkan benteng tradisi yang sudah berumur berabad-abad.

Di negara kita saja, berrdasarkan catatan Kementerian Agama, waktu tunggu paling cepat 11 tahun, sementara paling lama 39 tahun. Rata-rata 18 tahun. Jika orang mendaftar di usia 50 tahun — berdasarkan hitungan rata-rata,—maka akan berangkat di usia 68 tahun.

Kita tak tahu sampai kapan pandemi Covid-19 ini berakhir. Jika pemerintah Arab Saudi tetap membuka haji dengan menggunakan protokol kesehatan, tentu saja kuotanya akan semakin berkurang. Kesempatan orang berhaji pun akan semakin sulit.

Saya pernah mendengar cerita seorang sufi yang batal berangkat haji karena ongkosnya habis untuk membantu orang-orang miskin. Ibadah hajinya akhirnya digantikan oleh malaikat dan dia mendapat predikat haji mabrur. Mungkin seperti inilah pilihan haji di masa pandemi. Siapa berani? 😂

Salam,
Jamaluddin Mohammad

#JumatBerkah

*** Jika Anda batal naik haji dan umrah di tahun ini, bertawaflah mengelilingi pintu rumah orang-orang miskin dan yang membutuhkan.

Rumah KitaB Luncurkan Buku Fikih Wabah

Jakarta, NU Online

Rumah Kita Bersama atau Rumah KitaB meluncurkan sekaligus membedah buku Fikih Wabah: Panduan Keagamaan di Masa Pandemi, Selasa (12/5) secara daring. Buku Fikih Wabah ini ditulis oleh Achmat Hilmi, Jamaluddin Muhammad, dan Muhammad Fayyaz. Direktur Rumah KitaB Lies Marcoes menyatakan, buku ini disusun dengan sebuah metodologi yang konsisten digunakan Rumah KitaB, yakni maqasid syariah. “(Buku ini) berdasarkan apa sih tujuan beragama dan implikasinya dalam situasi seperti ini yang tiba-tiba gak boleh ke masjid, gak boleh berjamaah dan lain sebagainya,” kata Lies.

 

Pada buku ini, Rumah KitaB juga disebut Lies berusaha menghadirkan perspektif keadilan gender sesuai dengan kebutuhan masyarakat supaya dapat melihat konsekuensi dari adanya pandemi Covid-19. “Virusnya tidak berjenis kelamin saya kira, tetapi berdampak beda kepada laki-laki dan perempuan. Berdampak beda kepada lelaki tua dan perempuan tua, berdampak beda kepada anak-anak perempuan dan anak-anak laki-laki,” katanya. Ia mengemukakan laporan dari Lombok yang menunjukkan tingkat kekerasan pada anak perempuan menjadi besar karena anak perempuan menjadi pekerja substitute dari orang tuannya. “Jadi perspektif gender menurut saya sangat penting, dan ini dihadirkan dalam buku ini,” ucapnya.

 

Penulis buku Fikih Wabah Jamaluddin Muhammad mengemukakan, buku fikih wabah ini merupakan panduan bagi umat Islam mulai dari bagaimana sikap yang harus diambil dalam merespons pandemi Covid-19 sampai tuntunan menjalani ritual keagamaan dengan prinsip maqasid syariah. “Karena semangat yang ingin disampaikan dalam buku ini sebetulnya satu, yaitu dar’ul mafasid muqaddamun ala jalbil mashalih. Jadi bagaimana menghindari mudarat, menghindari mafasid, kerusakan sebagai prinsip utama dalam menjalankan ritual keagamaan,” kata Jamal.

 

Penulis lainnya, Achmat Hilmi menyatakan bahwa buku yang ditulisnya bukan buku panduan keagamaan pertama dalam merespons pandemi Covid. Namun, kata Hilmi, bukunya memiliki metodologi yang berbeda dengan buku fikih wabah yang lain yang sudah ada. “Di sini penggunaan perspektif gender, terutama pembahasan soal anak dengan disabilitas itu sangat kentara. Misalnya di bab Ramadhan dan zakat, lalu pembahasan yang terkait sekali dengan pendekatan perempuan juga sangat kental di beberapa bab di buku ini,” kata Hilmi.

 

Buku ini pun dibedah dengan Guru Besar UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Sri Mulyati, Pengampu Pengajian Ihya Ulumiddin KH Ulil Absar Abdalla, Ketua LBM PWNU Jakarta, dan Ketua PEKKA Nani Zulminarni.

 

Download buku disini

Pewarta: Husni Sahal

Editor: Abdullah Alawi

Sumber: https://www.nu.or.id/post/read/119963/rumah-kitab-luncurkan-buku-fikih-wabah