Pos

MEMAHAMI METAFISIKA LINTANG KEMUKUS

oleh Suwardi Endraswara

Alam pikiran metafisis Jawa telah lama menjangkau lintang kemukus. Saat lintang kemukus muncul menjelang pagi, orang tua yang menyaksikan kejadian itu selalu berpesan agar waspada, mungkin akan ada malapetaka.

Ingatan kembali ke masa lalu, ketika di media sosial heboh dengan kemunculan lintang kemukus pada 20 April 2020, setelah pukul satu dini hari. Di wilayah Yogyakarta, komet atau bintang berekor itu terlihat tepat di atas Kali Code, sungai besar yang membelah kota Yogyakarta. Yang menjadi teka-teki, apakah kemunculannya berkaitan dengan wabah korona (Covid-19) yang telah meluluhlantakkan peradaban ini.

*Zaman jungkir balik*

Dalam kosmologi Jawa, lintang kemukus adalah tetenger atau penanda akan datangnya zaman jungkir balik (wolak-walik), yaitu munculnya pageblug. Maka, ketika banyak orang menyaksikan kehadirannya, mereka lalu mengaitkan dengan upaya karantina di beberapa kampung. Hampir setiap kampung memasang tanda larangan masuk. Bahkan ada yang berbunyi: ”Lockdown sementara, nekat masuk, bungkus!”

Kata lockdown berubah dalam lidah lokal. Ada lauk daun, yang kalau diotak-atik jadi hidup herbal, badan jadi sehat. Ada juga daun mujarab menampar korona, yaitu daun pisang kepok. Dalam pikiran botani budaya, ini agar virus kapok sehingga tidak menular. Orang Jawa menanam pisang maraseba di depan rumah, artinya ingat bahwa manusia akan mati (seba), maka pasrah itu perlu.

Lintang kemukus berasal dari bahasa Jawa, kukus, artinya asap. Kalau ada yang meninggal, masih ada budaya membakar dupa berasap. Kukus juga berarti tanda-tanda, akan kembali ke asalnya. Mati. Orang Jawa menghayati
ngelmu titen, artinya ilmu yang berbasis pengalaman empiris. Pengalaman fenomenologis yang telah berulang itu sering menjadi sandaran memahami lintang kemukus sebagai tanda hadirnya zaman tidak karuan.

Saat ini, ketika dunia dilanda pageblug korona, manusia harus social distancing, menjaga jarak. Padahal, budaya manusia itu berkumpul dan berkelompok. Untunglah, di zaman jungkir balik ini ada konsep 3N yang bisa dipegang, yaitu (1) nglilir, artinya bangkit, sadar kosmis,(2) nglulur, berarti bersih diri, memperbaiki diri, dan (3) nglolor, artinya rela berbagi rezeki untuk yang menderita.

Secara budaya, orang memaknai lintang kemukus secara hermeneutika (tafsir). Martin Heidegger dalam bukunya Being and Time (2001) menyatakan, pemaknaan teks terkait konteks sejarah dan mitos.

Bahkan, sejak Aristoteles (384-322 SM), tradisi membaca tetenger alam semesta sudah ada. Kemunculan lintang kemukus di langit Athena, 373 SM, dikaitkan dengan gempa bumi yang sangat besar.

Entah kebetulan atau tidak, film berjudul The Happening yang dirilis 2018 telah menceritakan wabah virus misterius yang tersebar di udara. Wabah hanya menyerang orang-orang yang bergerombol dan banyak orang bunuh diri.

Di Kabupaten Gunung Kidul, Yogyakarta, masyarakat masih percaya dengan mitos pulung gantung, yang ditandai dengan hadirnya lintang clorot. Bentuknya sama dengan lintang kemukus dan dipercaya sebagai tanda kematian, kebanyakan dengan cara gantung diri.

Setuju atau tidak, pemikiran mistis itu merupakan sebuah nalar orisinal yang sulit diabaikan. Mitos adalah teks yang kaya tafsir. Maka, tanda zaman munculnya lintang kemukus ini pun mengundang interpretasi.

Madison dalam bukunya, The Hermeneutics of Postmodernity (1990: 158), mengatakan, manusia boleh melakukan tafsir (hermeneutika) sampai ke tingkat metafisika teks. Maka, interpretasi lintang kemukus, harus sampai ruh (metafisika) agar tak memunculkan salah paham. Tafsir yang mewarnai makna lintang kemukus adalah fenomena zaman jungkir balik. Pujangga Ranggawarsita berpesan agar eling (ingat) dan waspada.

*Zaman emas*

Memang tidak selamanya lintang kemukus menjadi pertanda akan datang musibah. Dalam ramalan jangka Jaya Baya justru bisa sebaliknya, lintang kemukus menjadi sinyal hadirnya zaman emas. Zaman yang membuat orang-orang bahagia. Bunyi jangka Jaya Baya itu adalah: ”Sadurunge ana tetenger lintang kemukus, saka arah kidul wetan, lawase pitung wengi, parak esuk bener ilange, bethara Surya jumedhul bebarengan zaman sengsara am-mungkur prihatine, iku tandhane Bathara Indra tumurun mbebantu titah”. Artinya, sebelumnya ada tanda-tanda gaib berupa lintang kemukus dari arah tenggara, selama tujuh malam, hilang pagi hari ketika sang surya datang, maka kesengsaraan manusia akan berakhir pada waktu Batara Indra datang membantu.

Orang Jawa memiliki kearifan lokal ihwal menolak bencana, ditandai kehadiran lintang kemukus yang dalam astronomi disebut komet. Komet berasal dari bahasa Latin cometa atau cometes, artinya ’berambut panjang’. Untuk mengatasi gejolak komet, orang Jawa memakai senjata sayur lodeh tujuh rupa, yakni kluwih (luwihana), artinya lebihkanlah meski diam di rumah; kacang gleyor (cancangen), ikatlah keinginanmu, tak usah pergi kemana-mana; terong ungu, artinya bangkit atau wungu (sadar) bahaya virus; waluh (uwalana rasa mengeluh); daun so (ngaso, artinya banyak istirahat); tempe (dhedhepe) selalu mohon kepada Tuhan, agar menjadi melinjo (onjo), artinya orang yang menang melawan korona.

Ketujuh unsur lodeh itu merupakan aplikasi ngelmu Semar dan Petruk, yang pernah di-gagas Romo Sindhunata. Semar, berarti sengsem (mesem) di kamar. Artinya, harus tersenyum, tidak menggerutu selama di rumah. Orang Jawa menggenapkan Semar, Gareng, Petruk, dan Bagong dalam ungkapan Samir khairan fatruk mabagha. Artinya, sadar, senyum, dan bergegaslah melaksanakan kebaikan, kebersihan, kejujuran. Tinggalkan hal yang menyimpang.

Untuk meraih zaman cemerlang (enlightenment), orang Jawa juga mengacu tumbuhan lokal bernama kemukus. Tumbuhan ini, jika bijinya telah diambil, bentuknya memanjang seperti lintang kemukus. Kemukus justru simbol hidup karena ia tumbuh, maka merambatlah seperti kemukus untuk meraih zaman emas.

Metafisika Jawa lain ketika berhadapan dengan pageblug juga cerdas. Kearifan itu terangkum dalam konsep 4R. Saya sebut Catur Wedhabrata, artinya empat ilmu menjalankan laku hidup, yaitu (1) Rumahan, artinya berdiam diri di rumah, (2) Rumangsan, artinya merasa (mawas diri) bahwa manusia itu lemah, bisa merasakan penderitaan orang lain, (3) Rumaketan, artinya kembali mempererat hubungan keluarga, dan (4) Resikan, artinya menjaga kebersihan, cuci tangan, kaki, dan pikiran kotor.

Jauh sebelum saya membaca novel Ahmad Tohari, Lintang Kemukus Dini Hari, yang merupakan bagian dari trilogi Ronggeng Dukuh Paruk, saya sudah mendengar cerita penampakan lintang kemukus pada September 1965. Novel itu diterbitkan Penerbit Gramedia, Jakarta, 1985, 211 halaman.

Sebelumnya novel dimuat di harian Kompas (23 September-27 Oktober 1984) sebagai cerita bersambung. Novel itu seolah menjadi memori sastra yang amat berharga.

Mengatasi pertanda lintang kemukus yang berbuntut pageblug korona, ada ilmu keselamatan (ngelmu slamet) Jawa, yaitu ora ilok, artinya tidak pantas. Ada tiga macam ora ilok yang, apabila dilanggar, tentu pageblug sulit dibendung.

Pertama, ora ilok ngeyel, artinya tidak baik membangkang, jika dilarang mudik harus taat.
Kedua, ngayal, jangan mengkhayal yang buruk-buruk apabila terkena korona, lalu kurang jujur, dan ketiga ngluyur, artinya dilarang bepergian.

Semua pegangan itu memuat didaktika budaya saat melawan pageblug, untuk menciptakan hidup harmoni. Wabah korona telah meneteskan hikmah agar hidup seimbang antara di rumah-jemaah, keluarga-negara, kaya-miskin, rakyat-pejabat, dan si sehat-sakit. Akhirnya, hidup manusia secara metafisika akan mampu mencapai memayu hayuning bawana.

#Kompas27042020

 

Sumber gambar: https://fnn.co.id/2019/02/11/kosmologi-jawa-lintang-kemukus-di-atas-kita-solo/