Pos

Gerakan Khilafah ala HTI: Dilarang di Dunia Nyata, Membanjiri Medsos Kita

oleh Muhammad Arif

HTI memang sudah dilarang di Indonesia, namun gerakan ideologi khilafah ala HTI masih membanjiri medsos kita.

Siapa yang memungkiri bahwa ideologi khilafah ala HTI (Hizbut Tahrir Indonesia) itu dilarang di Indonesia? Sejak beberapa tahun yang lalu, ijin atas berdirinya HTI itu sudah dicabut oleh negara. Pencabutan atau pembubaran HTI ini diberitakan secara massif di media-media massa Indonesia, sehingga cukup sulit menjumpai ada orang Indonesia yang tidak tahu bahwa HTI itu organisasi yang terlarang di Indonesia.

Namun, meskipun HTI itu secara legal formal sudah dilarang, keberadaan ideologi mereka masih terus membayang di berbagai sisi negeri ini, terutama di dunia maya. Hampir setiap hari saya cek trending topik di twitter, saya lihat tagar-tagar mereka selalu masuk 5 besar, seperti #rindusyariah, #khilafahajaranislam, #khilafahdinusantara, dst.

Bahkan, terbaru 30 September 2020 kemarin, #KhilafahMenyetahterakanRakyat berhasil memuncaki trending topik di twitter. Seolah meniru gerakan penculikan para jenderal di malam 30 September 1965, cuma bedanya mereka tidak melakukannya lewat tindakan militeristik. Di 30 September 2020 ini gerakan HTI merongrong Pancasila dilakukan lewat dominasi media sosial.

Rentetan suara-suara penegakan khilafah itu jelas sekali menandakan bahwa betapapun HTI sudah dilarang di Indonesia, tetapi ideologi mereka masih terus membayangi derap langkah publik NKRI. Lantas bagaimanakah caranya agar suara-suara sumbang ideologi khilafah ala HTI ini bungkam atau minimal tiarap?

Sebenarnya bangsa ini sudah sangat pengalaman dalam soal bungkam membungkap ideologi. Nun silam ketika Soeharto hendak naik tahta sudah pernah melakukan hal ini. Dengan model kepemimpinannya yang diktator, Bapak Pembangunan ini berhasil menyingkirkan kekuatan PKI yang pada waktu itu sudah cukup kuat, bahkan termasuk partai dengan perolehan suara yang sangat besar.

Kala itu, Soeharto memanfaatkan cara-cara kejam untuk menggayang PKI, mulai dari politik adu domba, manipulasi sejarah, hingga operasi pembunuhan besar-besaran. Tindakan Soeharto itu sangat ampuh membumi-hanguskan PKI beserta ideologinya. Bahkan hingga saat ini PKI yang dulu sempat berada di peringkat keempat saat pemilu 1955, tak sanggup lagi untuk sekedar bangkit dari kubur, kerena memang nyaris betul-betul lenyap.

Kalau hendak membuat gerakan khilafah ala HTI bungkam, maka tentu saja cara kejam ala orde baru itu akan sangat efektif. Namun, mengingat bangsa ini punya prinsip kemanusiaan yang adil dan beradab, maka tak sepantasnya bangsa ini mengulang kembali sejarah berdarah masa silam itu.

Masih ada opsi lain yang bisa dipilih untuk membuat suara-suara sumbang HTI ini bungkam atau minimal tiarap. Opsi lain itu adalah melawan ideologi dengan ideologi. Ideologi khilafah yang sudah mendarah daging di benak orang-orang HTI itu harus dilepas secara perlahan, sistematis, massif, dan istiqamah dengan menandingkannya dengan ideologi Islam kebangsaan.

Orang-orang HTI selama ini terlihat begitu aktif memainkan kampanye ideologi khilafah di media sosial seperti Twitter. Agar dominasi mereka di Twitter tak berjalan mulus, maka kalangan Islam kebangsaan yang begitu dominan di Indonesia harus juga aktif terjun di twitter untuk melambungkan tagar-tagar tandingan. Jangan mau kalah militan sama orang-orang HTI.

Selain itu, kalangan Islam kebangsaan juga mesti tanpa bosan terus aktif menggelorakan urgensi gagasan Islam dan kebangsaan. Runtuhkan terus menerus ide-ide penyokong gagasan khilafah ala HTI di ruang-ruang publik, baik di dunia maya maupun di dunia nyata. Massifkan, istiqamahkan dan sistematiskan kampanye ini jangan sampai kalah istiqamah dan massif dari orang-orang HTI.

Dengan demikian, pelan tapi pasti orang-orang HTI pada akhirnya akan luluh. Seiring dengan seringnya mereka mendengarkan baiknya gagasan Islam kebangsaan dan cacatnya implementasi gagasan khilafah untuk era kekinian, gagasan-gagasan Islam kebangsaan ini diam-diam akan hinggap di benak mereka. Seiring dengan seringnya mereka berinteraksi dengan kalangan Islam kebangsaan, diam-diam pikiran mereka akan semakin terbuka. Lama kelamaan mereka akan menyadari bahwa gagasan Islam kebangsaan itu pada prinsipnya—dengan menafikan politik identitas—adalah baik dan juga bersumber dari Islam.

Sejarah Indonesia sudah sudah pernah mengisahkan hal demikian. Dulu, di awal-awal kemerdekaan, orang-orang NU dan Muhammadiyah yang tergabung dalam partai Masyumi, sangat getol menghendaki pemberlakukan Piagam Jakarta. Bahkan, catatan sejarah mengatakan bahwa KH. Wahid Hasyim adalah salah satu tokoh yang membidani Piagam Jakarta, walaupun tak lama berselang, yaitu pada 18 Agustus 1945, beliau akhirnya berani melepaskan Piagam Jakarta dan beralih pada Pancasila saat ini demi kesatuan dan persatuan NKRI.

Seiring waktu berlalu dan seiring dengan seringnya kalangan Islam (NU dan Muhammadiyah) berinteraksi dengan kalangan kebangsaan—seperti interaksi Moh Hatta dengan KH. Wahid Hasyim jelang pengesahan UUD 1945—pada akhirnya mereka bisa lepas dari sekat politik identitas dan menerima NKRI sebagai keabsahan. Bahkan, saat ini NU dan Muhammadiyah telah menjadi garda terdepan dalam mengawal pemahaman Islam kebangsaan, yang menganggap Pancasila sebagai bagian dari Islam.

Berpijak pada sejarah tersebut, agaknya tidak berlebihan jika dikatakan bahwa kampanye massif, istiqamah dan sistematis gagasan kebangsaaan pada akhirnya akan mampu membuat ideologi khilafah ala HTI terdisiplinkan, walaupun tentu saja perlawanan dari mereka akan tetap ada. Cara ini memang akan membutuhkan waktu yang cukup lama, tetapi ini jelas lebih baik daripada mengikuti model gayang PKI ala Soeharto yang sadis itu. (AN)

Sumber: https://islami.co/gerakan-khilafah-ala-hti-dilarang-di-dunia-nyata-tapi-membanjiri-medsos-kita/

Aneka Ragam Kelompok Puber Berislam, Puber Bersurga?

Penulis: Sumanto al Qurtuby

Sejak rezim Orde Baru tumbang, umat Islam yang dulu gerak-geriknya dibatasi dan diawasi kini bebas-merdeka merayakan ekspresi berislam. Namun ada beberapa jenis atau kelompok “puber berislam” di Indonesia.

Karena khawatir terhadap penyebaran “Islam politik” dan kekerasan berbasis SARA (Suku, Agama, Ras dan Antargolongan) di masyarakat yang bisa berpotensi menganggu stabilitas nasional dan pemerintahannya, mantan presiden Soeharto dulu memang membatasi ruang gerak umat Islam sehingga membuat mereka sangat terbatas dalam melakukan ekspresi keberagamaan. Tapi kini lain. Seiring dengan mundurnya Pak Harto, umat Islam kemudian berhamburan keluar merayakan kebebasan berislam laksana burung yang baru keluar dari sangkarnya.

Saya perhatikan ada beberapa jenis atau kelompok “puber berislam” di Indonesia. Pertama, kelompok puber berkhilafah. Mereka adalah pengurus, aktivis atau simpatisan Hizbut Tahrir (HT), sebuah orpol (organisasi politik) transnasional yang bermarkas di Inggris yang cabangnya di Indonesia bernama Hizbut Tahrir Indonesia (HTI).  Mereka ini sejatinya adalah kelompok ideologis. Para tengkulak HT ini rajin sekali menjajakan barang dagangan “sistem khilafah” ke publik muslim sebagai “jalan dan solusi” bagi kemakmuran dan kesejahteraan masyarakat Indonesia.

Sistem khilafah ini adalah “barang dagangan rongsokan” yang tidak laku di negara-negara lain, termasuk negara-negara mayoritas berpenduduk Muslim di Timur Tengah, Afrika Utara, Afrika Barat, Asia Tengah, Asia Selatan, dlsb., tapi diminati oleh sebagian umat Islam di Indonesia. Yang menjadi impian dan tujuan utama dari HTI adalah bagaimana mengubah dan mengtransformasi Indonesia menjadi sebuah negara yang berbasis sistem politik-pemerintahan khilafah.

Kedua, golongan puber berbusana syar’i

Mereka adalah kaum muslim/muslimah yang mengimajinasikan sebuah busana yang dipersepsikan sesuai dengan syariat, ajaran normatif Islam, perintah Al-Qur’an, serta praktik berbusana Nabi Muhammad dan generasi awal umat Islam. Tetapi lantaran semangat berislam mereka itu tidak diimbangi dengan pengetahuan dan wawasan yang memadai, akibatnya jadi rancau dan lucu. Alih-alih ingin “nyunah” atau “nyar’i”, malah jauh dari sunnah dan syariat.

Misalnya saja begini: sebagian kaum muslim laki-laki mengenakan “celana cingkrang” dengan alasan “nyunah”. Padahal, “celana setengah tiang” itu adalah produk kebudayaan masyarakat India-Pakistan. Para “cheerleader” Jamaah Tabligh-lah yang membawa dan memperkenalkan busana itu ke Indonesia. Kelompok lain mengenakan gamis/jubah. Padahal itu produk kebudayaan masyarakat Arab kontemporer, bukan masyarakat Arab di zaman Nabi Muhammad.

Sementara itu kaum muslimah ramai-ramai memakai abaya hitam plus hijab dan cadar hitam. Padahal itu produk kebudayaan kelompok Islamis revivalis kontemporer, baik Salafi Sunni (misalnya Ikhwanul Muslimin Mesir dan Afganistan era Taliban), Wahabi-Qutubi atau Syahwah (misalnya Arab Saudi atau kawasan Arab Teluk dan Yaman), maupun Syiah (misalnya Iran sejak Khomeini). Pakaian jenis abaya (jilbab gelombor) sendiri asal-usulnya berasal dari Persia, Yunani, dan Mesopotamia. Merekalah yang memperkenalkan busana itu ke masyarakat Arab.

Ketiga, golongan puber berakidah (Islam)

Mereka sejatinya golongan lama (yang sudah ada sejak abad-abad silam di Indonesia) yang muncul kembali karena ada angin segar yang memunculkan mereka. Kelompok ini adalah golongan umat Islam yang hobi mengafirkan, mensyirikkan, dan mengharamkan sesuatu karena dianggap tidak sesuai dengan akidah Islam.

Di mata mereka, apa saja atau praktik apa saja bisa distempel kafir, syirik dan haram kalau dianggap atau diklaim oleh mereka tidak sesuai dengan akidah Islam. Dalam praktiknya, sering kali kelompok ini sering overdosis atau kebablasan sehingga banyak sekali yang sudah mendapat cap kafir, syirik, atau haram seperti Nyi Roro Kidul, Dewi Lanjar, patung Cheng Ho, pohon cemara, seni menyusun batu, wayang, Valentine, musik, arca, makam, dlsb.

Keempat, kelompok puber berhijrah. Mereka adalah kelompok Muslim anyaran (mualaf) dan komunitas Muslim urgan penggemar pengajian yang sedang senang-senangnya mengumpulkan pahala dan berbulan madu dengan Islam. Lagi-lagi, karena semangat berislam tidak diiringi dengan wawasan dan pengetahuan yang mumpuni, akhirnya konsep hijrahnya pun jadi lucu dan wagu.

Misalnya kalau ada Muslimah berhijab dianggap berhijrah, kalau ada Muslimah berjilbab gelombor dianggap berhijrah, kalau ada Muslim berjenggot atau bergamis dianggap berhijrah, kalau ada yang ngomong akhi-ukhti atau tetek-bengek bahasa Arab dianggap berhijrah, begitu seterusnya. Padahal, di Timur Tengah, semua itu dipraktikkan oleh berbagai kelompok agama: Yahudi, Kristen, Yazidi, dlsb. Bukan hanya muslim/muslimah saja.

Kelima, kelompok puber bersurga. Mereka adalah golongan “surga hunter” atau pemburu surga. Mereka berimajinasi bahwa surga adalah tempat khusus yang dibuat Tuhan untuk umat Islam yang berpandangan dan berperilaku seperti mereka. Umat Islam (apalagi umat agama lain) yang tidak berpandangan dan berperilaku seperti mereka dianggap atau diklaim tidak akan masuk surga. Mereka pun rajin sekali melakukan atau mempraktikkan sesuatu yang dianggap bisa menjadi jalan menuju surga (misalnya dengan menutup rapat-rapat tubuh mereka).

Bukan hanya itu. Mereka bahkan juga rajin “memasarkan” surga itu dan mengingatkan orang lain akan masuk neraka kalau tidak berpandangan dan berperilaku seperti mereka. Mereka lupa bahwa Islam bukanlah satu-satunya agama yang memiliki konsep surga.

Faktor-Faktor Munculnya Kelompok Puber Berislam 

Kenapa kaum puber dan overdosis berislam muncul di Indonesia? Sudah saya singgung di awal paragraf ini, tumbangnya Pak Harto dan Orde Baru yang kemudian diikuti dengan munculnya (kembali) iklim demokrasi telah menjadi faktor utama (primer) atas muncul dan berkembangnya berbagai kelompok puber/overdosis berislam ini.

Selain itu, ada sejumlah faktor sekunder yang menjadi pendukung atau komplemen. Misalnya, munculnya para penceramah Salafi dan Wahabi yang mengisi berbagai acara pengajian keislaman, baik di TV, radio maupun tempat-tempat publik. Kaum Salafi dan Wahabi adalah agen utama atau produser utama keislaman yang bercorak konservatif, intoleran, radikal, dan militan.

Kemudian berkembangnya media sosial (atau “sosmed”) seperti Google, Facebook, atau YouTube juga berperan besar dalam menyebarluaskan paham Salafisme dan Wahabisme. Kini YouTube menjadi medium distribusi berbagai kelompok dan aliran keislaman yang masing-masing memiliki pengikut setia. Banyak pengajian-pengajian on-line atau “vlog” yang diposting di YouTube oleh berbagai mazhab dan kelompok keislaman. Faktor lain adalah semakin meluasnya distribusi buku-buku bercorak Salafi-Wahabi.

Faktor lain yang tidak kalah pentingnya yang menjadi penyebab menjamurnya kaum puber berislam adalah kelembekan pemerintah dan aparat hukum dalam menangani berbagai macam aksi antitoleransi dan antikemajemukan di masyarakat yang dilakukan oleh berbagai kelompok Salafi ekstrem, Islamis militan, muslim intoleran, atau ormas Islam arogan.

Kelembekan dan kelambanan ini menyebabkan mereka semakin leluasa. Ironisnya lagi, aksi-aksi konyol mereka sering kali didukung oleh oknum-oknum pemerintah dan aparat keamanan, selain mendapat legitimasi dari lembaga keulamaan seperti MUI (Majelis Ulama Indonesia).

Alih-alih menindak tegas, pemerintah justru ikut “menternak” mereka. Pemerintah Soesilo Bambang Yudhoyono (2004-2014) sering kali dituding sebagai rezim yang turut menyuburkan pertumbuhan kaum Salafi dan kelompok muslim ekstrem ini. Di masa pemerintahannyalah, aneka kelompok Islam puritan-intoleran-konservatif, khususnya jaringan Partai Keadilan Sejahtera, mendapat perhatian besar. Partai inilah, antara lain, yang menjadi “markas” dan “induk semang” dari aneka ragam “kelompok Sawah” (Salafi-Wahabi) di Indonesia.

Sepanjang kelompok berislam ini tumbuh dengan tetap menghargai kemajemukan, memelihara perdamaian dan toleransi, serta menjaga ideologi dan konstitusi negara, saya kira tidak masalah. Tetapi kalau sudah antipluralitas, suka berbuat kekerasan dan keonaran, serta tidak mengindahkan idologi Pancasila dan konstitusi UUD 1945, maka pemerintah dan masyarakat wajib untuk mengingatkan, menindak tegas, dan menghalau mereka.

Sumanto Al Qurtuby adalah Direktur Nusantara Institute; dosen antropologi budaya di King Fahd University of Petroleum & Minerals, Arab Saudi; Visiting Senior Scholar di National University of Singapore, dan kontributor di Middle East Institute, Washington, D.C. Ia memperoleh gelar doktor (PhD) dari Boston University. Selama menekuni karir akademis, ia telah menerima fellowship dari berbagai institusi riset dan pendidikan seperti National Science Foundation; Earhart Foundation; the Institute on Culture, Religion and World Affairs; the Institute for the Study of Muslim Societies and Civilization; Oxford Center for Islamic Studies, Kyoto University’s Center for Southeast Asian Studies, University of Notre Dame’s Kroc Institute for International Peace Studies; Mennonite Central Committee; National University of Singapore’s Middle East Institute, dlsb. Sumanto telah menulis lebih dari 25 buku, puluhan artikel ilmiah, dan ratusan esai popular, baik dalam Bahasa Inggris maupun Bahasa Indonesia yang terbit di berbagai media di dalam dan luar negeri. Di antara jurnal ilmiah yang menerbitkan artikel-artikelnya, antara lain, Asian Journal of Social Science, International Journal of Asian Studies, Asian Perspective, Islam and Christian-Muslim Relations, Southeast Asian Studies, dlsb. Di antara buku-bukunya, antara lain, Religious Violence and Conciliation in Indonesia (London: Routledge, 2016) dan Saudi Arabia and Indonesian Networks: Migration, Education and Islam (London & New York: I.B. Tauris & Bloomsbury).

*Setiap tulisan yang dimuat dalam #DWNesia menjadi tanggung jawab penulis.
*Tulis komentar Anda di  kolom di bawah ini.

Sumber: https://www.dw.com/id/aneka-ragam-kelompok-puber-berislam/a-53499023

KEKHALIFAHAN DEMAK

Oleh Jamaluddin Mohammad
.
Pasca wafatnya Sunan Ampel, para Wali berkumpul di teras masjid Demak untuk memusyawarahkan sesuatu yang sangat penting dan merupakan kewajiban bagi umat Islam, yaitu mengangkat seorang pemimpin bagi komunitas umat Islam (nashbul imamah).
.
Raden Paku (Sunan Giri), salah satu Dewan Wali, mengusulkan Raden Fatah. “Saya kira, diantara kita semua yang hadir di sini tidak ada yang lebih pantas dan patut dijadikan sebagai khalifah sekaligus pemimpin bagi umat Islam kecuali Raden Fattah,” kata Raden Paku. (Abi Fadhal, Ahlal Musamarah, hal. 47)
.
Semua Wali yang hadir menyetujui usulan Raden Paku dan saat itu juga membaiat Raden Fatah menjadi khalifah bagi seluruh umat Islam di tanah Jawa. Para Wali bertindak sebagai “Ahlul Halli wal Aqdi”.
.
Pilihan Raden Paku sangat tepat. Secara garis keturunan, Raden Fatah adalah anak Raja Majapahit Brawijaya V dari selir putri China. Sejak kecil ia diasuh, dididik, dan diajari ilmu politik dan pemerintahan oleh ayah tirinya seorang penguasa Palembang, Ario Damar/Ario Dillah. Ia juga digembleng dan dibekali langsung ilmu syareat, tarekat, dan hakikat oleh mursyid sekaligus guru spiritualnya, yaitu Raden Rahmat atau Sunan Ampel.
.
Wali Songolah yang mendirikan kekhalifahan islam pertama di tanah Jawa ini dengan Raden Fattah sebagai khalifah pertamanya.
.
Jadi, kalau HTI mengklaim ada jejak khilafah di Nusantara ini, ada benarnya juga. Namun, khalifah yang dimaksud di sini bukanlah seperti yang diimajinasikan orang-orang HTI, yaitu seorang pemimpin bagi sebuah imperium Islam (pemimpin umat Islam dunia).
.
Khalifah di sini, sebagaimana dipahami umat Islam generasi awal (Khulafau Rasyidun), adalah pemimpin atau pengganti kepemimpinan Rasulullah SAW, bukan sebuah sistem politik.
.
Dalam sejarahnya Demak merupakan kerajaan Islam pertama di tanah Jawa ini dan bukan bagian dari dinasti Utsmaniyyah Turki. Mungkin hanya orang-orang yang berwatak inlander sekaligus mengidap penyakit inferiority complex yang akan mengatakan bahwa Demak adalah bagian dari kekuasaan Turki Utsmani.
.
Penguasa Demak adalah keturunan raja yang mengusir dan memotong telinga tentara mongol yang hendak menjajah negeri ini, bukan keturunan bangsa yang hancur luluh lantak disapu pasukan Kublai Khan itu. Ingat dan catat!
.
Salam
Jamaluddin Mohammad

PEMULANGAN WARGA ISIS DALAM PERSPEKTIF HUKUM ISLAM

Oleh Zainul Maarif

Dosen Falsafah dan Agama Universitas Paramadina

Menteri Agama Republik Indonesia, Fachrul Rozi, menyampaikan rencananya memulangkan warga ISIS (Islamic State of Iraq and Syiria) yang berasal dari Indonesia. Pro-kontra mencuat merespons wacana itu. Mengingat pernyataan itu muncul dari Menteri Agama, tulisan ini meninjau wacana itu dengan perspektif  agama Islam, lebih khusus lagi teori hukum Islam alias Ushul Fikih.

 

Dalam teori Ushul Fikih, seseorang yang telah menyatakan atau melakukan tindakan “keluar” dari satu agama secara otomatis dianggap murtad. Pertanyaannya, apakah dengan analogi yang sama dapatkah diberlakukan untuk seseorang yang meninggalkan negaranya dapat dikatakan “murtad” terhadap negaranya? Untuk itu, pertama, perlu diidentifikasi terlebih dahulu objek pembahasan dalam wacana itu. Bukankah yang hendak dipulangkan itu bukan (lagi) WNI melainkan mereka yang telah menyatakan bergabung dengan ISIS. Dengan demikian, mereka adalah mantan WNI yang telah berpindah menjadi warga ISIS melalui pembaiatan.

 

Karena janji setia pada ISIS seiring dengan sikap bermusuhan pada Indonesia, maka mereka bisa dikategorikan sebagai orang-orang “murtad”. Dalam konsep teologis, sebetulnya murtad tak sekadar istilah untuk orang yang berpindah agama melainkan juga menyatakan keluar dari negaranya. Di era Nabi Muhammad saw. dan Abu Bakar Al-Shiddiq (pemimpin umat Islam setelah Rasulullah wafat), agama dan negara saling berkelindan. Orang murtad di zaman itu bukan saja orang yang keluar dari Islam, tetapi juga mereka menentang negara di mana negara itu bukanlah negara yang secara terbuka menyatakan sebagai negara kafir.  Negara Indonesia yang berasaskan Pancasila jelas negara yang diikrarkan bukan negara kafir. Dengan pertimbangan itu, warga ISIS eks WNI dapat dikategorikan sebagai orang-orang yang “murtad dari Indonesia”.

 

Dalam aksinya ketika meningalkan Indonesia, dalam pandangan fiqh siyasah mereka tidak hanya dianggap telah “murtad”, tapi juga  dianggap sebagai pelaku “bughât” atau memberontak terhadap pemerintahan yang berdaulat Repubik Indonesia. Di Syiria dan Iraq, mereka memberontak pemerintahan yang syah. Hukum Islam menyebut para pemberontak seperti sebagai “bughât“.

 

Selain itu, tindakan mereka dalam pemahaman fikih juga dianggap sebagai merampas hak milik orang lain secara paksa. Dalam domain fikih atau hukum Islam, tindakan mereka disebut  “qâthi’ al-tharîq“- merampas hak orang lain.

 

Jadi, warga ISIS eks WNI itu adalah orang-orang yang murtad dari Indonesia, dan menjadi bughât dan qâthi’ tharîq di Syria dan Iraq. Berbagai teks hukum Islam (kitab-kitab fikih) berpendapat sama bahwa orang yang murtad dan/atau bughat dan/atau qâthi’ al-tharîq itu diputuskan dengan dua pilihan: ustutîba aw qutila: diminta bertobat atau diperangi/dihukum mati.

 

Di konteks keindonesian, “permintaan tobat” (ustutîba) berarti permintaan kepada mereka untuk setia kepada pilar-pilar bangsa yang selama ini telah menjadi prinsip dasar konstitusi negara, yaitu Pancasila, Bhinneka Tunggal Ika, Negara Kesatuan Republik Indonesia, dan Undang-Undang Dasar 1945. Selebihnya, mereka hendaknya menjalani program- program yang dapat diuji secara obyektif tentang kesetiaannya kepada Indonesia.  Program-program itu bisa berupa deradikalisasi sebagaimana yang selama ini dijalankan oleh BNPT (Badan Nasional Penanggulangan Terorisme) atau program yang bersifat pendampingan.

 

Namun, sebelum “permintaan tobat” usai pemulangan warga ISIS asal Indonesia itu, beberapa kaidah ushul fikih dan pengalaman sejarah perlu dipertimbangkan. Kaidah ushul fikih mengatakan “dar’ul mafâsid muqaddamun ‘alâ jalbi al-mashâlih“: mencegah kerusakan didahulukan daripada meraih kemaslahatan.

 

Apa kemaslahatan yang bisa diraih Indonesia dengan pemulangan warga ISIS eks WNI itu? Indonesia akan tetap dicatat sebagai negara yang mengupayakan pengampunan kepada warganya. Indonesia juga akan dihitung sebagai negara yang mengupayakan pemenuhan HAM yaitu mengakui hak semua orang untuk mendapatkan perlindungan hukum. Namun kita juga harus menghitung  ulang kemaslahatan kepulangan mereka bagi Indonesia. Jika hasilnya lebih banyak memunculkan mafsadat atau kerusakan yang lebih besar bagi Indonesia, adalah kewajiban negara untuk mencegah kepulangan mereka. Sebagaimana terkonfirmasi dari para napiter (narapidana teroris), sangat sulit bagi mereka untuk melepaskan ideologi ISISnya mengingat indoktrinasi yang mereka terima.

 

Hal lain yang dapat dilakukan adalah meninjau lebih lanjut berapa jumlah napiter yang “tobat” dari terorisme. Yang jelas pemenjaraan napiter adalah buah simalakama. Memenjarakan mereka memerlukan biaya yang tidak kecil.  Nyatanya, tak mudah bagi mereka  untuk menghapus ideologi kekerasan yang terpatri di jiwa mereka. Sejumlah studi tentang napiter di penjara memunculkan simalakama. Jika mereka dipisahkan, mereka bisa merekrut teroris baru. Jika mereka disatukan dalam satu penjara, mereka bisa semakin solid untuk menebar teror di kemudian hari.

 

Ringkas kata, haruslah tetap ditimbang sejauh mana mereka berbahaya. Dalam hukum Islam, bahaya disebut dengan “dlarar“. Secara eksplisit, kaidah hukum Islam menyatakan “al-dlararu yuzâlu” (bahaya harus dihapus) dan “lâ dlarara wa lâ dlirâra” (Jangan ada bahaya yang membahayakan).

 

Jadi, sebelum memulangkan warga ISIS yang berasal dari Indonesia ke Indonesia, Menteri Agama atau pemerintah Indonesia patut mempertimbangkan tiga kaidah hukum Islam tersebut: (1) dar’ul mafâsid muqaddamun ‘alâ jalbi al-mashâlih (mencegah kerusakan didahulukan daripada meraih kemaslahatan),(2) al-dlararu yuzâlu (bahaya harus dihapus), dan (3) lâ dlarara wa lâ dlirâra (jangan ada bahaya yang membahayakan). []

Sejarah dan Perkembangan Ide Khilafah

Dalam sejarah Islam, Hizbut Tahrir bukanlah satu-satunya partai, ormas, atau kelompok Muslim yang menggagas dan mengembangkan ide dan konsep khilafah (caliphate). Ada banyak individu dan kelompok keislaman, sejak masa klasik hingga dewasa ini, yang membincangkan tentang khilafah ini. Hanya saja masing-masing pihak memiliki pandangan yang berlainan tentang khilafah ini.

Hugh Kennedy, seorang profesor Bahasa Arab dan ahli kajian sejarah Islam klasik di School of Oriental and African Studies, University of London, pernah menulis dalam bukunya Caliphate: The History of an Idea, sebagai berikut: “The concept of caliphate has had many different interpretations and realizations through the centuries, but fundamental to them all is that it offers an idea of leadership which is about the just ordering of Muslim society according to the will of God.”

Seperti Kennedy jelaskan, karena diinisiasi oleh banyak ulama dan kelompok keislaman dari berbagai aliran, khususnya Sunni dan Syiah, gagasan dan konsep khilafah dalam implementasinya memiliki banyak tafsir dan pendapat yang berbeda-beda bukan hanya tentang ide khilafah itu sendiri tetapi juga tentang bagaimana mekanisme sistem politik kekhilafahan serta proses pemilihan seorang khalifah (caliph) sebagai pemimpin atau pemegang otoritas tertinggi dalam sistem pemerintahan khilafah.

Bagi Sunni pada umumnya, seorang khalifah yang secara kebahasaan berarti “pengganti, pelayan, atau wakil” harus dipilih oleh komunitas Muslim melalui sebuah proses politik-budaya tertentu (baik dipilih secara kolektif melalui forum musyawarah yang melibatkan banyak pihak maupun melalui diskusi terbatas orang-orang tertentu yang dipandang memiliki otoritas politik-keagamaan), meskipun dalam praktiknya juga sering tidak konsisten karena banyak “rezim khilafah” Sunni yang kemudian mengadopsi sistem monarkhi terutama sejak Kekhilafahan Umayyah dimana seorang khalifah berikutnya bukan dipilih oleh publik Muslim maupun representasi mereka melainkan ditunjuk oleh khalifah sebelumnya.

Sejak Muawiyah bin Abu Sofyan (Muawiyah I, 602-680 M.), pendiri Dinasti Umayah sekaligus memproklamirkan diri sebagai khalifah, berturut-turut seorang khalifah ditunjuk dari keluarga dekat khalifah pendahulu. Sementara itu, bagi kelompok Syiah, seorang khalifah harus seorang “imam yang ma’sum” (bebas dari maksiat) yang dipilih langsung oleh Tuhan dari keturunan keluarga Nabi Muhammad (Ahlul Bait).

Dalam konteks sejarah Islam, khilafah adalah sebuah polity atau semacam “entitas politik” yang kemudian berkembang menjadi berbagai imperium yang bersifat multietnis dan transnasional. Pada Abad Pertengahan Islam, ada tiga pemerintahan khilafah: Rasyidun (632-661), Umayyah (661-750) dan Abbasiyah (750-1258).

Kemudian Turki Usmani (Ottoman) juga mengklaim sebagai Khilafah Islam setelah menaklukkan Dinasti Mamluk (berpusat di Mesir) pada tahun 1517. Bukan hanya itu saja, dalam sejarah politik Islam, ada sejumlah rezim politik-pemerintahan lain yang mengklaim sebagai khilafah. Sebut saja Fatimiyah di Afrika timur/utara (rezim Syiah Ismaili, 909-1171), Umayyah II di Semenanjung Iberia di Eropa (929-1031), Al-Muwahhidun (rezim Muslim Berber di Maroko, 1121-1269; didirikan oleh Abd al-Mu’min), dan Sokoto di Afrika Barat (1804-1903).

Sokoto adalah Kekhilafahan Islam yang didirikan oleh Syaikh Usman bin Fodio, seorang sarjana Islam dan dai ternama, setelah berhasil mengalahkan Kerajaan Hausa di Nigeria (dan juga Kamerun) dalam sebuah pertempuran yang dikenal dengan nama Perang Fulani. Kekhilafahan Sokoto ini kelak dihapus oleh Inggris pada tahun 1903.

Sementara itu, sistem Kekhilafahan Turki Usmani dihapus oleh Mustafa Kemal Ataturk, pendiri Negara Turki modern, pada 1924 menyusul kehancuran Turki Usmani pada Perang Dunia I. Oleh sejumlah kelompok Islamis radikal, tahun 1924 itulah yang dijadikan sebagai “tahun wafatnya” sistem khilafah.

Sebetulnya, ketika Perang Dunia I meletus, ada sejumlah kelompok yang berusaha menyelamatkan sistem khilafah sekaligus untuk mempertahankan Kekhilafahan Turki Usmani. Misalnya, Gerakan Khilafah oleh sejumlah pemimpin Muslim di India pada 1920an untuk melawan Inggris.

Penggerak khilafah ini antara lain adalah Mohammad Ali Jouhar dan Maulana Abul Kalam Azad. Konon, Mohandas Gandhi, juga mendukung gerakan ini dengan duduk sebagai anggota di Central Khilafat Committee. Hanya saja, gerakan khilafah ini gagal total dan hancur berantakan setelah penangkapan sejumlah pemimpin dan pentolannya oleh pemerintah kolonial Inggris.

Meskipun pada tahun 1924 Mustafa Kemal Ataturk menghapus secara resmi sistem khilafah, ide-ide pendirian (kembali) sistem khilafah masih bermunculan di sejumlah tempat. Di Hijaz (kini wilayah Saudi), Syarif Hussein pernah mendeklarasikan “Khilafah Syarifiyah” pada tahun 1924. Tetapi sayang umur “Khilafah Syarifiyah” ini tidak panjang karena beberapa tahun kemudian Hijaz ditaklukkan oleh Raja Abdul Aziz Al Saud, pendiri Kerajaan Arab Saudi modern.

Bukan hanya di kalangan Sunni dan Syiah saja diskursus tentang khilafah ini berkembang. Ahmadiyah, sebuah gerakan revivalis Islam yang didirikan oleh Mirza Ghulam Ahmad dari Qadian, India, pada 1889, juga mengklaim tentang sistem kekhilafahan ini. Setelah kematian Mirza Ghulam Ahmad yang mengklaim sebagai Mesias atau Imam Mahdi, pada 1908, penggantinya, Hakim Nuruddin, memproklamirkan diri sebagai “Khalifah Ahmadiyah” dengan julukan “Khalifah al-Masih” (yakni pengganti, pelayan, atau wakil dari Sang Mesias, yaitu Mirza Ghulam Ahmad). Bagi kalangan Ahmadiyah, Khilafah Ahmadiyah adalah sebuah bentuk pendirian kembali atau kelanjutan dari sistem “Khilafah Rasyidun” (al-Khulafa al-Rasyidun) yang didirikan oleh para sahabat Nabi Muhammad.

Ide pengguliran pendirian khilafah ini terus bergulir dan digulirkan oleh sejumlah tokoh dan faksi Islam. Pendiri Ikhwanul Muslimin, Hasan al-Banna (1906-1949), seperti ditulis oleh Oliver Roy dalam Failure of Islamism, juga pernah menginisiasi untuk merestorasi sistem khilafah. Ikhwanul Muslim (berdiri di Mesir pada 1928) adalah sebuah kelompok Islamis yang mengadvokasi gagasan Pan-Islamisme dan implemntasi Syariat Islam.

Di kemudian hari, kelompok Ikhwanul Muslimin mengalami proses radikalisasi ekstrim setelah sejumlah ideolog dan pentolan organisasi ini seperti Sayyid Qutub dan adiknya Muhammad Qutub, mendapatkan perlakuan buruk dari rezim sekuler Mesir.

Penting untuk dicatat bahwa pendirian Ikhwanul Muslimin dilatari oleh kebangkrutan sistem Khilafah Turki Usmani di satu sisi serta kolonialisme Eropa di kawasan Muslim Arab di pihak lain. Karena itu wajar jika Hasan al-Banna ingin menghidupkan kembali sistem khilafah setelah Mustafa Kemal memberangusnya.

Kelak, pada 1953, Taqiyuddin al-Nabhani, yang juga merupakan kader Ikhwanul Muslimin, mendirikan Hizbut Tahrir di Yarusalem setelah menyaksikan pendirian Negara Israel modern serta kekalahan Bangsa Arab dalam Perang Arab-Israel 1948 yang berdampak pada pendudukan Palestina oleh Bangsa Israel. Salah satu tujuan utama Hizbut Tahrir tentu saja pendirian sistem khilafah ini yang dipandang mampu menjadi penyelamat kebangkrutan politik umat Islam.

Selain Ikhwanul Muslimin dan Hizbut Tahrir, sejumlah kelompok radikal-Islamis-revivalis seperti Al-Qaidah, Jamaah Islamiyah, Abu Sayyaf Group, Boko Haram, Ansar al-Sharia, Jabhat al-Nusra, Islamic State of Iraq and Syria, dan lain sebagainya., juga menggemakan gagasan restorasi sistem khilafah ini. Ada banyak sarjana yang mengulas tentang sejarah dan perkembangan konsep khilafah dan siapa saja para pendukungnya seperti Hugh Kennedy, Tom Kratman, Mona Hassan, William Muir, dan lain sebagainya.

Meskipun berbagai kelompok di atas menggaungkan ide khilafah tetapi masing-masing memiliki pandangan, metode, pendekatan, taktik, motivasi, dan tujuan yang berbeda. Ada yang memandang khilafah sebagai gerakan politik global transnasional yang melintasi batas-batas negara, ada pula yang berskala lokal atau regional.

Ada yang memandang khilafah sebagai gerakan politik tanpa kekerasan. Tetapi ada juga kelompok Islamis yang bersikeras mewujudkan khilafah dengan cara-cara apapun, termasuk kekerasan, ekstremisme, dan terorisme.

Menariknya, meskipun mereka sama-sama menyerukan restorasi dan pendirian (kembali) sistem khilafah, tetapi antar-mereka juga terlibat konflik akut dan saling serang dan memerangi satu sama lain seperti perseteruan antara ISIS dan Jabhat al-Nusrah atau ISIS versus al-Qaidah.

Ada banyak faktor, baik ideologis maupun politis, yang menyebabkan mereka saling seteru. Kelompok Hizbut Tahrir juga digempur dimana-mana oleh berbagai kelompok Islamis-radikal. Ini menunjukkan bahwa kelompok Islam pengusung khilafah ini jauh dari kata tunggal dan monolitik seperti yang dibayangkan oleh banyak orang.

Apapun perbedaanya, yang jelas ide khilafah memiliki sejarah yang sangat panjang dan kompleks. Berbeda dengan masa klasik dan abad pertengahan, kemunculan kembali gagasan khilafah di era kontemporer karena tidak lepas dari berbagai situasi sosial-politik-ekonomi-budaya yang menimpa kaum Muslim dan dipandang tidak menguntungkan mereka. Keterpurukan, kemunduran, keterbelakangan, kekalahan, dan situasi-kondisi carut-marut lainnya yang menimpa kaum Muslim itulah yang membuat sejumlah kelompok Islam berandai-andai untuk membangkitkan kembali sistem khilafah, yang oleh mereka, dianggap sebagai “sistem politik alternatif” atau “obat mujarab” yang mampu menyembuhkan luka menganga dan duka-lara umat Islam.

Tetapi mereka lupa bahwa sistem khilafah pun, jika mengacu pada sejarah Islam, jauh dari sempurna. Kejahatan, keburukan, kekejaman, kekerasan, dan penindasan juga terjadi di era kekhilafahan Islam. Memang, sistem politik apapun—baik relijius maupun sekuler—bukanlah sebuah jaminan bagi terwujudnya sebuah masyarakat yang aman, damai, adil, makmur dan sentosa. Semua memang tergantung pada kualitas individu pelaku yang menggerakkan sistem politik-pemerintahan itu. Bahkan ada ungkapan, sistem yang bobrok akan jauh lebih baik hasilnya jika dipegang oleh orang yang baik. Sebaliknya, sistem yang baik akan berujung pada kebobrokan jika dikendalikan oleh orang-orang jahat. Masihkan bermimpi dengan sistem khilafah? Wallahu ‘alam bi shawwab.

 

Sumber: https://sumantoalqurtuby.com/sejarah-dan-perkembangan-ide-khilafah-2/?fbclid=IwAR3vRjpNU1T3bT2E-eAiqEfHO2jG5AIUzlnPDH-68taE4m55wg3DjScKVCQ

Siapa Kelompok Radikal Islam Itu? [Catatan untuk Menteri Agama yang Baru]

Saya hendak jelaskan secara singkat soal kelompok radikal dalam Islam, yang kabarnya akan menjadi fokus pemerintahan Joko Widodo periode kedua. Penjelasan ini penting agar tidak terjadi kesalahpahaman atau menggunakan cara-cara Orde Baru yang justru akan kontraproduktif.

Secara umum yang bisa kita identifikasi sebagai kelompok radikal itu sebagai berikut:

Pertama, kaum takfiri yang menganggap kelompok selainnya sebagai kafir. Berbeda pandangan sedikit saja langsung kita dikafirkan. Ini radikal dalam keyakinan.

Kedua, kelompok jihadis yang membunuh orang lain atas nama Islam. Mereka melakukan tindakan di luar hukum tanpa alasan yang dibenarkan secara syar’i. Ini radikal dalam tindakan.

Ketiga, kelompok yang hendak mengganti ideologi negara dengan menegakkan Negara Islam dan/atau khilafah. Tindakan mereka merusak kesepakatan pendiri bangsa. Ini radikal dalam politik.

Karakter radikal di atas bisa merupakan kombinasi ketiganya: mengkafirkan, membunuh, dan mau mengganti Pancasila. Ini yang paling berbahaya, apalagi kalau mereka merupakan jaringan transnasional.

Namun, ada juga yang hanya takfiri dan membunuh saja, tapi mereka tidak main politik. Ada yang tidak takfiri dan tidak membunuh, tapi hanya mau mengganti ideologi negara. Artinya, perbedaan manhaj maupun aktivitas mereka juga harus kita petakan.

Perbedaan di antara ketiga kelompok di atas maupun variannya harus dipahami dengan benar sebelum mau melakukan program deradikalisasi. Ini artinya bukan sekadar main hantam saja sehingga malah akan memicu perlawanan yang reaktif.

Jangan pula terjebak dengan asesoris, misalnya yang pakai jilbab panjang atau celana cingkrang langsung dianggap radikal. Ini juga tidak benar. Harus lebih substantif pada pemahaman keagamaan, tindakan, dan gerakan mereka.

Jika mereka masih berada pada tahap radikal dalam keyakinan, maka harus dilakukan wacana tandingan. Jika sudah berupa tindakan, maka tindakan preventif tidak lagi cukup, namun perlu dilakukan penetrasi ke dalam kelompok tersebut. Bila sudah sampai pada gerakan politik, maka tidak bisa lagi dihadapi lewat kompromi politik karena ini sudah pertarungan ideologi.

Usulan saya, menghadapi kelompok radikal ini tak bisa hanya hantam dengan keras dan tegas, tapi harus dirumuskan langkah yang taktis dan strategis. Yang saya ungkap di atas baru mengidentifikasi saja. Salah identifikasi bisa berakibat salah langkah menghadapi mereka.

Akhirnya, saya mengucapkan selamat bekerja kepada Menteri Agama yang baru, Pak Fachrul Razi. Semoga amanah dan sukses menjalankan tugas. [Nadirsyah Hosen]

 

Sumber: https://geotimes.co.id/kolom/siapa-kelompok-radikal-islam-itu-catatan-untuk-menteri-agama-yang-baru/?fbclid=IwAR0CB4A7L60ErVRERHnM4woF9hjsTpEssA59NjOgmwsUSTya3DTlnUxGAx4

SUMPAH PEMUDA

Dalam buku-buku sejarah mainstream, Sumpah Pemuda 1928 adalah penanda munculnya kesadaran nasional (nasionalisme) di kalangan pribumi. Kesadaran bertanah air satu, tanah air Indonesia. Berbangsa dan berbahasa satu, bangsa dan bahasa Indonesia.

Tak hanya di kalangan pemuda sekolahan, kesadaran nasional juga muncul di kalangan santri dan kiai. Sebagai ekspresi kecintaan terhadap tanah air, Kiai Wahab Chasbullah memebuat lagu “Syubbanul Wathan” (Ya lal wathan) yang menjadi lagu wajib santri waktu itu.

Di pesantren nasionalisme dan islam bisa menyatu dan bersatu. Identitas kebangsaan menjadi bagian dari identitas keislaman. “Hubbul wathan minal iman,” kata Hadratu Syaikh Kiai Hasyim Asyari.

Kiai Wahab juga pernah ditanya Sukarno, bagaimana hukumnya nasionalisme? “Nasionalisme ditambah bismillah itulah islam,” tegas Kiai Wahab.

Ketika membicarakan nasionalisme, para kiai tidak sedang membayangkan atau mengimajinasikan Indonesia. Bagi mereka, menjadi Indonesia adalah pengalaman sosio-historis yang membentuk kesadaran nasional mereka

Juga tidak perlu lagi membenturkan nasionalisme dengan islam (pengalaman dan pengamalan keberagamaan) mereka. Itulah yang membedakan politik kebangsaan NU dengan Kelompok islamis seperti HTI. HTI menolak nasionalisme karena sejak awal sudah menarik jarak dengan pola keberagamaan dan keberislaman muslim Indonesia. Mereka datang dari Timur Tengah membawa identitas keislaman untuk menyatukan islam di bawah cita-cita Khilafah.

HTI lupa —- atau bahkan tdk mengerti—-mayoritas muslim indonesia tidak menarik jarak, membuat batas pemisah, atau membeda-bedakan antara keindonesiaan dan keislaman. HTI membayangkan masyarakat muslim Indonesia seperti Timur Tengah. Mereka memaksa konsep politik Timur Tengah untuk Indonesia, bahkan seluruh dunia.

Padahal, Indonesia tak butuh Khilafah karena sudah memiliki Pancasila. ”Lha, bukankah Pancasila bukan dari Islam?” Kata seorang teman HTI. “Jika ingin mengetahui keislaman dalam Pancasila, belajarlah pada ulama Indonesia,” kataku. [Jamaluddin Mohammad]

Negara ISIS: Delusi Hidup Berkah di Tanah Khilafah

Sebelum menyesal, alangkah baiknya pikir-pikir lagi bila Anda mendukung ISIS.

 

tirto.id – Dalam konflik Suriah, perlu memahami dua istilah antara deportan dan returnis. Pandangan umum: dua istilah ini kerap diartikan sama, padahal keduanya berbeda.

Deportan adalah mereka yang hendak menyeberang ke Suriah dari Turki secara ilegal dan bergabung ISIS. Namun, di tengah jalan, saat memasuki wilayah perbatasan, pemerintah Turki memergoki mereka. Setelah ditahan beberapa bulan, para deportan ini dipulangkan ke Indonesia. Data Kementerian Luar Negeri menyebut total WNI yang dideportasi dari Turki berjumlah 430 orang. Rinciannya: 193 orang pada 2015, 60 orang (2016), dan 177 orang (2017).

Sementara returnis secara umum adalah WNI yang berhasil masuk ke dalam wilayah Suriah dan kembali pulang ke Indonesia. Data dari Institute for Policy Analysis of Conflict (IPAC) memperkirakan sedikitnya ada 87 returnis ke Indonesia.

Sidney Jones, Direktur IPAC, berkata kepada Tirto bahwa kehadiran returnis WNI di Suriah tak sekadar jadi kombatan, “Tetapi banyak juga yang datang dengan status relawan kemanusiaan.”

Di sisi lain, kehadiran relawan ini pun tak semata bergabung ISIS. Banyak juga yang berafiliasi dengan kelompok milisi Islam seperti Ahrar Al Syam dan Hay’at Tahrir al-Sham (semula bernama Jabhat Al Nusra, cabang Al-Qaeda di Suriah), atau bahkan kelompok pemberontak moderat macam Pasukan Pembebasan Suriah (FSA).

Dalam konteks ISIS, Jones menyebut ada beberapa returnis dalam pemantauan atau ditahan aparat kepolisian Indonesia. Namun, banyak juga yang kooperatif dan sudah dianggap tidak berbahaya, contohnya seperti 18 orang returnis yang dipulangkan ke Indonesia pada medio 2017. Status keluarga-keluarga itu cukup unik karena selama hampir dua tahun mereka pernah tinggal di kota Raqqa, ibukota kekhilafahan Daulah.

 

Sejak Oktober 2017, kami sering berjumpa dan berdiskusi dengan para WNI yang sempat merasakan secara langsung hidup di bawah naungan pemerintahan ISIS. Bagi mereka, masa lalu itu dianggap sebagai kejadian kelam yang mesti dilupakan.

Demi alasan keamanan karena ancaman nyata dari sel tidur simpatisan ISIS, ditambah minimnya perlindungan dari aparat kepolisian, beberapa returnis minta kepada kami agar identitasnya tak disebutkan dalam artikel ini.

Pada beberapa kasus, banyak returnis ISIS yang dimusuhi oleh simpatisan ISIS. Beberapa di antaranya bahkan menerima intimidasi kekerasan, tak peduli di dalam penjara sekalipun. Setidaknya pengalaman ini diterima oleh dua narasumber kami, yang kini ditahan di penjara Polda Metro Jaya. Keduanya kapok membela organisasi yang dipimpin Abu Bakar al-Baghdadi. Mereka dikenal kooperatif dan sering membantu polisi membantu menyadarkan simpatisan ISIS lainnya.

 

Memaksa Para Simpatisan ISIS untuk Jadi Kombatan

Satu keluarga besar ini berangkat pada Agustus 2015 atau setahun setelah Abu Bakar al-Baghdadi mendeklarasikan kekhalifahan ISIS di Mosul pada Juni 2014. Seperti para simpatisan ISIS lain, mereka mengamuflase kepergian ke Suriah dengan berdarmawisata via Turki. Setelah dua minggu di negeri Erdogan itu, mereka berpisah dalam kelompok-kelompok kecil di daerah perbatasan provinsi Gaziantep.

Di tengah gelap gulita malam, selama tiga jam, mereka berjalan kaki menyusuri ladang perkebunan semangka milik warga lokal. Setelah berpisah, mereka bertemu pada titik yang sama sesudah melintasi perbatasan.

Di lokasi inilah perwakilan Daulah sudah menunggu. “Paspor, dokumen identitas, dan handphone semua diambil,” kata Salma, bukan nama sebenarnya, yang pergi dengan suami dan dua anaknya.

Lantas mereka dibawa ke kamp yang khusus menampung para pendatang atau lazim disapa kaum muhajirin. Para laki-laki dewasa dipisah dengan perempuan dan anak-anak.

Bagi kaum pria, mereka langsung ditempatkan dalam asrama selama tiga bulan. Program berbeda dijalani tiap bulan. Bulan pertama, proses adaptasi. Bulan kedua, proses indoktrinasi dengan mencekcoki pemahaman agama yang kurikulumnya diatur oleh ISIS. Bulan ketiga, mereka diajak untuk i’dad alias berlatih perang memegang senjata.

Bagi pendatang, i’dad adalah fase terpenting. Usai i’dad, mereka diberi identitas khusus oleh Daulah dan diberi cap sebagai tentara khilafah. Pada fase ini mereka menerima penentuan di katibah (unit) militer mana akan bertugas.

Namun, tak semua kaum pria yang kepincut berhijrah ke wilayah ISIS berambisi jadi kombatan. Ada juga yang hanya ingin tinggal di wilayah ISIS dengan hidup normal, tanpa harus angkat senjata.

Di antaranya adalah keluarga Salma. Kaum pria dewasa pada keluarga ini menolak berlatih militer. Konsekuensinya, beberapa di antara mereka dipenjara.

“Selama di penjara, mereka tetap paksa kami untuk ikut. Tapi tetap kami tolak. Untungnya, kemudian kami dibebaskan. Tapi, konsekuensinya, kami tak punya identitas, jadi tak leluasa untuk pergi keluar,” kata Farhan, bukan nama sebenarnya.

Dari sinilah anggapan positif terhadap Negara Islam ala ISIS mulai perlahan luntur. Status pembangkang yang disematkan terhadap kaum pria dari keluarga ini membuat mereka tak bisa tinggal satu atap dengan istri dan anak-anak mereka; dan di sisi lain, soal urusan papan memang sudah ditanggung oleh ISIS.

Infografik HL Indepth Fans ISIS

 

Dibenci oleh Penduduk Setempat

Lazimnya birokrasi ISIS memang memberi jatah tempat tinggal secara cuma-cuma kepada para tiap muhajir. Rumah atau apartemen ini mereka sita secara paksa dari penduduk sipil lokal. Alih-alih bersikap adil, ISIS seringkali dibenci kaum madani atau penduduk lokal Raqqa. Kata Salma, ISIS lebih eksklusif dan mementingkan kelompoknya sendiri.

“Kalau ada pemboman di sana-sini oleh pesawat jet Sekutu, setelah bom jatuh, aktivitas penduduk lokal itu normal lagi kayak biasa,” kata Salma.

“Harusnya lihat pasar dibom ada ghirah [semangat] untuk bantu mereka. Tapi ini biasa aja. Jadi pertanda bahwa orang lokal juga enggak suka mereka (militan ISIS),” tambahnya.

Ia mengatakan kombatan ISIS sering berlaku kasar dan keras terhadap penduduk lokal, wajar jika mereka tak disukai. “Kalau kata mereka, sebetulnya saat kami bergaul dengan madani itu enggak boleh. Tentu ini kan ngaco. Ini bukti dia enggak jalankan agamanya dengan benar,” kisah Salma.

Ia mencontohkan dalam soal berpakaian. Dewan syariat ISIS membuat aturan penyeragaman berpakaian hitam-hitam bagi kaum perempuan. “Kalau kami sebagai muhajir ya dikasih. Kalau orang madani dipaksa untuk beli. Mau enggak mau harus beli. Kalau tidak, seragam nanti kena razia lalu ditangkap,” kata Salma.

Begitu juga dalam soal fasilitas pelayanan publik. Bagi mereka yang mengabdi dan terdata sebagai pegawai atau kombatan ISIS, ada fasilitas kesehatan secara cuma-cuma. “Saya dulu dapat, tapi cuma pas awal-awal. Setelah itu ya bayar. Kalau penduduk madani, ya bayar. Enggak ada yang gratis.”

Adab Seorang Muslim yang Sering Diabaikan

Dalam hadis memang sering menyebut Syam sebagai tanah yang diberkahi. Syam juga dipercaya sebagai benteng yang aman dari huru-hara dan fitnah akhir zaman. Manaratul baidha’ atau menara putih yang jadi tempat turunnya Imam Mahdi dan Nabi Isa Alahissalam dipercaya berada di Syam.

Narasi inilah yang terkadang mengiming-imingi para simpatisan ISIS agar mau hijrah ke Suriah. Pendakuan ISIS sebagai kekhalifahan yang sesuai manhaj kenabian memperparah itu. Mereka mengklaim sebagai negara yang menerapkan hukum Syariat Islam secara kaffah.

Salma, Farhan, dan returnis ISIS lain semula percaya dan yakin dengan propaganda ini. Faktanya, setelah mengalami dan melihat langsung pesan-pesan ISIS, hal itu kebohongan belaka.

“Ada banyak adab-adab yang mereka abaikan. Dan terkadang terlalu keras dan menambah dalil-dalil sendiri,” ucapnya.

“Aku kadang suka gemes, kalau membicarakan mereka,” kata Salma.

Kombatan ISIS amat jauh dari nilai-nilai keislaman, ujar Farhan. Ia mencontohkan hal sepele. Adab seorang muslim saat bertamu adalah jika tiga kali mengetuk pintu sang pemilik tak membukanya, maka dia harus pergi. “Kalau sama ISIS, tiga kali ketuk enggak dibuka, ya didobrak pintunya,” kata Farhan, sambil terkekeh.

Hidup secara Islami yang mereka rasakan di Raqqa dan masih berkesan mungkin hanya dalam soal salat tepat waktu. Farhan bercerita, saat azan berkumandang, kaum pria langsung menggelar tikar dan salat berjamaah. Namun, katanya, tindakan spontan itu pun sebetulnya didasari karena rasa takut. Karena jika tak menghentikan aktivitas, warga siap-siap saja ditangkap polisi syariat.

Dalam Islam memang membolehkan seorang pria beristri lebih dari seorang. Namun dalil ini acap kali dijadikan kombatan ISIS di Raqqa untuk memuaskan syahwat mereka.

Farhan bercerita, suatu ketika ada seorang kombatan yang menaksir salah seorang saudaranya. Namun, saat dijelaskan bahwa si perempuan sudah bersuami, si kombatan itu malah berharap agar sang suami segera mendapat syahid alias lekas mati.

Nur adalah salah seorang returnis yang ikut dalam rombongan pemulangan pada Agustus 2017. Usai kabur dari Raqqa bersama keluarganya, ia sempat ditahan oleh pasukan Kurdi (SDF) di Kamp Ayn Nissa, Suriah. Kepada BBC, Nur mengakui bahwa topik yang selalu dibicarakan para kombatan dan simpatisan ISIS hanya soal perempuan.

Ia mengaku pernah dikejar-kejar milisi ISIS yang ingin menjadikannya sebagai istri. “Banyak milisi ISIS yang duda, mereka menikah hanya dua bulan atau dua pekan saja. Banyak laki-laki datang ke rumah dan mengatakan ke ayah saya, ‘Saya ingin anakmu,'” kata Nur.

Hal ini dibenarkan oleh Dwi Djoko Wiwoho, ayah Nur. Djoko ikut bersama Nur ke Suriah. Dalam video yang dirilis BNPT, Djoko mengatakan pernah suatu ketika ada kombatan yang bertanya tidak sopan.

“Sampai di sana malah disuruh kawin. Anak saya yang kecil sampai ditanya, ‘Haidnya kapan, cari tahu, ya,’” ujar Djoko.

Melihat delusi yang terjadi di Suriah, Farhan hanya berpesan satu hal bagi simpatisan ISIS di Indonesia yang masih loyal dan percaya pada Daulah: “Untuk apa masih tetap menggebu-gebu dukung Daulah? kalau tahu betul [merasakan] di sana, yang ada hanya rasa kecewa.”

 

Sumber: https://tirto.id/negara-isis-delusi-hidup-berkah-di-tanah-khilafah-cLn5

KEKHILAFAN ATAS KHILAFAH

Kata “Khilafah” di era modern merupakan sebuah kata yang pada kenyataanya mengalami perubahan makna berulang kali sesuai  konteks historisnya.  Kata itu semula disebut dalam teks sejarah sosial-keagamaan dalam mengkaji salah satu era dalam sejarah islam paska Nabi Muhammad. Namun kata itu  kini diposisikan sebagai ideologi dengan rumusan yang sama sekali berbeda dari asal usul sejarah kata itu.  Bahkan kini diimani sebagai kebenaran dan dianggap sebagai kekuatan Islam oleh sebagian muslim. Selain menjadi ideologi, khalifah pun hadir sebagai simbol keagamaan yang menjadi cita-cita utopis. “Khilafah Islamiyah” pun tidak lagi berbasis pada dimensi kemanusiaan sebagai tujuannya atau sebagai salah satu pilihan sistem dalam bernegara, melainkan menjadi gagasan yang disakralkan bahkan secara egois dimaknai sebagai pihak  yang paling Islami.

Secara historis, khilafah sebagai konsep gerakan politik muncul sebagai mimpi kaum tertindas di Palestina. Gagasan ini disuarakan oleh seorang hakim asal Haifa, Palestina, Taqiyuddin An-Nabhani tahun 1953. Ia memimpikan hadirnya khalifah, yang dianggap sebagai “Satrio Piningit”, meminjam istilah dalam ramalan Jayabaya dalam Babad Tanah Jawi dan Serat Aji Pemasa. Khalifah diimpikan hadir untuk membebaskan dan menolong bangsa Palestina dari agresi bangsa asing.

Turki  Usmani atau dinasti Ottoman yang runtuh tahun 1924 dianggap oleh an-Nabhani sebagai wujud jati diri khilafah Islamiyah yang paling otoritatif. An-Nabhani menyayangkan kehancuran dunia Islam saat itu, karena Komunitas Muslim di Timur Tengah melepaskan sendiri nilai-nilai yang pernah ada di masa lampau dan hidup dalam permusuhan satu sama lain, terkotak-kotak dalam negara-negara kecil.

An-Nabhani memimpikan hadirnya kembali kekuasaan dunia Islam dengan terciptanya khilafah yang dapat menyatukan muslim dari berbagai belahan dunia. Untuk mewujudkannya dibutuhkan sebuah kendaraan politik yaitu Party of Liberty (Partai Pembebasan) dikenal dengan nama  Hizbut Tahrir. Partai universal ini dibentuk tahun 1953 di Yordania dan didaftarkan resmi sebagai sebuah partai politik kepada otoritas Yordania. Khilafah pun kemudian diperlakukan sebagai gagasan sistem politik, dan ini tentu  saja jauh dari khilafah sebagai nilai. Akibatnya, sebagai teori, khilafah pun dikecilkan ke dalam sistem politik tertentu yaitu sistem politik  yang dibangun oleh Hizbut Tahrir. Dengan sendirinya ini telah menghilangkan esensi nilai dalam hakikat makna khilafah itu sendiri.

Atas perkembangan ini, makna khilafah perlu dibedakan atas tiga hal. Pertama, Khilafah sebagai nilai, Kedua, Khilafah sebagai cerita dan kisah dalam sejarah, Ketiga, Khilafah sebagai ideologi politik. Pembedaan ketiga hal ini  perlu dipahami agar tidak terjebak dalam teori khilafah  model yang paling rendah yaitu sebagai ideologi politik sebagaimana ditawarkan kelompok Hizbut Tahrir dalam memahami khilafah.[1]

Kalau dikaji secara teologis, kata “khilafah” ini disebut sebelum penciptaan Adam,

 

وَإِذْ قَالَ رَبُّكَ لِلْمَلائِكَةِ إِنِّي جَاعِلٌ فِي الْأَرْضِ خَلِيفَةً قَالُوا أَتَجْعَلُ فِيهَا مَنْ يُفْسِدُ فِيهَا وَيَسْفِكُ الدِّمَاءَ وَنَحْنُ نُسَبِّحُ بِحَمْدِكَ وَنُقَدِّسُ لَكَ قَالَ إِنِّي أَعْلَمُ مَا لا تَعْلَمُونَ

Artinya,

“Dan (ingatlah) ketika Tuhanmu berfirman kepada para Malaikat, “Aku hendak menjadikan khalifah di muka bumi”. Mereka berkata, “Apakah Engkau hendak menjadikan orang yang merusak dan menumpahkan darah di sana? sedangkan kami bertasbih memuji-Mu dan menyucikan nama-Mu?, Dia berfirman, “Sungguh Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui.” (Q.S. Al-Baqarah : 30)

 

Qurthubi dalam tafsirnya[2], Al-Jȃmi’ li ahkȃm al-Qur’ȃn wa al-Mubayyin Li Mȃ Tadhammanahu Min as-Sunnah wa Ayi al-Furqȃn,  “Khalifah”; “annahu alladzȋ yufashshilu bayna al-nȃsi fȋ mȃ yaqa’u baynahum mina al-mazhȃlimi”[3], (orang yang menghindari kezhaliman yang terjadi di antara manusia dan menghindari mereka dari berbuat dosa). Khalifah dalam bayangan AL-Qurtubi yakni seorang yang bijaksana, dengan kebijaksanaannya mampu menghindari kelaliman dan membebaskan sesama dari ketertindasan, dan menghalangi orang untuk berbuat dosa. Dosa yang dimaksud disini yaitu dosa karena melukai orang lain atau menyakiti orang lain. Khalifah dalam definisi Qurthubi yaitu manusia ideal dengan pemahaman kemanusiaannya yang kaffah. Qurthubi juga mendefinisikan Khilafah, “Yakhlufu man kȃna qablahu mina al-Malȃikati fȋ al-ardhi”, (makhluk yang menggantikan peran makhluk sebelumnya, yakni Malaikat, di muka bumi. Kisah dialog dalam Surah Al-Baqarah di atas dalam pemahaman Qurthubi  adalah saat Tuhan hendak menciptakan manusia sebagai pengganti peran Malaikat  yang kemudian dipertanyakan oleh Malaikat, apakah ciptaan itu bisa lebih baik dari malaikat yang tidak pernah merusak bumi dan selalu menghiasi bumi dengan tasbih dan selalu mensucikan Tuhan.

Khalifah sebagai nilai, berarti sosok dengan segala sifat kebijaksanaannya, menciptakan kebajikan untuk dirinya, orang lain dan lingkungan, memelihara bumi dari kehancuran, melestarikan kedamaian antar sesama, bukan seorang raja yang memerintah mengatasnamakan agama untuk melanggengkan kekuasaannya.

Karenanya menganggap bahwa khalifah hanya berdimensi politik dan bersifat tunggal sebagai sistem politik merupakan sebuah kekeliruan. Cara itu telah menyeret makna khilafah sebagai nilai menjadi simbolitas politik dari sebuah ideologi tertentu itu.

Kembali kepada dimensi teologis dan sejarah Islam, khalifah itu bukan hanya menunjuk kepada Nabi Adam saja; khalifah itu juga bukan hanya terlahir pada saat Nabi Muhammad Saw mangkat, lalu dilanjutkan oleh khulafaurrasyidin, dinasti-dinasti Muawiyah, Abbasiyah dan lainnya.

Abu Bakar, Umar ibn Khattab, Utsman ibn Affan dan Ali ibn Abi Thalib, keempatnya diakui sebagai khalifah namun memiliki model pengangkatan sebagai khalifah dan model pemerintahan yang berbeda-beda. Dalam buku Mausȗ’atu al-tȃrȋkh wa al-hadhȃrah al-Islȃmiyyah, karya Ahmad Shalabi, seorang pakar sejarah politik Islam Klasik,  Abu Bakar terpilih sebagai pemimpin umat Islam berkat bai’at dari mayoritas para tokoh dan para kepala suku yang hadir di Balairung Tsaqifah di sebuah desa Bani Sa’idah, Madinah, setelah melalui perdebatan yang panjang. Umar ibn Khattab? Ia ditunjuk langsung oleh Abu Bakar sebagai pewaris kepemimpinannya kelak pasca wafatnya, pengangkatan itu menimbang situasi keamanan umat yang sedang darurat. Penunjukkan langsung ini disetujui oleh para tokoh saat itu setelah menggelar dialog warga di depan kediaman Abu Bakar. Utsman bin Affan? Beliau dipilih berdasarkan hasil musyawarah para pemuka sahabat yang berada di Madinah dilakukan selama 3 hari dengan arahan dan mekanisme yang diketahui Umar Ibn Khattab yang sedang dirawat di rumahnya pasca penikaman atas dirinya oleh Abu Lu’lu’ah. Lalu Ali bin Abu Thalib?  Beliau dibaiat oleh masyarakat dan para veteran perang Badar  pasca terbunuhnya Utsman ibn Affan di kediamannya, pada 19 Dzulhijjah tahun 35 H. Keempatnya, Abu Bakar, Umar ibn Khattab, Utsman ibn Affan, dan Ali ibn Abi Thalib, dipanggil dengan sebutan Amirul Mukminin (Pemimpin orang Mukmin), bukan khalifah dalam definisi fundamentalis sekarang, meski julukan mereka sebagai khalifat khalifat al-nabiy. Keempatnya pun tidak hanya sebagai pemimpin politik tapi juga berperan sebagai hakim agung sekaligus sosok yang dimintai fatwa oleh masyarakatnya.

Setelah itu, pemerintahan dunia Islam di pimpin oleh dinasti-dinasti dengan sistem pemerintahan klasik, kerajaan, tahta pemimpin politik diwariskan secara turun temurun, di mana dunia Islam menjadi milik keluarga dan keturunannya semata. Misalnya dinasti Umayyah berkuasa tahun 661-750 Masehi. Lalu Abbasiyah 750-1258 Masehi. Setelah itu, dinasti Turki Usmani, Dinasti Syavawi Persia, Dinasti Mughal di India, Dinasti Fatimiyah di Mesir, dan lain-lain. Kesemua dinasti itu murni menganut sistem politik kerajaaan di mana pemerintahannya diwariskan secara turun temurun, mereka bergelar sebagai raja dengan julukan khalifatullah fi al-ardhi.

Dari kajian ini jelas bahwa menunggalkan makna khilafah sebagai sistem perjuangan politik umat Islam semesta sebagaimana dimaknai ala Hizbut Tahrir atau kelompok lain yang mengklaim pelanjut khilafah Islamiyah adalah sebuah kekhilafan. Islam adalah ruh di berbagai sistem politik dengan ciri yang sangat tegas – senantiasa berpihak kepada keadilan dan kemanusiaan, bukan kekuasaan.[Achmat Hilmi]

 

[1] Lihat Abdel Qadim Zallum, Nizhȃm al-Hukmi fȋ al-Islȃm, Cet. Keenam, Manshȗrȃt Hizbi al-Tahrȋr  2002

[2] Imam Qurthubi bernama lengkap Abu ‘Abdullah Muhammad bin Ahmad bin Abu Bakr Al-Anshari al-Qurthubi, seorang ahli hadits, ahli fikih, ahli qira’at, dan ahli tafsir terkenal, lahir di Qurthuba (Cordova) Spanyol, dan wafat di Mesir tahun 671H.

[3] Imam Qurthubi, Al-Jȃmi’ li ahkȃm al-Qur’ȃn wa al-Mubayyin Li Mȃ Tadhammanahu Min as-Sunnah wa Ayi al-Furqȃn, Jilid 1, hal

Counter-Narasi Terhadap Kaum Jihadis

GERAKAN radikal jihadis tidak pernah mati. Nama organisasi seringkali berganti, tetapi substansi perjuangan tidak pernah pudar: konsisten dengan misi penegakan negara Islam, khilafah, dan penerapan syairat Islam secara kaffah. Misi ini meniscayakan mereka menegasikan negara yang menggunakan sistem nation-state dan demokrasi dengan memberi cap ‘thâghût’. Sebab, menurut golongan jihadis, setiap negara yang tidak menerapkan syariat Islam secara kaffah disebut ‘thâghût’.

Para ideolog dan konseptor jihadis awal, seperti Abu al-A’la al-Maududi dan Sayyid Qutb, menggunakan istilah ‘sistem jahiliyah’ bagi negara yang tidak menerapkan syariat Islam. Para pengikut setianya menyebut sebagai ‘sistem jahiliyah modern’. Sedangkan istilah ‘thâghût’ baru muncul dimulai dari Abdullah Azam, konseptor dan komandan jihad Afghanistan. Istilah ‘thâghût’ juga digunakan oleh para pengikut dan murid-murid ideologinya yang ada di Indonesia.

Istilah ‘thâghût’ yang dilontarkan oleh kalangan jihadis merupakan klaim yang mengandung konsekuensi cukup serius, tidak sekedar pengkafiran tetapi juga meniscayakan perubahan secara radikal, revolusioner, dan tidak setengah-setengah dengan cara-cara kekerasan, seperti pengeboman dengan atas nama jihad.

Mereka menjadi eksis dengan berpijak pada sebuah hadits mengenai pemimpin akhir zaman sebagai pembenar. Hadits tersebut seolah ‘memberi harapan’ kepada mereka untuk bisa kembali mendirikan khalifah Islamiyah. Disebutkan dalam hadits tersebut bahwa di satu saat, setelah tumbangnya pemimpin-pemimpin diktator dari umat Muslim, akan muncul khalifah ‘alâ minhâj al-nubûwwah yang tegak di atas bumi.

Klaim kalangan jihadis soal khalifah ‘ala minhâj al-nubûwwah menuai respon dari berbagai kalangan, tak terkecuali dari kalangan ulama dan tokoh muda Islam Indonesia. Pada 31 Juli-3 Agustus 2016, para ulama dan tokoh muda Islam NU, Muhammadiyah, Nahdlatul Wathan, Mathali’ul Anwar dan Al-Khairat berkumpul di Hotel Rancamaya Bogor, yang difasilitasi oleh Wahid Foundation (WF), bertujuan merespon dan membuat counter-narasi terhadap kalangan jihadis serta membuat narasi damai.

Para ulama dan toko Islam Indonesia menyatakan bahwa ‘thâghût’ adalah segala perbuatan yang melampaui batas yang secara substansial menentang hukum Allah dan Rasul-Nya serta mengingkarinya. Jika tidak mengingkari dan meralisasikannya secara substansial maka tidak bisa disebut ‘thâghût’. Sehingga pemerintahan Indonesia tidak bisa dikatakan ‘thâghût’, sebab aturan dan hukum yang terdapat di Indonesia tidak mengingkari substansi nilai-nilai Islam.

Ajaran Islam sendiri yang bersumber dari al-Qur`an dan Sunnah memberi kewenangan kepada para ulama untuk berijtihad merumuskan hukum yang relevan dan maslahat bagi bangsa dan negara selama tidak bertentangan dengan keduanya.

Di samping itu, Islam tidak menentukan sistem pemerintahan tertentu dan memberikan kebebasan untuk mengadopsi sistem pemerintahan manapun selama substansinya tidak bertentangan dengan nilai-nilai syariat Islam. Sebab yang menjadi perhatian adalah substansi, bukan bentuk. Sebagaimana disebutkan dalam prinsip yang berbunyi, “al-‘ibrah bi al-jawhar, lâ bi al-mazhhar”.

Substansi pemerintahan dalam perspektif Islam ialah suksesi kepemimpinan yang bisa mengatur berbagai kebutuhan dan kemaslahatan rakyat. Dalam kaidah fikih disebutkan, “Tasharruf al-imâm ‘alâ al-ra’îyyah manûth bi al-maslahah”. Dan jika tidak ada pemimpin, maka akan terjadi disintegrasi bangsa dan kekacauan. Tentunya yang dipilih adalah pemimpin yang menjunjung tinggi moralitas yang mulia dan agung, seperti adil.

Khilafah Islamiyah sebagai sistem sudah tidak maslahat (relevan) dan bisa diganti dengan sistem nation-state (negara-bangsa). Terlebih lagi sistem khilafah merupakan hasil ijtihad masa lalu dan tidak ada kewajiban untuk mengikutinya. Dalam al-Qur`an sendiri tidak dijelaskan tentang kewajiban untuk menegakkan sistem khilafah, yang ada hanyalah sistem syura, “Wa amruhum syûrâ baynahum.”

Semakin menguatnya gerakan kelompok jihadis karena mereka merasa sesuai dengan hadits Nabi yang menyatakan bahwa akan muncul khalifah ‘alâ minhâj al-nubûwwah yang tegak di atas bumi, dan menurut mereka sudah tiba saatnya untuk mendirikan khilafah sebagaimana hadits itu. Padahal, berdasarkan kajian dan diskusi bahtsul masail cukup serius, para ulama dan tokoh muda Islam Indonesia menyimpulkan bahwa hadits tersebut terdapat tujuh versi. Dari ketujuh versi tersebut, ada enam versi yang kualitas sanad-nya tidak sampai pada level shahîh, karena terdapat dua perawi hadits yang masih diperdebatkan kredibilitasnya (tsiqah). Sementara hadits yang tergolong shahîh hanya satu, dan itupun isinya tidak mendeskripsikan periodesasi kepemimpinan akhir zaman sebagaimana yang terdapat dalam hadits-hadits lainnya.

Terdapat banyak hadits Nabi yang berkualitas shahîh yang isinya sangat kontradiktif dengan hadits tersebut. Di antaranya adalah hadits yang menyatakan bahwa khalifah hanya berlaku selama 30 tahun setelah Nabi wafat. Sedangkan maksud hadits yang berisi tentang kepemimpinan akhir zaman adalah Khalifah Umar ibn Abdil Aziz dari Bani Umayyah. Hadits lainnya berbicara tentang kepemimpinan akhir zaman yang isinya tentang turunnya Isa al-Masih dan Imam Mahdi. Hadits-hadits tersebut bersifat prediktif, dan sama sekali tidak berbentuk perintah untuk menegakkan khalifah.

Sementara yang dimaksud dengan ‘ala minhaj al-nubûwwah adalah cara-cara yang ditempuh oleh Nabi Saw. secara substansial untuk menyempurnakan keadilan. Menurut Mulla Ali al-Qari, yang dimaksud dengan ‘alâ minhaj al-nubûwwah adalah kepemimpinan Isa al-Masih dan Imam Mahdi yang akan turun kelak di akhir zaman yang dapat menegakkan keadilan berdasarkan cara-cara atau metode yang digunakan oleh Nabi Muhammad Saw., bukan sebagaimana yang disangkakan oleh para propagandis tegaknya Khilafah Islamiyah, seperti ISIS, HTI dan sejenisnya.

Para ulama dan tokoh muda Indonesia juga meluruskan makna jihad yang telah direduksi maknanya oleh golongan radikal jihadis menjadi hanya bermakna qitâl (perang atau membunuh). Mengutip pandangan Sayyid Bakr ibn al-Sayyid Muhammad Syatha al-Dimyathi di dalam kitab “Hâsyiyah I’ânah al-Thâlibîn Syarh Fath al-Mu’în”, bahwa jihad tidak identik dengan perang atau membunuh. Di antara makna jihad adalah melaksanakan penyiaran agama, mengajarkan ilmu-ilmu syariat (seperti tafsir al-Qur`an, hadits, fikih, dan sejenisnya), melindungi warga sipil baik dari kalangan umat Muslim, dzimmîy (non-Muslim yang berdamai) dan musta’man (non-Muslim yang melakukan perjanjian perdamaian dengan kaum Muslim) dari marabahaya yang mengancam, menganjurkan dan menyerukan kebaikan serta melarang kemungkaran, menjawab salam dan menebar kedamaian bagi umat manusia.

Begitu luasnya pengertian jihad, sehingga qitâl (perang) bukanlah tujuan utama jihad. Karena jihad dalam arti qitâl (membunuh atau memerangi) hanyalah wasilah (media/sarana), bukan tujuan. Jihad yang baik dan benar adalah tanpa perang dan pemaksaan. Tujuan dan target jihad adalah tercapainya hidayah, seperti mengajak umat manusia ke jalan yang benar tanpa berperang. Yang demikian itu, justru lebih utama daripada harus berperang, sehingga umat manusia tulus dan ikhlas menerima hidayah. Dan jihad dalam arti qitâl baru boleh dilakukan dalam kondisi darurat, seperti untuk membela diri (jihâd difâ’îy). Jihad dalam arti qitâl tidak boleh dalam kondisi damai.

Selain mereduksi makna jihad diidentikkan dengan qitâl, kaum radikal jihadis termasuk dalam golongan takfiri (gemar mengkafirkan sesama umat Muslim). Ini adalah sebuah ironi, karena kafir adalah sikap mengingkari ketuhanan Allah dan mengingkari apa yang datang dari Rasulullah. Dan para ulama telah bersepakat bahwa orang yang bersaksi atas ketuhanan Allah dan kenabian Rasulullah Saw., maka ia tergolong muslim dan tidak boleh dikafirkan. Orang yang mengkafirkan muslim, maka ia sendiri yang kafir. Sesama umat Muslim tidak boleh saling mengkafirkan.[Mukti Ali]