Pentingnya Kerja-kerja Kolaboratif untuk Pencegahan Perkawinan Anak
PEMERINTAH dinilai tidak bisa bekerja sendiri dalam upaya percepatan pencegahan perkawinan anak yang saat ini masih marak terjadi di masyarakat, baik perdesaan maupun perkotaan. Diperlukan upaya kolaboratif dengan melibatkan berbagai pihak, termasuk masyarakat, dan meningkatkan partisipasi anak dan remaja dalam mendorong implementasi Strategi Nasional Pencegahan Perkawinan Anak (Stranas PPA).
Upaya kolaboratif tersebut bisa dilakukan di antaranya melalui sosialisasi, pendidikan kecakapan hidup, kampanye pencegahan perkawinan anak, mendorong terbentuknya kesadaran masyarakat untuk melakukan pengawasan di lingkungan sekitarnya, melakukan penjangkauan kepada rumah tangga rentan yang berpotensi menikahkan anak di usia anak, melakukan pendampingan bagi korban perkawinan anak atau anak yang mengajukan dispensasi kawin, penguatan pemahaman tokoh agama dan tokoh masyarakat yang menjadi panutan terkait pencegahan perkawinan anak dan kepentingan terbaik bagi anak, serta penguatan kelembagaan perlindungan anak di masyarakat terkait pemenuhan hak-hak anak.
Hal itu terungkap dalam acara dialog nasional bertajuk “Dialog Nasional Upaya Pencegahan Perkawinan Anak di Masa Pandemi” yang diselenggarakan Yayasan Rumah Kita Bersama atas dukungan AIPJ2 pada Kamis, 10 Maret 2022. Dalam acara ini hadir I Gusti Ayu Bintang Darmawati (Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Anak RI), Woro Srihastuti Sulistyaningrum, ST., MIDS. (Direktur Keluarga, Perempuan, Anak, Pemuda dan Olahraga Bappenas), dan Lia Marpaung (Perwakilan AIPJ2).
Sejumlah aktor penggerak PATBM daerah dihadirkan sebagai narasumber. Mereka adalah: H. Abdul Karim (Ketua RW. 06 Kalibaru/Ketua PATBM Kalibaru, Jakarta Utara), Ade Suryati (Kepala Desa Songgom/Motor Penggerak PATBM Desa Songgom, Kab. Cianjur), Gilang Romadan (Remaja Pengurus PATBM Kel. Kalibaru, Kota Jakarta Utara), Miffetin Kholilah (Orang Muda Pengurus PATBM Kel. Kalibaru, Kota Cirebon), dan Yuniar Kailani (Forum Anak Desa Songgom, Kab. Cianjur).
Selain itu, beberapa tokoh juga dihadirkan sebagai penanggap, yaitu: Abu Marlo (Dialog Positive), Rohika Kurniadi Sari, S.H. M.Si. (Asisten Deputi Pemenuhan Hak Anak atas Pengasuhan dan Lingkungan – KPPPA), dan Ciput Eka Purwianti, S.Si. MA. (Asisten Deputi Perlindungan Khusus Anak dari Kekerasan – KPPPA).
Lies Marcoes menyampaikan bahwa Rumah KitaB telah melaksanakan program-program pencegahan perkawinan anak selama delapan tahun terakhir ini. Menurutnya, banyak hal yang sudah dilakukan, namun ada banyak agenda yang masih perlu dilakukan. “Isu kawin anak seperti situasi yang abu-abu. Kita bekerja keras untuk menolaknya, namun masih ada pintu daruratnya seperti dispensasi, anggapan ‘yang penting sah dulu’, dan lainnya,” ungkapnya.
Selanjutnya Lies menjelaskan empat langkah strategis Rumah KitaB dalam pencegahan perkawinan anak. Pertama, riset dan kajian keagamaan. Tidak mungkin berbicara mengenai perkawinan anak kalau tidak berbasis riset. Rumah KitaB memiliki dua jenis riset, yaitu riset sosial dan sosial-keagamaan. Kedua, membisingkan isu. Rumah KitaB bekerjasama dengan berbagai media untuk menyosialisasikan kegiatan-kegiatannya. Ketiga, membangun kesadaran melalui penyusunan modul, kajian, pelatihan, dan pemberdayaan. Keempat, advokasi dua arah (politik hukum-norma agama) di tingkat kabupaten. Rumah KitaB telah melakukan advokasi kepada pemerintah dan juga ormas keagamaan.
Lies sangat berharap masyarakat di komunitas dapat melanjutkan program ini. Sebab keberlanjutan upaya pencegahan perkawinan anak ada di tangan mereka.
Senada dengan yang disampaikan Lies, Lia Marpaung berbicara mengenai pentingnya pelibatan masyarakat secara terpadu melalui gerakan perlindungan anak yang dikelola sendiri oleh masyarakat. Kerja-kerja tokoh masyarakat di level komunitas perlu terus didorong dan direkognisi. Pelibatan remaja dan anak muda sebagai agen perubahan di daerah perlu terus dipastikan ada dan menguat, karena pada prinsipnya apa yang dilakukan itu adalah demi memastikan perlindungan bagi anak-anak dan menciptakan masa depan anak Indonesia yang jauh lebih baik dan terbebas dari praktik perkawinan anak.
“Perkawinan anak merupakan pelanggaran hak anak terlengkap, khususnya anak perempuan, karena mereka menjadi rentan kehilangan hak atas pendidikan, kesehatan, mengalami kekerasan dan tereksploitasi, tercabut untuk mendapat kebahagiaan masa anak-anak, dan masuk lebih dalam pada perangkap kemiskinan. Dan untuk itu tidak ada alasan pembenaran apapun untuk melanggengkan budaya dan praktik perkawinan anak. Itu sebabnya kerja kolaborasi lintas pemangku kepentingan dalam upaya pencegahan perkawinan anak adalah penting dan perlu terus dilakukan. Hal ini akan semakin membuka lebih lebar dan lebih dalam ruang-ruang dialog dan kemitraan dalam upaya pencegahan perkawinan anak di Indonesia,” tambahnya.
Lia menegaskan bahwa kerja-kerja seperti yang dilakukan Rumah KitaB dapat berkontribusi mendukung implementasi 3 dari 5 pilar utama Stranas, yakni Pilar 1: optimalisasi kapasitas anak melalui tindak lanjut regenerasi dan penguatan kapasitas anak. Pilar 2: memastikan terciptanya lingkungan yang mendukung pencegahan perkawinan anak, dan Pilar 3: terkait aksesibilitas dan perluasan layanan, melalui penguatan dan mendorong adanya lembaga perlindungan anak sebagai lembaga layanan yang efektif dan mudah diakses oleh masyarakat serta mendukung pemerintah daerah mewujudkan Kabupaten/Kota Layak Anak.
Direktur Keluarga, Perempuan, Anak, Pemuda dan Olahraga Bappenas RI Woro Srihastuti Sulistyaningrum menyampaikan komitmen pemerintah dalam upaya pencegahan perkawinan anak yang tertuang dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2020-2024, Rencana Kerja Pemerintah 2022, dan Sustainable Development Goals (SDGs). Ia menegaskan, “Sebagaimana tertulis dalam dokumen RPJMN, pemerintah sudah menyiapkan satu strategi untuk menurunkan angka perkawinan anak. Yaitu penguatan koordinasi dan sinergi upaya pencegahan perkawinan anak dengan melibatkan berbagai pihak.”
Menurutnya, ada lima strategi pencegahan perkawinan anak dalam Stranas PPA. Pertama, optimalisasi kapasitas anak penguatan regulasi dan kelembagaan penguatan koordinasi pemangku kepentingan memastikan anak memiliki resiliensi dan mampu menjadi agen perubahan. Kedua, lingkungan yang mendukung pencegahan perkawinan anak membangun nilai dan norma yang mencegah perkawinan anak. Ketiga, aksesibilitas dan perluasan layanan menjamin anak mendapat layanan dasar komprehensif untuk kesejahteraan anak. Keempat, penguatan regulasi dan kelembagaan penguatan koordinasi pemangku kepentingan memastikan anak memiliki resiliensi dan mampu menjadi agen perubahan menjamin pelaksanaan dan penegakan regulasi terkait pencegahan perkawinan anak serta meningkatkan kapasitas dan optimalisasi tata kelola kelembagaan. Kelima, penguatan koordinasi pemangku kepentingan memastikan anak memiliki resiliensi dan mampu menjadi agen perubahan menjamin pelaksanaan dan penegakan regulasi terkait pencegahan perkawinan anak serta meningkatkan kapasitas dan optimalisasi tata kelola kelembagaan meningkatkan sinergi dan konvergensi upaya pencegahan perkawinan anak.
Sementara itu, Menteri KPPPA, I Gusti Bintang Darmawati, dalam pidato kuncinya menyatakan bahwa perkawinan anak adalah praktik yang dapat mencoreng seluruh hak anak. “Perkawinan anak merupakan salah satu tindak kekerasan terhadap anak dan merupakan bentuk pelanggaran hak asasi manusia. Resiko perkawinan anak pada perempuan jauh lebih tinggi daripada perkawinan anak pada laki-laki,” sambungnya.
Ibu Menteri meminta perkawinan anak harus menjadi perhatian semua pihak karena dampaknya yang begitu masif. Anak yang menikah memiliki kerentanan dalam mengakses pendidikan (putus sekolah), kesehatan (angka kematian ibu, angka kematian anak, stunting, dan lainnya), ekonomi (pekerja anak, upah rendah, kemiskinan), dan lainnya (KDRT, identitas anak, dan lainnya). Terlebih saat ini Indonesia dan bahkan dunia sedang menghadapi pandemi Covid-19.
Ia menyebutkan hasil studi United Nations Population Fund (UNFPA) dan United Nations Children’s Fund (UNICEF) yang menunjukkan, resiko anak perempuan untuk dinikahkan semakin tinggi dalam situasi pandemi Covid-19. Bahkan, menurutnya, UNFPA memprediksi akan terjadi sekitar 13 juta perkawinan anak pada rentang waktu 2020-2030, termasuk di Indonesia akibat masa bencana pandemi ini.
KPPPA dan Bappenas RI dengan dukungan dari berbagai lembaga terkait, lanjutnya, telah menerbitkan Strategi Nasional Pencegahan Perkawinan Anak (Stranas PPA) di awal 2020 lalu. Gerakan bersama pencegahan perkawinan anak juga telah diluncurkan kembali pada 31 Januari 2020 dengan melibatkan 17 kementerian/lembaga, pemerintah daerah, lembaga masyarakat, dunia usaha, media, dan tokoh agama. Program ini sejalan dengan studi terakhir Rumah KitaB yang mengatakan bahwa upaya penurunan perkawinan anak membutuhkan daya dukung dan partisipasi warga, serta kelompok berkepentingan strategis yang berbekal kemampuan lengkap. Untuk menciptakan sistem perlindungan yang holistik dibutuhkan pelibatan anak-anak, remaja, dan kaum muda sendiri. Berpartisipasi dalam pembangunan merupakan salah satu hak dasar anak. Selain itu, untuk tercapainya pembangunan yang berkelanjutan maka tidak boleh ada satu pihak pun yang ditinggalkan pendapatnya. Melibatkan anak dalam upaya penghapusan perkawinan anak adalah hal yang krusial.[]