Pos

Hijrah

Oleh Jamaluddin Mohammad

 

“setiap benih yang kau tanam di Indonesia pastilah tumbuh”

 Jejak Khilafah —Greg Fealy dan Anthony Bubalo

 

 

Indonesia adalah lahan subur bagi tumbuh dan berkembangnya pelbagai macam aliran, ideologi, ajaran, maupun gerakan keagamaan. Dalam dua dasawarsa terakhir banyak bermunculan aliran dan gerakan keagamaan trans nasional yang model dan coraknya berbeda dengan aliran keagamaan mainstream seperti NU dan Muhamadiyyah. Sebut saja seperti Salafi, Jamaah Tabligh, HTI, ataupun Ikhwanul Muslimin.

 

Mereka gencar melakukan “islamisasi” di segala bidang dan terutama menyasar masyarakat kelas menengah perkotaan. Mereka menganut gaya hidup baru yang mereka sebut dan tandai dengan istilah “hijrah”. Secara bahasa hijrah artinya berpindah dari satu tempat ke tempat lain. Namun, yang dimaksud di sini adalah perpindahan dari kehidupan “belum islami” menuju kehidupan yang islami. Hijrah menjadi trend dan gaya hidup baru dalam beragama.

 

Seorang artis dan model dari komunitas hijrah, Oki Setiana Dewi, baru-baru ini menulis disertasi menyoroti maraknya fenomena hijrah di kalangan artis atau selebriti, terutama aliran atau ajaran keagamaan yang dibawa oleh Salafi dan Jamaah Tabligh. Kedua aliran keagamaan ini berhasil memikat hati kalangan selebriti.

 

Dalam disertasi doktoralnya di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Oki ingin menjawab beberapa pertanyaan: bagaimana respon selebriti hijrah terhadap model dakwah Salafi dan Jamaah Tabligh, seperti apa model dakwahnya, penerimaannya, dan bagaimana ekspresi keagamaan yang dihasilkan oleh Salafi dan Jamaah Tabligh.

 

Pendakwa Salafi membuka pengajian-pengajian kelompok di pelbagai tempat dan komunitas. Materi yang disampaikan meliputi tauhid, adab, fikih, dan sejarah. Metode penyampaiannya melalui ceramah dan diskusi.

 

Sejumlah artis ternama, seperti Mediana Hutomo, Primus Yustisio, Teuku Wisnu, membuka pengajian di rumah masing-masing dengan mengundang ustadz-ustadz Salafi. Atau membuka komunitas pengajian seperti yang dilakukan Derry Sulaiman dan Sakti.

 

Berbeda dengan Salafi, Jamaah tabligh lebih menekankan pada metode khuruj. Yaitu berdakwa dengan mengajak orang pergi ke masjid. Khuruj minimal dilakukan tiga hari dalam seminggu, empat puluh hari dalam setahun, empat bulan sekali seumur hidup.

 

Tak semua artis yang mengikuti pengajian menerima sepenuhnya nilai-nilai maupun ajaran yang diberikan ustadz-ustadz Salafi. Mereka adalah penerima aktif (active receiver): bisa menerima, menegosiasikannya, atau bahkan menolaknya. Yang paling kentara dan kasat mata bentuk penerimaan mereka adalah pada perubahan perilaku dan gaya hidup.

 

Namun, mungkin karena dibatasi cakupan dan ruang lingkup penelitian, disertasi ini tak menjawab apa dampak ajaran ini bagi individu maupun komunitas? Karena itu, guna melengkapi disertasi ini maka perlu membaca penelitian Rumah KitaB tentang ancaman fundamentalisme terhadap perempuan.

 

Berdasarkan penelitian di lima kota (Jakarta, Bekasi, Depok, Bandung, Solo), setidaknya ada tiga temuan Rumah KitaB terkait ajaran keislaman fundamentalis. Pertama, mereka menganggap perempuan sebagai sumber fitnah. Perempuan adalah sumber kekacauan sosial. Karena itu, tubuhnya harus ditutup rapat, tidak boleh keluar rumah, harus mendapat kontrol dan pengawasan suami/orang tua.

 

Kedua, karena ia dianggap sebagai sumber fitnah, maka fitrah perempuan adalah di dalam rumah (domestikasi perempuan), ia tak boleh bekerja atau melakukan aktivitas di luar rumah. Dan ketiga, akibat kedua ajaran tersebut, perempuan kehilangan otoritas tubuhnya: harus cepat menikah, poligami, sunat perempuan, dll.

 

Akibatnya, perempuan mengalami kekerasan ekstrem yang berakibat pada kematian, baik fisik maupun non fisik (jiwa, pikiran, kebebasan, kemandirian). Kekerasan itu terus menerus dilakuakn (everyday oppression) melalui indoktrinasi fitnah dan fitrah perempuan itu. Sehingga pada akhirnya menimbulkan rasa takut, rasa bersalah, rasa tak berdaya, dan ketergantungan terhadap laki-laki.

 

Awalnya, fenomena model keberagamaan yang dibawa aliran salafi ini hanya menyasar pada kelompok elit dan masyarakat kota (urban). Tapi, karena didukung kekuatan media dan banyak diikuti publik figur seperti artis, ia mulai merambah pedesaan.

 

Satu lagi, mengapa ajaran salafi mudah diterima dan diminati kelompok menengah dan kalangan artis? Karena ajaran Salafi berkawan dan berkawin dengan kapitalisme. Gerakan Hijrah Fest hanyalah salah satu contohnya. Wallahu a’lam bi sawab

Bukan Mudik, Tapi Kembali ke Fitrah

BEBERAPA hari ke depan bulan Ramadhan yang diklaim sebagai bulan suci ini akan usai. Umat Muslim akan merayakan hari Idul Fitri alias lebaran. Seperti biasa, gema takbir akan terdengar bersahutan memehuhi rongga langit dan menyusupi sudut-sudut gelap kehidupan. Rasa bahagia yang menyesaki dada terpancar dari raut wajah setiap insan. Bermacam makanan terhidang di meja setiap rumah dengan aromanya yang khas dan nyaman.

Senyum sumringah yang setia menghias di bibir disertai pakaian indah mewangi nan menarik perhatian yang membalut tubuh, bersalam-salaman, bermaaf-maafan, silaturrahim, dan mudik atau pulkam (pulang kampung) bagi yang berada di luar wilayah asal merupakan formalitas yang harus dilakukan ketika merayakan hari lebaran.

Idul Fitri. Inilah nama hari kemenangan yang setiap tahun dirayakan oleh umat Muslim di seluruh penjuru dunia. Sebetulnya, bila ditilik secara bahasa, Idul Fitri memiliki signifikasi spiritual sangat mendalam; kembali suci. Artinya, setelah sebulan penuh melaksanakan ibadah puasa di bulan Ramadhan îmân-an wa ihtisâb-an, maka setiap muslim dianggap telah kembali kepada kesucian rohani dan jasmaninya.

Demikianlah sejatinya makna Idul Fitri seperti telah digariskan oleh agama. Namun secara riil, di alam nyata, adakah makna Idul Fitri begitu adanya? Kalau kita baca di beberapa media massa tentang pencurian, pembunuhan, dan aksi-aksi kriminal lainnya yang terjadi tepat ketika aroma lebaran mulai memburai menyegat hidung, makna hakiki Idul Fitri sebagaimana disebutkan di atas jelas-jelas tidak terasa. Aksi-aksi kriminal itu telah menegasikannya.

Makna Idul Fitri yang saat ini tengah mengemuka dan menjadi trend di mana-mana adalah mudik bin pulkam (pulang kampung). Demi kumpul bersama keluarga, orang-orang mulai dari pejabat, artis, mahasiswa/i, karyawan dan pedagang tidak takut mengeluarkan duit untuk membeli tiket bus dan pesawat yang harganya melangit, bahkan ada yang rela berebut memasuki kereta api yang sesak.

Jadi nampak sekali, betapa Idul Fitri tidak lagi dimaknai “kembali kepada kesucian”, tetapi “kembali ke kampung halaman”. Sebenarnya, kalau direnungkan secara jernih, aktivitas mudik dalam konteks Idul Fitri tidaklah penting, sehingga tidak perlu diperjuangkan mati-matian apalagi sampai jadi korban. Sebab di luar momen itu acara mudik tetap bisa dilakukan tanpa harus kehilangan kontak batin dengan sanak famili di kampung halaman.

Seperti dikemukakan di awal tadi, hal yang harus lebih diutamakan dalam momen Idul Fitri adalah kesucian jiwa dari segala noda dan dosa. Sebab inilah yang selalu ditekankan agama melalui teks-teks normatifnya, baik dari al-Qur`an maupun al-Sunnah.

Bulan Ramadhan adalah bulan pembersihan sekaligus pengisian diri. Dalam artian bahwa selama satu bulan penuh umat Muslim diwajibkan menjalankan ibadah puasa dengan spirit perjuangan, yaitu perjuangan melawan hawa nafsu, tidak makan dan tidak minum, menahan amarah, dan hal-hal lain yang dapat merusak kesucian (pembersihan) di satu sisi, juga perjuangan berbuat amal kebajikan demi meraup pahala yang sebanyak-banyaknya (pengisian) di sisi lain.

Nah, ketika jiwa seorang sudah bersih dari berbagai noda dan dosa, maka ia termasuk dalam golongan al-‘Â`idîn (orang-orang yang kembali [ke fitrah]). Sedangkan bila jiwanya telah terisi dengan cahaya sebagai manifestasi pahala-pahala amal kebajikan yang dilakukannya, maka dia termasuk golongan al-Fâ`izîn (orang-orang yang menang dan berhasil [meraih banyak pahala]). Kedua hal ini, al-‘awdah (hal kembali [kepada fitrah]) dan al-fawz (kemenangan/keberhasilan [meraup banyak pahala]), harus sama-sama diupayakan oleh setiap muslim selama bulan puasa. Yang pertama lebih bersifat personal (hubungan vertikal dengan Allah), adapun yang kedua lebih bersifat sosial (hubungan horizontal dengan sesama). Keimanan personal kepada Tuhan tanpa disertai kebajikan sosial kepada sesama manusia tidaklah berarti apa-apa, demikian juga sebaliknya.

Memang ada benarnya apabila orang yang menjalankan ibadah puasa dengan sungguh-sungguh dan mengharap keridhaan dari Tuhan, begitu Idul Fitri tiba, ia dianggap suci dan bersih layaknya bayi yang baru lahir tanpa dosa. Tapi ingat, bayi tidak mempunyai kebajikan apapun, sehingga kesuciannya menjadi tidak berguna. Jadi, kesamaan orang yang telah menunaikan kewajiban puasa penuh kesungguhan dengan bayi yang baru lahir hanya pada satu sisi, yaitu sisi kesucian personalnya saja. Ini berarti orang yang berpuasa lebih baik dari bayi, sebab dia memiliki nilai plus berupa kebajikan sosial.

Dari itu, sangat tidak dibenarkan kalau ada orang ketika lebaran menjelang hanya sibuk mempersiapkan keperluan untuk mudik, sehingga aspek yang lebih penting dari itu, yaitu kesucian dirinya dan kualitas amal kebajikannya kepada sesama, menjadi terabaikan. Maka hilanglah makna Idul Fitri yang sebenarnya, dan ia tidak termasuk ke dalam golongan al-Â`idîn wal Fâ`izîn yang sejatinya sangat diharapkan setiap orang yang menjalankan ibadah puasa.

Maka perlu kiranya ditegaskan kembali, bahwa mudik menjelang lebaran tidak mesti dilakukan. Silaturrahim dengan keluarga tidak harus dilakukan dengan bertemu langsung, bisa saja melalui alat-alat komunikasi yang kini telah tersedia secara bebas. Telephon/HP adalah salah satu dari sekian sarana komunikasi yang bisa digunakan untuk bersilaturrahim dan bermaaf-maafan dengan keluarga di kampung halaman. Dan ini tentu saja, di samping untuk menghemat biaya karena sarana transportasi membutuhkan ongkos yang sangat mahal, juga, yang lebih penting, untuk tidak mengganggu ketenangan kita dalam melaksanakan ibadah puasa.[]