Pos

Mengurai Benang Visi Kekhalifahan dan Misi Pelestarian Lingkungan

Indonesia adalah negara dengan populasi umat Muslim terbesar kedua di dunia, setelah Pakistan. Terdapat lebih dari 230 juta penduduk Muslim di Indonesia, yang setara dengan 87,2% dari keseluruhan populasi. Namun, di saat yang sama, Indonesia menempati peringkat kelima sebagai negara penghasil sampah terbesar di dunia, ketiga sebagai penyumbang sampah plastik terbesar di laut, dan kesepuluh sebagai negara paling berpolusi di dunia. Pertanyaannya, mengapa hal ini bisa terjadi?

Islam dikenal sebagai agama yang bersih, yang menekankan nilai-nilai menjaga lingkungan serta menolak segala praktik yang merusak alam. Mengapa permasalahan lingkungan justru muncul dari negara yang hampir 88% populasinya beragama Islam? Ini jelas bertolak belakang dan “tidak masuk akal.” Seharusnya, Indonesia menjadi salah satu negara paling bersih, ramah lingkungan, dan bebas polusi.

Visi Kekhalifahan

Terdapat satu visi utama mengenai tujuan diciptakannya manusia. Hal ini telah disebutkan dalam Al-Qur’an Surah Al-Baqarah ayat 30 yang berbunyi:

“Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat, ‘Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi.’ Mereka berkata, ‘Mengapa Engkau hendak menjadikan (khalifah) di bumi itu orang yang akan membuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah, padahal kami senantiasa bertasbih dengan memuji-Mu dan mensucikan-Mu?’ Tuhan berfirman, ‘Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui.'” (QS. Al-Baqarah: 30)

Ayat ini dengan jelas menyebutkan bahwa manusia diciptakan sebagai khalifah atau pemimpin di muka bumi. “Khalifah fi al-Ardh” merujuk pada makna sebagai wakil Tuhan di bumi. Sebagai wakil Tuhan, manusia diharapkan untuk berperilaku dengan cara yang mencerminkan nilai-nilai kebaikan Tuhan, yang menciptakan, merawat, memelihara, dan melestarikan alam serta segala isinya.

Ayat ini juga mengandung amanat bahwa manusia bertanggung jawab untuk memimpin dan menjaga segala sesuatu yang telah Allah titipkan, termasuk alam. Allah menciptakan alam dan seisinya untuk kemaslahatan manusia. Sebagai manusia, kita memiliki kewajiban untuk menjaga dan merawat apa yang telah Allah berikan demi kelangsungan hidup. Tuntutan menjadi pemimpin yang bijaksana dan memegang amanah harus dipegang teguh, bukan malah menjadi pemimpin yang serakah, rakus, dan sombong.

Pelestarian Lingkungan

Konsep menjaga alam dan lingkungan sejatinya sesuai dengan cara bermuamalah yang diajarkan oleh Rasulullah. Dalam Islam, terdapat tiga ajaran utama dalam bermuamalah, yaitu hablumminallah (hubungan manusia dengan Tuhan), hablumminannaas (hubungan manusia dengan manusia), dan hablumminalalam (hubungan manusia dengan alam). Sayangnya, masyarakat kita cenderung hanya fokus pada poin pertama dan kedua, sementara poin ketiga seringkali terabaikan.

Kesenjangan ini menyebabkan adanya ketidakselarasan antara ajaran agama dan praktik kehidupan sehari-hari. Ketika umat Muslim di Indonesia tidak menjalankan tanggung jawab lingkungan seperti yang diperintahkan dalam Al-Qur’an, maka ajaran mengenai hablumminalalam tidak diterapkan dengan baik. Ini menunjukkan bahwa kesadaran akan pentingnya menjaga lingkungan sebagai bagian dari iman dan ibadah masih kurang.

Dengan pemahaman bahwa menjaga lingkungan adalah bentuk ibadah dan tanggung jawab khalifah, seharusnya Indonesia bisa menjadi contoh dalam pelestarian alam. Tantangan terbesar adalah bagaimana mengintegrasikan ajaran agama yang kaya akan nilai-nilai keberlanjutan lingkungan ke dalam kesadaran dan perilaku sehari-hari masyarakat.

Tanpa kesadaran ini, nilai-nilai lingkungan dalam Islam hanya akan menjadi retorika tanpa aksi nyata. Oleh karena itu, diperlukan upaya yang lebih serius untuk mendidik masyarakat tentang pentingnya menjaga alam, baik melalui pendekatan agama, kebijakan pemerintah, maupun gerakan sosial yang lebih luas.

Ust. Hambali

Tokoh Agama Inspiratif Perlindungan Anak

PEMILIK nama lengkap Baginda Hambali Siregar, M.Pd., disapa akrab Ustadz Hambali, merupakan warga keturunan Padang Sidempuan, Tapanuli Selatan. Ayahnya menetap di Jakarta pada tahun 1960, dan Ustadz Hambali sendiri dilahirkan di Jakarta pada 29 Mei 1980.

Ustadz Hambali mengenyam pendidikan formal dari SD hingga SMA di Jakarta. Pendidikan S1 dan S2 ditempuhnya di UIN Syarif Hidayatullah Tangerang Selatan. Ia juga pernah nyantri di Pondok Pesantren Darus Sunnah Ciputat yang diasuh langsung oleh Alm. Prof. Dr. KH. Ali Mustafa Ya’qub, mantan Imam Besar Masjid Istiqlal. Selain itu, ia juga pernah nyantri di Pesantren Riyadlul Mubtadi’in Pandeglang, Banten.

Beberapa pendidikan non formal lainnya yang pernah diikuti, yaitu pelatihan dakwah calon mubaligh Yayasan At-Taufiq Jakarta, Madrasah Diniyah Ula dan Madrasah Diniyah Tsani di Yayasan At-Taqwa Jakarta.

Di Kalibaru Ustadz Hambali adalah tokoh agama yang popular. Santri pengajiannya berjumlah ratusan orang, yang terdiri dari jamaah perempuan, kaum muda, remaja, dan anak-anak. Ketokohannya diakui oleh masyarakat Kalibaru. Kendati demikian, ia tidak tergoda untuk aktif di dalam kepengurusan salah satu ormas keagamaan seperti kebanyakan tokoh agama lainnya di Kalibaru.

Sebagai jalan dakwahnya, ia lebih memilih aktif dalam kegiatan-kegiatan di luar ormas keagamaan, di antaranya menjadi pengurus RW. 006 Kelurahan Kalibaru, pengurus PATBM (Perlindungan Anak Terpadu Berbasis Masyarakat) Kelurahan Kalibaru, pembina remaja masjid di RW. 006 Kelurahan Kalibaru, pengurus DKM masjid, serta pengajar Taman Pendidikan Al-Qur`an Kalibaru dan SMAN 73 Jakarta.

Dalam sektor usaha dan entrepreneur, Ustadz Hambali bersama istri mengelola dan mengembangkan butik di Kelurahan Kalibaru.

Selama bekerja di dunia pendidikan, Ustadz Hambali giat mendakwahkan pentingnya pendewasaan usia pendidikan kepada para anak didiknya untuk meningkatkan kualitas masa depan anak-anak dan remaja di Jakarta Utara.

Kini, dakwahnya terkait pendewasaan usia pendidikan semakin bertambah seiring dengan keterlibatannya dalam kepengurusan PATBM Kelurahan Kalibaru yang dibentuk paska pendampingan Rumah KitaB, dan ia dipercaya memimpin Divisi Pencegahan Kekerasan dan Perlindungan Anak.

Berbagai kegiatan terkait perlindungan anak telah ia lakukan, baik dalam upaya pencegahan kekerasan terhadap anak maupun penanganan anak yang menjadi korban kekerasan. Sosialisasi dan edukasi ia lakukan di berbagai komunitas, termasuk di level Kecamatan Cilincing yang meliputi 7 kelurahan: Kalibaru, Cilincing, Marunda, Sukapura, Rorotan, Semper Timur, dan Semper Barat. Sosialisasi juga ia di level komunitas terkecil yaitu komunitas remaja/pelajar, serta komunitas orangtua di Kelurahan Kalibaru.

Sejak tahun 2019, Ustadz Hambali bekerja dengan komunitas dalam penanganan anak korban kekerasan, bekerjasama dengan P2TP2A Jakarta Utara dan PPA Polres Metro Jakarta Utara, baik sebelum dan sesudah tergabung dalam kepengurusan PATBM Kelurahan Kalibaru.

“Keikutsertaan saya dalam PATBM bukan karena saya merasa sebagai aktivis organisasi, tetapi semata-mata sebagai bentuk pengabdian saya di jalan dakwah dan sebagai ibadah untuk menyebarkan syiar agama,” kata Ustadz Hambali.

Menurut Ustadz Hambali, ibadah itu tidak saja berupa tindakan spiritual individu, tetapi justru harus lebih banyak diejawantahkan dalam bentuk kegiatan-kegiatan sosial yang berkontribusi positif menghindarkan masyarakat dari kemafsadatan serta membantu mereka meraih kemaslahatan, misalnya terlibat dalam upaya perlindungan anak dan pencegahan perkawinan anak demi menyelamatkan masa depan anak itu sendiri.

Tantangan dan hambatan dalam upaya pencegahan perkawinan anak dan penanganan korban kekerasan kerap dihadapi Ustadz Hambali. Pertama, masih adanya tokoh agama yang menolak pencegahan perkawinan usia anak dan membutuhkan waktu proses advokasi yang tak sedikit. Kedua, tidak adanya dukungan anggaran dari pemerintah Provinsi DKI Jakarta, sehingga para penggerak seperti dibiarkan bergerak sendiri. Ketiga, masih maraknya praktik kekerasan seksual terhadap anak yang dilakukan keluarga terdekat. Keempat, tidak tersedianya ruang bermain anak yang menyebabkan tindakan pencegahan terjadinya kekerasan semakin sulit.[AH]

rumah kitab

Merebut Tafsir: Pembebasan

Beberapa hari lalu saya diundang sebuah kelompok peneliti yang studi tentang analisis ceramah-ceramah keagamaan dalam mengkonstruksikan konsep keluarga. Salah satu yang menarik mereka, soal fenomena ajakan masuk surga sekeluarga. Itu semacam paket wisata lengkap dengan bekal wisata yang harus disiapkan (dan tentu berbiaya).

Dalam materi dakwah tentu saja itu hal penting. Berguna untuk memotivasi ibadah anggota keluarga, membangun kebersamaan dan kekompakan dalam keluarga. Juga bermanfaat untuk membangun solidaritas sosial, rasa guyub dan kolektivitas. Dalam keluarga “Nusantara” nilai bersama-sama dalam keluarga itu sangat penting. Di Jawa ada istilah “mangan ora mangan kumpul”, bersama-sama itu seru dan perlu.

Tapi ibadah adalah laku pribadi. Saya jadi ingat nasihat suami ketika saya hendak berangkat sekolah dengan meninggalkan tiga anak, saya begitu bimbang. Ia mengingatkan soal kesendirian dalam hidup.

Menurutnya (dan saya setuju) “manusia lahir sendiri dan kelak pulang pun sendiri. Meskipun salat berjamaah, puasa di bulan yang sama (Ramadan), buka dan sahur bersama-sama, naik haji dengan berjuta umat dari seluruh dunia bersama-sama, Tuhan hanya menilai amalan, keikhlasan dan ketundukkan kita masing-masing: tak berombong-rombong, tak berjamaah, tak berkloter-kloter, tak bersama-sama. (Merebut Tafsir, 153).

Karenanya fastabiqul khairat berlomba dalam kebaikan, harusnya menjadi sarana jalan kebaikan pribadi, tentu dapat dilakukan kolektif, namun diri sendiri yang tahu nilai keikhlasannya. Dalam istilah feminis ada ungkapan “you are nobodies property, you are yourself”, kamu bukan milik siapa-siapa kamu milikmu sendiri”.
Ibadah adalah sarana pembebasan manusia dari belenggu kepemilikan, bahkan atas hidup kita sendiri. Kita bukan milik siapa-siapa, kita milik Sang Empunya hidup! Maka berjuanglah, bertanggung-jawablah untuk pembebasan jiwamu sendiri! Selamat berpuasa !

# Lies Marcoes, 27 April 2021.