Pos

Merebut Tafsir: Kelembagaan Penopang Kawin Anak

Perbaikan regulasi seperti menaikkan usia kawin adalah usaha penting tapi tetap tak menyasar akar masalah. Penelitian Rumah KitaB berulang kali membuktikan tentang kelembagaan penopang kawin anak. Dari semua kelembagaan yang terlibat dalam proses perkawinan anak, tak satu pun yang menggunakan sistem hukum atau pengetahuan adat mereka guna untuk mencegah peristiwa itu. Tiadanya upaya untuk menolak atau mencegah perkawinan anak oleh kelembagaan-kelembagaan hukum atau kultural di tingkat desa, sesungguhnya bisa dibaca bahwa dalam upaya-upaya pencegahan itu, mereka anggap tidak (akan) menguntungkan baik finansial maupun moral.

Sebaliknya, ketika perhelatan itu bisa digelar tak peduli kawin bocah, sesederhana apapun perhelatan itu, para pihak yang terlibat, minimal akan mendapatkan makanan selamatan, rokok, upah dan ungkapan terima kasih. Hal yang utama adalah mereka merasa telah menjadi penyelamat muka keluarga dan dusun.

Di dalam situasi itu kita melihat bahwa perkawinan anak bukan hanya disebabkan oleh kemiskinan secara fisik dan karenanya setiap pergerakan uang sekecil apapun dari terjadinya perkawinan anak adalah rejeki, tetapi juga miskin imaginasi dan pemahaman tentang sistem hukum serta imbalan yang akan diterima oleh kelembagaan-kelembagaan itu jika berhasil mencegahnya.

Upaya untuk memberi manfaat langsung atau nilai keuntungan bagi mereka yang mencegah perkawinan anak harus lebih nyata, bukan lagi sekedar imbalan moril. Bisakan pahala sorga bagi mereka yang berhasil mencegah kawin anak jadi materi khutbah, materi ceramah, materi dakwah dan materi jihad? [Lies Marcoes]

Komnas HAM sebut ada pelanggaran HAM terhadap pemeluk aliran kepercayaan

Perempuan Orang Rimba dan anak-anak mereka

Komisi Nasional Hak Asasi Manusia mengindikasikan adanya pelanggaran HAM terhadap para pemeluk agama lokal atau aliran kepercayaan.

Komnas meminta pemerintah Indonesia mengakui dan mengakomodasi semua aliran kepercayaan.

“Ada indikasi pelanggaran HAM selama ini,” kata Komisioner Komnas HAM Sandra Moniaga dalam konferensi pers di Jakarta, Selasa (21/11)

Pelanggaran tersebut, lanjut Sandra, bukan sekedar tidak bisa beribadah sesuai kepercayaan mereka. “Tapi ada hak-hak sipil dan politik lain yang dilanggar,” kata wakil ketua Komnas HAM tersebut.

Masalah aliran kepercayaan di Indonesia kembali mencuat setelah ada putusan Mahkamah Konstitusi pada 7 November 2017.

MK memutuskan bahwa, “Negara harus menjamin setiap penghayat kepercayaan dapat mengisi kolom agama dalam Kartu Tanda Penduduk (KTP) dan Kartu Keluarga (KK)”.

Salah satu kelompok yang mengalami masalah dalam mendapatkan KTP karena kolom agama adalah Orang Rimba. Mereka terpaksa masuk Islam demi mendapatkan kartu identitas.

Salah satu dari beberapa orang Orang Rimba yang akhirnya masuk Islam, demi mendapatkan KTP dan hak-hak yang menyertainya adalah Yusuf. Pasalnya ia bersama Orang Rimba kesulitan mendapatkan fasilitas dasar hidup.

“Pernah ada jenazah warga kami selama enam hari di Rumah Sakit Umum Jambi sampai berbau busuk. Tidak ada yang mengantar jenazah itu karena tidak punya KTP, alamatnya tidak diketahui,” kata Yusuf.

Orang Rimba di Batanghari, Jambi

Komnas HAM, kata Sandra, mengapresiasi putusan MK tersebut karena mengakui agama lokal. “Putusan itu sejalan dengan prinsip hak asasi manusia,” kata dia.

Guru besar antropologi, Sulistyowati Irianto, mengatakan, putusan MK itu harus ditindaklanjuti aparatur pemerintah. Salah satunya dalam hal mengamandemen regulasi yang merugikan kelompok budaya lokal.

Sulistyowati menekankan perlunya setiap warga adat lokal mendapatkan identitas hukum seperti kartu penduduk. “KTP adalah karcis untuk menikmati fasilitas pemerintah,” kata pengajar Universitas Indonesia tersebut.

Sebelumnya, Direktur Jenderal Dukcapil Kementerian Dalam Negeri, Zudan Arif Fakrulloh, mengatakan pemerintah tidak akan memberikan KTP atau KK kepada yang tinggal di hutan.

“Kalau di hutan, kami tidak bisa memberikan KTP. Karena hutan bukan desa atau tempat tinggal. Harus ada kawasan (permukiman)nya. Prinsipnya, alamat tidak boleh di tanah yang bukan peruntukannya.”

Konferensi pers antropolog bersama komisioner Komnas HAM Sandra Moniaga (tengah).

Konsep Ketuhanan yang Maha Esa

Antropolog untuk Indonesia (AuI) dan Asosiasi Antropolog Indonesia (AAI) melihat Ketuhanan yang Maha Esa tidak hanya dimiliki enam agama yang diakui negara. “Budaya lokal di Indonesia punya tradisi luhur tersebut,” kata Ira Indrawardana, antropolog Universitas Padjadjaran Bandung.

Nilai-nilai dalam aliran kepercayaan yang universal, kata Ira, antara lain humanisme, menjaga kelestarian alam, dan berbuat baik terhadap manusia. “Sifat religiusitas itu (sebenarnya) adalah agama,” kata penganut Sunda Wiwitan ini.

Sulistyowati menambahkan komunitas-komunitas lokal bahkan sudah ada sebelum agama-agama datang ke Indonesia. Mereka memiliki kepercayaan masing-masing.

“NKRI (negara kesatuan Republik Indonesia) bukan satu-satunya nation (bangsa). Ada nation-nation kecil yang lebih dulu ada sebelum republik Indonesia,” kata Sulistyowati.

Pria suku Baduy di Banten.

Oleh karena itu, negara harus mengakui semua aliran kepercayaan yang dimiliki semua kelompok budaya di Indonesia. Tidak hanya terhadap 137 kelompok yang sudah terdaftar di pemerintah, tapi seluruhnya yang lebih dari 500 di seluruh Indonesia.

“Pemerintah tidak mengakui (semua) agama adat. Hanya mengakui yang terdaftar dan bersifat organisasi,” ujar Ira.

Sumber: http://www.bbc.com/indonesia/indonesia-42064964

Selamat Hari Anak Perempuan Internasional

Selamat Hari Anak Perempuan Internasional! Today’s Girls, Tomorrow’s Leaders. Plan Internasional, Unicef dan Jaringan AKSI remaja perempuan Indonesia merayakannya dengan mengundang 21 peserta dari seluruh Indonesia, 3 diantaranya survivor dari pesantren di Cirebon dan Sumenep dan 1 santri berprestasi dari Cipasung. Tema IDG tahun ini ” Sehari Menjadi Menteri: rekomendasi remaja atasi perkawinan Anak”. Pagi ini ke 21 anak-anak remaja perempuan dan lelaki akan  berada di KPPA menyelenggarakan rapat pimpinan untuk melahirkan rekomendasi. Sore nanti mereka akan diterima dan berdialog dengan ibu Sinta Nuriyah di Ciganjur. Rumah Kitab menjadi satu lembaga pelaksana kegiatan IDG. Hormati hak anak penuhi kebutuhannya untuk tumbuh kembang secara sehat dan bermartabat#kawinanakbukansolusi