Hukum Shalat Jum’at di Tengah Wabah Covid-19 (Bagian 2)
Analisis Maqashid Al-Syariah
Allah Swt. berfirman,
ولا تُلقوا بأيديكم إلى التهلكة
Artinya: “… dan janganlah kamu jatuhkan (dirimu sendiri) ke dalam kebinasaan dengan tangan sendiri” (QS. Al-Baqarah, 2:195)
Bila kita memaksakan shalat jumat dalam situasi ini, shalat jum’atnya sah namun saat itu juga kita melakukan perbuatan dosa yaitu menjatuhkan diri kita ke dalam risiko besar tertularnya Covid-19. Bila sepulang jum’at kita tertular, lalu kita pulang ke rumah, di sana terdapat isteri dan anak-anak atau orang tua kita yang semua kita sayangi, lalu mereka semua tertular, dan na’udzubillahnya anggota keluarga yang tertular itu ada yang meninggal disebabkan kita sebagai pembawa Covid-19, maka kita tidak saja menjatuhkan diri kita ke dalam kerusakan tetapi juga mengorbankan orang-orang yang tercinta. Saat itulah perempuan dan anak-anak berisiko besar menjadi korban karena memaksakan suatu ibadah yang di mana Nabi Muhaamad Saw., pernah tidak memaksakan diri melaksanakan shalat Jum’at agar kaum muslimin tidak terancam hidupnya.
Allah Swt berfirman,
فَاتَّقُوا اللَّهَ مَا اسْتَطَعْتُم …
Artinya : “Maka bertakkwalah kamu kepada Allah menurut kesanggupanmu…” (Q.S. At-Taghabun, 64:16)
…وَمَا جَعَلَ عَلَيْكُمْ فِي الدِّينِ مِنْ حَرَجٍ
Artinya : “.. Dia (Allah) tidak menjadikan kesukaran untukmu dalam beragama”.(QS. 22:78)
Karena itu pelaksanaan shalat jum’at satu sisi merupakan kewajiban, namun di sisi lain kita juga memiliki kewajiban menjaga hidup kita dan memiliki kewajiban menjamin kehidupan orang-orang yang kita cinta; pasangan (suami-isteri) anak-anak, orang tua (ibu dan Bapak), dan lainnya. Kewajiban memelihara kehidupan, baik terhadap pribadi maupun orang lain adalah perintah syariat, yang dikenal denga ”hifdzu al-nafs”, Imam al-Haraimn Al-Juwani (w.478H) di dalam kitab Al-Burhan fi Ushul Al-Fikhi dan Ghiyatsu al-Umam, Abu Hamid Al-Ghazali (w. 505H) di dalam kitab Al-Mustashfa dan di dalam kitab Syifau Al-Ghalil begitu juga ’Izzuddin ibn Abdussalam (w. 585H) dalam kitab Qawâ’idu al-Ahkâm fȋ Mashâlihi Al-Anâm hingga Imam Al-Syathibi (w.790H) dalam kitab Al-Muwâfaqât sepakat bahwa menjaga/memelihara hidup/jiwa adalah bagian dari maqashid al-syariah (tujuan-tujuan syariat).
عن أبي سعيدٍ سعد بن سنانٍ الخدري رضي الله عنه: أن رسول الله صلى الله عليه وسلم قال: ((لا ضرر ولا ضرار))؛ حديث حسن، رواه ابن ماجه والدارقطني
“Dari Abi Sa’id Sa’ad ibn Sinan Al-Khudri ra., sesungguhnya Rasulullah Saw. bersabda: tidak ada kebahayaan (dalam Islam) dan tidak boleh membahayakan” (Hadits Hasan diriwayatkan oleh Ibnu Majah dan Imam Daruqutni). Imam Malik juga menyertakan hadits ini di dalam kitab Al-Muwatta.
Hadits ini popular dan belakangan menjadi salah satu kaidah dalam kaidah fikih, dan saat ini menjadi rujukan para ulama dalam menciptakan standar maqasid syariah, yaitu bahwa dalam Islam tidak diperkenankan adanya bahaya/madharat.
Pesan dalam hadits ini sangat jelas bahwa Islam sangat tidak menerima umat manusia tertimpa bahaya, dan diharamkan melakukan hal yang bahaya terhadap orang lain.
Berdiam diri di rumah dalam situasi daerah yang terkena wabah Covid-19 seperti Jakarta maka diperintahkan untuk tetap di rumah, agar terhindar dari risiko tertular, dan tidak membawa penularan itu ke dalam rumah, yang berisiko terhadap perempuan, anak-anak, dan balita.
Terdapat kalam menarik dari seorang ulama karismatik di kalangan pesantren di Indonesia dan dunia yang melandasi konsep “tarjihul maslahah”, Al-Imam Jalaluddin Abdurrahman ibn Abi Bakar As-Suyuthi (1445-1505M), ulama kelahiran Mesir tahun 1445Masehi. Dia mengatakan,
فإذا تعارض مفسدة و مصلحة قدم دفع المفسدة غالبا لأن إعتناء الشارع بالمنهيات أشد من إعتنائه بالمأمورات[1]
“Apabila bertentangan mafsadah (keburukan) dan maslahah (kemaslahatan) maka umumnya didahulukan menghindari kemafsadatan, karena perhatian Tuhan lebih besar pada larangan-larangan ketimbang perhatiannya pada kewajiban-kewajiban (perintah)”
Ia menyandarkan kalamnya ini pada hadits Nabi Muhammad Saw.,
إذا أمرتكم بأمر فأتوا منه ما استطعتم و إذا نهيتكم عن شيء فاجتنبوه[2]
”Apabila aku perintahkan suatu perkara kepada kalian maka laksanakan semampu kalian, dan apabila aku larang kalian dari sesuatu maka jauhilah sesuatu itu”.
Pandangan Ulama Kontemporer Terkait Virus Covid-19
Beda zaman beda pula jenis udzur syar’i, namun dari segi standar dan timbangan kemadharatan tentu saja dapat diketahui kemiripan dan kesamaan, dan dampaknya. Dulu belum ada Covid-19, namun usia keluarga coronavirus sendiri usianya lebih lama dari usia Masehi, artinya level kemadharatan dulu dan sekarang adalah sama dan sangat mirip, hanya beda bentuk, dan jenisnya.
Karena itu illat hukum dulu dan sekarang bisa saja sama, dan sangat mudah mengoperasikan standar qiyas di sini sebagaimana saya operasikan dalam tulisan saya ini dan diperkuat dengan gagasan ”tarjihul maslahat” dan ”maqasid syariah”.
Di antara para ulama kontemporer yang dapat dijadikan rujukan, pertama ulama Al-azhar Mesir. Darul Ifta (lembaga fatwa nasional) Mesir telah mengeluarkan fatwa tidak diperbolehkan shalat jumat di tengah wabah Covid-19 sebelum dinyatakan aman bebas dari covid-19.
أكدت دار الإفتاء المصرية إن هناك مجموعة من الأسباب التي يُترخَّصُ بها لترك الجماعة في المسجد بل والجمعة، ومنها أسباب عامة؛ كالمطر الشديد والوحل الذي يُتأذى به وكذا الظلمة التي لا يُبصر بها الإنسان طريقه إلى المسجد، ومنها أسباب خاصة؛ كالمرض، والخوف على نفسه أو ماله أو أهله، وكذلك أكل ما له رائحة كريهة، وأيضًا إذا غلبه النوم، وغير ذلك من الأسباب وما يشبهها.
…
ولا شك أن خطر الفيروسات والأوبئة الفتاكة المنتشرة وخوف الإصابة بها أشد، خاصة مع عدم توفر دواء طبي ناجع لها، لذا فالقول بجواز الترخُّص بترك صلاة الجماعات في المساجد عند حصول الوباء ووقوعه بل وتوقعُّه أمر مقبول من جهة الشرع والعقل، والدليل على أن الخوف والمرض من الأعذار المبيحة للتخلف عن صلاة الجماعة: قول النبي صلى الله عليه وسلم: «من سمع المنادي فلم يمنعه من اتباعه، عذر»، قالوا: وما العذر؟، قال: «خوف أو مرض، لم تقبل منه الصلاة التي صلى» [رواه أبو داود][3]
”Darul Ifta Al-Masriyah (Badan Fatwa Mesir) menegaskan terdapat serangkaian alasan yang dapat merukhshah untuk meninggalkan shalat berjama’ah bahkan shalat jumat, di antaranya ada sebab umum seperti hujan deras, lumpur yang bisa melukai, begitu juga kegelapan (yang pekat) sehingga jalan menuju masjid tidak dapat dilihat oleh manusia, da nada juga sebab khusus seperti sakit, khawatir pada keselamatan nyawanya, hartanya, dna keluarganya, begitu juga makanan yang memiliki bau sangat tidak sedap, ketiduran, dan alasan sejenisnya.
…
Dan tidak diragukan lagi terkait bahaya virus-virus dan epidemi mematikan yang tersebar luas, dan ketakutan terkena infeksi itu lebih parah, terutama ketiadaan obat medis yang bisa menyembuhkan, maka pendapat diperbolehkannya mendapat rukhshah (keringanan) dengan meninggalkan shalat berjama’ah di masjid-masjid ketika epidemi terjadi, dan bahwa alasan itu dapat diterima oleh syariat dan akal/rasional, dalilnya bahwasannya ketakutan dan sakit termasuk udzur yang diperbolehkan meninggalkan shalat berjama’ah. Nabi Muhammad Saw bersabda: ”Orang yang mendengar panggilan, tidak ada yang bisa mencegahnya kecuali udzur. Seseorang bertanya Udzur itu apa saja? Rasulullah menjawab: ”Rasa takut dan sakit” (HR. Abu Dawud).”
Dengan adanya rukhshah ini maka wajib bagi orang yang tinggal di tengah pandemi Covid-19 harus menyepi di rumah dan menghindari keramaian, dan melaksanakan peribadatan di dalam rumah, termasuk shalat lima waktu lazimnya dilaksanakan di rumah, termasuk juga shalat jum’at. Dengan demikian setiap hari jum’at untuk sementara tidak shalat jumat terutama bagi warga Jakarta dan daerah yang terkena pandemi Covid-19, dan menggantinya dengan shalat zuhur.
Perlu diketahui bahwa Badan Fatwa Al-Azhar ini merupakan organisasi perkumpulan ulama Mesir, di dalamnya terdapat para pakar hukum Islam kenamaan, dengan kapasitas istinbat hukum.
Kesimpulan
Pelaksanaan shalat Jum’at di tengah amukan wabah covid-19 disebuah wilayah seperti Jakarta sangat tidak dianjurkan, bahkan perintah menjauhi semua bentuk kegiatan keagamaan yang menghadirkan perkumpulan orang banyak karena risiko tinggi penyebaran Covid-19 yang mengancam keselamatan hidup orang banyak. Dan hal itu dianggap sebagai udzur syar’I, keterhalangan yang dipandang sah dimata hukum Islam.[]
[1] Al-Imam Jalaluddin Abdurrahman ibn Abi Bakar As-Suyuthi, Al-Asbâh wa an-nazhâir, Daru Ihyai Al-Kutubi Al-’Arabiyyah, Indonesia tt. Hal. 62
[2] Al-Imam Jalaluddin Abdurrahman ibn Abi Bakar As-Suyuthi, Al-Asbâh wa an-nazhâir,…, hal. 62.
[3] https://www.youm7.com/story/2020/3/20/%D8%AF%D8%A7%D8%B1-%D8%A7%D9%84%D8%A5%D9%81%D8%AA%D8%A7%D8%A1-%D9%8A%D8%AC%D9%88%D8%B2-%D8%AA%D8%B1%D9%83-%D8%B5%D9%84%D8%A7%D8%A9-%D8%A7%D9%84%D8%AC%D9%85%D8%B9%D8%A9-%D9%88%D8%A7%D9%84%D8%AC%D9%85%D8%A7%D8%B9%D8%A9-%D8%A8%D8%A7%D9%84%D9%85%D8%B3%D8%AC%D8%AF-%D8%A8%D8%B3%D8%A8%D8%A8-%D9%83%D9%88%D8%B1%D9%88%D9%86%D8%A7/4679436, diakses 20 Maret 2020