Pos

Serba Serbi Acara Halal Bihalal Ngaji Ihya: Responsif Gender dalam HBH Ngaji Ihya

Oleh Maghfiroh Abdullah Malik

Aku gak akan nulis serius terkait judul di atas, ojo kecelek atau jangan terjebak.

Cuma mau ngasih saran tema menarik bagi kelian yang suka nulis.

Etapi beneran deh, acara kemarin bagi aku sangat responsif gender banget. Misal, dari awal lomba #KuisNgajiIhya (inikan bagian dari rangakain HBH yah) Mbak Admin Ienas Tsuroiya sangat gusar karena peserta perempuan dalam keikutsertaan kuis sangat minim, walhasil santri ubres perempuan angkatan muhajirat dipepet terus oleh Mbak admin untuk ikutan kuis, akhirnya beneran kepepet, dan menulislah dalam keadaan kepepet, makanya wajar kalau gak ada yang menang… *ngelesnya masoook .

Demikianpun ketika proses persiapan HBH di group panitia, tidak hanya panitia ‘dikuasai’ perempuan dalam hal jumlah, tapi dalam hal perspektif, kami juga menguasai. Seolah-olah sedang praktik analisis gender melalui poster, poster awal yang disodorkan CM aka Masykurudin Hafidz yang notabene laki-laki, langsung dibantai oleh master notulensi pelatihan gender pada masanya, Mbak Jannet Nur Jannah . “Cak bisa gak karikaturnya jangan santri laki-laki semua, ada santri perempuannya…”, tanpa ba-bi-bu, CM langsung ngibrit, meresponnya dengan cepat, “Siap…”. Dan ini yang aku bilang salah satu bentuk responsif gender ; karena si kritikus ini tidak hanya mengidentifikasi isu gender, tapi langsung menawarkan jalan ke luar. Sreeet, kemudian foto santri-santri perempuan sedang mengajipun terkirim. Foto santri-santri perempuan dianggap masih kurang mewakili gambaran ngaji online, diapun mengirimkan lagi foto teks kitab ihya dalam gadget. Dan Menurutku foto-foto tersebut belum mewakili adil gender, maka aku langsung sigap, mengirimkan foto laki-laki dengan tampang urban tetapi solih sedang fokus ngaji ihya di gadetnya. “Biar ada santri putranya…” tambahku singkat.

Perdebatan isu gender belum selesai sampai di sini. CM kemudian mengirim poster alternatif dengan desain yang berbeda. Semuanya memukau, WALAUPUN di mata para perempuan yang mengimajinasikan diri sebagai analist gender selalu ada saja yang kurang. “Cak kenapa fotonya krop-kropan, yang sudah bersatu jangan dipisahkan, kalau mau misah dengan foto lainnya…”, “Cak, kenapa Mbak Admin di urutan terbawah? Jangan lupa Mbak Admin itu memegang peran penting dalam Ngaji Ihya ONLINE ini, bisa gak dipindah posisi biar juga tidak membelakangi suami?”, untung gak diteruskan komentar, ‘nanti dilaknat malaikat sampai pagi’… (Itupun ternyata dilematis karena ternyata pas terpasang di tengah membelakangi Abah, padahal kalau turun lagi ke bawah enggak deh) *alah Mrs. Walaupun.

Perdebatan, lebih tepatnya ‘propaganda’ sih, tentang gender semakin memanas bercampur isu lainnya, entah isu ‘kecemburuan’ atau etika pesantren, “Cak, aku sepakat yang santri putra dipisah, sudah duduk gak pake satir, tampak ndusel-ndusel di santri putri pula…!!!”

Beruntung CM sangat responsif mengakomodir suara kami. Duh, CM ini sudah minoritas memiliki daya tawar tinggi tetapi sangat hormat dan melayani kebutuhan eh keinginan mayoritas. Sungguh akhlak terpuji, Gusti Allah ingkang ngajeni.

Kentalnya pengaruh responsif gender dalam HBH #NgajiIhya tidak hanya tergambar melalui berdebatan poster, melainkan dari berimbangnya laki-laki dan perempuan pengisi acara, kecuali special guests penyedia teks kitab Ihya, yang memang dari sononya laki-laki semua.

Pemberi testimoni perwakilan SO dari 12 peserta terdiri dari 6 perempuan dan 6 laki-laki. Padahal kalau mau memakai representasi SO NgajiIhya yang kalau dilihat dari tayangan FB, sebenarnya SO putri hanya kurang dari 13%. Itu seenggaknya dari hitungan kasar yang ngasih emoticon love di salah satu tayangan NgajiIhya, dari 253 pemberi tanda love hanya 29 yang disinyalir akun milik perempuan. Padahal itu sudah mengandaikan pemberi emoticon love biasanya perempuan.

Sebenarnya angka 12% keikutsertaan perempuan dalam #NgajiIhya online sangat menggembirakan. Mengingat di dunia pesantren, kitab ihya merupakan kitab yang sangat ‘maskulin’. Kitab yang biasanya diajarkan kepada santri putra, pun yang sudah level atas. Makanya keberadaan #NgajiIhya online ini benar-benar memberikan ruang bagi perempuan (santri) untuk menikmati kitab klasik karya laki-laki istimewa, Imam Ghazali.

Oleh karenanya tidak salah, jika perempuan diberi kesempatan yang sama persis secara angka (50:50) dalam memberi testimoni mewakili SO pada HBH kemarin. Karena toh ternyata pengalaman perempuan dalam mengikuti #NgajiIhya lebih beragam; dari urusan sinyal (Helli – Landak Kalbar), domestik (Luluk, Sidoarjo), pekerjaan profesional (Icha), spiritual (Uswah),sampai keingin tahuan perempuan dalam meluaskan cakrawala pengetahuan (Dahlia). Pengalaman – pengalamn tersebut memiliki kekhasannya tersendiri yang mungkin hanya dirasakan oleh perempuan.

Yang paling menyenangkan dari HBH NgajiIhya yang diselenggarakan secara online adalah memungkinkan siapa saja bisa ‘duduk’ di tempat yang sama. Kalau biasanya Ngaji offline perempuan duduk di belakang, atau di samping tapi dibalik satir dan tidak bisa melihat dengan gamblang para pembicara, di Ngaji Ihya online kita semua sama ; bahkan sama posisinya dengan para pembicara ketika beliau-beliau sedang tidak berbicara.

Pun, kita semua merasa diperlakukan sama oleh Poro Alim, mereka menyampaikan ekspresi yang sama memasuki rumah-rumah kita bahkan kamar kita, entah rumah kontrakan, maupun kamar kos-kosan, semuanya mendapatkan keberkahan yang sama.

Wait, ini aku lagi ngomongin apaan sih?kan di atas janjinya cuma kasih saran yak, kok jadi nulis ngalor ngidul gak karuan. Maafkan hamba yang belum bisa moveon dari HBH NgajiIhya. Juga ini disambi menikmati acara HBH lain yang banyak kendala.

rumah kitab

Merebut Tafsir: Ketika Membaca “Iyyaka nasta’iin” 11 kali

Oleh Lies Marcoes

Kemarin malam ( 5 Juni 2020) saya mengikuti acara Halal Bihalal “Ngaji Ihya” yang diampu sahabat hati saya, Gus Ulil Abshar Abdalla dan Mbak “admin” Ienas Tsuroiya. Acara ini sangat meriah, hampir 300 orang hadir. Acara diisi sejumlah testimoni baik dalam bentuk video maupun kesaksian langsung para terundang. Kesaksian-kesaksian yang sangat jujur betapa berartinya acara Ngaji Ihya itu bagi mereka. Sejak pembukaan, saya terus terang menikmatinya sambil berefleksi diri.

Minggu lalu saya menulis sebuah artikel panjang didasarkan review buku Gendered Morality karya seorang Muslim feminis keturunan India Amerika, Prof. Zahra Ayubi. (Lihat: Mengapa Perempuan (Masih) Bertahan dalam (Epistimologi) Islam, Islami.co 29 Mei 2019). Tulisan itu , saya akui merupakan sebuah bentuk keheranan, jika tidak hendak dikatakan gugatan, atas tidak diperhitungkannya kehadiran perempuan dalam bangunan -bangunan epistimologi Islam, termasuk tasawuf !.

Inti tulisan itu menjelaskan bahwa seluruh subyek bangunan epistimologi Islam itu lelaki, untuk lelaki. Ini bukan berarti perempuan tidak dibahas namun mereka diletakkan sebagai obyek untuk mengatur bagaimana seharusnya lelaki bersikap dan bertingkah laku kepada sang obyek. Maka secara kritis kita dapat melihat bagaimana perempuan diposisikan sejak lahir sampai ia mati semuanya demi kehadiran dan kesempurnaan akhlak lelaki. Bagaimana cara lelaki mau mengawini perempuan, misalnya? Bagaimana jika bapaknya tidak ada akibat perceraian. Hukum perkawinan Islam menetapkan sang bapak harus dicari dulu jika perlu sampai ke liang semut sampai terbukti ia tak diketahui rimba dan kuburnya. Dan manakala dinyataan “gaib” kayak dedemit, alih-alih meminta sang ibu jadi walinya, yang jelas-jelas mengandung, melahirkan, mengurusnya hingga sang anak siap dinikahkan, hukum Islam meminta siapa saja lelaki dari pihak bapak, atau bahkan sembarang lelaki asal telah ditunjuk negara, dapat bertindak sebagai wali sang anak perempuan, padahal kenal pun belum tentu, kebanyakan malah tak kenal sama sekali !.

Bangunan epistimologi Islam mengatur dengan sangat rinci bagaimana cara lelaki membangun ahlak/etikanya dalam cara mendekati, menggauli, memberi nafkah, memberi pakaian, bersikap, memerintahkan, mewakili, mau menceraikan, mau mempoligaminya, membagi warisnya, dan seterusnya. Tawaran etika Islam adalah lelaki harus berbuat baik, harus memperlakukan perempuan secara adil, harus maslahah. Namun karena pengalaman perempuan tak dikenali oleh sang subyek, karenanya konsep maslahah sebagai tujuan itu hanya didasarkan pada standar dan parameter yang membangunnya (lelaki). Dan itu terjadi untuk semua tema dalam bangunan epistimologi Islam sejak fiqih, kalam, politik sampai tasawuf yang semula dianggap sebagai the last resort tempat bersemayamnya konsep tentang sifat feminin Tuhan disajikan tanpa malu-malu. Itu pun toh sama saja.

Namun anehnya, sebegitu rupa (pengalaman) perempuan tak dianggap dalam bangunan epistimologi Islam, pada kenyataannya mereka tetap bertahan di dalamnya. Agaknya epistimologi Islam yang basisnya rasionalitas tak mengenali magma yang secara inheren ada dalam agama, yaitu soal rasa. Unsur afeksi, kehangatan, kepasrahan yang muncul dalam pengalaman beragama merupakan tali yang diikatkan pada tubuh dan pengalaman perempuan sehingga mereka teguh kukuh bertahan di dalam dan bersama Islam.

Malam kemarin, dalam acara Halal Bihalal Ngaji Ihya itu, unsur rasa itulah yang menyelimuti keseluruhan acara. Saya menyaksikan para peserta berulang kali mengusap (air) mata dan pipi. Dan saya merasakan puncaknya ketika Gus Mus memimpin doa. Gus Mus meminta agar ketika membaca Fatihah, pada frasa “Iyyaka nasta’iin” (kepadaMulah hamba memohon pertolongan) diulang 11 kali dan masing- masing menyampaikan “kereteg” hatinya sendiri-sendiri.

Itu adalah rahasia masing-masing dengan Tuhan. Tapi di sini saya ingin membuka rahasia. Dalam 11 kali mengulang “iyya kanasta’iin” itu saya ternyata hanya berdoa bagi perempuan-perempuan dalam hidupku: Ibuku yang mungkin ibadahnya tidak sempurna karena begitu banyak beban lahiriahnya sebagai ibu, istri, pengusaha, matriakh dalam keluarga besar; ibu angkatku yang mengajari cinta dan kasih sayang, kakak-kakak dan adik -adik perempuanku, para guru feminisku yang mengajari untuk “wani”, para pengasuh- pembantu ibuku yang “ nunut urip” namun mungkin banyak hak-haknya sebagai manusia terlanggar oleh ibuku; anak perempuanku Tasya Nadyana sahabat rasa, hati dan keluhan; menantu perempuanku Fadilla Dwianti Putri dan Thalita Nafitia Hiramsyah yang telah dan akan melahirkan cucu-cucuku dan akan menjadi tiang gatungan harapan; ibu mertuaku yang telah mengizinkan anak kesayangannya membagi kasih kepadaku, para ART rumah tanggaku sejak berkeluarga hingga kini yang benar-benar telah memungkinkan aku “menjadi” hingga sejauh ini. Tak lupa aku memohon kesehatan keselamatan bagi diriku sendiri dan Ienas Mbak Admin yang memungkinan Ngaji Ihya bisa berjalan dan telah mengisi relung-relung batin para santrinya yang mungkin tak terpuaskan oleh bangunan Epistimologi Islam di luar tasawuf. Kepada merekalah terselip doa dalam 11 kali mengulang kata “iyaaka nasta’iin”itu. Dan karena hanya 11, tak ada sisa untuk para lelaki dalam kehidupan saya, namun biarlah karena bukankah mereka telah dibela Tuhan? Al Fatihah

#Lies Marcoes, 7 Juni 2020.