Pos

Kasus Gus Miftah dan Yati Pesek Sebagai Momentum Stop Normalisasi Candaan Seksisme

Rumah KitaB– Kontroversi seputar olok-olokan Miftah Maulana Habiburrohman atau Gus Miftah terhadap penjual es teh bernama Sunhaji di Magelang berbuntut panjang. Setelah Gus Miftah meminta maaf, muncul kembali video tahun lalu yang tidak kalah geramnya bagi warganet. Di dalam video tersebut, tampak Gus Miftah menggunakan Bahasa Jawa untuk bercanda dengan ibu Suyati atau yang akrab dikenal sebagai ibu Yati Pesek.

Gus Miftah pada intinya memakai istilah tidak pantas yang menghina kaum perempuan. Jujur saya sendiri tidak sampai hati menuliskannya di sini sebab begitu mendiskreditkan perempuan sebagai makhluk yang di mata yang bersangkutan tidak lebih dari sekadar fisik.

Tulisan ini tidak bermaksud menambahkan minyak ke dalam api yang masih membara. Gus Miftah sendiri telah mengundurkan diri sebagai salah satu utusan Presiden Prabowo Subianto dan akan meminta maaf ke ibu Yati Pesek. Saya hanya ingin mengekspresikan betapa masih banyak yang seolah menormalkan candaan seksisme dalam kehidupan sehari-hari. Celakanya, jika tidak segera diputus, alur ini akan secara tidak sadar menimbulkan dampak berkepanjangan bagi perempuan dari berbagai aspek.

Pengertian Seksisme dan Dampaknya

Sebagaimana diambil dari MedicalNewsToday.com, seksisme adalah diskriminasi menurut jenis kelamin seseorang yang dapat menyebabkan banyak perilaku membahayakan. Umumnya, seksisme lebih menimpa ke perempuan atau gadis serta menjadi akar penyebab ketidaksetaraan gender di seluruh dunia.

Perilaku seksisme terbagi ke dalam enam macam, salah satunya adalah seksisme antar pribadi. Hal ini bisa ditemukan dimana saja, seperti di tempat kerja, sekolah, di antara anggota keluarga, dan orang asing di jalan. Yang paling sering kita saksikan di Indonesia dan dimana saja adalah berkomentar tentang fisik seseorang yang dirasa kurang cocok.

Seksisme tidak bisa dianggap enteng, termasuk saat bercanda. Membiarkan perilaku seksisme sama artinya dengan mengizinkan perilaku pelecehan verbal. Bahkan menurut Gender Action Portal dari Universitas Harvard, candaan seksisme, terutama yang merendahkan perempuan, seringkali dinilai tidak membahayakan. Kenyataannya, candaan seksisme menciptakan lingkungan sehingga tercipta stigma secara sosial diizinkan untuk mengekspresikan seksisme dan melakukan kekerasan terhadap perempuan.

Di Indonesia sendiri, peristiwa yang terjadi belum lama ini tersebut membuat miris karena dilakukan oleh seorang petinggi negara sekaligus tokoh agama. Tidak mengherankan jadinya mengetahui bahwa di masyarakat masih banyak yang menormalisasi perilaku tersebut.

Padahal, candaan seksisme masuk ke dalam kategori pelecehan verbal. Selain candaan seksisme, catcalling atau pemanggilan bernada seksisme saat di lingkungan publik masih sangatlah umum. Komisi Nasional (Komnas) Perempuan pada 2024 telah menerima laporan kekerasan verbal hingga 15.621 kasus. Mayoritas kejadian dialami oleh korban saat berada di fasilitas umum, seperti pasar, terminal, bahkan kampus. Kekerasan verbal menduduki posisi ke-3 dalam daftar kekerasan yang diderita perempuan setelah kekerasan fisik, psikis, dan ekonomi.

Saya sendiri meyakini jumlah tersebut lebih banyak yang sesungguhnya terjadi. Tetapi, banyak yang enggan melaporkannya lantaran malu atau takut dengan stigma sosial. Inilah hal yang membuat kekerasan verbal masih merajalela sehingga tetap meredupkan dampaknya yang sangat besar bagi psikis perempuan.

Waktunya Memutus Rantai Normalisasi Candaan Seksisme

Kasus di atas tak pelak membangunkan publik betapa candaan seksisme tidak lagi dipandang remeh. Hidup dan tinggal di negara yang kental dengan budaya patriarki, kita perlu bergerak bersama secara jangka panjang. Berikut contoh solusinya.

Pertama, menegur siapa saja yang melontarkan candaan seksisme. Jangan ragu untuk menegur siapa saja yang Anda dapati memberikan candaan seksisme ke perempuan di tempat umum. Lantanglah bersuara ke mereka yang melakukannya agar tidak lagi merasa tindakan mereka wajar. Usir keraguan untuk melakukan konfrontir jika si pelaku malah merasa tersinggung dan seolah mengajak ribut. Langkah tegas ini kemungkinan dapat menyulut keramaian tetapi kadang kala situasi seperti ini menjadi perlu demi meningkatkan kewaspadaan bersama.

Kedua, bersuara di media sosial. Jika Anda termasuk yang takut menegur secara langsung, gunakan media sosial untuk berkampanye melawan kekerasan verbal. Anda bisa menggunakan desain dan kata-kata sendiri tergantung kreativitas yang dimiliki. Dengan cara sederhana ini, Anda bisa mengajak rekan sesama perempuan agar berani bersuara untuk lingkungan mereka masing-masing. Paling tidak dengan kebersamaan ini perempuan meyakini mereka tidak sendiri berjuang demi tegaknya hak asasi perempuan.

Ketiga, mendidik anak laki-laki agar menghormati perempuan

Pendidikan anti kekerasan verbal sejatinya berakar di rumah. Anda yang sebagai orang tua sebisa mungkin didik dan ajarkan agar anak laki-laki dan perempuan menghormati hak asasi orang lain. Caranya dengan mencontohkan perilaku hormat dan tidak menggunakan kalimat bernada seksisme ke siapa saja, termasuk saat bercanda. Ajak buah hati memilih kata dan kalimat yang aman untuk berkomunikasi, termasuk bercanda ke siapa saja.[]

Beragama Maslahat: Paradigma Baru Maqasid al-Syariah untuk Keadilan Gender

Rumah KitaB- Tulisan ini dilatarbelakangi oleh kegelisahan penulis mengenai perlunya memikirkan kembali konsep maqasid al-syariah yang selama ini menjadi basis utama untuk merumuskan produk baru hukum Islam. Penulis menilai bahwa konsep maqasid lama telah ketinggalan zaman dan perlu merekonstruksi maqasid al-syariah baru yang lebih lengkap dan kontekstual.

Contohnya, prinsip maqasid al-syariah mula-mula dikembangkan dari kajian literatur fikih, dan tidak secara langsung mengambil dari sumber otoritatif seperti Al-Qur’an dan hadits, sehingga cakupan dan perspektif dari maqasid lama menjadi sangat terbatas dan kurang menjangkau nilai-nilai qur’ani yang lebih substansial dan universal.

Sebagai agama, Islam seharusnya dapat memberi maslahat yang seluas-luasnya bagi kehidupan masyarakat. Namun, ketika proyeksi hukum hanya dibatasi pada model maqasid lama, misalnya kebijakan hukum hanya diorientasikan pada perlindungan secara individual pada akal, agama, jiwa, keturunan, dan harga, maka jelas model kemaslahatan ini menjadi sangat terbatas dan tidak mencakup kepentingan umat yang lebih luas.

Kata kuncinya adalah maqasid versi lama hanya membatasi pada kemaslahatan individu dan untuk umat Islam saja. Hal ini menyempitkan peluang Islam dalam memberi solusi dan kemaslahatan pada kehidupan masyarakat yang lebih luas (public interest, commone good). Padahal, kehidupan sosial sekarang ini, dengan adanya negara-bangsa dan globalisasi, umat Islam dihadapkan pada persoalan yang begitu kompleks yang mengharuskan untuk mengkaji ulang produk hukum Islam yang lebih menyentuh pada isu-isu kekinian.

Misalnya menyentuh isu kesetaraan gender, keadilan, hak asasi manusia, kebebasan, dan demokrasi. Maqasid lama ternyata memang benar-benar belum menyentuh isu-isu ini. Padahal sekarang ini isu seputar keadilan gender dan kebebasan menjadi tema yang sangat umum dan menjadi perbincangan akademis di seluruh dunia. Bila gagasan maqasid tidak diubah, dikhawatirkan ajaran Islam akan sangat susah mengakomodir isu-isu global, dan akhirnya Islam makin menjauh dari realitas tanpa memberi solusi yang berarti.

Masalah Utama Umat Beragama

Dalam buku berjudul Multidisiplin, Interdisiplin, & Transdisiplin: Metode Studi Agama dan Studi Islam di Era Kontemporer (2020), Amin Abdullah menuturkan setidaknya ada lima pokok permasalahan tuntutan masyarakat kontemporer yang sering dibicarakan di ruang publik, yang besar pengaruhnya dalam kehidupan umat beragama:

  1. Menyangkut soal pemerataan dan kualitas pendidikan, termasuk di dalamnya pengetahuan keagamaan.
  2. Eksistensi negara bangsa, di mana tidak semua umat beragama merasa nyaman hidup di era negara-bangsa dengan sistem demokrasi.
  3. Pemahaman manusia beragama era modern tentang martabat kemanusiaan.
  4. Semakin dekatnya hubungan antar umat beragama di berbagai negara.
  5. Kesetaraan dan keadilan gender, sebagai akibat dari sistem co-education dan education for all.

Bila dipahami secara sekilas, masalah gender hanya termuat di poin kelima, tetapi bila dipahami secara hierarkis dan keseluruhan, semua poin di atas sesungguhnya sangat berkaitan dengan masalah keadilan gender. Mulai dari kualitas pendidikan, demokrasi, hingga masalah martabat kemanusiaan, semuanya merupakan isu-isu sensitif dalam kajian gender.

Bisa dikatakan bahwa kelima poin tersebut telah membawa perubahan sosial yang begitu dahsyat sekarang ini. Sedang terjadi ‘revolusi kebudayaan’ baik secara diam-diam atau terang-terangan yang berakibat pada pemahaman keagamaan secara konvensional atau tradisional. Untuk itulah, cara baca al-Qur’an dengan pendekatan kontekstual-progresif sangat diperlukan. Sebab, pembacaan kontekstual atas al-Qur’an sangat mempengaruhi bagaimana umat Islam menyikapi berbagai tantangan zamannya, termasuk juga bagaimana hukum Islam dapat relevan untuk setiap problem yang ada.

Dari Perlindungan ke Pengembangan

Pemahaman maqasid al-syariah (tujuan/maksud utama beragama Islam) yang selama ini hanya dipahami secara tradisional harus digeser ke pemahaman maqasid secara kontemporer. Dari yang semula lebih menekankan pada sisi parsialitas dan menekankan kekhususan pada lingkungan intern umat Islam diperluas jangkauannya, tidak sempit, lebih umum, dan universal yang mencakup kemanusiaan dan keadilan universal.

Misalnya, corak maqasid yang dulunya hanya menekankan sisi penjagaan atau perlindungan digeser ke arah maqasid yang bercorak pengembangan. Maqasid yang dulu titik tekannya hanya menekankan pentingnya perlindungan terhadap umat Islam saja bergeser menjadi perlindungan terhadap kemanusiaan universal.

Sebagai contoh, perlindungan yang dulunya hanya fokus pada keturunan bergeser ke perlindungan terhadap keutuhan dan kesejahteraan hidup keluarga. Artinya hak-hak perempuan dan hak-hak anak perlu dan harus dilindungi tanpa syarat. Lebih lanjut, praktik nikah siri, poligami, dan lainnya perlu dijauhi untuk melindungi kesehatan dan kesejahteraan keluarga.

Perubahan paradigma maqasid yang lama ke maqasid yang baru terletak pada titik tekan keduanya. Titik tekan maqasid lama lebih pada perlindungan dan penjagaan, sedang maqasid baru lebih menekankan pada pengembangan dan hak-hak. Dalam upaya pengembangan konsep maqasid baru ini, diperlukan penekanan pada ‘human development’ sebagai target utama dari maslahat.

Paradigma Baru Maqasid al-Syariah

Tidak cukup dengan mengubah orientasi maqasid dari model perlindungan ke pengembangan, banyak ulama modern telah berusaha merekonstruksi ulang konsep maqasid lama dengan menambah beberapa unsur pokok yang disesuaikan dengan kebutuhan dan desakan-desakan zaman.

Menurut Jasser Auda dalam bukunya Maqasid al-Shariah as Philosophy of Islamic Law (2008), setidaknya ada tiga alasan mengapa maqasid lama perlu direkonstruksi ulang:

  1. Maqasid lama lebih berkaitan dengan individu, dibandingkan keluarga, masyarakat, atau umat manusia.
  2. Klasifikasi maqasid lama tidak memasukkan nilai-nilai yang paling umum seperti keadilan dan kebebasan.
  3. Maqasid lama dideduksi dari ‘literatur fikih’, ketimbang sumber-sumber utama syariat (al-Qur’an dan hadits).

Paradigma baru ini merevolusi cara pandang terhadap agama dan hukum Islam. Melalui paradigma maqasid baru ini, keadilan gender menjadi landasan untuk melahirkan produk hukum baru yang lebih ramah terhadap perempuan dan lebih menekankan keseimbangan pada kedua gender. Perspektif keadilan gender harus terus diupayakan sehingga agama ini dapat mewujudkan masyarakat yang adil, setara, dan egaliter.

Kekerasan Seksual terhadap Perempuan dengan Disabilitas


Kekerasan terhadap perempuan penyandang disabilitas terus meningkat setiap tahunnya. Data Komnas Perempuan tahun 2023 mencatat ada 105 kasus kekerasan terhadap perempuan penyandang disabilitas, lebih tinggi dibandingkan kasus tahun 2022 yang berada di angka 72 kasus.

Kasus kekerasan seksual yang terjadi, sebanyak 40 kasus terhadap perempuan disabilitas mental, 33 kasus perempuan disabilitas sensorik (penglihatan, pendengaran, dan bicara), 20 kasus perempuan disabilitas intelektual, 12 kasus perempuan disabilitas fisik.

Data Sistem Informasi Online Perlindungan Perempuan dan Anak (Simfoni PPA) pada sepanjang tahun 2021 terjadi 987 kasus kekerasan terhadap anak penyandang disabilitas. Dari data itu kekerasan seksual menempati urutan tertinggi yang mencapai sebanyak 591 kasus.

Meski begitu, kasus kekerasan diperkirakan sebagai fenomena gunung es. Artinya, kasus yang terlaporkan tetap masih lebih kecil ketimbang kasus yang tidak terlaporkan. Sebab, bukan perkara yang mudah bagi perempuan dan anak perempuan untuk melaporkan kasus kekerasan seksual yang dialaminya.

Budaya dan sistem hukum seringkali masih sulit memberikan rasa keadilan kepada penyandang disabilitas sebagai penyintas kekerasan seksual. Selain pelayanan hukum belum secara keseluruhan memiliki aksesibilitas yang tinggi.

Perempuan penyandang disabilitas sebagai korban kekerasan seksual memang sering mengalami diskriminasi dalam proses penyidikan dan peradilan. Selain itu, proses penyelidikan juga cenderung menemui jalan buntu (Alhamudin Maju Hamongan Sitorus: 2022).

Pada saat sama, masih banyak keluarga yang cenderung abai terhadap perempuan penyandang disabilitas sebagai penyintas kekerasan seksual. Bahkan solusi yang diambil keluarga justru memasang alat kontrasepsi, sehingga yang menjadi urusan bukan tindakan kekerasan seksualnya, melainkan agar perempuan penyandang disabilitas tidak mengalami kehamilan. Belum lagi, manakala pelaku merupakan orang terdekat yang selama ini menjadi pelindung dalam kehidupan keseharian.

Akar Kekerasan
Kekerasan seksual adalah tindakan pemaksaan atau memanipulasi untuk melakukan tindakan seksual yang tidak diinginkan tanpa izin. Penyintas kekerasan bisa siapa saja, anak-anak, remaja, dewasa, dan orang tua, termasuk penyandang disabilitas. Sementara pelakunya bisa orang asing, tetapi sebagian besar anggota keluarga, orang yang dipercaya, dan teman (NSVRC: 2010).

Tindakan kekerasan seksual mengakibatkan trauma jangka panjang, bahkan bisa terjadi sepanjang sisa hidup penyintas kekerasan seksual, sakit, hilangnya rasa percaya diri, ketakutan, dan juga pengucilan sosial.

Kekerasan seksual terhadap perempuan dan anak penyandang disabilitas berakar pada berbagai diskriminasi dan stigma yang kuat dalam budaya patriarki dengan terjadinya diskriminasi ganda berdasarkan status gender dan disabilitasnya.

Status gender menempatkan perempuan penyandang disabilitas seperti juga perempuan tanpa disabilitas yang harus patuh terhadap nilai dan norma gender tradisional. Ideologi patriarki juga menempatkan perempuan sebagai manusia kelas dua, dan menjadikannya sebagai objek seksual.

Dalam konteks disabilitasnya, perempuan dan anak perempuan penyandang disabilitas mengalami kekerasan seksual karena lemahnya dukungan sosial dan hukum, eksklusi sosial, keterbatasan gerak, persoalan komunikasi, dan stereotip terhadap penyandang disabilitas.

Konstruksi mengenai gender dan disabilitas menunjukkan adanya relasi kuasa yang timpang antara penyintas dan pelaku kekerasan seksual. Relasi yang secara terus menerus diproduksi melalui berbagai pranata sosial, termasuk pendidikan dan tradisi budaya yang bias gender.

Strategi Pencegahan
Problem kekerasan seksual terhadap perempuan dan anak perempuan dengan penyandang disabilitas merupakan problem struktural, sistemik, dan masif. Pencegahan terjadinya kasus, dengan begitu tak lagi memadai manakala hanya mengandalkan pendekatan persuasif dan pendekatan prosedur formal.

Persoalan struktural menunjukkan terjadinya berbagai tindakan kekerasan seksual berada pada ranah ideologis dan sistem, sehingga membutuhkan respons yang menyeluruh dan secara bersamaan. Ada tiga lokus dalam pencegahan kekerasan seksual terhadap perempuan dan anak perempuan penyandang disabilitas.

Pertama, level paradigmatik. Pada level ini agenda perubahan berada pada upaya mengubah cara pandang terhadap perempuan dan anak perempuan penyandang disabilitas. Misalnya, melakukan pengarusutamaan GEDSI (Gender Equality, Disability, and Inclusion) melalui berbagai kanal literasi publik.

Agenda ini akan menggeser pandangan stereotip terhadap penyandang disabilitas, seperti tak berguna, tak berdaya, menyedihkan, kutukan, dan anggapan negatif lainnya. Lalu menggantinya dengan cara pandang positif, penyandang disabilitas memiliki hak yang sama, penyandang disabilitas tak memiliki perbedaan dengan siapa pun dalam menjalani kehidupan, kecuali mereka hanya membutuhkan alat bantu mobilitas. Dan siapapun memiliki potensi menjadi penyandang disabilitas.

Perubahan cara pandang ini, tidak saja akan mencegah para pelaku tindak kekerasan. Namun, menjadikan para penyedia layanan kekerasan terhadap perempuan dan anak penyandang disabilitas akan menjadi bersikap ramah, dan menghargai para penyintas kekerasan seksual.

Kedua, mengimplementasikan UU Nomor 8 tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas sebagai pemenuhan hak-haknya, dan melakukan harmonisasi berbagai kebijakan lain dalam pemenuhan hak-hak penyandang disabilitas. Misalnya, melakukan harmonisasi Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2022 Tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS) yang mengatur pencegahan, penanganan, perlindungan, dan pemulihan pada segala bentuk tindak pidana kekerasan seksual. Harmonisasi ini mendorong seluruh layanan terhadap perempuan dan anak perempuan dengan penyandang disabilitas sebagai penyintas kekerasan seksual mendapatkan menjadi ramah.

Ketiga, mewujudkan aksesibilitas fisik, misalnya ruang mudah dijangkau pengguna kursi roda dan kruk, ada penunjuk arah (guiding block) bagi disabilitas netra. Selain itu, aksesibilitas sosial, misalnya tersedia juru bahasa isyarat, dan para petugas layanan yang ramah dengan memiliki kapasitas berinteraksi dengan penyintas kekerasan seksual.[]

Kerentanan Berlapis pada Perempuan Penyandang Disabilitas


Mendengar
kata disabilitas, umumnya yang terlintas di benak kita adalah orang dengan keterbatasan fisik maupun mental yang menghambat atau mengganggu mereka dalam menjalani aktivitas sehari-hari. Dalam kondisi normal, perempuan sudah dianggap sebagai kelompok rentan yang harus mendapatkan perlindungan, terutama dalam isu kekerasan seksual. Lantas, bagaimana dengan perempuan penyandang disabilitas? Bukankah mereka menjadi kelompok rentan berlapis dalam isu kekerasan seksual? Bukankah seharusnya mereka mendapat perlindungan ekstra dari berbagai pihak seperti pemerintah, keluarga, lingkungan, lembaga atau organisasi perlindungan perempuan, dan sebagainya?

Perempuan dengan disabilitas memiliki kerentanan berlapis sebab mereka seringkali dianggap sebagai pihak yang lemah, tidak berdaya, bahkan cenderung tidak bisa melakukan perlawanan. Dalam sebuah studi ditemukan bahwa perempuan penyandang disabilitas 4 kali lebih mungkin mengalami kekerasan seksual dibandingkan perempuan non-disabilitas. Studi lain menemukan bahwa 11,1% perempuan disabilitas mengalami kekerasan seksual yang dilakukan bukan oleh pasangan hidup mereka (Ledingham et al., 2020 dalam Azhar et al., 2022).

Kekerasan Seksual pada Perempuan Penyandang Disabilitas

Mengacu pada data yang diperoleh dari pengaduan ke Komnas Perempuan dan Lembaga Pengada Layanan, terdapat 110 korban kekerasan berbasis gender (KBG) terhadap perempuan penyandang disabilitas sepanjang tahun 2023. Korban kekerasan berbasis gender ini dominan dialami oleh perempuan penyandang disabilitas mental, yakni sebanyak 40 korban, diikuti oleh disabilitas sensorik, intelektual, dan fisik. Kekerasan berbasis gender sendiri mencakup kekerasan fisik, seksual, emosional, ekonomi, dan psikologis.


Gambar 2. Kekerasan Berbasis Gender terhadap Perempuan Berdasarkan Jenis Disabilitas Korban

Sumber: Data Komnas Perempuan dan Lembaga Layanan Tahun 2023

Beberapa faktor yang memengaruhi tingginya kasus kekerasan seksual pada perempuan dengan disabilitas, khususnya di tempat umum, di antaranya adalah keterbatasan fisik atau mental, stigma sosial terhadap penyandang disabilitas, keterbatasan akses informasi mengenai kesehatan reproduksi dan kekerasan berbasis gender, serta rendahnya pemahaman dan sensitivitas aparat penegak hukum (Komnas Perempuan, 2024).

Sama halnya dengan kasus-kasus kekerasan pada perempuan non-disabilitas, pelaku kekerasan seksual pada perempuan penyandang disabilitas umumnya adalah orang yang dikenal oleh korban, bahkan orang terdekatnya. Pelaku sering memanfaatkan keterbatasan korban dan kedudukannya yang lemah secara tidak manusiawi demi memenuhi hasrat seksualnya.

Tidak bisa dipungkiri, kekerasan seksual yang dialami oleh perempuan penyandang disabilitas menimbulkan trauma mendalam yang dapat berlangsung seumur hidup. Hal ini seharusnya menjadi perhatian berbagai pihak, terutama aparat pemerintah sebagai pemegang kebijakan dan pengatur regulasi, untuk melindungi perempuan penyandang disabilitas.

Dukungan dan Perlindungan untuk Perempuan Penyandang Disabilitas

Berdasarkan amanat UU No. 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas, tercantum dengan jelas pada Pasal 5 Ayat 2 bahwa perempuan dengan disabilitas memiliki hak untuk mendapatkan perlindungan lebih dari perlakuan diskriminasi berlapis dan tindak kekerasan, termasuk eksploitasi seksual.

Sementara itu, Pemerintah Republik Indonesia telah mengeluarkan Peraturan Pemerintah Nomor 39 Tahun 2020 tentang Akomodasi yang Layak untuk Penyandang Disabilitas dalam Proses Peradilan. Hal tersebut ditujukan untuk mewujudkan keadilan bagi penyandang disabilitas dalam sistem peradilan di Indonesia. Pertanyaannya adalah, apakah hal ini sudah cukup untuk melindungi perempuan dengan disabilitas?

Melihat kenyataan di sekitar kita, perlindungan dan pemenuhan hak terhadap penyandang disabilitas masih belum optimal. Dukungan kepada penyandang disabilitas perlu dilakukan dari berbagai sisi: pemerintah, lembaga swadaya masyarakat (LSM), serta keluarga atau orang terdekat. Sosialisasi tentang pentingnya mengenali bentuk kekerasan seksual di ranah publik dan menghilangkan stigma bahwa kekerasan seksual merupakan aib juga sangat diperlukan. Pasalnya, anggapan ini justru membuat pelaku kekerasan seksual semakin bebas melakukan perbuatannya.

Diperlukan dukungan penuh, seperti dukungan moral dari keluarga, akses layanan yang memadai, ketersediaan ruang pengaduan, dan hukuman tegas bagi pelaku untuk memberikan efek jera. Hukuman yang diberikan harus sesuai dengan tingkat pelanggaran yang dilakukan sehingga tidak hanya memberikan keadilan bagi korban, tetapi juga mencegah kejadian serupa di masa mendatang.

Referensi

  1. Catatan Tahunan Komnas Perempuan Tahun 2023. Link
  2. UU No. 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas
  3. Ledingham, E., Wright, G. W., & Mitra, M. (2022). Sexual violence against women with disabilities: experiences with force and lifetime risk. American Journal of Preventive Medicine, 62(6), 895–902.
  4. Azhar, J. K., Hidayat, E. N., & Raharjo, S. T. (2022). Kekerasan seksual: Perempuan disabilitas rentan menjadi korban. Share: Social Work Journal, 13(1), 82–91. https://doi.org/10.45814/share.v13i1.46543

Pendidikan Seksualitas bagi Penyandang Disabilitas

Rana memiliki tetangga yang merupakan penyandang disabilitas. Ketika hari raya, tak sedikit orang yang kaget dan mengeluhkan karena dia mencoba untuk menarik dan berkomunikasi dengan lawan jenis. Dulu, Rana jadi ikut merasa was-was dan bertanya-tanya. Namun, setelah ia lebih dewasa, ia memilih untuk mengedukasi diri mengenai seksualitas dan disabilitas dengan membaca buku dan artikel.

Beberapa dari kita ada yang menganggap para penyandang disabilitas itu aseksual (tidak ada ketertarikan seksual terhadap orang lain, tidak ada keinginan untuk melakukan hubungan seksual), sifat mirip anak-anak, dan selalu bergantung pada orang lain. Anggapan yang mengkerdilkan kemampuan para penyandang disabilitas tersebut tidak bisa dibenarkan.

Para penyandang disabilitas sama-sama mengalami perubahan biologis dan mental dalam dirinya. Pendidikan seksualitas komprehensif kepada mereka dan para pendampingnya merupakan hal yang mendesak untuk dilakukan. Sama halnya dengan non-penyandang disabilitas, mereka memiliki orientasi seksual tertentu.

Mereka yang berkebutuhan khusus perlu diajarkan dan dibantu untuk dapat mengenali dirinya, paham, mengelola perkembangan biologis pada diri, membantu mereka mengenali perilaku seks berisiko, menghargai orang lain, dan mengajarkan mereka untuk dapat menghindari perilaku kekerasan seksual. Mereka sangat rentan dimanipulasi dan menjadi korban kekerasan seksual, sehingga membutuhkan perhatian khusus dari komunitas dan para pihak.

Melansir dari komnasperempuan.go.id, perempuan berkebutuhan khusus lebih sering mengalami keterbatasan akses informasi tentang upaya mencegah kekerasan serta layanan penanganan kekerasan seksual. Kerentanan yang dialami mereka kondisinya bisa berlapis, khususnya mereka yang perempuan, masih anak-anak, dan lansia.

Mereka harus mampu berkata tidak ketika mendapatkan perlakuan yang tidak aman dan membuat tidak nyaman, seperti ancaman melakukan hubungan seksual berisiko. Pendidikan seksualitas harus mendapatkan perhatian dan kerja sama dari orang tua, pendidik, pemerintah, lembaga swadaya masyarakat, dan sebagainya.

Pendidikan seksualitas komprehensif ini meliputi gender, kesehatan reproduksi, penyakit menular seksual, dan HAM, kepuasan, keragaman, dan hubungan antarmanusia.

Meskipun masih dianggap tabu, pendidikan seksualitas komprehensif perlu dimulai. Materi pun disesuaikan dengan kondisi fisik, psikologi, dan tingkat usia. Informasi yang komprehensif dan terbuka merupakan hak yang perlu diterima oleh penyandang disabilitas beserta pendampingnya.

Pendidikan seksualitas komprehensif penting bagi penyandang disabilitas agar mereka bisa menjaga organ reproduksi, menetapkan nilai-nilai, batasan, menghindari kekerasan seksual, bisa membuat keputusan secara mandiri.

Perlu media yang tepat sesuai dengan jenis disabilitasnya untuk pendidikan seksualitas. Misalnya, materi dalam bentuk braille, alat pembaca layar, closed caption, dan sebagainya. Selain itu, ada juga anggapan kalau orang disabilitas tidak bisa menyerap pengetahuan yang diberikan. Padahal, mereka bisa memahami dengan baik selama dibantu dengan media yang tepat.

Lingkungan yang menjadi tempat tinggal para penyandang disabilitas pun perlu diajarkan untuk mampu bersikap menghargai terhadap manusia lain, dan sensitif terhadap para penyandang disabilitas. Perundungan terhadap mereka yang dilakukan oleh orang dewasa maupun anak-anak tidak bisa dibenarkan dan tidak seharusnya dinormalisasi.

Korban kekerasan seksual, baik dari kelompok perempuan dan penyandang disabilitas, juga masih diselimuti dilema untuk melapor karena risiko lebih banyak, seperti ancaman penyebaran konten intim, relasi kuasa, ancaman teror secara digital, minim privasi pelapor, ancaman penuntutan balik, aparat penegak hukum (APH) yang tidak berpihak kepada korban, seksisme kepada korban, dan sebagainya. Hal-hal tersebut membuat korban skeptis dan ragu untuk melapor karena ia menganggap akan lebih banyak ruginya daripada mendapatkan keadilan. Maka, korban lebih banyak bungkam. Pelaku pun bebas berkelana dan berpotensi menimbulkan korban lainnya.

Pendidikan seksualitas bagi penyandang disabilitas, kemudahan pelaporan kekerasan seksual yang dialami, pelatihan gender kepada penegak hukum perlu menjadi prioritas dan menjadi perhatian dan kolaboratif dari beragam komunitas, pendidik, orang tua, lembaga swadaya masyarakat, pemerintah, dan sebagainya.

Perlu program yang berkelanjutan dan pendampingan terhadap para penyandang disabilitas terutama mereka yang berada di kelompok perempuan dan anak-anak. Pelibatan kelompok penyandang disabilitas sangat penting untuk membuat rencana program pembelajaran yang tepat sasaran.

Pendidikan dan perlindungan anak dengan disabilitas adalah tanggung jawab bersama para pihak lintas stakeholders. Mereka juga membutuhkan kemudahan dalam mengakses kesehatan mental. Mari, pelan-pelan membuat lingkungan sekitar lebih inklusif.

Buku Fikih Kepemimpinan Politik Perempuan


Untuk menyambut Tahun Politik, Rumah KitaB kembali meluncurkan sebuah buku “Fikih Kepemimpinan Politik Perempuan”. Buku setebal 340 halaman ini ditulis oleh peneliti-peneliti Rumah KitaB, yaitu Achmat Hilmi, Roland Gunawan, Nur Hayati Aida, serta Jamaluddin Mohammad.

Pada tanggal 13 Oktober 2024, buku yang dieditori Usman Hamid dan Ken Michi tersebut pertama kali didiskusikan bersama mahasiswa-mahasiswa Sekolah Tinggi Ilmu Dakwah (STID) Al-Biruni, Cirebon, dengan menghadirkan perwakilan penulis, Ketua JPPR (Jaringan Pendidikan Pemilih untuk Rakyat) Fathan Mubarak, dan anggota Bawaslu Kabupaten Cirebon Amir Fawaz. Acara berlangsung meriah dan dihadiri oleh 85 mahasiswa/mahasiswi.

Saat flyer acara ini dibagikan di media sosial, seorang aktivis perempuan memprotes dan memberikan komentar: mengapa pembicaranya laki-laki semua? Bukankah tema yang diangkat berkaitan dengan Fikih Politik Perempuan? Bagaimana mungkin diskusi tentang perempuan tanpa melibatkan perempuan? Menjawab pertanyaan ini penting, sama pentingnya dengan menjawab pertanyaan mengapa harus ada afirmasi 30% perempuan dalam politik.

Yang tak dimiliki laki-laki ketika berbicara tentang perempuan adalah pengalamannya. Secara biologis, perempuan berbeda dengan laki-laki. Karena itu, tubuh perempuan mengalami pengalaman biologis seperti menstruasi, mengandung, melahirkan, nifas, dan menyusui. Pengalaman-pengalaman ini tidak bisa diwakili laki-laki.

Di samping itu, dalam kehidupan sosialnya, perempuan kerap kali mengalami ketidakadilan hanya karena berjenis kelamin perempuan, seperti stigmatisasi, marginalisasi, subordinasi, kekerasan, dan beban ganda. Ketidakadilan berbasis gender ini adalah pengalaman sosial perempuan dan hanya perempuan yang mengalaminya.

Dua pengalaman perempuan inilah, pengalaman biologis dan pengalaman sosial, yang merupakan pengetahuan yang bisa dijadikan perspektif dalam melihat dan membaca ketidakadilan gender dalam kehidupan sosial maupun politik. Itulah mengapa partisipasi politik perempuan perlu diafirmasi.

Dalam konteks Cirebon, kehadiran buku Fikih Kepemimpinan Politik Perempuan ini merupakan gagasan baru yang menarik untuk didiskusikan di masyarakat pesantren di Kabupaten Cirebon, khususnya terkait hak politik dan hak kepemimpinan politik perempuan dalam perspektif agama. Selama ini pembicaraan keadilan gender telah menjadi wacana yang diterima masyarakat pesantren, namun dalam konteks politik, ini merupakan wacana baru. Dunia politik di Cirebon masih didominasi wajah maskulinitas yang sangat kuat. Silih bergantinya pemimpin politik jarang diiringi pembicaraan terkait hak-hak pemilih perempuan.

Buku ini berupaya mengurai problem keagamaan yang biasanya menjadi tembok besar bagi partisipasi perempuan dalam kepemimpinan politik, dan membantu masyarakat pemilih perempuan dalam memperjuangkan hak-haknya yang tersandera oleh budaya patriarki yang berkawin dengan pandangan agama.

Dalam kehidupan politik yang patriarkis, nasib dan peran perempuan termarginalkan. Karena itulah politik afirmasi diperlukan untuk menjaring sebanyak-banyaknya partisipasi politik perempuan sekaligus diharapkan dapat mewarnai dunia dan kebijakan politik. Inilah salah satu pesan yang ingin disampaikan buku ini. Buku ini memberikan dasar dan legitimasi historis maupun teologis keterlibatan politik perempuan.

Melihat Hubungan Peran Perempuan dan Lingkungan Melalui Kisah Ummu Mahjan


Pekerjaan domestik seperti menyapu dan mengepel, dengan tujuan menjaga kebersihan dan keindahan suatu tempat, seringkali identik dengan pekerjaan perempuan. Meski dianggap remeh, pekerjaan ini memiliki kisah spesial pada masa hidup Rasulullah SAW. Dikisahkan dalam kitab sahih al-Bukhari, Muslim, dan Ibnu Majah bahwa Rasul memuliakan seorang perempuan lanjut usia yang sehari-hari membersihkan Masjid Nabawi. Kisah ini menggambarkan bagaimana Rasulullah merespons hubungan antara peran perempuan dan lingkungan.

Perempuan lanjut usia tersebut dikenal dengan nama Ummu Mahjan. Setiap hari, ia menyapu dan membersihkan Masjid Nabawi. Ketika Ummu Mahjan jatuh sakit, Rasulullah berpesan agar ia disalatkan sebelum dimakamkan. Namun, saat Ummu Mahjan meninggal, para sahabat tidak memberi tahu Rasul karena beliau sedang tidur. Para sahabat beranggapan bahwa Ummu Mahjan bukanlah orang penting, sehingga tidak mengapa jika tidak mengabari Rasulullah.

Beberapa hari kemudian, Rasul merasa aneh karena sudah lama tidak melihat Ummu Mahjan. Beliau pun akhirnya mengetahui bahwa Ummu Mahjan telah meninggal. Rasul segera menuju makamnya dan melakukan salat ghaib di dekat makam Ummu Mahjan. Dalam beberapa riwayat disebutkan, tidak sembarang orang yang wafat bisa disalatkan langsung oleh Rasul, bahkan di dekat pusaranya.

Kisah perjuangan Rasul sering dinarasikan melalui saat-saat beliau bertempur di medan perang melawan berbagai upaya agresi. Pekerjaan yang dilakukan Ummu Mahjan semasa hidupnya mungkin tampak sederhana dan dianggap remeh. Bahkan, para sahabat menganggap Ummu Mahjan bukan orang penting sehingga tidak mendesak untuk mengabari Rasul tentang wafatnya. Namun, kisah Ummu Mahjan dalam pekerjaan membersihkan masjid menunjukkan bahwa perjuangan tidak harus berada di medan perang. Cara Rasul memuliakan Ummu Mahjan hingga wafat menunjukkan bahwa Islam mengajarkan nilai penghargaan terhadap perempuan, terutama dalam menghadapi diskriminasi, dan pentingnya merawat lingkungan.

Meremehkan Peran Perempuan Sama dengan Meremehkan Alam

Kisah Ummu Mahjan yang dimuliakan oleh Rasul menjadi pelajaran penting dalam merespons kerusakan lingkungan. Peran perempuan dalam menjaga lingkungan sering kali dianggap remeh dan tidak diakui. Padahal, perempuan memiliki hubungan erat dengan alam. Di sisi lain, perempuan juga merupakan kelompok rentan terdampak krisis iklim. Dengan kondisi lingkungan yang saat ini sedang mengalami krisis, hubungan perempuan dengan alam menghadapi tantangan yang menjadi beban tersendiri. Contohnya, krisis iklim seperti cuaca panas ekstrem menyebabkan kekeringan dan krisis air bersih, membuat perempuan harus berupaya lebih keras untuk mendapatkan air.

Di tengah kondisi lingkungan yang sedang krisis, survei Mintel menunjukkan bahwa perempuan cenderung memiliki sikap positif dalam menjalin hubungan dengan lingkungan. Sebanyak 71% perempuan mencoba hidup lebih beretika terhadap lingkungan, sedangkan laki-laki hanya 59%. Bahkan, 65% perempuan mendorong teman dan keluarga untuk hidup lebih ramah lingkungan, sementara hanya 59% laki-laki yang melakukan hal serupa.

Krisis lingkungan yang semakin nyata adalah bentuk dari eksploitasi dan manipulasi terhadap alam. Akibatnya, perempuan yang memiliki hubungan erat dengan alam turut menjadi pihak yang dimanipulasi dan dieksploitasi. Hal ini terlihat dari bagaimana peran perempuan sering diabaikan dalam pekerjaan menjaga lingkungan. Salah satu contohnya adalah kasus izin pembangunan pabrik di Kendeng, Jawa Tengah.

Memuliakan Alam dan Perempuan dengan Prinsip Kesetaraan Gender

Dalam artikel ilmiah berjudul Gender dan Lingkungan dalam Perspektif Al-Qur’an, dijelaskan bahwa merawat alam erat kaitannya dengan sikap damai, telaten, penuh cinta, dan kasih sayang. Sayangnya, karakter yang dianggap terlalu “feminin” ini membuat pekerjaan merawat lingkungan seolah menjadi tugas perempuan saja.

Padahal, dalam Undang-Undang No. 23 Pasal 67 Tahun 2009 dijelaskan bahwa setiap orang wajib memelihara kelestarian lingkungan hidup dan mengendalikan pencemaran. Bahkan, menurut artikel yang ditulis oleh Shodiq dan Abu Anwar, Al-Qur’an tidak membedakan potensi laki-laki dan perempuan dalam berbuat kebaikan, termasuk menjaga lingkungan.

Dengan adanya kesetaraan gender, upaya merawat lingkungan tidak hanya menguntungkan perempuan tetapi juga seluruh umat manusia. Jika alam lestari, maka manusia akan hidup sejahtera. Sebaliknya, jika lingkungan rusak, semua manusia, baik laki-laki maupun perempuan, akan menderita.

Rasul telah menjadi teladan bagi umat manusia untuk peduli pada lingkungan. Dalam beberapa hadis, beliau menganjurkan untuk menanam pohon, melarang buang air kecil di air yang tenang karena dapat mencemari sumber air bersih, dan menghemat penggunaan air. Selain itu, melalui kisahnya yang memuliakan Ummu Mahjan, kita diajak untuk melihat dan menghargai alam, serta menghilangkan diskriminasi terhadap peran penting perempuan dalam merawat lingkungan.

Perempuan dan Politik: Narasi Sejarah, Fikih, dan Lanskap Politik Umat

Perempuan dalam Politik

Perempuan dan politik seakan tak pernah habis diperbincangkan. Setiap perhelatan politik, termasuk Pilkada (Pemilihan Kepala Daerah) kali ini, perempuan terus menjadi topik pembicaraan, bahkan hingga menjadi variabel penentu kemenangan. Pemilihan Gubernur Surabaya, misalnya, diikuti oleh tiga perempuan. Menariknya, narasi Islam turut berkelindan dalam pembahasan ini.

Di tengah gegap gempita kampanye, kita masih menjumpai “serangan” terhadap calon-calon perempuan, mulai dari dalil agama hingga tudingan inkompetensi dalam memimpin daerah. Di sisi lain, sebagian calon perempuan melawan dengan menggunakan otoritas agama guna mengubah persepsi negatif atas kepemimpinan perempuan yang terlanjur terbangun dan bertahan hingga hari ini.

Padahal, di tengah kemajuan teknologi internet, kepemimpinan perempuan semakin luas diperbincangkan, dari siniar di YouTube hingga unggahan di Instagram. Buku-buku pun turut membahasnya. Oleh sebab itu, sebenarnya kita tidak lagi perlu mempermasalahkan isu ini.

Literasi Terkait Perempuan dan Politik

Baru-baru ini, Rumah KitaB (Yayasan Rumah Kita Bersama) menerbitkan buku berjudul Fikih Kepemimpinan Politik Perempuan. Literasi terkait perempuan dan politik pun turut bertambah. Data-data sejarah yang disuguhkan dalam buku ini tidak sekadar asumsi atau tafsiran belaka. Keterlibatan perempuan dalam berbagai fase sejarah umat Islam dihadirkan dengan jelas.

Buku ini ditulis oleh Jamaluddin Mohammad, Roland Gunawan, Achmat Hilmi, dan Nur Hayati Aida. Mereka menyajikan kajian mendalam terkait perempuan dan politik yang diulas dari sisi sejarah, hukum Islam, dan persoalan sosial yang terkait. Yuk, kita ulas sekilas buku ini.

Sejarah Perempuan dalam Islam

Secara isi, buku ini terasa padat, namun ditulis dengan bahasa yang renyah sehingga pembaca tidak akan merasa bosan. Buku ini menghadirkan banyak kisah yang terjadi sepanjang sejarah umat Islam, khususnya terkait perempuan, ruang publik, dan politik. Menariknya, kita akan menemukan banyak fakta sejarah yang selama ini mungkin jarang kita temui.

Kehadiran perempuan di ruang publik secara aktif telah dijumpai dalam beragam peran. Mungkin selama ini kita hanya mengenal nama-nama perempuan agung seperti Khadijah al-Kubra dan Fathimah binti Nabi yang aktif dalam banyak urusan umat Islam. Namun, buku ini juga memperkenalkan kita pada nama-nama perempuan muslim lainnya, seperti Al-Syifa’ binti Abdillah al-Qurasyiyah, Fathimah binti Ali bin Abdullah ibn Abbas, dan Ummu Ja’far ibn Yahya al-Barmaki, yang memiliki peran besar dalam sejarah Islam.

Buku setebal lebih dari 140 halaman ini mengulas perempuan dari sisi normativitas hingga sosio-politik di sepanjang sejarah umat Islam. Ulasan fikih yang sering kali njelimet dan kompleks terkait perempuan, ditulis dalam bahasa yang sederhana sehingga mudah dipahami.

Analisis Gender dan Fikih

Ulasan fikih dalam buku ini mengingatkan saya pada buku Analisis Gender dan Transformasi Sosial karya Mansour Fakih. Dalam buku tersebut, Fakih mengusulkan tiga agenda strategis dalam penafsiran agama yang perlu ditinjau dan dikaji ulang, yaitu subordinasi perempuan, persoalan waris dan saksi perempuan, serta hak produksi dan reproduksi perempuan.

Fakih mengusulkan penggunaan analisis gender dalam melihat produk hukum Islam yang kurang ramah terhadap perempuan. Buku Fikih Kepemimpinan Politik Perempuan ini mengangkat tema yang mirip, membahas dinamika sosial yang terjadi dalam umat Islam, terutama di Indonesia. Mohammad dan timnya mengulas dengan sangat elok tentang perkembangan gerakan perempuan, khususnya di Indonesia.

Sejarah Gerakan Perempuan di Indonesia

Sejarah gerakan perempuan di Indonesia telah mengakar lama, dengan cita-cita partisipasi dan representasi perempuan dalam politik Indonesia yang terus berkembang hingga hari ini. Sejarah pengetahuan umat Islam juga terjalin erat dengan perkembangan feminisme di Indonesia.

Islam dan feminisme berkembang bersama dalam menghadapi persoalan perempuan yang semakin kompleks. Buku ini mengulas bagaimana feminisme muslim mencoba menjadikan agama tidak hanya sebagai sumber nilai dan norma, tetapi juga sebagai alat transformasi sosial. Di titik ini, semangat yang telah dibangun oleh Fakih berkelindan dengan isi buku ini.

Kompleksitas Keterwakilan Perempuan di Politik

Pada bagian akhir buku ini, kita dihadapkan pada kompleksitas kehadiran dan keterwakilan perempuan di ranah politik, yang masih problematik dan penuh tantangan. Politisi kita masih belum memiliki komitmen yang kuat dalam memperjuangkan posisi perempuan di ruang-ruang politik. Perlindungan hak-hak perempuan pun masih sangat lemah, bahkan bisa dikatakan rentan.

Banyak regulasi dan produk hukum yang melindungi perempuan masih sulit dilahirkan oleh pemangku kebijakan. Kalaupun ada, penerapannya seringkali problematik. Perempuan semakin sulit mendapatkan hak dan perlindungan yang seharusnya mereka terima.

Perempuan Sebagai Individu dan Bagian dari Sosial

Bagian paling menarik dari buku ini, menurut saya, adalah ulasan mengenai perempuan yang mengalami penindasan dari dua sisi sekaligus, yakni sebagai individu dan sebagai bagian dari masyarakat. Perempuan diulas sebagai tubuh individual dan tubuh politik. Problematika representasi perempuan di ruang publik selalu terkait dengan dua aspek ini.

Sejarah, hukum Islam, dinamika sosial, dan politik terus membatasi perempuan, baik sebagai individu maupun secara sosial. Perempuan terus didefinisikan oleh pihak luar, baik tubuh individual maupun tubuh politiknya. Oleh karena itu, buku ini bisa dikatakan progresif dalam menggambarkan posisi dan representasi perempuan di ruang publik, menggunakan legitimasi fakta sejarah, ulasan hukum yang berpihak, hingga perlawanan atas dinamika sosial yang timpang dan menindas.

Fatahallahu alaina futuh al-arifin. 

Peran Politik Perempuan untuk Merawat Demokrasi


Perempuan sebagai pilar demokrasi memegang tanggung jawab dan peran fundamental dalam mewujudkan Indonesia sebagai bangsa yang kuat dan inklusif. Dalam negara demokrasi, perempuan adalah kompas keadilan dan kesetaraan dalam masyarakat. Dengan terlibat aktif dalam tugas sebagai warga negara untuk merawat demokrasi, perempuan berkontribusi pada penciptaan negara yang sejahtera dan berkeadilan sosial.

Sebagai warga negara, perempuan memiliki hak dan kewajiban untuk terlibat dalam proses politik, termasuk memberikan suara dalam pemilihan umum. Keterlibatan ini bukan hanya soal memilih, tetapi juga mencerminkan tanggung jawab untuk memastikan bahwa suara mereka diwakili dalam pembuatan kebijakan. Dengan berpartisipasi, perempuan membantu menciptakan pemerintahan yang lebih responsif terhadap kebutuhan masyarakat.

Dalam sejarah Islam, “Bai’at an-Nisa” merupakan peristiwa besar yang menunjukkan keberanian dan pengaruh keterlibatan perempuan dalam rumusan ajaran-ajaran formal keagamaan. Dalam “Bai’at an-Nisa,” Allah memerintahkan Nabi untuk membaiat dan memintakan ampunan bagi perempuan yang secara sadar datang untuk berbaiat.

Selayaknya kaum laki-laki, baiat menunjukkan bahwa kaum perempuan berjanji setia kepada Islam dan taat kepada Rasulullah saw. Kewajiban baiat atas kaum perempuan ini menunjukkan bukti kebebasan bagi perempuan untuk menentukan keputusan hidupnya serta hak untuk memiliki pilihan yang berbeda dari pandangan lainnya. Peristiwa ini mencerminkan bahwa Islam memberikan hak perundang-undangan kepada perempuan sebagaimana laki-laki memilikinya.

Hal yang sama ditetapkan dalam UUD 1945. Setiap warga negara memiliki hak konstitusional, salah satunya adalah hak politik. Hak ini meliputi, di antaranya, hak untuk memilih pemimpin dan orang-orang yang dianggap dapat mewakili aspirasi serta kepentingan mereka. Pentingnya hak politik ini tidak hanya terletak pada proses pemilihan, tetapi juga pada dampaknya terhadap legitimasi dan akuntabilitas pemerintahan. Ketika setiap individu, termasuk perempuan, terlibat dalam proses memilih pemimpin, maka mereka berkontribusi pada penciptaan pemerintah yang transparan.

Kehadiran perempuan sebagai pemilih juga membuka peluang bagi mereka untuk mengambil peran sebagai pemimpin. Kepemimpinan perempuan dalam politik dapat mendorong pengambilan keputusan yang lebih akomodatif dan substansial, serta memastikan kepentingan khusus perempuan tidak terlewatkan. Hal ini ditunjukkan oleh Ibu Retno Marsudi sebagai Menteri Luar Negeri yang diberi tugas sebagai “kapten diplomasi” Indonesia. Dalam kepemimpinannya, Ibu Retno tidak hanya memastikan kepentingan Indonesia terwakili di arena internasional, tetapi juga mengedepankan isu-isu perempuan dan hak asasi manusia.

Belakangan ini, pidato Ibu Retno yang menitipkan Palestina kepada Komisi 1 DPR menjadi sorotan publik. Dalam pidato perpisahannya setelah menyelesaikan amanat sebagai Menteri Luar Negeri, Ibu Retno menekankan solidaritas dan meminta agar Indonesia tidak membiarkan Palestina berjuang sendiri melawan penjajahan. Permintaan ini mencerminkan kepedulian sosial dan kecerdasan emosional Ibu Retno atas rakyat Palestina.

Ibu Retno Marsudi menjadi figur pemimpin politik perempuan yang melaksanakan tugas merawat demokrasi dan diplomasi internasional. Beliau telah berhasil menjadi teladan bagi perempuan Indonesia untuk berperan aktif dalam politik, serta menunjukkan bahwa perempuan adalah agen penting dalam memperkuat demokrasi.

Seperti yang tercatat dalam sejarah, Islam sejak awal melibatkan perempuan dalam penyelenggaraan negara. Hal ini terlihat dalam kisah Ummu Salamah yang diberikan ruang oleh Nabi saw untuk memberikan saran terkait Perjanjian Hudaibiyah dan Perang Hunain. Secara menyeluruh, Ummahat al-Mu’minin atau istri-istri Nabi berperan penting dalam perumusan kebijakan negara melalui masukan-masukan dan diskusi dengan Nabi saw.

Sejak awal penciptaan manusia, Allah memberikan tugas kepada mereka untuk menjadi khalifah fil ardh, sebagaimana difirmankan dalam QS. Al-Baqarah: 30. Ayat tersebut menunjukkan kewajiban setiap manusia untuk menjadi pemimpin, yang dimulai dengan memimpin dirinya sendiri. Selain itu, manusia juga diharapkan menjadi pemimpin profesional dalam suatu kelompok, serta memimpin bangsa melalui keterlibatan politik. Melalui partisipasi aktif dalam pengambilan keputusan, perempuan dapat berkontribusi dalam menciptakan keadilan, kesejahteraan, dan kedamaian di masyarakat. Hal ini sejalan dengan perintah Allah untuk melakukan amar ma’ruf dan nahi munkar bagi setiap hamba-Nya. Menegakkan kebenaran dan menjauhi keburukan adalah kewajiban yang dapat dilakukan melalui kepemimpinan politik perempuan.

Partisipasi politik perempuan adalah elemen krusial dalam merawat demokrasi. Keterlibatan perempuan dalam proses politik tidak hanya memperkaya perspektif, tetapi juga memastikan isu-isu terkait gender dan inklusi mendapatkan perhatian yang layak. Dengan peran politik sebagai pemilih maupun pemimpin, perempuan turut membangun negara demokrasi yang lebih kuat dan resilien.

rumah kitab

Merebut Tafsir : Bukti Cinta “Turun Mesin” Tujuh Kali

Ketika menjawab anak lelakinya, Ghaza Al Ghazali tentang perlakuannya kepada istrinya – Teh Ninih, Aa Gym menunjukkan bukti cintanya dengan menyatakan. “Hanya saya, suaminya yang mencintainya. Ini buktinya, selama berumah tangga (19 tahun?), istri saya sudah “turun mesin” tujuh kali”.

Bagi penganut faham kuantitatif, bukti itu bisa diandalkan. Tapi coba tanya kepada perempuan? Benarkah banyak anak adalah bukti besarnya cinta suami kepada istri?

Semua anak di mata ibunya adalah buah hatinya. Anak-anak itu lahir melalui penderitaannya yang maha berat sejak hamil, melahirkan, dan menyusuinya. Tentang bagaimana riwayat kelahiran anak dan peristiwa yang melatarinya, hanya sang Ibu yang tahu. Tapi klaim banyak anak merupakan bukti besarnya cinta bapaknya kita boleh bertanya-tanya.

Dalam studi gender setidaknya tiga hal yang dapat dipakai untuk menganalisis pernyataan Aa Gym. Pertama analisis bahasa. “Turun mesin” adalah istilah yang menyamakan istri dengan kendaraan bermesin seperti mobil. Bayangkan! konsep apa yang ada di benak seorang suami jika istrinya  dianalogikan seperti kendaraan. Mobil tua, bisa dikoleksi atau dijual lagi lalu menukarnya dengan yang baru. Itulah yang dilakukan Aa Gym bukan? Jadi istri keduanya pun siap-siap saja dilego juga.

Kedua, kita dapat melihatnya dari isu hak-hak reproduksi. Itu adalah hak  yang disepakati oleh komunitas dunia (Konferensi ICPD Kairo 1994). Bab  tentang akankah dan kapankah perempuan hamil menjadi salah satu hak yang mutlak dilindungi. Menyertai hak itu, perempuan harus  mendapatkan informasi yang benar, dan dilayani keputusannya, baik oleh suaminya atau oleh negara.

Namun pernahkah kita mendengar perempuan yang tak mampu menolak  untuk hamil? Misalnya karena pasangannya super malas menggunakan kondom atau tak mau tahu kalender masa subur si istri sementara ia  mengharamkan KB.

Dalam kajian Islam dan kesehatan reproduksi, Imam Ghazali di awal abad ke 12, telah menetapkan prinsip perlindungan hak asasi manusia yang juga meliputi hak reproduksi. Dalam konsep daruriatul hams, lima prinsip dasar untuk perlindungan manusia, Imam Ghazali menetapkan hak berketurunan (hifdun nasl) yang harus dipenuhi demi menjaga kehidupan (hifdun nafs). Dalam konteks itu Imam Ghazali memperkenalkan etika berhubungan seks yang antara lain dengan konsep “azl”, kontrol pada lelaki untuk mengatur ejakulasinya dengan tidak melanggar hak istri  dalam menjalankan fungsi reproduksinya dengan nyaman dan aman.

Ketiga, dalam studi tentang KDRT, anak banyak dapat ditelisik dari adanya kemungkinan siklus kekerasan. Dalam siklus itu, pertama, istri tak punya kontrol atas rahimnya sendiri, kedua, ini yang sangat berbahaya tapi jarang disadari yaitu adanya siklus kekerasan yang mengiringi kehamilan demi kehamilan. Dalam siklus kekerasan, peristiwa kekerasan dimulai dari adanya ketegangan, setelah terjadi konflik bahkan ditandai kekerasan fisik atau non-fisik, pasangan itu biasanya akan masuk ke eskalasi puncak, saling membenci. Lanjutannya ada dua kemungkinan, masuk ke masa jeda dan baikkan kembali atau lanjut ke perceraian. Jika yang terjadi adalah rekonsiliasi dengan atau tanpa perjanjian untuk memperbaiki hubungan yang menyebabkan konflik, mereka biasanya  masuk ke masa “bulan madu” semu. Di saat itu, jika tak hati-hati si istri akan  terbuai rayuan si suami yang akan memberikan bukti cintainya dengan menambah anak! Dalam training tentang kekerasan di dalam rumah tangga,  seorang hakim  baru menyadari tentang adanya siklus kekerasan setelah ia menangani kasus perceraian yang  maju mundur  yang tuntutannya diajukan sejak anak mereka kedua dan baru baru benar-benar cerai setelah si istri guat cerai, lalu dicabut kembali karena hamil, dan  masuk perkara lagi setelah si istri babak belur. Anda tahu pada anak ke berapa akhirnya perkara cerai benar-benar terjadi? Setelah puny anak  lima!

Setiap kelahiran merupakan bukti pertaruhan nyawa seorang ibu, tapi kelahiran anak sama sekali bukan penanda cinta mati suami kepada istrinya. Apalagi jika setiap kelahiran anaknya hanya dianggap turun mesin! #Lies Marcoes, 7 Juni 2021.