Pos

Apa Jadinya Jika Muslimah Bekerja di Dunia Kreatif?

Rabu, 5 Januari 2022 Rumah KitaB melaksanakan serial diskusi Muslimah Bekerja di Bandung dengan mengangkat tema “Apa Jadinya Jika Muslimah Bekerja di Dunia Kreatif”. Acara yang dihelat di Gajua Teh ini menghadirkan Iim Fahima (Founder @queenridesindonesia, Young Global Leaders of World Economic, 25 Asia Best Young Entrepreneur), Nur Rofiah (Dosen Perguruan Tinggi Ilmu al-Qur’an [PTIQ] Jakarta & Founder Ngaji Keadilan Gender Islam), dan Deni Ramadhan (CEO Secco Guitar & CEO 372 Kopi) sebagai narasumber, dan Fadilla D. Putri (Rumah KitaB) sebagai moderator.

Serial diskusi yang dikemas dalam bentuk talkshow ini bekerja sama dengan Komuji (Komunitas Musisi Mengaji) sebuah komunitas yang berisikan para musisi dan orang-orang kreatif yang berada di Bandung.

Nurasiah Jamil, Manager Opersional Rumah KitaB, membuka acara dengan menyampaikan bahwa serial diskusi Muslimah Bekerja ini adalah kali kedua yang diselenggarakan oleh Rumah KitaB. Serial diskusi pertama dilakukan di Bogor pada 27 November 2021 dengan mengabil tema “Menjaga Kesehatan Mental dan Work-Life Balance di Masa Pandemi”.

Pemilihan tema untuk Bandung tidak terlepas dari sejarah yang melatari Bandung sebagai tempat inkubasi lahirnya inisiatif perubahan, kreatifitas yang mendorong tumbuhnya ekonomi, dan lahan yang subur untuk menguatnya gairah keagamaan sejak sebelum kemerdekaan. Dari Bandung bisa dilihat segala kreatifitas di sektor ekonomi, misalnya industry cloting dan distro, atau komunitas keagamaan, seperti Persis dan yang paling akhir adalah kemunitas pemuda hijrah yang mulai menjamur di berbagai masjid di Kota Bandung.

Talkshow dipandu oleh Fadilla D. Putri yang memulainya dengan memaparkan hasil riset Rumah KitaB mengenai penerimaan tentang perempuan bekerja. Secara bergiliran, Dilla melemparkan pertanyaan kunci kepada para narasumber.

Iim Fahima adalah narasumber pertama yang mendapat pertanyaan kunci mengenai sejauh mana perempuan bisa berkarier di dunia kreatif—yang umumnya didominasi oleh laki-laki. Menurut Iim, perempuan, sebagaimana laki-laki, tak memiliki batasan dalam mengaktualisasikan diri dalam kerja-kerja kreatif. Satu-satunya hal yang bisa menghalangi perempuan seharusnya adalah dirinya sendiri, bukan yang lain atau orang lain, apalagi agama. Iim berbagi cerita bagaimana ia dibesarkan oleh keluarga Muslim tradisional yang sangat paham tentang agama. Dan, tak pernah sekalipun orang tua atau kakek neneknya melarang Iim untuk bekerja, apalagi di dunia kreatif yang dilakoni Iim saat ini.

Menurut Iim, bekerja atau mengaktualisasikan potensi adalah bentuk pengabdian (ibadah) kepada Tuhan. Karena kelak di akhirat, setiap orang, termasuk perempuan, akan dimintai pertanggung jawaban atas segala karunia dan potensi yang telah diberikan oleh Tuhan. Oleh karenanya, menurut Iim, bekerja bagi perempuan juga adalah sebentuk ibadah.

Iim juga menyoroti bahwa perempuan yang tidak melakukan aktivitas Kesehatan mentalnya akan terganggu. Hal ini berbeda jika perempuan diberi ruang untuk, berekspresi, bermanfaat untuk masyarakat. Menurut Iim, ketika perempuan beraktivitas kepercayaan dirinya meningkat dan sangat berpengaruh pada Kesehatan mental.

Pun dengan laki-laki yang dijadikan satu-satunya tulang punggung keluarga, menurut Iim juga rentan mengalami masalah Kesehatan mental. Sayangnya, fenomena ini tak tampak di masyarakat karena budaya patriarki yang kuat. Menurut Iim, patriarki ini menyakiti bukan hanya perempuan tetapi juga laki-laki.

Jika Iim sebagai perempuan yang aktif bekerja di dunia kreatif, Dilla kemudian melemparkan pertanyaan kunci kepada Deni Ramdhani—yang terbiasa bekerja dengan perempuan pekerja kreatif,, menyatakan bahwa perempuan sama potensialnya dengan laki-laki dalam dunia kreatif. Dengan pengalamannya di industri musik sebagai produser, Deni mengatakan bahwa perspektif perempuan sangat dibutuhkan dalam industri musik—ada beberapa bagian yang tak bisa diisi dengan perspektif laki-laki. Beberapa proyek yang dia kerjakan bahkan lebih dari setengah timnya berisi perempuan.

Ia kemudian mencerikan bagaimana kelas audio engineering yang ia ikuti selama mengenyam pendidikan master itu hanya berisi laki-laki. Ternyata Deni salah, karena kelas itu ternyata 40 persen diisi oleh perempuan, dan mereka dipekerjakan di festival worldwide. Menurut Deni ada beberpa style dan teknis yang akan susah untuk dipelajari laki-laki, seperti soal ketelitian dan sistem komando.

Iim dan Deni mengakui memang ada tantangan yang dihadapi oleh perempuan ketika memilih bekerja di dunia kreatif. Misalnya, menurut Iim, meskipun pemerintah sudah membuat regulasi mengenai kantor harus menyediakan daycare bagi karyawan yang memiliki anak, tetapi tidak semua perusahaan menyediakannya. Belum lagi terkait dengan pembagian peran domestik dan public yang sering ditanggung secara bersamaan oleh perempuan. menurut Iim harus ada kampanye mengenai pembagian peran yang setara.

Setelah mendapatkan dua gambaran bagaiman perempuan bekerja di dunia kreatif, baik dari pelaku dan mereka yang bekerja dengan perempuan. Dilla kemudian memberikan pertanyaan kunci kepada Nur Rofiah. Sebagai ulama perempuan yang akan menjawab bagaimana pandangan Islam dalam memandang perempuan yang bekerja di ruang publik. Sebab, selama ini banyak sekali pertanyaan atau gunjingan terhadap perempuan yang bekerja di ruang publik, terutama di dunia kreatif, yang tidak sesuai dengan tuntunan agama dan menyalahi kodrat perempuan yang seharusnya di dalam rumah.

Nur Rofiah menjelaskan bahwa Islam hadir juga bukan di ruang kosong tapi di masyarakat yang memiliki nilai yang telah berlangsung berabad-abad lamanya. Tidak hanya di Jazirah Arabiyah, tetapi di berbagai belahan dunia, nilai yang ada ketika Islam hadir, ada satu nilai sosial bahwa perempuan itu mutlak milik laki-laki seumur hidupnya. Perempuan harus bergantung pada izin pemiliknya. Tradisi ini sampai kepada ayah boleh menjual anak perempuan. Bahkan perempuan menjadi harta warisan.

Ada juga tradisi di mana istri harus membakar dirinya hidup-hidup bersamaan dengan jenazah suaminya yang mati untuk membuktikan kesetiaan. Tradisi-tradisi seperti ini sudah banyak yang punah, tetapi nilai bahwa perempuan itu milik laki-laki sepertinya tidak ikut punah.

Dalam merespon situasi ini, Islam menegaskan bahwa perempuan adalah manusia. Sebagai perempuan kita harus membangun kesadaran bahwa mereka adalah manusia. Apa itu manusia: makhluk fisik, intelektual dan spiritual. Punya akal dan hati nurani. Perempuan bukan hanya makhluk seksual apalagi objek seksual. Perempuan adalah makhluk intelektual dan spiritual seperti laki-laki. Nilai perempuan tidak sebatas pada jenis kelamin, tapi oleh sejauh mana mereka menggunakan akal dan hati nurani. Sehingga setiap kegiatan berdampak kemashlahatan kepada diri sendiri dan pihak lain.

Hal di atas menurut Nur Rifiah merupakan  prinsip dasar karena akan menjawab pertanyaan sebaiknya perempuan bekerja atau tidak? Bekerjanya yang seperti apa? Laki-laki maupun perempuan setiap tindakannya di dalam ataupun di luar rumah, harus berdampak mashlahat bagi diri sendiri dan pihak lain seluas-luasnya.

Menurut Nur Rofiah, cita-cita tertinggi kemanusiaan dalam Islam adalah hidup itu harus menjadi anugrah. Seperti cita-cita Islam sendiri, yaitu menjadi anugrah bagi semesta. Nur Rofiah mengajak untuk berefleksi ketika hendak bekerja, apakah pekerjaan yang dimiliki saat ini adalah anugrah atau musibah? Jika perempuan diidentifikasikan sebagai (hanya) orang rumah, itu menentang Islam. Karena perempuan bukan tamu di ruang publik, seperti juga laki-laki bukan tamu di ruang domestik. Keduanya punya kewajiban menghadirkan kemashlahatan sekaligus menikmatinya, dan mencegah kemungkaran sealigus dilindungi darinya.

Setelah tiga narasumber mendapatkan giliran menjawab pertanyaan kunci, Dilla kemudian memberikan kesempatan pada audiens untuk bertanya. Setidaknya ada 5 penanya dalam sesi diskusi itu. Umumnya pertanyaan yang diajukan dalam sesi diskusi itu berangkat dari kisah pribadi, misalnya seputar tekanan dalam menjalani hidup sebagai perempuan mandiri, pola pengasukan orang tua dalam isu keuangan, pembagian pengeluaran bagi pasangan yang sama-sama bekerja, hingga bagaimana harus berjuang menjadi ibu tunggal dengan berbagai perannya setelah ditinggal meninggal suami. Seluruh pertanyaan itu datang dari peserta perempuan, tetapi salah satu penanya datang bersama pasangannya. Acara ini ditutup dengan penampilan Panji Sakti dengan lagu Jiwaku Sekuntum Bunga Kamboja.

Meskipun acara dibuat hybrid, tetapi keintiman dan kehangatan tidak bisa dilepaskan dari talkshow ini. Beberapa hal yang membuat talkshow ini terasa hangat, di antaranya karena ruangan yang dipakai adalah kafe yang sebetulnya bangunan rumah. Sehingga peserta serasa sedang bertamu ke rumah teman. Kedua, seluruh rangkaian acaranya dibuat “dekat” dan santai, sehingga memungkinkan audiens untuk bisa berbagi kisah dan bertanya dengan leluasa. Ketiga, karena acara ini berkolaborasi dengan Komuji yang menghadirkan banyak peserta laki-laki. [NA]

Membaca Fikih Perempuan Bekerja dari Kacamata Dr. Muhamad Ali

Oleh Fadilla Putri

Tulisan ini diolah berdasarkan hasil diskusi buku Fikih Perempuan Bekerja, 21 Juli 2021

Dr. Muhamad Ali merupakan seorang Associate Professor of Religious Studies and Director of Middle East and Islamic Studies Program di University of California, Riverside, Amerika Serikat. Salah satu materi yang beliau ajarkan adalah terkait perempuan dan gender dalam sejarah, dalam agama-agama dan budaya, juga dalam konteks perkembangan gerakan pembebasan dan kesetaraan gender Muslim di Timur Tengah, Barat, dan Indonesia. Dr. Ali sangat mengapresiasi isi buku Fikih Perempuan Bekerja karena topik dalam buku ini sangat penting dan bisa menjadi bahan dan data kajian-kajian empiris bagaimana kenyataan sikap laki-laki dan perempuan terhadap perempuan bekerja di Indonesia. Menurutnya, ini adalah buku pertama yang membahas perempuan bekerja dalam konteks Indonesia. Ada beberapa poin hasil bacaan Dr. Ali, dan beliau fokus di Bab 3 tentang penggunaan maqashid syariah dalam mendukung perempuan bekerja.

Sebelumnya, Dr. Ali menggambarkan bagaimana kajian gender di Amerika. Meskipun kajian ini lebih dulu ada di Amerika daripada Indonesia, tetapi ini bisa berjalan bersamaan dan saling memengaruhi. Kajian-kajian di Amerika bisa memengaruhi di Indonesia, begitu juga sebaliknya. Artinya, kita masih mempunyai potensi yang luar biasa untuk melahirkan perempuan-perempuan sebagai penafsir. Misal bukunya Ibu Lies Marcoes yang berjudul Merebut Tafsir. Itu adalah salah satu contoh kita membutuhkan penafsir-penafsir baru dalam Islam. Karena di Amerika juga penafsir Islam masih didominasi oleh laki-laki. Beliau berharap buku ini bisa diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris, juga bisa mewarnai gerakan dan wacana kesetaraan gender khususnya perempuan bekerja di Amerika dan Indonesia.

Masalah perempuan bekerja bukan masalah komunitas Muslim saja, melainkan juga di komunitas agama lain. Di Amerika juga ada kajian yang menarik soal public role of women in America dan diskusinya juga mirip; mereka menggunakan teks-teks dan institusi agama yang cenderung patriarkal dan misoginis, karena memang majelis agama yang mengeluarkan aturan keagamannya kebanyakan laki-laki.

Kita biasa menggunakan kata Jahiliah, termasuk juga dalam buku ini. Kita membedakan antara masa Jahiliah dengan masa Islam, seolah-olah masa Islam (masa diturunkannya Al-Qur’an) itu sudah final dan dalam masa Jahiliah posisi semua perempuan kurang baik. Namun, kita perlu membaca juga sejarah pra-Islam. Kalau di dalam buku ini, perempuan sebelum Islam mengalami diskriminasi (tidak bisa bekerja, sulit menginisiasi perceraian, sulit menjadi pemimpin). Namun, dalam buku-buku sejarah pra-Islam, di masa pra-Islam (Jahiliah) banyak juga perempuan mempunyai posisi yang kuat dan mereka bekerja. Contohnya Siti Khadijah, ia bekerja sebelum menikah dengan Nabi Muhammad saw. Pada masa pra-Islam, perempuan yang independen dan mandiri itu sudah ada. Namun memang dominannya masih patriarkal. Tapi jangan mengatakan bahwa seluruh Jahiliah itu tidak memberikan peran perempuan yang setara.

Dulu, sebelum Islam, bukan hanya di Timur Tengah tetapi juga di Yunani, Romawi, Byzantium dan lainnya, sebetulnya mereka juga memiliki praktik yang beragam. Perempuan yang menjadi Nabi, menjadi Tuhan, dan figur Tuhan perempuan (female Goddess) cukup populer di beberapa peradaban sebelum Islam. Namun dalam peradaban Islam, Yahudi, dan Kristen, Tuhan digambarkan laki-laki, dan bahasa teks tentang Tuhan adalah laki-laki.

Selama ini kita kerap menyangka, Barat selalu baik dari pada Timur, begitu juga dalam kesetaraan gender. Nyatanya tidak begitu. Menurut Aristoteles, seorang filsuf Yunani, fungsi dan peran perempuan adalah memproduksi keturunan. Artinya, ia masih menganggap perempuan lebih rendah. Ia juga membandingkan bahwa perbandingan antara perempuan dan laki-laki adalah seperti jiwa dan badan, seperti berpikir rasional dan emosional. Hal inilah yang dikritik oleh para feminis di Barat. Mereka mengkritik sejarah yang misoginis, patriarkal, dan anti kesetaraan gender. Hal inilah yang perlu disampaikan pada tokoh agama; ini bukan persoalan Barat, bukan persoalan kita ingin meminjam Barat secara sepenuhnya dan dipaksakan untuk memahami persoalan Islam dan Timur.

Contoh lain tentang pra-Islam yang berkaitan dengan perempuan bekerja adalah, di buku ini ditulis transaksi ekonomi begitu kompleks untuk perempuan. Oleh karenanya, perempuan dianggap tidak pandai mengurus keuangan. Artinya, yang harus mengurus keuangan adalah laki-laki. Pandangan ini muncul dari hukum Athena dan Yunani, yang artinya di Barat pun menghadapi persoalan yang sama. Hal inilah yang kemudian dikritik oleh para feminis di Barat.

Beberapa catatan penting Dr. Ali dari buku Fikih Perempuan Bekerja adalah:

  1. Teks sebagai nash. Apakah teks seperti arrijalu qawwamuna ‘alannisa itu deskriptif atau preskriptif? Deskriptif itu hanya mendeskripsikan memang pada waktu turunnya ayat itu adalah arrijalu qawwamuna ‘alannisa. Namun kalau preskriptif, maka itu normatif. Kalau memahaminya secara preskriptif, maka laki-laki harus menjadi pemimpin. Memahami deskriptif dan preskriptif adalah dua paradigma yang berbeda. Inti yang secara umum dipahami adalah arrijalu qawwamuna ‘alannisa bukan sekedar khabar, tetapi insya’i. Ini adalah dua perspektif yang bisa saling menguatkan. Meskipun di dalam buku ini, arrijalu bisa jadi adalah perempuan dan rijal bukan berarti perempuan biologis. Makna rijal di dalam buku ini adalah penafsiran yang menarik dan progresif. Penafsiran seperti ini bisa terus dikembangkan.
  2. Apakah nash termasuk Al-Qur’an itu final atau sebagai proses. Kalau kita melihat Al-Qur’an sebagai final, kita akan sering mentok. Karena bagaimanapun di dalam Al-Qur’an tertulis tentang perbudakan atau tentang poligami. Kalau kita memahami teks sebagai final, perdebatannya akan sangat panjang karena mereka juga akan menganggap hal itu adalah preskriptif. Jadi memahami mana yang prinsipal, fundamental, dan furu’iyyah akan berbeda-beda. Oleh karenanya, muncul kelompok konservatif dan progresif karena teks itu sendiri yang dipahami secara final. Kalau kita menganggap Al-Qur’an sebagai proses, mungkin akan lebih baik. Menurut saya, perlu dikedepankan memahami teks Al-Qur’an (bukan hanya hadis) sebagai proses dan respons pada masa itu.
  3. Berkaitan dengan maqashid syariah, ada lima hak yang ditulis di buku ini. Maqashid syariah bisa konstruktif dan destruktif. Baik Salafi maupun Islamis juga ada yang menggunakan maqashid syariah untuk melanggengkan ketidaksetaraan gender. Tantangannya adalah bukan antara konservatif dan progresif, tetapi progresif yang Islamis dan progresif non-Islamis.
  4. Terakhir, tafsir kita masih komunalisme (berpikir tentang komunitas) yang mengandung unsur conformity, yaitu bagaimana meng-conform terhadap yang mayoritas (mainstream). Menurut beliau, salah satu tantangannya adalah bagaimana perempuan diberikan ruang seluas-luasnya untuk memiliki agensi dan memiliki otonomi individual. Boleh saja perempuan itu sebagai pribadi berbeda dari orang lain, termasuk berbeda dari keluarga atau Hal yang dijamin dalam konsep feminis Barat adalah otonomi individual sehingga perempuan menjadi kritis, mandiri, dan bisa menafsirkan ulang teks-teks sesuai dengan apa yang ia rasakan sebagai kebenaran berdasarkan pengalamannya. Karena menurut beliau, maqashid syariah bukan hanya soal proteksi, tetapi persoalan kebebasan.