Kala Rumah Doa Menjadi Rumah Duka
Apabila hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu (Nabi Muhammad) tentang Aku, sesungguhnya Aku dekat. Aku mengabulkan permohonan orang yang berdoa apabila dia berdoa kepada-Ku. Maka, hendaklah mereka memenuhi (perintah)-Ku dan beriman kepada-Ku agar mereka selalu berada dalam kebenaran (QS. Al-Baqarah [2]: 186).
Ayat tersebut menjadi rangkaian ayat yang tertulis dalam Al-Quran bersanding dengan ayat perintah puasa. Mengapa perintah berdoa berdampingan dengan ajakan untuk berpuasa? Esensi puasa adalah menahan dan mengendalikan hawa nafsu, termasuk dalam berdoa. Sering kali kita berdoa dengan penuh luapan nafsu agar keinginan segera terpenuhi.
Padahal doa bukanlah lampu aladin, kata Kang Jalal allahu yarham. Apa yang kita panjatkan belum tentu langsung dikabulkan. Sebab Tuhan tahu yang terbaik bagi hamba-Nya. Boleh jadi doa kita diijabah dengan cara lain atau ditunda untuk kemaslahatan yang lebih utama. Doa butuh pengendalian dan kesabaran. Ketika Tuhan belum mengabulkan, boleh jadi pula karena Tuhan rindu mendengar suara rintihan hamba-Nya di malam hari. Intinya, ada banyak alasan mengapa doa belum terlaksana.
Selain soal itu, munasabah ayat tentang doa dan puasa dalam kitab suci itu juga memberikan refleksi terbaru bagi penulis. Tepatnya setelah membaca berita pembubaran dan penyerangan rumah doa umat Kristiani di Padang. Dalam video yang beredar, tampak sekelompok orang yang dengan angkuh membawa balok kayu dan merusak bangunan milik jemaat Gereja Kristen Setia Indonesia (GKSI), di Padang Sarai, Padang.
Ini bukan lagi soal oknum, tetapi ada masalah sistemik dari cara keberagamaan kita hari ini. Ketika agama hanya ingin dipahami secara parsial dan sesuai dengan nafsunya saja. Karenanya ayat di atas menjadi relevan untuk kita renungkan dalam kejadian ini. Peristiwa tersebut bukan satu-satunya. Ada banyak catatan kelam, umat Kristiani, Hindu, Buddha, Syiah, Ahmadiyah, Muhammadiyah, penghayat kepercayaan, yang rumah ibadah, tempat mereka berdoa, justru dihancurkan atas nama Tuhan.
Ayat di atas mengajarkan kepada kita bahwa Tuhan itu amat dekat. Dia bisa disembah dan didatangi dari mana saja. Kita bisa berdoa kapan pun, bahkan dalam relung hati terdalam yang tak terdengar oleh suara manusia. Pun doa mereka yang terzalimi, tersiksa, terluka adalah rintihan pertama yang akan didengar oleh Sang Pencipta. Bukan hanya kita perlu bersabar dalam berdoa, tetapi kita juga perlu mengendalikan nafsu, menghormati mereka yang berbeda cara dalam berdoa. Bahwa kita tidak sepakat dengan caranya, tak bisa jadi alasan untuk membubarkan secara paksa.
Pola pikir dikotomis-parsial-diskriminatif ini juga tercermin dari bagaimana sebagian besar masyarakat Indonesia mengidolakan dan menyambut kedatangan Zakir Naik. Bagi sebagian orang, ia adalah manifestasi dari penyelamat akidah. Tentu perlu digarisbawahi juga, tidak masalah orang mau memujanya atau tidak. Itu bagian dari kebebasan. Yang menjadi persoalan adalah, gaya dakwah Zakir Naik yang terbuka secara lebar menantang dan mencari kesalahan dari ajaran agama lain, justru memperuncing diskriminasi yang terjadi di akar rumput.
Gaya dakwah konfrontatif itu, meskipun sah, tidak elegan dan bermartabat. Ditambah lagi, ada standar ganda yang digunakan oleh sebagian besar masyarakat kita. Ketika Zakir Naik diberikan panggung begitu lebar, tatkala tokoh agama lainnya mau ‘berdakwah’ secara terbuka, justru dilarang dan dibubarkan. Jangankan berdakwah di ruang terbuka, berdoa di rumah sendiri saja masih mengalami persekusi.
Dalam Al-Quran surat Al-Hajj ayat 39-40, Allah Swt berfirman:
اُذِنَ لِلَّذِيْنَ يُقَاتَلُوْنَ بِاَنَّهُمْ ظُلِمُوْاۗ وَاِنَّ اللّٰهَ عَلٰى نَصْرِهِمْ لَقَدِيْرٌ ۙ ٣٩ ۨالَّذِيْنَ اُخْرِجُوْا مِنْ دِيَارِهِمْ بِغَيْرِ حَقٍّ اِلَّآ اَنْ يَّقُوْلُوْا رَبُّنَا اللّٰهُ ۗوَلَوْلَا دَفْعُ اللّٰهِ النَّاسَ بَعْضَهُمْ بِبَعْضٍ لَّهُدِّمَتْ صَوَامِعُ وَبِيَعٌ وَّصَلَوٰتٌ وَّمَسٰجِدُ يُذْكَرُ فِيْهَا اسْمُ اللّٰهِ كَثِيْرًاۗ وَلَيَنْصُرَنَّ اللّٰهُ مَنْ يَّنْصُرُهٗۗ اِنَّ اللّٰهَ لَقَوِيٌّ عَزِيْزٌ ٤٠
39. Diizinkan (berperang) kepada orang-orang yang diperangi karena sesungguhnya mereka dizalimi. Sesungguhnya Allah benar-benar Maha Kuasa membela mereka. 40. (Yaitu) orang-orang yang diusir dari kampung halamannya, tanpa alasan yang benar hanya karena mereka berkata, “Tuhan kami adalah Allah.” Seandainya Allah tidak menolak (keganasan) sebagian manusia dengan sebagian yang lain, tentu telah dirobohkan biara-biara, gereja-gereja, sinagoge-sinagoge, dan masjid-masjid yang di dalamnya banyak disebut nama Allah. Sungguh, Allah pasti menolong orang yang menolong (agama)-Nya. Sesungguhnya Allah benar-benar Maha Kuat lagi Maha Perkasa.
Ayat ke 39 surat Al-Hajj tersebut memang menjadi legitimasi untuk berperang. Namun, perlu membacanya secara cermat agar tidak menjadi umat yang gampang menebar laknat. Perang hanya diperbolehkan jika kita terlebih dahulu diserang. Seperti apa yang dilakukan oleh Zionis kepada warga Gaza hari ini. Ketika kita marah ada masjid dan gereja yang dibom di Gaza, lantas mengapa justru dengan bangga kita melakukan kekejaman yang sama, seperti apa yang dilakukan oleh zionis di sana.
Pun dalam keadaan berperang, etika yang perlu dijaga, tak boleh sekecil pun kerusakan dalam rumah ibadah. Ayat tersebut tidak menyebutkan masjid saja, tetapi juga biara, gereja dan sinagoge. Semua rumah ibadah, yang di dalamnya disebut nama Allah, tak boleh dirusak. Apalagi atas nama Allah. Sekarang mari berkaca lagi dengan kasus yang terjadi di negeri ini. Kita tidak dalam kondisi berperang, tetapi rumah ibadah terus diserang. Padahal ketika peperangan berlangsung sekali pun, haram merusak rumah ibadah.
Sebagai informasi tambahan, dalam ayat tersebut, sinagoge, rumah ibadah Yahudi, menggunakan redaksi shalawaat, satu akar kata dengan shalat, yang saat ini dimaknai secara eksklusif sebagai ritual ibadah umat Islam. Mengapa Al-Quran menggunakan redaksi shalawat untuk sinagoge? Ini juga berkaitan erat dengan bagaimana kesinambungan tradisi Yahudi, Kristen dan Islam sebagai agama Ibrahim. Lagi-lagi, informasi seperti ini hanya berguna bagi mereka yang mau membaca dengan hati dan pikiran, bukan dengan caci dan kebencian.
Kasus pembubaran tersebut juga kian menyayat hati, karena yang dirusak bukan hanya bangunan, tetapi juga kemanusiaan. Ada dua anak yang menjadi korban. Selain luka fisik, ada puluhan anak juga orang dewasa yang hadir di sana, mempunyai trauma mendalam. Luka yang mendalam itu juga hadir kembali bagi ribuan kelompok minoritas di negeri ini yang punya pengalaman sama, setelah menonton cuplikan video amukan massa tersebut.
Menghancurkan rumah ibadah saja terlarang, apalagi menyerang mereka yang dalam hatinya ada Tuhan. Terlebih anak kecil yang belum mempunyai kesalahan. Kasus ini hanyalah satu di antara tumpukan kejadian intoleransi yang terjadi di negeri ini.
Jika tidak ditangani dan dipulihkan, kejadian ini akan menggelinding menjadi bola salju, makin hari kian membatu, menguat dan kapan pun bisa meledak menjadi bom waktu. Para korban layak untuk marah, apalagi di tengah kondisi negara yang kian payah. Tetapi sampai kapan luapan marah dan dendam itu terus ditanam?
Mari kelola kemarahan itu untuk memulihkan hubungan. Dan itu perlu dimulai dari sikap tegas negara yang hadir berpihak pada korban. Dalam hal ini, Kementerian Agama perlu menjadi menteri yang benar-benar mengayomi semua warga. Di samping itu, gerakan dialog dan ruang jumpa di akar rumput juga perlu terus didukung. Kita sadar bahwa relasi ini sedang sakit, maka saatnya kita bangkit.
Sebagaimana teladan Almasih yang memberikan kasih, hatta kepada musuh sekali pun, memang berat, tapi dengan cara itulah kita bisa kembali melangkah. “Dengan hidup yang hanya sepanjang tarikan nafas, jangan tanam apa pun selain cinta”, demikian kata Rumi.

