Pos

Menyusuri Jalan Sunyi Gerakan Kolektif Perempuan

“Kenduri Suara Ibu Indonesia” menjadi tagline kegiatan kolektif perempuan di Yogyakarta. Jumat, 26 September lalu, di depan bundaran UGM, ratusan ibu berkumpul membunyikan panci secara lantang. Aksi ini sebagai simbol keprihatinan sekaligus perlawanan mereka terhadap Kejadian Luar Biasa (KLB) keracunan massal pelajar sekolah di berbagai wilayah Indonesia.

Keracunan tersebut terjadi sejalan dengan kegiatan Makan Bergizi Gratis (MBG) yang menjadi program unggulan pemerintah. Meski mempunyai niat yang baik untuk memenuhi gizi anak Indonesia, nyatanya MBG mempunyai banyak catatan kelam. Alih-alih melakukan perbaikan, Badan Gizi Nasional (BGN) yang menggawangi MBG justru seolah diam. Puncaknya, banyak ibu yang meneteskan air mata melihat anaknya kesakitan pasca menyantap hidangan dari negara. Kesedihan itu pun membuat para ibu menjadi geram dan menolak bungkam.

Upaya memukul panci yang dilakukan oleh perempuan di Yogyakarta ini menjadi peringatan keras bagi negara. Jangan bermain-main dengan nyawa, apalagi kehidupan anak muda sebagai penerus bangsa. Juga menjadi penegas bahwa urusan pangan, serahkan pada ahlinya.

Sejak awal, MBG lebih erat dengan gerakan politik-militeristik. Hal ini dapat dilihat dari jajaran petinggi BGN yang mayoritas diisi oleh para jenderal TNI. Alhasil BGN juga sangat kental dengan nuansa maskulinitas dan menegasikan fungsi feminim dalam proses penyediaan pangan.

Gerakan kolektif perempuan di Yogyakarta ini mengingatkan publik pada ruang sepi yang banyak diisi oleh perempuan. Mereka memang tidak tersorot kamera, tetapi punya peran penting dalam menentukan arah negara. Setidaknya ada empat poin penting yang dapat dipahami dari gerakan kolektif perempuan.

Pertama, perempuan dan gerakan nir-kekerasan. Gerakan kolektif perempuan erat kaitannya dengan aksi ahimsa, menolak kekerasan. Hal ini dapat dilihat dari bagaimana peran perempuan di wilayah konflik. Pasca terjadinya perpecahan, perempuan menjadi sumber utama untuk memulihkan hubungan.

Bagaimana perempuan di Poso dan Ambon turun saling merangkul satu sama lain setelah terjadi peristiwa berdarah. Di luar negeri, gerakan perempuan di Libanon yang diabadikan dalam film “Where Do We Go Now” menegaskan agensi perempuan di tengah peperangan.

Kedua, perempuan dan isu pangan. Gerakan “Kenduri Suara Ibu” di Yogyakarta tersebut juga menegaskan peran perempuan yang amat vital dalam isu pangan. Memang pandangan ini juga melekat stereotip gender peran istri yang sebatas dapur, kasur dan sumur.

Namun, sebenarnya gerakan pangan tak dapat dilepaskan dari peran perempuan. Bukan dengan pemahaman bahwa perempuan tugasnya semata memasak di dapur. Melainkan ada unsur kesuburan dan perawatan tanah dalam kegiatan pertanian.

Pernyataan seperti “tanah yang membawa berkah” mempunyai konsekuensi bahwa ibu pertiwi bermurah hati menyuburkan tanah. Pandangan semacam ini, menurut Jan Douwe Van Der Ploeg dalam “Petani dan Seni Bertani”, dihidupi oleh berbagai masyarakat dunia.

Di Indonesia, ada istilah ibu pertiwi, sosok yang mengayomi dan memulihkan tanah tempat berpijak, sehingga terus dapat memberikan manfaat. Kemelekatan sosok “ibu” dalam isu pangan bukan hanya persoalan masak-memasak, tetapi sifat keibuan yang menumbuhkan, menghasilkan dan memulihkan.

Selain isu pangan, perempuan juga erat kaitannya dengan perihal ketahanan keluarga. Ini menjadi poin ketiga. Perempuan berhubungan dengan pendidikan dan kesehatan anak. Dua isu, yang seharusnya juga menjadi perhatian laki-laki.

Dalam sejarah, terutama menjadi sejarah kelam Indonesia yang selalu diperingati di akhir September ini, ada Gerakan Wanita Indonesia (Gerwani) yang pernah eksis, tetapi kemudian hancur lebur bersama politik rasis yang menghegemoni. Gerwani yang awalnya gerakan kolektif perempuan dan ikut mengusir penjajah, kemudian dicap sebagai gerakan komunis bejat dan biadab.

Padahal misi organisasi ini tak lain adalah untuk memberikan ruang pada perempuan dan anak untuk mendapatkan hak hidup, terutama soal pangan, pendidikan dan kesehatan. Sebagaimana yang diulas oleh Josepha Sukartiningsih dalam tulisan “Ketika Perempuan Menjadi Tapol” yang termuat dalam buku Tahun yang Tak Pernah Berakhir, ia menghadirkan berbagai kisah ex-Gerwani yang dipersekusi oleh negara. Bahkan sebagian dari mereka juga ada yang dipaksa menjadi Gerwani, meskipun sebenarnya mereka tak terlibat dengan organisasi tersebut.

Dari berbagai kisah, tampak bahwa gerakan perempuan ini pada mulanya tak ambil pusing dengan kegiatan politik. Bahkan mereka juga mengambil jarak dengan Partai Komunis Indonesia (PKI). Meski pada saat yang sama, mereka pun mempunyai hubungan dengan semangat ‘komunis’ yang fokus pada pemberdayaan masyarakat kecil melawan penindasan.

Terlepas dari pro-kontra seputar komunisme, tetapi poin yang perlu dipahami dari bagian sejarah yang dihilangkan ini adalah peran perempuan sejak awal kemerdekaan yang tumbuh serta membangun ketahanan keluarga. Perempuan tidak hanya berdiam diri di rumah, tetapi ikut terlibat dalam ruang perjuangan bersama laki-laki.

Pada akhirnya, dari kesadaran individu perempuan, membentuk kesadaran kolektif. Dengan semangat keibuan, perempuan lebih mudah membentuk gerakan kolektif karena terikat pada nilai senasib-seperjuangan. Perempuan lebih mudah memahami penderitaan perempuan korban kekerasan seksual dan kekerasan fisik. Terutama di lingkungan yang masih memberikan ruang gerak bagi pemahaman patriarki.

Sejarah mencatat mulai dari gerakan awal, ada Kartini, Dewi Sartika, Cut Nyak Dien, Martha Christina Tiahahu, Rasuna Said, dan seabrek nama yang turut memperjuangkan kemerdekaan Indonesia. Dalam perkembangan berikutnya, negara ini pun mencatat perjuangan Marsinah yang berjuang bersama buruh PT. Catur Putra Surya, September 1993. Marsinah, kala itu hingga kini menjadi ikon gerakan buruh yang menuntut keadilan.

Sayangnya, perjuangannya berakhir dengan kematian tragis. Hingga saat ini, kematiannya masih menyisakan misteri besar sebagaimana diulas oleh ahli forensik Indonesia, dr. Abdul Mun’im Idries, Sp.F. dalam buku Indonesian X-Files: Mengungkap Fakta dari Kematian Bung Karno sampai Kematian Munir.

Meski Marsinah telah tiada, tetapi perjuangan perempuan untuk terus bersuara tidak pernah sirna. Gerakan kolektif yang dilakukan oleh perempuan, ibarat gerombolan lebah yang membuat sarang madu. Mereka tak banyak bersuara, apalagi koar-koar, berteriak seperti kokokan ayam setiap pagi. Meski diam, dari gerakan kolektif lebah itu menghasilkan madu yang menyehatkan. Namun, ketika sarangnya diganggu, kawanan lebah tak akan bungkam. Mereka akan melawan, dengan senyap, penuh perjuangan.

Itulah potret dari jeritan ibu di seluruh Indonesia ketika anaknya diracun oleh makanan yang disediakan negara. Kehadiran dan jeritan mereka tidak boleh dianggap remeh. Perempuan adalah perwakilan dari setengah masyarakat. Pukulan panci yang disuarakan oleh kumpulan ibu, jauh lebih dahsyat kekuatannya daripada senapan yang disodorkan oleh aparat.

“Anda tidak dapat melakukan revolusi tanpa perempuan. Anda tidak dapat mewujudkan demokrasi tanpa perempuan. Anda tidak dapat memiliki kesetaraan tanpa perempuan. Anda tidak dapat memiliki apa pun tanpa perempuan. Slogan revolusi adalah martabat, keadilan sosial, dan kebebasan. Anda tidak dapat memiliki ketiganya, tanpa perempuan”, demikian tegas Nawa El Saadawi.