SEASPIRACY: Penjajahan Laut Terbesar Umat Manusia
Sewaktu kecil, saya sangat menyukai sirkus binatang. Ada simpanse, berang-berang, paus, dan lumba-lumba. Bagi saya, mereka adalah hewan yang cerdas, bahkan lebih pintar daripada saya saat itu.
Namun, seiring bertambahnya usia, saya tak lagi bisa menikmati pertunjukan-pertunjukan tersebut. Pikiran saya terusik: dari mana hewan-hewan itu berasal? Bagaimana mereka bisa sampai ke kebun binatang? Apakah wajar membiarkan hewan-hewan itu hidup di luar habitat aslinya?
Keresahan ini sepertinya mirip dengan apa yang dirasakan Ali Tabrizi, sutradara film dokumenter fenomenal berjudul “Seaspiracy.” Ali, yang mencintai laut sejak kecil dan sangat peduli pada ekosistemnya, justru menemukan banyak permasalahan di dalamnya.
Film Seaspiracy mengubah cara pandang saya tentang kondisi laut saat ini. Jika saya bertanya kepada Anda, apa masalah terbesar di laut? Sebagian besar dari Anda mungkin akan menjawab “sampah plastik.” Jawaban itu tidak sepenuhnya salah, tetapi ternyata sampah plastik bukanlah ancaman terbesar bagi lautan.
Ali Tabrizi mengungkapkan dalam Seaspiracy bahwa sampah plastik seperti sedotan, kemasan makanan, dan sejenisnya hanya bagian kecil dari masalah laut. Yang lebih berbahaya adalah sampah alat tangkap ikan, yang justru jauh lebih merusak ekosistem laut.
Meskipun masih ada perdebatan tentang dampak sampah plastik di laut, Ali Tabrizi dengan tegas mengatakan bahwa upaya menyelamatkan lautan dengan menghentikan penggunaan sedotan plastik itu seperti mencoba menyelamatkan hutan Amazon dari penebangan dengan memboikot tusuk gigi. Sangat tidak efektif.
Film ini memperlihatkan bagaimana alat tangkap ikan yang rusak dibuang begitu saja ke laut, menyebabkan kerusakan lebih parah. Yang lebih mengejutkan, kapal-kapal besar perikanan tidak hanya membuang alat tangkap yang rusak, tetapi juga membuang ikan hasil tangkapan yang dilarang, seperti paus, lumba-lumba, dan hiu, dalam keadaan mati.
Ali Tabrizi mendokumentasikan bagaimana paus, hiu, dan lumba-lumba yang tertangkap secara tidak sengaja dibuang kembali ke laut dalam kondisi mati. Padahal, hewan-hewan ini dilindungi oleh hukum internasional karena mereka berada di ambang kepunahan, dan memiliki peran penting dalam menjaga keseimbangan ekosistem laut.
Jika Anda menonton Seaspiracy dengan seksama, ada banyak sekali permasalahan yang merusak lautan. Setidaknya, saya mencatat delapan di antaranya:
- Sampah plastik
- Sampah alat tangkap ikan
- Perburuan ikan yang dilindungi (paus, hiu, lumba-lumba, dll.)
- Overfishing (penangkapan ikan berlebih)
- Penggunaan pukat harimau
- Perbudakan di kapal
- Pencemaran dari kapal pengangkut minyak dan batu bara
- Budidaya ikan laut yang tidak berkelanjutan
Permasalahan-permasalahan ini sangat kompleks dan saling terkait. Memperbaikinya tentu tidak mudah. Dalam filmnya, Ali Tabrizi dengan lantang mengkampanyekan agar kita berhenti mengonsumsi ikan laut. Menurutnya, jika permintaan ikan menurun, industri perikanan akan mengurangi penangkapan berlebih, sehingga laut dapat memulihkan diri dari kerusakan.
Namun, kita perlu memahami bahwa kampanye untuk berhenti makan ikan tidak semudah yang dibayangkan. Bagi kelas menengah ke bawah, ikan laut masih menjadi sumber protein termurah. Oleh karena itu, alih-alih berhenti mengonsumsi ikan, mungkin langkah yang lebih bijak adalah mengurangi penggunaan sampah plastik.
Sedangkan bagi kelas menengah ke atas yang memiliki banyak pilihan sumber protein, mungkin mereka bisa mempertimbangkan untuk mendukung kampanye melawan overfishing. Selain itu, pemerintah harus bersikap tegas dalam menindak pelanggaran yang merusak ekosistem laut, termasuk praktik illegal fishing. Seperti yang sering diucapkan Ibu Susi Pudjiastuti (Mantan Menteri Kelautan dan Perikanan Indonesia), “Tenggelamkan!”