Pos

Demokrasi Terbelenggu Feodalisme

Ketika membaca tulisan Rosihan Anwar di Kompas, 4 Desember 2010, dengan judul “Inlander Dinilai,” saya memikirkan apakah perilaku kita yang tidak peduli, nir-empati, ditunjukkan dengan perilaku korupsi yang angkanya fantastis, adalah karena karakter inlander yang masih melekat akibat amnesia post-kolonialisme.

Dalam tulisan “Inlander Dinilai,” digambarkan karakter inlander oleh wartawan Willem Walraven (1887-1943). Menurut Walraven, inlander bukan orang demokratis, melainkan orang otokratis yang mau kuasa sendiri tanpa batas, orang angkuh namun biasanya tidak ada arti, membunuh atau bercerai karena hal remeh-temeh, minta berhenti bekerja karena soal sepele. Orang Indonesia terhormat adalah seorang materialis ’mementingkan serba kebendaan, sama sekali bukan idealis ‘hidup dengan cita-cita atau ideal.’ Orang Indonesia bukan Marxis, bukan sosialis, melainkan betul-betul tipikal orang borjuis.

Ciri-ciri yang disebutkan oleh Walraven adalah karakter yang digambarkan oleh Mochtar Lubis tentang manusia Indonesia. Tahun 1977, Mochtar Lubis menyampaikan pidato kebudayaannya di Taman Ismail Marzuki (TIM). Isi pidatonya tentang sifat-sifat manusia Indonesia yang hipokrit, enggan bertanggung jawab, bersikap dan berperilaku feodal, percaya takhayul, artistik serta berbakat seni, dan lemah watak atau karakternya.

Karakter manusia Indonesia yang digambarkan dalam tulisan “Inlander Dinilai” oleh Rosihan Anwar dan sifat-sifat manusia Indonesia oleh Mochtar Lubis menjelaskan kenapa manusia Indonesia dikendalikan dalam kekuasaan negara kuat orba dan demokrasi berjalan di tempat setelah reformasi.

Proses pengendalian, hierarki, sentralisasi, stabilitas dari ciri negara kuat orba yang merupakan ciri dari bapakisme hidup di alam bawah sadar masyarakat Indonesia dan kemungkinan makin menguat di periode lima tahun terakhir dengan pernyataan terbuka dengan istilah “Raja Jawa.”

Menurut Langenberg (1986: 9-10), pengertian tentang bapak adalah dasar dari seluruh struktur stratifikasi sosial di Indonesia. Setiap patron adalah bapak, setiap klien mempunyai seorang bapak. Dengan demikian, paham “bapakisme” merasuki perilaku aparat negara pada semua tingkat, dan semua hubungan adalah hubungan “bapak-anak buah.”

Hubungan patronistik inilah yang merupakan ciri dari feodalisme: hubungan ketergantungan antara patron-klien. Bapakisme dengan patronnya “priyayisasi” yang kata kuncinya adalah elite (Jawa). Bapakisme adalah perpaduan antara kapitalisme dan feodalisme Jawa (Julia Suryakusuma, 2011). Kata kunci patron-klien menggambarkan hubungan antara pemimpin dengan anak buah atau rakyat, menjelaskan bagaimana sistem demokrasi yang memberi ruang agar terbentuk individu yang independen dan kebebasan berpikir serta memutuskan pilihan tidak terwujud karena kontrol dari hubungan patron-klien. Demokrasi Indonesia sejak orba sampai saat ini digambarkan sebagai demokrasi terbelenggu feodalisme.

Apa yang dikhawatirkan tentang feodalisme dan fasisme yang akan membelenggu demokrasi saya kutip dari pemikiran Syahrir tentang feodalisme dan fasisme.

Fasisme adalah ideologi absolut yang memposisikan perintah pemimpin laksana titah raja. Fasisme tumbuh subur dalam kultur feodalistik: budaya hamba yang membungkuk kepada majikan (penguasa) secara berlebihan.

Jika kita sebagai masyarakat Indonesia menyadari bahwa persoalan besar penghambat kemajuan bangsa adalah pada diri kita sebagai inlander, maka kita harus memikirkan solusi atau jalan keluar dari persoalan tersebut dan mengikis habis mental inlander.

Syahrir sudah memikirkan cara untuk keluar dari belenggu feodalisme dan kecenderungan fasisme. Fasisme yang disebut Syahrir dengan otoriter, misalnya perilaku membungkam kebebasan berpikir dan berpendapat dengan cara kekerasan, baik fisik maupun bully. Syahrir menganjurkan revolusi sosial untuk mengendalikan feodalisme dan kecenderungan otoriter.

Revolusi sosial itu bertujuan untuk membebaskan rakyat dari belenggu feodalisme lama dan dari jebakan-jebakan fasisme yang muncul bersamaan dengan imperialisme-kapitalisme yang tak terkendali (Sjahrir, 1994: 11-12).

Pendapat Syahrir tentang pendidikan yang berorientasi pada cita-cita yang tinggi membentuk budi baru, manusia baru, masyarakat baru (Sjahrir, 1982: 240). Pertanyaan: bagaimana membentuk budi manusia, manusia baru, dan masyarakat baru dengan mengikis habis mental inlander? Salah satu caranya adalah dengan pendidikan individu keluarga dalam seluruh siklus kehidupan mereka dengan metode pendampingan.

Alasannya adalah dengan memutus mata rantai hubungan patron-klien, menumbuhkan karakter nation, kesetaraan, keadilan, dan kemandirian yang disatukan oleh nasionalisme, cinta tanah air tanpa ketergantungan hubungan antara individu dengan organisasi, kelompok, atau kader dalam partai.

Menghilangkan ketergantungan hubungan antara patron-klien akan bisa menghilangkan karakter membungkuk, menghamba, dan ketergantungan. Pembentukan nation and character building masyarakat Indonesia yang dicita-citakan oleh the founding fathers harus dilakukan melalui pendidikan berkelanjutan dalam seluruh siklus kehidupan manusia dan pendampingan oleh tenaga ahli yang terlepas dari intervensi hubungan birokratis dan hierarki kekuasaan.

Pendidikan nation and character building dengan pembentukan nasionalisme haruslah berdasarkan kemanusiaan. Menurut Syahrir, nasionalisme tanpa demokrasi akan bersekutu dengan feodalisme yang mengarah pada fasisme. Kunci sosialisme-demokrasi atau sosialisme-kerakyatan adalah kemanusiaan. Konsep itu sudah saya canangkan dalam program rumah pengasuhan anak dan pendidikan keluarga yang diharapkan dapat dilaksanakan oleh kader perempuan NU dan Muhammadiyah. Kemanusiaan menurut Syahrir berdasarkan kepada kepercayaan pada persamaan, keadilan, dan kerja sama sesama manusia yang bisa diwujudkan dengan mendorong keterlibatan kelompok civil society seperti ormas Muslimat NU, Fatayat NU, dan Aisyiyah dengan konsep filantropi. Operasional rumah pengasuhan anak dan pendidikan dijalankan secara gotong royong dengan konsep filantropi.

Kebiasaan berfilantropi atau berbagi untuk sesama akan mengikis mental materialistis atau kebendaan yang merupakan ciri inlander. Ketamakan akan kebendaan dapat menyebabkan manusia bertindak otoriter karena ideologi bapakisme bercirikan petit borjuis dan merupakan perpaduan antara kapitalisme dengan feodalisme Jawa.

Ketika manusia membiasakan diri berbagi dengan sesama dan melayani, maka feodalisme yang menganggap kelompok elitis dan priyayi akan berubah menjadi rasa kemanusiaan. Kemanusiaan menurut Syahrir adalah kepercayaan pada persamaan, keadilan, dan kerja sama sesama manusia.

Alasan dari keterlibatan perempuan sebagai garda terdepan pencanangan program rumah pengasuhan anak dan pendidikan keluarga adalah karena sifat dari domestifikasi perempuan sebagai ibu. Kongres Perempuan Kedua tahun 1938 mencetuskan perempuan Indonesia sebagai ibu bangsa yang menanamkan nilai nasionalisme di keluarga dan masyarakat. Nasionalisme yang tunduk pada demokrasi harus dilaksanakan berdasarkan kemanusiaan. Menurut Syahrir, nilai kemanusiaan adalah dasar dari pembentukan nation and character.

Domestifikasi perempuan bisa berdampak positif jika diarahkan dengan cara yang tepat untuk tujuan ketahanan keluarga Indonesia. Ketahanan keluarga Indonesia adalah pelibatan peran ibu atau perempuan untuk pembentukan nation and character, sebagaimana manusia baru seperti yang dijelaskan Syahrir tentang manusia dengan budi baru, manusia baru, dan masyarakat baru.

Inilah saatnya kita berpikir untuk memutus mata rantai feodalisme yang membelenggu demokrasi yang bersumber dari karakter dasar inlander yang mengalami amnesia post-kolonialisme.

Memutus mata rantai hubungan patron-klien agar fasisme yang bercirikan otoriter, yang tercerminkan dalam kehidupan sosial masyarakat seperti tawuran, kekerasan dalam berbagai bentuk termasuk relasi kuasa, kecenderungan bertindak semau gue selagi berkuasa termasuk korupsi fantastis dan penyalahgunaan kekuasaan, bisa dikikis dari mental inlander agar terbentuk budi baru, manusia baru, masyarakat baru.

Daftar Pustaka:

  • Suryakusuma, Julia. 2011. Ibuisme Negara: Konstruksi Sosial Keperempuanan Orde Baru. Jakarta: Komunitas Bambu.
  • Syahrir, Sutan. 1994. Perjuangan Kita. Jakarta: Pusat Dokumentasi Guntur 49.
  • Syahrir, Sutan. 1982. Sosialisme Indonesia: Pembangunan Kumpulan Sutan Syahrir. Jakarta: Lembaga Penunjang Pembangunan Nasional (LEPPENAS).

Wajah Bapak-Ibuisme Keterkaitan dengan Perilaku Korupsi

KETIKA membaca berita kepala daerah terkena operasi tangkap tangan (OTT), maka pertanyaan yang berkelindan di pikiran adalah apakah korupsi merupakan persoalan personal individu, ataukah persoalan sistem dan struktur sosial masyarakat yang membudaya, sehingga membentuk dan mendorong pelaku korupsi.

Berdasarkan keterangan Wakil Ketua KPK, Nurul Ghufron, ada 429 kepala daerah hasil Pilkada yang terjerat kasus korupsi. Fenomena jumlah fantastis kepala daerah yang terjerat kasus korupsi, serta fenomena gunung es yang belum terungkap, dapat dijelaskan melalui pernyataan Julia Suryakusuma. Menurut Julia, di era Orde Baru, rajanya hanya satu yaitu Soeharto, sementara di era desentralisasi, terjadi devolusi kekuasaan yang menyebar, sehingga muncul raja-raja baru di daerah.

Julia Suryakusuma, dalam disertasi Ibuisme Negara, menjelaskan bagaimana munculnya kekuasaan otoriter yang didasari oleh doktrin bapak-ibuisme.

Hubungan Patron-Klien Penyebab Budaya Ewuh-Pakewuh (Sungkan)

Menurut Langenberg (1986: 9–10), pengertian tentang bapak adalah dasar dari seluruh struktur stratifikasi sosial di Indonesia. Setiap patron adalah bapak, dan setiap klien memiliki seorang bapak. Dengan demikian, paham “bapakisme” merasuki perilaku aparat negara di semua tingkat, di mana semua hubungan menjadi hubungan “bapak-anak buah”. Hubungan patronistik ini adalah ciri khas feodalisme, berupa ketergantungan antara patron dan klien.

Bapak-ibuisme, dengan patronnya yang bercirikan “priyayisme,” adalah perpaduan antara kapitalisme dan feodalisme Jawa (Julia Suryakusuma, 2011). Kata kunci patron-klien menggambarkan hubungan antara pemimpin dengan anak buah atau rakyat. Hal ini menjelaskan bagaimana sistem demokrasi yang seharusnya memberikan ruang bagi individu untuk independen dan bebas berpikir serta memutuskan pilihan, tidak dapat terwujud karena kontrol hubungan patron-klien.

Ideologi bapak-ibuisme, dengan patronnya yang bercirikan priyayisme, feodalisme Jawa, serta struktur hierarki kekuasaan birokrasi negara, memanifestasikan stratifikasi sosial yang hierarkis dan sentralistis. Hal ini menjelaskan bagaimana korupsi terjadi. Sejalan dengan pendapat Profesor Etty Indriati, korupsi terjadi akibat kekuasaan yang bersifat absolut, sentralistis, manipulatif, serta minim kejujuran dan integritas.

Dalam sistem pemerintahan yang cenderung feodal, kekuasaan dari atas masih sangat berpengaruh dan ditakuti. Kecenderungan ini menjelaskan mengapa instruksi atau perintah lisan harus dilaksanakan, kecuali bawahan tersebut rela kehilangan jabatannya.

Dapat dipahami bahwa di era otonomi daerah, korupsi yang masif dan terstruktur di daerah-daerah disebabkan oleh ideologi bapak-ibuisme yang hierarkis, sentralistis, dan absolut. Sistem pemerintahan yang cenderung feodal ini masih tertanam dalam alam bawah sadar masyarakat, di mana kekuasaan dari atas masih sangat berpengaruh dan elite memiliki “kekuasaan” atas bawahan.

Selain itu, Orde Baru telah mematangkan sistem otoritarianisme sebagai pondasi dalam kehidupan bernegara dan bermasyarakat. Sistem yang anti-demokrasi dan minim paradigma hak asasi manusia ini telah mengurat-saraf, tidak hanya dalam tubuh penyelenggara negara dan birokrat pelaku administrasi kenegaraan, tetapi juga menginternalisasi dalam pola pikir dan cara pandang masyarakat.

Doktrin Negara Kuat Orde Baru mengacu pada paham integralistik, yang menekankan pada komunitarianisme dengan mengesampingkan hak asasi manusia sebagai hak setiap individu yang harus dilindungi. Hubungan paling dekat antara birokrasi dan hak asasi manusia terletak pada sektor pelayanan publik. Namun, penerjemahan prinsip-prinsip hak asasi manusia ke dalam kerja-kerja pelayanan publik mendapat tantangan dari sifat birokrasi yang patrimonialistik dan elitis.

Patrimonialistik dan Kecenderungan Korupsi

Patrimonialistik merujuk pada politik kekerabatan, di mana anak atau istri dari pejabat daerah (hingga presiden) menggantikan ayah atau suami mereka. Ketika kuasa pelaku patrimonial bertambah besar, kecenderungan berperilaku korup dan sewenang-wenang menjadi sulit dihindari.

Birokrasi patrimonialistik melahirkan akumulasi kekuasaan yang terus-menerus, sehingga tercipta jaringan korupsi yang sistemik dan terstruktur dalam jalur birokrasi.

Miftah Thoha, dalam Ahsinin et al., mencatat bahwa historiografi kekuasaan Orde Baru telah membentuk wajah birokrasi dalam arena kekuasaan politik, di mana korupsi dengan sangat mudah berkembang. Kualitas kinerja birokrasi terkungkung dalam sistem hierarki yang kaku, sehingga orientasi birokrat bergeser hanya untuk menjalankan perintah atasan, bukan untuk pemenuhan hak rakyat.

Masalah utama di Indonesia adalah praktik korupsi yang sulit diberantas karena dilakukan secara berkelompok. Budaya ewuh-pakewuh (sungkan) juga menjadi penghalang. Seseorang enggan melaporkan atasannya atau rekannya yang melakukan korupsi karena merasa tidak enak hati, atau bahkan menerima bagian dari hasil korupsi tersebut.

Ancaman Feodalisme dan Fasisme terhadap Demokrasi

Apa yang dikhawatirkan tentang feodalisme dan fasisme yang membelenggu demokrasi?

Penjelasan ini mengacu pada pemikiran Syahrir tentang feodalisme dan fasisme. Fasisme adalah ideologi absolut yang memposisikan perintah pemimpin laksana titah raja. Fasisme tumbuh subur dalam kultur feodalistik, di mana budaya hamba membungkuk kepada majikan (penguasa) secara berlebihan.

Bagaimana Mengikis Mental Feodalisme Penghambat Demokrasi

Perilaku korupsi berupa ancaman dan pemerasan kepada kepala dinas agar memberikan sejumlah uang untuk modal money politics di Pilkada, yang dilakukan oleh pemimpin daerah yang tertangkap OTT, menggambarkan perilaku otoriter yang cenderung fasisme.

Syahrir sudah memikirkan cara untuk keluar dari belenggu feodalisme dan kecenderungan fasisme. Fasisme yang disebut Syahrir dengan otoriter, misalnya perilaku membungkam kebebasan berpikir dan berpendapat dengan cara kekerasan, baik fisik maupun intimidasi (bullying).

Syahrir menganjurkan revolusi sosial untuk mengendalikan feodalisme dan kecenderungan otoriter. Revolusi sosial itu bertujuan membebaskan rakyat dari belenggu feodalisme lama dan dari jebakan-jebakan fasisme yang muncul bersamaan dengan imperialisme-kapitalisme yang tak terkendali (Sjahrir, 1994:11–12).

Pendapat Syahrir tentang pendidikan yang berorientasi pada cita-cita tinggi adalah untuk membentuk budi baru, manusia baru, dan masyarakat baru (Sjahrir, 1982:240).

Bagaimana Membentuk Budi Manusia Baru dan Masyarakat Baru dengan Mengikis Feodalisme

Salah satu cara adalah dengan pendidikan individu dan keluarga sepanjang seluruh siklus kehidupan mereka melalui metode pendampingan. Alasannya adalah dengan memutus mata rantai hubungan patron-klien, sembari menumbuhkan karakter nation, kesetaraan, keadilan, dan kemandirian yang disatukan oleh nasionalisme dan cinta tanah air tanpa ketergantungan pada hubungan antara individu dengan organisasi, kelompok, atau kader dalam partai.

Menghilangkan ketergantungan hubungan antara patron dan klien dapat menghapus karakter yang membungkuk, menghamba, dan bergantung.

Pembentukan nation and character masyarakat Indonesia, yang dicita-citakan para pendiri bangsa, harus dilakukan melalui pendidikan berkelanjutan sepanjang seluruh siklus kehidupan manusia dan pendampingan oleh tenaga ahli yang terlepas dari intervensi hubungan birokratis dan hierarki kekuasaan.

Pendidikan nation and character building dengan pembentukan nasionalisme haruslah berdasarkan kemanusiaan. Menurut Syahrir, nasionalisme tanpa demokrasi akan bersekutu dengan feodalisme yang mengarah ke fasisme. Kunci sosialisme-demokrasi atau sosialisme-kerakyatan adalah kemanusiaan.

Konsep ini sudah saya canangkan dalam program Rumah Pengasuhan Anak dan Pendidikan Keluarga, yang diharapkan dapat dilaksanakan oleh kader perempuan NU dan Muhammadiyah.

Kemanusiaan dan Peran Civil Society dalam Pembangunan Karakter

Kemanusiaan, menurut Syahrir, berdasarkan pada kepercayaan terhadap persamaan, keadilan, dan kerja sama sesama manusia. Hal ini dapat diwujudkan dengan mendorong keterlibatan kelompok civil society, seperti organisasi Muslimat NU, Fatayat NU, dan Aisyiyah, melalui konsep filantropi. Operasional rumah pengasuhan anak dan pendidikan dijalankan secara gotong royong dengan konsep filantropi.

Kebiasaan berfilantropi atau berbagi untuk sesama akan mengikis mental materialistis, atau kebendaan, yang merupakan ciri inlander. Ketamakan akan kebendaan dapat menyebabkan manusia bertindak otoriter karena ideologi bapak-ibuisme bercirikan petit borjuis, yang merupakan perpaduan antara kapitalisme dan feodalisme Jawa.

Ketika manusia membiasakan diri berbagi dengan sesama dan melayani, feodalisme yang menganggap kelompok tertentu sebagai elite dan priyayi akan berubah menjadi rasa kemanusiaan.

Nasionalisme yang tunduk pada demokrasi harus dilaksanakan berdasarkan kemanusiaan, menurut Syahrir. Nilai kemanusiaan adalah dasar dari pembentukan nation and character.

Peran Perempuan dalam Membangun Ketahanan Keluarga

Alasan dari keterlibatan perempuan sebagai garda terdepan pencanangan program rumah pengasuhan anak dan pendidikan keluarga adalah karena sifat domestifikasi perempuan sebagai ibu.

Domestifikasi perempuan bisa menjadi gerakan positif jika diarahkan dengan cara yang tepat untuk membangun ketahanan keluarga Indonesia.

Kongres Perempuan Kedua tahun 1935 mencanangkan perempuan Indonesia sebagai ibu bangsa yang menanamkan nilai nasionalisme di keluarga dan masyarakat.

Domestifikasi perempuan dapat berperan dalam menanamkan nilai nasionalisme di keluarga dan masyarakat.

Ketahanan keluarga Indonesia melibatkan peran ibu atau perempuan dalam pembentukan nation and character. Sebagaimana yang dituliskan Syahrir, tentang manusia dengan budi baru, manusia baru, dan masyarakat baru.

Memutus mata rantai hubungan patron-klien agar fasisme, yang bercirikan otoriter dan tercerminkan dalam kehidupan sosial masyarakat seperti tawuran, kekerasan dalam berbagai bentuk (termasuk relasi kuasa), kecenderungan bertindak semau gue selama berkuasa, serta korupsi fantastis dan penyalahgunaan kekuasaan, dapat dikikis dari mental inlander. Tujuannya adalah membentuk budi baru, manusia baru, dan masyarakat baru.