Pos

Wajah Bapak-Ibuisme Keterkaitan dengan Perilaku Korupsi

KETIKA membaca berita kepala daerah terkena operasi tangkap tangan (OTT), maka pertanyaan yang berkelindan di pikiran adalah apakah korupsi merupakan persoalan personal individu, ataukah persoalan sistem dan struktur sosial masyarakat yang membudaya, sehingga membentuk dan mendorong pelaku korupsi.

Berdasarkan keterangan Wakil Ketua KPK, Nurul Ghufron, ada 429 kepala daerah hasil Pilkada yang terjerat kasus korupsi. Fenomena jumlah fantastis kepala daerah yang terjerat kasus korupsi, serta fenomena gunung es yang belum terungkap, dapat dijelaskan melalui pernyataan Julia Suryakusuma. Menurut Julia, di era Orde Baru, rajanya hanya satu yaitu Soeharto, sementara di era desentralisasi, terjadi devolusi kekuasaan yang menyebar, sehingga muncul raja-raja baru di daerah.

Julia Suryakusuma, dalam disertasi Ibuisme Negara, menjelaskan bagaimana munculnya kekuasaan otoriter yang didasari oleh doktrin bapak-ibuisme.

Hubungan Patron-Klien Penyebab Budaya Ewuh-Pakewuh (Sungkan)

Menurut Langenberg (1986: 9–10), pengertian tentang bapak adalah dasar dari seluruh struktur stratifikasi sosial di Indonesia. Setiap patron adalah bapak, dan setiap klien memiliki seorang bapak. Dengan demikian, paham “bapakisme” merasuki perilaku aparat negara di semua tingkat, di mana semua hubungan menjadi hubungan “bapak-anak buah”. Hubungan patronistik ini adalah ciri khas feodalisme, berupa ketergantungan antara patron dan klien.

Bapak-ibuisme, dengan patronnya yang bercirikan “priyayisme,” adalah perpaduan antara kapitalisme dan feodalisme Jawa (Julia Suryakusuma, 2011). Kata kunci patron-klien menggambarkan hubungan antara pemimpin dengan anak buah atau rakyat. Hal ini menjelaskan bagaimana sistem demokrasi yang seharusnya memberikan ruang bagi individu untuk independen dan bebas berpikir serta memutuskan pilihan, tidak dapat terwujud karena kontrol hubungan patron-klien.

Ideologi bapak-ibuisme, dengan patronnya yang bercirikan priyayisme, feodalisme Jawa, serta struktur hierarki kekuasaan birokrasi negara, memanifestasikan stratifikasi sosial yang hierarkis dan sentralistis. Hal ini menjelaskan bagaimana korupsi terjadi. Sejalan dengan pendapat Profesor Etty Indriati, korupsi terjadi akibat kekuasaan yang bersifat absolut, sentralistis, manipulatif, serta minim kejujuran dan integritas.

Dalam sistem pemerintahan yang cenderung feodal, kekuasaan dari atas masih sangat berpengaruh dan ditakuti. Kecenderungan ini menjelaskan mengapa instruksi atau perintah lisan harus dilaksanakan, kecuali bawahan tersebut rela kehilangan jabatannya.

Dapat dipahami bahwa di era otonomi daerah, korupsi yang masif dan terstruktur di daerah-daerah disebabkan oleh ideologi bapak-ibuisme yang hierarkis, sentralistis, dan absolut. Sistem pemerintahan yang cenderung feodal ini masih tertanam dalam alam bawah sadar masyarakat, di mana kekuasaan dari atas masih sangat berpengaruh dan elite memiliki “kekuasaan” atas bawahan.

Selain itu, Orde Baru telah mematangkan sistem otoritarianisme sebagai pondasi dalam kehidupan bernegara dan bermasyarakat. Sistem yang anti-demokrasi dan minim paradigma hak asasi manusia ini telah mengurat-saraf, tidak hanya dalam tubuh penyelenggara negara dan birokrat pelaku administrasi kenegaraan, tetapi juga menginternalisasi dalam pola pikir dan cara pandang masyarakat.

Doktrin Negara Kuat Orde Baru mengacu pada paham integralistik, yang menekankan pada komunitarianisme dengan mengesampingkan hak asasi manusia sebagai hak setiap individu yang harus dilindungi. Hubungan paling dekat antara birokrasi dan hak asasi manusia terletak pada sektor pelayanan publik. Namun, penerjemahan prinsip-prinsip hak asasi manusia ke dalam kerja-kerja pelayanan publik mendapat tantangan dari sifat birokrasi yang patrimonialistik dan elitis.

Patrimonialistik dan Kecenderungan Korupsi

Patrimonialistik merujuk pada politik kekerabatan, di mana anak atau istri dari pejabat daerah (hingga presiden) menggantikan ayah atau suami mereka. Ketika kuasa pelaku patrimonial bertambah besar, kecenderungan berperilaku korup dan sewenang-wenang menjadi sulit dihindari.

Birokrasi patrimonialistik melahirkan akumulasi kekuasaan yang terus-menerus, sehingga tercipta jaringan korupsi yang sistemik dan terstruktur dalam jalur birokrasi.

Miftah Thoha, dalam Ahsinin et al., mencatat bahwa historiografi kekuasaan Orde Baru telah membentuk wajah birokrasi dalam arena kekuasaan politik, di mana korupsi dengan sangat mudah berkembang. Kualitas kinerja birokrasi terkungkung dalam sistem hierarki yang kaku, sehingga orientasi birokrat bergeser hanya untuk menjalankan perintah atasan, bukan untuk pemenuhan hak rakyat.

Masalah utama di Indonesia adalah praktik korupsi yang sulit diberantas karena dilakukan secara berkelompok. Budaya ewuh-pakewuh (sungkan) juga menjadi penghalang. Seseorang enggan melaporkan atasannya atau rekannya yang melakukan korupsi karena merasa tidak enak hati, atau bahkan menerima bagian dari hasil korupsi tersebut.

Ancaman Feodalisme dan Fasisme terhadap Demokrasi

Apa yang dikhawatirkan tentang feodalisme dan fasisme yang membelenggu demokrasi?

Penjelasan ini mengacu pada pemikiran Syahrir tentang feodalisme dan fasisme. Fasisme adalah ideologi absolut yang memposisikan perintah pemimpin laksana titah raja. Fasisme tumbuh subur dalam kultur feodalistik, di mana budaya hamba membungkuk kepada majikan (penguasa) secara berlebihan.

Bagaimana Mengikis Mental Feodalisme Penghambat Demokrasi

Perilaku korupsi berupa ancaman dan pemerasan kepada kepala dinas agar memberikan sejumlah uang untuk modal money politics di Pilkada, yang dilakukan oleh pemimpin daerah yang tertangkap OTT, menggambarkan perilaku otoriter yang cenderung fasisme.

Syahrir sudah memikirkan cara untuk keluar dari belenggu feodalisme dan kecenderungan fasisme. Fasisme yang disebut Syahrir dengan otoriter, misalnya perilaku membungkam kebebasan berpikir dan berpendapat dengan cara kekerasan, baik fisik maupun intimidasi (bullying).

Syahrir menganjurkan revolusi sosial untuk mengendalikan feodalisme dan kecenderungan otoriter. Revolusi sosial itu bertujuan membebaskan rakyat dari belenggu feodalisme lama dan dari jebakan-jebakan fasisme yang muncul bersamaan dengan imperialisme-kapitalisme yang tak terkendali (Sjahrir, 1994:11–12).

Pendapat Syahrir tentang pendidikan yang berorientasi pada cita-cita tinggi adalah untuk membentuk budi baru, manusia baru, dan masyarakat baru (Sjahrir, 1982:240).

Bagaimana Membentuk Budi Manusia Baru dan Masyarakat Baru dengan Mengikis Feodalisme

Salah satu cara adalah dengan pendidikan individu dan keluarga sepanjang seluruh siklus kehidupan mereka melalui metode pendampingan. Alasannya adalah dengan memutus mata rantai hubungan patron-klien, sembari menumbuhkan karakter nation, kesetaraan, keadilan, dan kemandirian yang disatukan oleh nasionalisme dan cinta tanah air tanpa ketergantungan pada hubungan antara individu dengan organisasi, kelompok, atau kader dalam partai.

Menghilangkan ketergantungan hubungan antara patron dan klien dapat menghapus karakter yang membungkuk, menghamba, dan bergantung.

Pembentukan nation and character masyarakat Indonesia, yang dicita-citakan para pendiri bangsa, harus dilakukan melalui pendidikan berkelanjutan sepanjang seluruh siklus kehidupan manusia dan pendampingan oleh tenaga ahli yang terlepas dari intervensi hubungan birokratis dan hierarki kekuasaan.

Pendidikan nation and character building dengan pembentukan nasionalisme haruslah berdasarkan kemanusiaan. Menurut Syahrir, nasionalisme tanpa demokrasi akan bersekutu dengan feodalisme yang mengarah ke fasisme. Kunci sosialisme-demokrasi atau sosialisme-kerakyatan adalah kemanusiaan.

Konsep ini sudah saya canangkan dalam program Rumah Pengasuhan Anak dan Pendidikan Keluarga, yang diharapkan dapat dilaksanakan oleh kader perempuan NU dan Muhammadiyah.

Kemanusiaan dan Peran Civil Society dalam Pembangunan Karakter

Kemanusiaan, menurut Syahrir, berdasarkan pada kepercayaan terhadap persamaan, keadilan, dan kerja sama sesama manusia. Hal ini dapat diwujudkan dengan mendorong keterlibatan kelompok civil society, seperti organisasi Muslimat NU, Fatayat NU, dan Aisyiyah, melalui konsep filantropi. Operasional rumah pengasuhan anak dan pendidikan dijalankan secara gotong royong dengan konsep filantropi.

Kebiasaan berfilantropi atau berbagi untuk sesama akan mengikis mental materialistis, atau kebendaan, yang merupakan ciri inlander. Ketamakan akan kebendaan dapat menyebabkan manusia bertindak otoriter karena ideologi bapak-ibuisme bercirikan petit borjuis, yang merupakan perpaduan antara kapitalisme dan feodalisme Jawa.

Ketika manusia membiasakan diri berbagi dengan sesama dan melayani, feodalisme yang menganggap kelompok tertentu sebagai elite dan priyayi akan berubah menjadi rasa kemanusiaan.

Nasionalisme yang tunduk pada demokrasi harus dilaksanakan berdasarkan kemanusiaan, menurut Syahrir. Nilai kemanusiaan adalah dasar dari pembentukan nation and character.

Peran Perempuan dalam Membangun Ketahanan Keluarga

Alasan dari keterlibatan perempuan sebagai garda terdepan pencanangan program rumah pengasuhan anak dan pendidikan keluarga adalah karena sifat domestifikasi perempuan sebagai ibu.

Domestifikasi perempuan bisa menjadi gerakan positif jika diarahkan dengan cara yang tepat untuk membangun ketahanan keluarga Indonesia.

Kongres Perempuan Kedua tahun 1935 mencanangkan perempuan Indonesia sebagai ibu bangsa yang menanamkan nilai nasionalisme di keluarga dan masyarakat.

Domestifikasi perempuan dapat berperan dalam menanamkan nilai nasionalisme di keluarga dan masyarakat.

Ketahanan keluarga Indonesia melibatkan peran ibu atau perempuan dalam pembentukan nation and character. Sebagaimana yang dituliskan Syahrir, tentang manusia dengan budi baru, manusia baru, dan masyarakat baru.

Memutus mata rantai hubungan patron-klien agar fasisme, yang bercirikan otoriter dan tercerminkan dalam kehidupan sosial masyarakat seperti tawuran, kekerasan dalam berbagai bentuk (termasuk relasi kuasa), kecenderungan bertindak semau gue selama berkuasa, serta korupsi fantastis dan penyalahgunaan kekuasaan, dapat dikikis dari mental inlander. Tujuannya adalah membentuk budi baru, manusia baru, dan masyarakat baru.

Cahaya Iman Kartini

Oleh Jamaluddin Mohammad

 

Allah Pelindung orang-orang yang beriman; Dia mengeluarkan mereka dari kegelapan (kekafiran) kepada cahaya (iman). Dan orang-orang yang kafir, pelindung-pelindungnya ialah syaitan, yang mengeluarkan mereka daripada cahaya kepada kegelapan (kekafiran). Mereka itu adalah penghuni neraka; mereka kekal di dalamnya. (QS al-Baqarah 256)

 

Raden Ajeng Kartini adalah perempuan Jawa yang tercerahkan. Anak seorang priyayi Jawa, Raden Mas Adipati Ario Sosroningrat, berhasil keluar dari kegelapan feodalisme Jawa dan terlepas dari belenggu kolonialisme Belanda menuju cahaya iman pembebasan.

 

Allah SWT memancarkan “cahaya iman” (kesadaran spiritual-kultural) di hati Kartini agar ia terbebas dari kabut tebal yang menyelimuti hati dan pikirannya. Apakah kabut tebal itu? Feodalisme yang merendahkan perempuan dan kolonialisme yang membelenggu manusia. Perkawinan antara feodalisme dan kolonialisme inilah yang melahirkan imperialisme.

 

Di masa kolonialisme, priyayi dijadikan alat pemerintah kolonial untuk merenggut dan melumpuhkan rakyat. Dalam struktur masyarakat feodal priyayi berada di puncak piramida sosial, baik politik maupun ekonomi. Priyayi menguasai tanah, mengendalikan kekuasaan politik, dan dihormati masyarakat. Para bupati di daerah-daerah kekuasaan kolonial adalah para priyayi ini.

 

Dalam budaya feodal, laki-laki menempati urutan pertama dan paling utama. Dalam makna tertentu, laki-laki adalah “pemilik” perempuan. Karena itu tidaklah aneh ketika Kartini harus mengikuti permintaah ayahnya untuk menjadi istri ketiga Bupati Rembang, Adipati Ario Singgih Djojo Adhiningrat. Kartini maupun ayahnya menganggap bahwa ia adalah milik ayahnya. Berdasarkan anggapan ini (kesadaran masyarakat feodal) Kartini pun tidak bisa atau bahkan tidak mungkin menolak. Penolakan adalah tabu dan salah satu bentuk larangan dan pelanggaran.

 

“Jalan kehidupan gadis Jawa itu sudah dibatasi dan diatur menurut pola tertentu. Kami tidak boleh mempunyai cita-cita. Satu-satunya impian yang boleh aku kandung ialah, hari ini atau besok dijadikan istri yang kesekian dari seorang pria. Saya tantang siapa yang dapat membantah ini. Dalam masyarakat Jawa persetujuan pihak wanita tidak perlu. Ia juga tidak perlu hadir pada upacara akad nikah. Ayahku misalnya bisa saja hari ini memberi tahu padaku: kau sudah kawin dengan si anu. Lalu aku harus ikut saja dengan suamiku,” tulis Kartini pada Stella Zaehandelaar, 6 November 1899. Ini bentuk pengakuan Kartini atas ketidakberdayaan menghadapi kultur patriarkhi pada feodalisme Jawa.

 

Ketika kolonialisme hadir, kultur feodal ini tetap dirawat, dipelihara, dan dipertahankan karena sesuai dengan semangat dan tujuan imperialisme: menciptakan manusia-manusia jinak, tunduk, lemah, sehingga mudah dieksploitasi.

 

Nah, agar imperialisme tetap langgeng dan berumur panjang, maka cukup memegang kendali para priyayi berikut nilai dan norma feodalismenya. Para priyayi pun merasa aman, nyaman, dan diuntungkan secara sosial dan politik. Inilah salah satu alasan kenapa kolonialisme-imperialisme berumur panjang di negeri ini. karena masyarakat kita mengalami dua penjajahan: penjajahan dari luar (kolonialisme-imperialisme) dan penjajahan dari dalam (feodalisme)

 

Sebagai orang yang lahir dari rahim feodalisme dan sekaligus berhadapan dengan pengalaman-pengalaman ketidakadilan, Kartini gelisah dan mulai mengajukan pertanyaan-pertanyaan eksistensial: siapa aku? Kenapa aku lahir di dunia ini sebagai seorang priyayi? Aku mau kemana dan untuk apa? Dan, cahaya iman menuntun dan menunjukkan ia pada jawabannya

 

Migrasi kultural-spiritual

 

  1. Al-Baqarah 256 di atas bisa juga digunakan untuk menjelaskan proses migrasi spiritual-kultural seorang Kartini. Orang-orang “kafir” (maksudnya orang-orang yang hatinya masih diselimuti kabut tebal tradisi, budaya, bahkan agama [ekspresi pengamalan dan pemahaman keagamaan] yang merugikah harkat dan martabat kemanusiaan di hadapan) Tuhan kebanyakan tidak mau beranjak dari kegelapan. Bahkan, mereka akan terus dalam kegelapan. Mereka menganggap itu sebagai satu-satunya kebenaran

 

Kartini, kalau dalam “mitologi goa” Plato, adalah orang yang berhasil keluar dan melihat realitas sesungguhnya. Sementara orang-orang “kafir” yang masih terperangkap dalam kegelapan goa menyangka bayangan sendiri yang terpantul di dinding goa sebagai realitas. Filsuf besar Yunani itu membuat sebuah alegori seperti ini:

 

Ada sekelompok narapidana yang sejak kecil ditawan di dalam goa. Tangan, kaki, dan lehernya dipasung sehingga tidak bisa bergerak ke mana-mana. Mereka hanya bisa mememandang dan menghadap dinding goa. Di belakang mereka ada seonggok api unggun besar yang sesekali orang atau binatang melewati api unggun itu. Bayangannnya yang memantul ke dinding goa dianggap oleh para tawanan sebagai satu-satunya kenyataan.

 

Plato membuat alegori itu untuk menjelaskan tingkatan realitas: realitas ideal dan realitas empirik. Yang kedua merupakan  “tiruan” dari yang pertama yang tidak menampakkan realitas seutuhnya. Menurut  banyak orang terjebak pada yang kedua dan menganggap sebagai satu-satunya “kebenaran”, sebagaimana para tahanan dalam goa itu.

 

Kartini, melalui tuntunan iman yang memancar di hatinya, berhasil keluar dari lorong goa itu. Ia melihat realitas ketertindasan dan ketidakadilan pada masyarakatnya, terutama perempuan. Ia keluar dan mengajak masyarakatnya untuk melihat realitas ketertindasan dan ketidakadilan itu melalui pintu pendidikan. Lewat pendidikan, Kartini berharap masyarakat akan terbebas dari belenggu tradisi dan budaya yang berkonstribusi terhadap ketidakadilan itu.

 

“Al-Awliya” dalam ayat tersebut lebih tepat dimaknai sebagai pelindung atau penolong bukan pemimpin. Ayat ini tidak berbicara dalam konteks kepemimpinan. Kesadaran teologis Kartini meruntuhkan dinding feodalisme yang selama ini menyekat sekaligus memenjara kesadarannya. Ia kembali pada Tuhan. Tuhan sebagai satu-satunya pelindung. Di hadapan Tuhan semua orang sama dan setara.

 

“Dan saya menjawab, tidak ada Tuhan kecuali Allah. Kami mengatakan bahwa kami beriman kepada Allah dan kami tetap beriman kepadaNya. Kami ingin mengabdi kepada Allah dan bukan kepada manusia. Jika sebaliknya tentulah kami sudah memuja orang dan bukan Allah” (surat Kartini kepada Abendanon, 12 Oktober 1920)

Dalam terang iman inilah Kartini memulai “revolusi Tauhid” untuk membebaskan perempuan Jawa dari realitas ketertindasan dan ketidakadilan. Ia mulai menggugat kelas-tradisi dan budayanya. Ia mulai mempertanyakan pemahaman-pemahaman keagamaan yang merendahkan martabat kemuanusiaan yang dianut dan diyakini masyarakatnya. Ia juga melawan kolonialisme dan imperialisme yang dialami bangsanya. Wallahu a’lam bi sawab

Menolak Feodalisme

Demi menolak feodalisme, perempuan aktivis ini ogah menyembah sultan sampai enggan berbahasa Jawa.

KETIKA bertandang ke rumah Gusti Putri, Sujatin mendapat suguhan minuman yang disajikan dalam cangkir biasa tanpa penutup. Tuan rumah menyuguhkannya tanpa menggunakan nampan. Suguhan itu berbeda dari yang diterima Gusti Putri, bangsawan Jawa yang merupakan wali murid Sujatin. Selain dibawa dengan nampan, minuman Gusti Putri disajikan dalam cangkir cantik yang dilengkapi penutup.

Sujatin merasa diperlakukan tak setara. Sebagai bentuk protes, dia tak menyentuh suguhan itu sama sekali.

Sejak lama, Sujatin penentang keras praktik feodalisme dalam budaya Jawa. Hal itu merupakan bagian dari fokus perjuangannya untuk memerdekakan Indonesia dan memperbaiki hak serta nasib perempuan.

Bersama beberapa rekannya sesama guru yang kebanyakan bekas anggota Jong Java, dia mendirikan perkumpulan Poetri Indonesia tahun 1926. Sujatin terpilih sebagai ketua.

Ketika para perempuan pejuang dari berbagai daerah akan menghelat Kongres Perempuan I, Sujatin aktif memperjuangkannya. Bersama rekan-rekannya dia mondar-mandir untuk untuk menyiapkan kongres, mulai dari menyiapkan penginapan di kediaman kerabat yang bisa ditumpangi menginap, meminjam Gedung Joyodipuran kepada bangsawan Joyodipuro, sampai mencari taplak meja yang selaras. “Tak mungkin memperoleh cukup taplek warna hijau. Apa boleh buat, kekurangannya kupinjamkan dari persediaan pribadi yang kubeli dari lelang-lelang orang Belanda yang pindah rumah,” kata Sujatin dalam biografinya yang ditulis Hanna Rambe, Mencari Makna Hidupku.

Usai kongres, perjuangan Sujatin melawan feodalisme tetap berjalan. Dalam keseharian, penentangan itu antara lain berbentuk penolakan Sujatin menggunakan bahasa Jawa krama kepada bangsawan. Sujatin lebih senang menggunakan bahasa Indonesia (saat itu masih disebut bahasa Melayu) kepada semua orang yang dia temui meski kala itu penggunaannya di kalangan bangsawan belum umum. Sujatin tak peduli penggunaan bahasa Indonesianya menjadi perbincangan.

“Aku tidak suka tingkat hidup manusia dibedakan melalui bahasa. Perbuatan itu sangat kasar menurutku, menusuk hati golongan rendah,” kata Sujatin dalam biografinya yang ditulis Hanna Rambe, Mencari Makna Hidupku.

Selain soal penggunaan bahasa, Sujatin selalu menolak menyembah sultan Yogyakarata. Sujatin pernah mengajukan beberapa syarat ketika diminta Gusti Putri menjadi guru privat bagi anaknya. Selain disediakan kereta kuda untuk antar-jemput mengajar, Sujatin baru akan menerima permintaan Gusti Putri bila diperbolehkan duduk di kursi, agar setara, bukan duduk di lantai laiknya perlakuan bangsawan saat itu.

Sujatin aktif memprotes perlakuan terhadap perempuan keraton. Sejak masih sekolah di HIS, dia tak pernah tertarik gaya hidup ala keraton lantaran persoalan selir. Menurutnya, itu sangat memalukan. “Hanya sebagai barang untuk diperdagangkan, diambil sebagai selir kapan saja raja masih suka, untuk diberikan pada laki-laki lain jika raja sudah merasa puas,” kata Sujatin sebagaimana dikutip Saskia Eleonora Wieringa dalam Penghancuran Gerakan Perempuan di Indonesia.

Ketika menghadiri rapat PPII di Rembang, 1930, dia berpidato mengenai nasib buruh dan gadis yang dijadikan selir. Posisi selir, yang dia umpamakan sebagai “pelipur lara”, menurutnya amat hina dan menyedihkan.

Pidato itu membuat Sujatin dipanggil polisi keesokan harinya. Kepala polisi memperingatkannya agar berhenti mengkritik keluarga keraton. Sujatin juga diancam akan dikucilkan atau diusir dari Yogyakarta atau Surakarta bila masih mengkritik kehidupan istana. Sementara, pidatonya tentang nasib buruh perempuan tak disinggung.

Tukang Bikin Patah Hati Lelaki

Sebagai aktivis, waktu Sujatin untuk kehidupan pribadi tak sebanyak perempuan kebanyakan. Kehidupan pribadinya pun harus dia jalani berbeda dari kebanyakan gadis kala itu, termasuk soal asmara.

Saat mempersiapkan Kongres Perempuan I, dia sedang menjalin kasih dengan bekas anggota Jong Java yang sudah lama dikenalnya. Keduanya terpaksa menjalani hubungan jarak jauh lantaran sang pria harus melanjutkan studi ke fakultas hukum di Batavia.

Saat kongres, pacar Sujatin kebetulan sedang libur kuliah sehingga bisa pulang kampung sekaligus menemui Sujatin. Keduanya sudah punya rencana jalan-jalan bareng ke Kaliurang dan nonton di bioskop. Namun karena teramat sibuk menyiapkan kongres, Sujatin tak sempat menemui si pacar. Akibatnya, si pacar merasa tak diacuhkan lalu mengambek. Ketika si pacar sudah kembali ke Batavia, Sujatin mengiriminya surat permintaan putus. “Baru diuji sekian hari saja karena persiapan kongres, sudah marah. Berarti kita tidak sehaluan, tidak cocok. Lalu untuk apa hubungan yang sudah nyata-nyata tak selaras diteruskan?” tulis Sujatin dalam surat itu.

Hubungan asmara Sujatin kembali kandas menjelang kongres bulan Desember 1930 di Surabaya. Pacar Sujatin, seorang mahasiswa Technische Hooge School, sengaja ke Yogyakarta untuk mengunjunginya. Namun, Sujatin malah sibuk menyiapkan materi pidato “Pendidikan Wanita”. Si pacar yang datang jauh dari Bandung pun kecewa dan hubungan berakhir.

Lantaran membuat dua lelaki patah hati, Sujatin sempat mendapat julukan “tukang bikin patah hati lelaki”. Tapi dia punya pendapat lain. “Aku bukan mematahkan hati lelaki. Aku sedang berjuang, demi kemerdekaan bangsa dan perbaikan derajat kaum wanita.”

Sujatin akhirnya menikah dengan laki-laki yang mau memahami dan mendukung perjuangannya, Pudiarso Kartowijono, pada 14 September 1932. Sejak menikah, namanya lebih dikenal sebagai Sujatin Kartowijono. [Nur Janti]

Source: http://historia.id/modern/menolak-feodalisme