Pos

Bagaimana Fikih Memandang Krisis Iklim dan Pemanasan Global?

Pembahasan tentang krisis iklim, lingkungan, dan pemanasan global belum ditemukan secara khusus dalam khazanah fikih klasik. Namun, ajaran-ajaran yang berkaitan dengan lingkungan sebenarnya tersebar di beberapa bagian dalam ilmu fikih lainnya.

Hal menarik dari hal ini adalah bahwa kondisi alam pada masa Imam Mazhab belum begitu mendesak, sehingga isu lingkungan belum menjadi perhatian utama. Sebaliknya, dalam fikih klasik, topik yang lebih sering dibahas terkait lingkungan adalah mengenai perlindungan hewan.

Prinsip Dasar Fikih Tentang Lingkungan

Walaupun fikih klasik tidak membahas krisis iklim dan pemanasan global secara spesifik, secara implisit ajaran fikih sangat menganjurkan perawatan dan penjagaan terhadap seluruh ciptaan Allah, baik makhluk hidup maupun benda mati. Prinsip dasar fikih menegaskan bahwa semua makhluk ciptaan Allah dianggap “muhtarom” (mulia), yang berarti keberadaannya harus dilindungi.

Kaidah Fikih Tentang Krisis Iklim dan Pemanasan Global

Meskipun tidak secara eksplisit membahas krisis iklim, beberapa kaidah fikih (Al-Qawa’id al-Fiqhiyyah) memberikan pesan penting tentang bagaimana mencegah meluasnya dampak krisis iklim dan pemanasan global. Berikut beberapa kaidah yang relevan:

1. Meraih Maslahah dan Mencegah Mafsadah

Kaidah pertama ini berarti mencapai kebaikan (maslahah) dan mencegah kerusakan (mafsadah). Dalam konteks krisis iklim, kaidah ini mengarahkan kita untuk melakukan pengelolaan alam yang bermanfaat dan menghindari eksploitasi berlebihan. Pengelolaan ini harus sejalan dengan upaya mencegah kerusakan yang menjadi penyebab terjadinya krisis iklim.

2. Mencegah Kerusakan Diutamakan Daripada Meraih Kebaikan

Imam As-Suyuthi menjelaskan bahwa dalam menentukan skala prioritas, menolak kerusakan lebih diutamakan daripada meraih kebaikan. Dalam konteks pemanasan global, kaidah ini menekankan bahwa menjaga kelestarian alam harus diprioritaskan. Ini serupa dengan pepatah “mencegah lebih baik daripada mengobati.”

3. Kepentingan Umum Diutamakan Atas Kepentingan Khusus

Kaidah ini menegaskan bahwa ketika kepentingan umum bertentangan dengan kepentingan pribadi, kepentingan umum harus didahulukan. Dalam perspektif pemanasan global, kepentingan masyarakat luas untuk menurunkan tingkat pemanasan global harus lebih diutamakan daripada kepentingan individu yang justru dapat memperburuk keadaan.

4. Memilih Resiko Paling Ringan

Jika dihadapkan pada dua pilihan yang berisiko, kaidah ini menegaskan untuk memilih resiko yang paling kecil dampak negatifnya. Dalam hal kebijakan terkait lingkungan, baik masyarakat maupun pembuat kebijakan harus mempertimbangkan dampak negatif terhadap lingkungan dan memilih solusi yang paling minim resikonya.

5. Jangan Berbuat Bahaya atau Membahayakan

Kaidah ini berpendapat bahwa tujuan utama syariat adalah untuk meraih kebaikan dan mencegah kerusakan. Dalam konteks pemanasan global, tindakan yang dapat memperburuk pemanasan global harus dihindari karena bisa membahayakan diri sendiri, orang lain, dan lingkungan secara luas.

Relevansi Fikih Terhadap Krisis Iklim

Meskipun pembahasan spesifik tentang krisis iklim dan pemanasan global tidak ditemukan dalam fikih klasik, nilai-nilai dalam fikih tetap relevan untuk menanggapi masalah ini. Kaidah-kaidah fikih yang disebutkan memberikan landasan etis untuk menjaga lingkungan. Prinsip-prinsip tersebut menekankan pentingnya pengelolaan alam yang berkelanjutan dan menolak segala bentuk kerusakan yang dapat memperparah krisis iklim.

Dengan memahami kaidah-kaidah ini, kita dapat menyelaraskan tindakan sehari-hari dan kebijakan dengan ajaran Islam yang mendukung kelestarian alam. []

Melihat Hubungan Peran Perempuan dan Lingkungan Melalui Kisah Ummu Mahjan


Pekerjaan domestik seperti menyapu dan mengepel, dengan tujuan menjaga kebersihan dan keindahan suatu tempat, seringkali identik dengan pekerjaan perempuan. Meski dianggap remeh, pekerjaan ini memiliki kisah spesial pada masa hidup Rasulullah SAW. Dikisahkan dalam kitab sahih al-Bukhari, Muslim, dan Ibnu Majah bahwa Rasul memuliakan seorang perempuan lanjut usia yang sehari-hari membersihkan Masjid Nabawi. Kisah ini menggambarkan bagaimana Rasulullah merespons hubungan antara peran perempuan dan lingkungan.

Perempuan lanjut usia tersebut dikenal dengan nama Ummu Mahjan. Setiap hari, ia menyapu dan membersihkan Masjid Nabawi. Ketika Ummu Mahjan jatuh sakit, Rasulullah berpesan agar ia disalatkan sebelum dimakamkan. Namun, saat Ummu Mahjan meninggal, para sahabat tidak memberi tahu Rasul karena beliau sedang tidur. Para sahabat beranggapan bahwa Ummu Mahjan bukanlah orang penting, sehingga tidak mengapa jika tidak mengabari Rasulullah.

Beberapa hari kemudian, Rasul merasa aneh karena sudah lama tidak melihat Ummu Mahjan. Beliau pun akhirnya mengetahui bahwa Ummu Mahjan telah meninggal. Rasul segera menuju makamnya dan melakukan salat ghaib di dekat makam Ummu Mahjan. Dalam beberapa riwayat disebutkan, tidak sembarang orang yang wafat bisa disalatkan langsung oleh Rasul, bahkan di dekat pusaranya.

Kisah perjuangan Rasul sering dinarasikan melalui saat-saat beliau bertempur di medan perang melawan berbagai upaya agresi. Pekerjaan yang dilakukan Ummu Mahjan semasa hidupnya mungkin tampak sederhana dan dianggap remeh. Bahkan, para sahabat menganggap Ummu Mahjan bukan orang penting sehingga tidak mendesak untuk mengabari Rasul tentang wafatnya. Namun, kisah Ummu Mahjan dalam pekerjaan membersihkan masjid menunjukkan bahwa perjuangan tidak harus berada di medan perang. Cara Rasul memuliakan Ummu Mahjan hingga wafat menunjukkan bahwa Islam mengajarkan nilai penghargaan terhadap perempuan, terutama dalam menghadapi diskriminasi, dan pentingnya merawat lingkungan.

Meremehkan Peran Perempuan Sama dengan Meremehkan Alam

Kisah Ummu Mahjan yang dimuliakan oleh Rasul menjadi pelajaran penting dalam merespons kerusakan lingkungan. Peran perempuan dalam menjaga lingkungan sering kali dianggap remeh dan tidak diakui. Padahal, perempuan memiliki hubungan erat dengan alam. Di sisi lain, perempuan juga merupakan kelompok rentan terdampak krisis iklim. Dengan kondisi lingkungan yang saat ini sedang mengalami krisis, hubungan perempuan dengan alam menghadapi tantangan yang menjadi beban tersendiri. Contohnya, krisis iklim seperti cuaca panas ekstrem menyebabkan kekeringan dan krisis air bersih, membuat perempuan harus berupaya lebih keras untuk mendapatkan air.

Di tengah kondisi lingkungan yang sedang krisis, survei Mintel menunjukkan bahwa perempuan cenderung memiliki sikap positif dalam menjalin hubungan dengan lingkungan. Sebanyak 71% perempuan mencoba hidup lebih beretika terhadap lingkungan, sedangkan laki-laki hanya 59%. Bahkan, 65% perempuan mendorong teman dan keluarga untuk hidup lebih ramah lingkungan, sementara hanya 59% laki-laki yang melakukan hal serupa.

Krisis lingkungan yang semakin nyata adalah bentuk dari eksploitasi dan manipulasi terhadap alam. Akibatnya, perempuan yang memiliki hubungan erat dengan alam turut menjadi pihak yang dimanipulasi dan dieksploitasi. Hal ini terlihat dari bagaimana peran perempuan sering diabaikan dalam pekerjaan menjaga lingkungan. Salah satu contohnya adalah kasus izin pembangunan pabrik di Kendeng, Jawa Tengah.

Memuliakan Alam dan Perempuan dengan Prinsip Kesetaraan Gender

Dalam artikel ilmiah berjudul Gender dan Lingkungan dalam Perspektif Al-Qur’an, dijelaskan bahwa merawat alam erat kaitannya dengan sikap damai, telaten, penuh cinta, dan kasih sayang. Sayangnya, karakter yang dianggap terlalu “feminin” ini membuat pekerjaan merawat lingkungan seolah menjadi tugas perempuan saja.

Padahal, dalam Undang-Undang No. 23 Pasal 67 Tahun 2009 dijelaskan bahwa setiap orang wajib memelihara kelestarian lingkungan hidup dan mengendalikan pencemaran. Bahkan, menurut artikel yang ditulis oleh Shodiq dan Abu Anwar, Al-Qur’an tidak membedakan potensi laki-laki dan perempuan dalam berbuat kebaikan, termasuk menjaga lingkungan.

Dengan adanya kesetaraan gender, upaya merawat lingkungan tidak hanya menguntungkan perempuan tetapi juga seluruh umat manusia. Jika alam lestari, maka manusia akan hidup sejahtera. Sebaliknya, jika lingkungan rusak, semua manusia, baik laki-laki maupun perempuan, akan menderita.

Rasul telah menjadi teladan bagi umat manusia untuk peduli pada lingkungan. Dalam beberapa hadis, beliau menganjurkan untuk menanam pohon, melarang buang air kecil di air yang tenang karena dapat mencemari sumber air bersih, dan menghemat penggunaan air. Selain itu, melalui kisahnya yang memuliakan Ummu Mahjan, kita diajak untuk melihat dan menghargai alam, serta menghilangkan diskriminasi terhadap peran penting perempuan dalam merawat lingkungan.