Pos

Pemahaman Teologi Versus Bencana Ekologi

Beberapa pekan ini, cuaca ekstrem melanda berbagai daerah di Indonesia. Menyebabkan bencana demi bencana datang tak pernah berhenti. Memang negara ini menjadi salah satu wilayah yang rawan bencana. Karenanya pepatah “Sedia payung sebelum hujan” itu menjadi pelajaran berharga. Sebelum hujan, persiapkan semuanya.

Namun yang terjadi justru sebaliknya. Kondisi geografis yang rawan tidak membuat bangsa ini belajar dengan benar. Dari tahun ke tahun: banjir, tanah longsor, kebakaran, adalah di antara tamu yang tak diundang. Selalu datang menyisakan korban.

Lebih ironi, ketika pola pikir menghadapi persoalan tersebut masih terkungkung dengan dogma teologis. Misalnya pengalaman cuitan di X yang dibagikan oleh Kalis Mardiasih di instagramnya, 8 Maret 2025. Dalam tangkapan layar, seorang warga net menuturkan, “Banyak yang cerita kalau mereka nabung bertahun-tahun untuk mobil, motor, dll. Tapi dalam semalam langsung rusak begitu saja, berasa ditampar dan diingetin kalau dunia bener-bener cuma titipan”.

Curhat-an merespons banjir di Bekasi itu lantas dibalas oleh Kalis dengan penegasan:

“Penguasa se-nggak kapabel apapun juga melanggar hukum yang dampaknya semerusak apapun akan selalu tidak diminta being accountable karena mayoritas WNI selalu punya cara untuk merasa berdosa sendiri dan mengambil hikmah sendiri”.

Diskusi singkat di media sosial itu (selengkapnya klik di sini) memberikan makna mendalam yang akan dibahas dalam tulisan ini. Mengapa seseorang bisa dengan mudah menerima bencana ekologi dengan kadar teologi? Bagaimana pemahaman teologi yang tepat untuk mengatasi bencana ekologi?

Sisi Kelam Jabariyah

Mustafa Akyol dalam buku “Reopening Muslim Minds” memberikan ulasan menarik seputar fenomena keberagamaan hari ini. Menurutnya, pemahaman Asy’ariyah yang dianut oleh mayoritas umat Islam membawa kemunduran. Salah satunya dengan akidah jabariyah. Keyakinan ini mempunyai anggapan bahwa segala perbuatan manusia itu sudah ditetapkan kadar atau takdirnya oleh Tuhan. Manusia ibarat wayang digerakkan oleh sang dalang. Sehingga manusia hanya bisa menerima apa pun yang terjadi di dunia.

Pemahaman itu bertolak belakang dengan paham qadariyah yang meyakini manusia mempunyai kehendak bebas untuk memilih dan berbuat. Tanpa kebebasan itu, manusia tak dapat dihukum di akhirat kelak. Hanya mereka yang melakukan sesuatu atas kesadarannya yang dapat dinilai perbuatannya. Paham ini kemudian bersanding dengan Mu’tazilah yang pernah berkuasa pada era Abbasiyah.

Berbeda dengan Mu’tazilah, Asy’ariyah hadir sebagai konter narasi. Memang awalnya mencoba memoderasi kedua paham yang berseberangan. Tetapi dalam perkembangannya, paham jabariyah lebih kuat bersanding dengan Asy’ariyah. Konsep teologis ala jabariyah mempunyai catatan pelik. Sebab tak jarang menjadi alat legitimasi politik. Pemimpin dapat membius rakyatnya dengan mengatakan bahwa setiap kebijakan politik yang berujung bencana adalah takdir Tuhan.

Alih-alih mengkritisi apa yang keliru dari kebijakan yang dipilih, sehingga membuat banjir makin besar. Bahwa setiap pilihan langkah kehidupan akan berdampak pada hasil di masa depan. Apalagi langkah strategis yang dipilih oleh pemerintah. Membabat hutan seraya menggantinya dengan pemukiman atau tempat hiburan jelas akan berpengaruh pada ekosistem lingkungan. Karenanya pemahaman nrimo, tidaklah tepat untuk membangun budaya pemerintah yang lebih baik.

Apalagi Tuhan telah menegaskan dalam Al-Quran Surat Al-Rum ayat 41: “Telah tampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan perbuatan tangan manusia. (Melalui hal itu) Allah membuat mereka merasakan sebagian dari (akibat) perbuatan mereka agar mereka kembali (ke jalan yang benar)”. Ayat ini jelas mengatakan bahwa kerusakan dan bencana itu terjadi karena ulah manusia. Tujuannya agar manusia kembali pada jalan yang benar.

Sederhananya, kalau alam dirusak lantas menyebabkan bencana, maka jalan yang benar adalah dengan memperbaiki yang rusak dan menyatukan yang terserak. Bukan malah menerima kenyataan tanpa ada upaya perbaikan.

Teologi Pembebasan

Dengan memahami keterkaitan wacana teologi dengan ekologi, diperlukan penyegaran pemahaman keagamaan. Salah satunya dengan membawa spirit teologi pada semangat pembebasan. Teologi pembebasan memang bukan hal baru. Banyak tokoh yang sudah menyuarakannya, misalnya Asghar Ali Engineer dalam konteks masyarakat India.

Ada juga feminis Amina Wadud dengan gebrakannya membebaskan ajaran Islam dari budaya patriarki. Pandangan tersebut berfokus pada pembelaan terhadap kelompok marginal. Semuanya manusia. Tentu tetap perlu perlu didukung. Sembari memperluas cakupan pembebasan dengan melibatkan semesta kehidupan. Alam dan hewan juga perlu diperhatikan keberlangsungan hayatnya.

Sebab hal ini juga menjadi lingkaran ‘setan’ yang saling berkaitan. Alam yang dirusak, mendatangkan bencana, kelompok yang pertama kali terdampak adalah mereka yang rentan. Perempuan, anak, dan difabel berlapis struktur sosial yang miskin nan papa. Masalahnya memang kompleks, tetapi itu bisa dimulai dari memahami dan mengamalkan keberagamaan yang tepat.

Orang yang beragama seharusnya memberikan rasa aman bagi saudaranya, demikian kata Nabi. Bagaimana keamanan itu akan datang ketika banyak orang harus was-was kehilangan harta benda tatkala hujan melanda. Bukankah hujan itu rahmat Tuhan? Mengapa menjadi malapetaka? Karena manusia yang serakah.

Memang di satu sisi, pemahaman agama yang mengajak orang menerima takdir membantu manusia bisa pulih lebih cepat dari keterpurukan emosional. Jika tidak, maka bisa saja orang menjadi stres berat karena kehilangan harta yang sudah mati-matian dikumpul. Sayangnya, pemahaman tersebut tidak dapat membantu untuk melihat apalagi menjawab krisis iklim yang sudah terpampang nyata. Bahkan justru membuat pengambil kebijakan duduk manis dengan gelimang harta.

Keimanan Menolak Kezaliman

Menuntut keadilan adalah bagian dari menghidupkan keimanan. Dalam Al-Quran, lawan iman bukan hanya kafir, tetapi juga zalim. Sebagaimana yang ditegaskan dalam Surat Al-An’am ayat 82: “Orang-orang yang beriman dan tidak mencampuradukkan iman mereka dengan kezaliman (syirik), merekalah orang-orang yang mendapat rasa aman dan mendapat petunjuk”.

Kezaliman dalam ayat tersebut memang dipahami sebagai dosa syirik, menyekutukan Tuhan. Bukankah mengejar harta sebanyak-banyaknya hingga merusak alam demi kepentingan kelompoknya juga kesombongan nyata, bagian dari menyekutukan juga? Mengecam dan mencegah kezaliman justru adalah bukti keimanan. Sebaliknya, diamnya orang benar melihat kerusakan bisa menjadi alasan musibah lebih besar datang. Ketika bencana tiba, yang terdampak tidak hanya yang merusak. Semua orang, termasuk yang diam pun akan kena malangnya.

Sebagaimana kata Rumi, “Keadilan adalah menghukum para penindas yang telah membakar hati orang tua maupun anak muda dengan kezalimannya”.

Mari menumbuhkan keimanan yang dekat pada keadilan dan pemulihan, bukan yang melanggengkan kezaliman dan penindasan. Wallahu a’lam.

Perempuan, Islam, dan Lingkungan: Kisah Astri Saraswati dalam Membangun Kesadaran Ekologis di Perbukitan Menoreh

Di tengah isu pembangunan berkelanjutan, peran perempuan yang mampu menginisiasi pertanian berbasis organik menjadi sangat menarik. Salah satu sosok inspiratif adalah Astri Saraswati. Astri, seorang alumnus Indonesia Mengajar, kini aktif mengajak ibu rumah tangga di Lereng Perbukitan Menoreh, Kulon Progo, untuk membudidayakan tanaman empon-empon secara organik. Kisah perjuangannya mengajarkan bahwa nilai-nilai Islam dan ekologi yang diterapkan oleh perempuan mampu memberikan dampak positif bagi masyarakat pedesaan.

Sebelum terjun ke pengembangan budidaya empon-empon secara organik bersama ibu-ibu di Dusun Pringtali, Astri adalah relawan Indonesia Mengajar. Tertarik dengan ide yang digagas oleh Anies Baswedan, Astri, lulusan Universitas Teknologi Malaysia, ditempatkan di wilayah terpencil di Jambi. Selama bertugas, ia menyadari potensi sumber daya alam Indonesia untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat pedesaan.

Setelah purna tugas, Astri bersama suaminya, Andika Mahardika, menetap di Dusun Kedung Perahu, Sleman, pada 2013. Mereka mendirikan CV. Agradaya, yang memproduksi empon-empon kualitas premium untuk pasar Eropa. CV. Agradaya bertujuan memberdayakan ibu rumah tangga guna meningkatkan pendapatan dengan memanfaatkan lahan sekitar rumah untuk budidaya empon-empon secara organik. Tanaman yang dibudidayakan meliputi jahe, kunyit, dan temulawak. Pada 2016, hanya 150 orang dengan lahan 1500 m² yang terlibat. Kini, anggota mencapai 1500 orang dengan lahan lebih dari 1 hektar.

Perjalanan mengajak masyarakat tidak mudah. Berulang kali uji coba produksi jamu internasional menghadapi tantangan besar. Namun, Astri tetap sabar membina ibu-ibu yang mayoritas berusia di atas 50 tahun dan terbiasa menggunakan pupuk kimia. Untuk memotivasi mereka, Astri menawarkan harga panen lebih tinggi, yaitu Rp 25.000 – Rp 40.000/kg, dibanding harga pasar Rp 5.000 – Rp 20.000/kg. Syaratnya, proses budidaya hingga pasca panen harus memenuhi standar organik. Astri juga mengajak LSM membangun rumah pengeringan empon-empon untuk mendukung pengolahan.

Sejak ibu rumah tangga memanfaatkan pekarangan secara optimal melalui sistem tumpang sari, pendapatan meningkat. Jika sebelumnya hanya mengandalkan pisang, kelapa, dan kayu, kini hasil panen lebih cepat dan menguntungkan. Kesejahteraan Desa Pringtali pun membaik, terlihat dari perbaikan rumah, pembelian kendaraan, pelunasan hutang, dan biaya pendidikan anak hingga perguruan tinggi.

Dalam ajaran Islam, mencari rezeki sambil menjaga lingkungan adalah bagian dari ibadah. Al-Quran dan Hadis menekankan pentingnya menjaga kelestarian alam. Kisah Astri membuktikan bahwa membumikan ajaran Islam untuk membangun kesadaran ekologis di kalangan ibu rumah tangga mampu menciptakan dampak positif. Dengan memahami bahwa melestarikan alam adalah tanggung jawab bersama, upaya ini menjadi virus kebaikan yang menyebar luas.

Kesuksesan Astri memberdayakan ibu rumah tangga di pedesaan terpencil menunjukkan bahwa setiap usaha menghadapi ujian. Hanya mereka yang pantang menyerah yang meraih kesuksesan. Islam mengajarkan bahwa orang sukses bukan yang tidak diuji, melainkan yang sabar dalam menghadapi tantangan.

Kisah Astri juga mengajarkan bahwa membantu orang lain akan mendatangkan balasan baik dari Allah. CV. Agradaya berhasil membangun citra sebagai unit usaha yang peduli pada pemberdayaan perempuan marginal dan mendukung kelestarian lingkungan hidup.

Terobosan Astri adalah ide brilian. Ibu rumah tangga yang sebelumnya tidak produktif kini mampu meningkatkan pendapatan tanpa meninggalkan tugas utama sebagai madrasah pertama bagi anak-anak. Hal ini sejalan dengan syariat Islam yang menempatkan perempuan sebagai penjaga rumah dan lingkungan.

Pemilihan budidaya bahan baku jamu juga melestarikan warisan luhur bangsa Indonesia. Jamu telah diakui dunia sebagai kekayaan budaya dengan nilai filosofis tinggi. Mengembangkan jamu di pasar internasional adalah bagian dari menjaga sejarah bangsa.

Dengan demikian, kisah Astri dan komunitas pembudidaya empon-empon membuktikan peran perempuan dalam mengimplementasikan ajaran Islam terkait kelestarian lingkungan untuk pembangunan berkelanjutan.