Eko-fasisme dan Corona
(disunting dari tulisan Tia Istianah)
Upaya menghambat penularan wabah corona memaksa orang untuk tinggal di rumah, mengurangi penggunaan kendaraan dan membatasi beroperasinya kendaraan umum. Hal ini secara otomatis mengurangi polusi udara. Ada beberapa wacana terkait corona yang seolah sebuah blessing disguise dalam mengatasi isu lingkungan. Salah satunya adalah bahwa corona menyelematkan bumi, karena keberadaannya bumi bisa bernafas. Global warming menurun, binatang-binatang bisa berkeliaran di tempat-tempat yang tak biasa bagi mereka.
Dalam ekologi, sejauh yang dapat dipelajari dalam sejumlah referensi, saya kira contoh wacana di atas bisa dikategorikan sebagai Eco-fasism (ekofasisme) yaitu sebuah teori yang menjadikan ekologi sebagai satu-satunya tolok ukur keberhasilan dalam pembangunan tanpa mengaitkan dengan masalah kemanusiaan lain (kematian, struktur kuasa, dll)
Dalam referensi, wacana ekofasisme muncul sebagai kajian klasik yang mempengaruhi pemikiran dunia tentang perlunya pembatasan populasi. Thomas Robert Malthus, salah satu pencetusnya, menulis dengan begitu fasis di bukunya “The essay of the principle of population”. Ia menyatakan bahwa masyarakat ideal (yang dicita-citakan Godwin- tokoh yang bicara tentang masyarakat ideal) tidak akan terwujud karena populasi penduduk akan meningkat seperti deret ukur (geometric ratio) yaitu 1,2,4,8,16 dst sementara pertumbuhan sumberdaya pangan meningkat seperti deret hitung (arithmetic ratio) yaitu 1,2,3,4,5 dst.
Menurut Malthus, karena populasi tidak akan terkendali dan ketersediaan pangan tidak akan cukup, maka perlu penghambat pertumbuhan populasi. Caranya? Ada dua hal; positive checks (peningkatan angka kematian) dengan wabah penyakit, bencana kelaparan, dll serta preventive checks (pengurangan angka kelahiran) dengan penggunaan alat kontrasepsi, penundaan usia perkawinan dll.
Masalahnya, siapa yang akan menjadi korban atau target dari kebijakan itu? Maltus sama sekali tak menimbang relasi kuasa dan politik otoritarianisme di mana teorinya mengancam masyarakat yang paling tak punya kuasa dan yang paling rentan mengalami penindasan. Setelah teori Maltus diterapkan, para kaum feminis menunjukkan bukti bahwa dalam masyarakat otoritarianisme teori Marthus digunakan sebagai alat represi kepada perempuan dan kaum minoritas.
Wacana corona sebagai solusi untuk mengatasi isu lingkungan telah mengabaikan kenyataan ancaman corona bagi kehidupan kelompok-kelompok yang paling rentan terkena virus itu. Kerentanan karena umur, kerentanan karena penyakit paru bawaan dan kerentanan kaum miskin yang tak memiliki kecukupan gizi untuk meningkatkan daya tahan tubuh atau hunian yang layak untuk berjarak. Dari sisi itu anggapan bahwa corona sebagai tawaran alamiah dari alam untuk memperbaiki kerusakan ekologi merupakan sebuah cara pandang fasis dan jahat.
Jadi stop menggunakan wabah corona sebagai sarana bersyukur bahwa bumi bernapas kembali. Sudah banyak kematian tercatat akibat corona. Apakah mereka hanya dianggap angka statistik agar yang kuat bertahan puas memandangi langit biru mendengarkan burung bernyanyi di pagi hari?
Padahal kerusakan lingkungan bukanlah prilaku alam melainkan perilaku buruk dan jahat manusia kepada alam. Mengapa bukan kesadaran akan lingkungan yang diandalkan sebagai cara untuk mengembalikan udara bersih, langit biru dan burung bernyanyi bukan dengan membiarkan sebagian tewas oleh corona dan atas itu orang lantas bersyukur? []
Tia Istianah saat ini sedang menjadi Peneliti Rumah KitaB dalam penelitian tentang perempuan dan penyempitan ruang.