Refleksi Distingsi Islam Indonesia
Oleh Prof. Dr. Azyumardi Azra, MA.
“Hai, orang-orang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa, sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa,” [QS. al-Baqarah (1): 183].
Berpuasa. Inilah perintah Allah yang memiliki multidimensi: dimensi masa silam, masa kini, dan dimensi masa depan. Kalau kita mau menengok sejenak ke sejarah manusia pada masa silam, puasa sebenarnya adalah salah satu perintah Allah bagi setiap manusia beriman. Puasa merupakan salah satu ibadah paling awal dan paling luas tersebar di kalangan umat manusia yang beriman, meskipun bentuk dan cara puasa mereka mungkin berbeda. Perintah berpuasa telah ada sepanjang sejarah umat manusia. Sejarah puasa adalah sejarah manusia dan kemanusiaan.
Cobalah kita perhatikan kutipan ayat al-Qur`an di atas. Kutipan ayat, “kamâ kutiba ‘alâ al-ladzîna min qablikum” (sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu), mengisyaratkan, kewajiban puasa telah diperintahkan kepada “orang-orang sebelum kamu”. Dalam perspektif al-Qur`an, yang dimaksud dengan “orang-orang sebelum kamu” di dalam ayat tersebut adalah para pemeluk agama-agama samawi yang secara historis dan doktrinal memiliki keterkaitan langsung dengan Islam; yakni Yahudi dan Nasrani. Bahasa al-Qur`an menyebutkan, kedua komunitas umat beragama ini; Yahudi dan Nasrani, sering dikategorikan sebagai Ahl al-Kitâb. Seperti umat Muslim, mereka juga memiliki kitab suci yang jelas dan berbeda; orang-orang Yahudi berpegang teguh kepada Taurat sebagai kitab sucinya, dan orang-orang Nasrani meyakini Injil sebagai kitab suci mereka. Bagi Mukmin-Muslim, wajib meyakini keberadaan kitab-kitab suci ini; termasuk salah satu rukun iman.
Karena itu, bagi sebagian ulama, semua agama samawi (Yahudi, Nasrani, dan Islam) yang jelas dan tegas datang dari Allah memiliki banyak kesamaan dan afinitas dalam beberapa aspek ajaran: banyak kesamaan dalam prinsip-prinsip pokok akidah, syariat, dan akhlak. Tidak heran karena ketiga agama tergabung dalam agama Nabi Ibrahim, Abrahamic Religion, atau dalam bahasa al-Qur`an, millah Ibrâhîm. Semua agama Ibrahim, sebagai agama-agama samawi, sama-sama mengajarkan keesaan Allah, kenabian, hari akhir, penyembahan kepada Tuhan (dalam Islam, shalat), derma (dalam Islam, ZIS), dan termasuk juga puasa. Ajaran tentang ibadah puasa, menurut agama samawi, tersebar dalam berbagai bagian kitab-kitab suci mereka.
Sekali lagi, teks ayat al-Qur`an, “Orang-orang sebelum kamu”, mengandung dimensi masa lampau, yang memiliki dimensi keberlanjutan perintah agama dengan masa sesudahnya. Perintah berpuasa bagi umat beriman (Muslim)—“seperti orang-orang sebelum kamu” merupakan perintah Allah yang berkesinambungan dari suatu umat ke umat beragama sebelumnya. Hal ini membuktikan dan menegaskan, kehadiran Islam bagi umat Muslim—yang salah satu ajarannya adalah ibadah puasa—merupakan kelanjutan dan penyempurnaan agama-agama samawi sebelumnya. Hal ini dipertegas firman Allah, bahwa al-Qur`an (ajaran Islam) datang memberikan pembenaran dan penyempurnaan sebagian ajaran agama kaum Yahudi dan Nasrani [QS. Ali ‘Imran (3): 3; QS. al-Ma`idah (5): 48, dan; QS. al-An’am (6): 92].
Puasa tidak hanya menyangkut sejarah umat manusia terdahulu, tetapi juga berkaitan dengan sejarah manusia masa kini dan masa depan. Seperti dicontohkan “orang-orang terdahulu”, puasa menjadi salah satu cara terbaik untuk melatih pengendalian diri. Puasa sendiri, yang dalam bahasa al-Qur`an disebut sha-wa-ma memiliki makna “menahan”, “berhenti” atau “tidak bergerak”. Dengan demikian, untuk konteks masa kini dan mendatang, berpuasa secara esensial mengandung arti “menahan dan mengendalikan diri”. Proses pengendalian diri ini menjadi salah satu cara meningkatkan kualitas ketakwaan, yang menjadi tujuan puasa itu sendiri, la’allakum tattaqûn.
Di dalam pengendalian diri itu, mereka yang berpuasa (shâ`imîn dan shâ`imât) perlu memperbanyak ibadah lain. Misalnya, memperbanyak amal saleh, beramar makruf dan bernahyi mungkar, mempererat tali silaturrahim, memberi sedekah, mendirikan shalat Tarawih dan shalat-shalat sunnah lainnya, bertadarus al-Qur`an, beri’tikaf, berdoa, memperingati Nuzul al-Qur`an, ‘mencari’ Lailatul Qadar, mengeluarkan zakat fitrah pada akhir Ramadhan, dan lainnya. Bila ibadah-ibadah ini dijalankan dengan baik sepanjang Ramadhan dan dilanjutkan pada bulan-bulan berikut, ada harapan peningkatan kualitas takwa bisa dicapai di masa kini dan mendatang. Sebab, puasa seperti digarisbawahi al-Qur`an, menjadi bagian tak terpisahkan dari perintah Islam secara keseluruhan, dengan tujuan—sekali lagi—“agar kamu bertakwa” [QS. al-Baqarah (2): 183].
Ibadah puasa dan latihan-latihan pengendalian diri lain, yang oleh kaum sufi disebut sebagai riyâdhah jasmânîyyah wa riyâdhah rûhânîyyah, latihan fisik dan spiritual ke arah penyucian jiwa (tazkîyyah al-nafs), pada gilirannya dapat mengembangkan unsur lâhût (ketuhanan) dalam diri manusia. Jika ini berhasil dicapai, manusia bukan hanya akan dapat membuka “tabir” (hijâb) yang membatasi dirinya dengan Tuhan, tetapi sekaligus bisa memiliki ma’rifah, yang memungkinkannya lebih arif dalam memandang diri, masyarakat, dan lingkungan alam.
Sekali lagi, berpuasa sebagai proses latihan pengendalian diri selama Ramadhan diharapkan dapat membawa ke derajat takwa. Takwa merupakan derajat atau maqâm (tingkat kerohanian) yang sangat didambakan setiap Muslim. Sosok atau figur “orang-orang bertakwa” memiliki ciri-ciri umum, seperti digambarkan dengan jelas dalam al-Qur`an, “Kitab (al-Qur`an) ini tidak ada keraguan padanya; petunjuk bagi mereka yang bertakwa; (yaitu) mereka yang beriman kepada yang gaib, yang mendirikan salat; dan menafkahkan sebagian rizki yang Kami anugerahkan kepada mereka; dan mereka yang beriman kepada kitab (al-Qur`an) yang telah diturunkan kepadamu dan kitab-kitab yang telah diturunkan sebelummu, serta mereka yakin akan adanya (kehidupan) akhirat,” [QS. al-Baqarah (2): 2-5].
Ciri-ciri umum al-muttaqûn di atas; beriman kepada yang gaib, mendirikan shalat, beriman kepada kitab-kitab Allah, dan yakin kepada dunia-akhirat mengandung dimensi vertikal (habl min Allâh)—hubungan manusia dengan Allah. Sedangkan mendermakan rizki mengandung dimensi horizontal (habl min al-nâs)—hubungan manusia dengan manusia. Takwa memiliki implikasi yang bersifat keimanan dan kemanusiaan. Dengan kata lain, al-muttaqûn adalah orang-orang beriman (‘âmanû) dan beramal saleh (‘amilû al-shâlihât). Karena itu, istilah îmân, ‘amal, dan taqwâ memiliki kaitan erat dalam pemaknaannya.
Orang-orang bertakwa kepada Tuhan dengan implikasi kemanusiaan, misalnya bersikap adil terhadap sesama manusia. “Berlaku adillah, karena adil itu lebih dekat kepada takwa. Dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan,” [QS. al-Mâ’idah (5): 8]. Penegakan keadilan di tengah masyarakat adalah kewajiban agama yang harus dilaksanakan setiap umat manusia. Keadilan adalah kebutuhan umat manusia.
Ketidakadilan yang merajalela di dalam masyarakat melekat dengan penindasan, kesewenang-wenangan, penyelewengan, dan berbagai kezhaliman lainnya. Ketidakadilan dalam berbagai bidang kehidupan dapat memunculkan kekecewaan dan ketidakpuasan dari berbagai kelompok masyarakat, termasuk umat Muslim. Sebab, ketidakadilan dapat berakibat rusak dan porak-porandanya nilai-nilai kemanusiaan. Kerusuhan, pembakaran, pemboman, permusuhan, dan peperangan yang mencemari kehidupan bermasyarakat dan bernegara, juga berakar pada menjamurnya ketidakadilan dalam masyarakat.
Dengan demikian, penegakan keadilan tidak bisa ditunda-tunda, apalagi dimundurkan. Berlaku adil yang merupakan hasil ibadah puasa, dapat mengantarkan seseorang menjadi bagian dari orang-orang bertakwa. Kaum al-muttaqûn, seperti dijanjikan Allah dalam al-Qur`an, akan meraih kemenangan dan keberuntungan, “Sesungguhnya orang-orang bertakwa mendapat kemenangan. (Yaitu), kebun-kebun dan buah anggur, dan gadis-gadis remaja yang sebaya, dan gelas-gelas yang penuh (minuman),” [QS. al-Naba`(78): 31-34]. Mereka akan menempati surga yang penuh dengan kenikmatan [QS. al-Dzariyat (51): 15; QS. al-Thur (52): 17; QS. al-Qamar (54): 54; QS. al-Qalam (68): 34; dan QS. al-Mursilat (77): 41].
Dengan demikian, ibadah puasa memberikan kesempatan istimewa bagi umat Muslim, termasuk di Indonesia, untuk mencapai janji Allah, yaitu orang bertakwa yang dapat meraih kemenangan di “hari kembali ke kesucian” (‘îd al-fithr). Berpuasa mengantarkan kaum Mukminin-Mukminat/Muslimin-Muslimat menjadi orang-orang menang dalam meraih kembali kesucian (fithrah).
Kedatangan hari kemenangan “kembali ke kesucian” (‘îd al-fithr) selalu dirayakan umat Muslim, khususnya di Indonesia secara besar-besaran. Perayaan hari fitri dengan meriah, bukan karena mereka telah bebas dari kewajiban puasa yang berat. Lebih dari itu, karena mereka telah kembali kepada kesucian mereka. ‘Îd al-fithr, kembali kepada fithrah, kesucian, kembali kepada keadaan semula ketika manusia pertama kali dilahirkan ke muka bumi. Karena itu Hari Raya Idul Fitri juga disebut sebagai “hari kesucian”, kadang pula disebut “hari kemenangan”, karena orang yang berpuasa menang mengendalikan diri dari berbagai nafsu setani.
“Hari kesucian” atau “hari kemenangan” yang dirayakan setiap tahun seharusnya menjadi momentum bagi pemaafan yang tulus dari berbagai kalangan anak bangsa, sehingga ishlâh, rekonsiliasi, dan perdamaian kembali terwujud di masa kini dan mendatang. Inilah salah satu ciri orang berpuasa yang mampu meraih derajat takwa dan menjadi orang yang suci, menjadi muttaqin yang fitri.
Ramadhan Embedded: Distingsi Islam Indonesia
Ibadah Ramadhan dan Idul Fitri (lebaran) tidak hanya sekedar pelaksanaan ajaran normatif Islam, tetapi sekaligus juga menghasilkan berbagai gejala sosial-budaya keagamaan. Dalam konteks Islam Indonesia, ibadah puasa Ramadhan dan Lebaran merupakan contoh sangat baik tentang refleksi sosio-kultural Islam Indonesia yang sangat distingtif.
Berbeda dengan Islam di kawasan Dunia Islam lain, dalam tradisi sosio-kultural keagamaan Islam Indonesia, Ramadhan dan Lebaran—dengan tradisi mudik—telah dan kian embedded dalam kehidupan. Bahkan dalam dasawarsa terakhir, ibadah Ramadhan dan Lebaran tidak hanya menimbulkan kesibukan keagamaan, tetapi juga sosial, budaya, ekonomi, dan pemerintahan.
Gejala sosial, budaya dan keagamaan Ramadhan dan Idul Fitri di Indonesia sangat kaya dan colorful. Bisa dikatakan, setiap kelompok etnis, suku bangsa dan lokalitas memiliki tradisinya dalam menyambut dan merayakan Ramadhan dan Lebaran. Perbedaan-perbedaan itu dapat dilihat jelas dalam buku “Mozaik Ramadhan dan Lebaran di Kampung Halaman” ini.
Kalangan antropolog banyak tertarik pada gejala sosial, budaya, dan keagamaan Ramadhan dan Idul Fitri. Salah satu karya sangat menarik dalam hal ini adalah karya Andre Moller, “Ramadhan in Java: The Joy and Jihad of Ritual Fasting”, yang semula merupakan disertasi pada Jurusan Sejarah dan Antropologi Agama, Universitas Lund, Swedia, 2005. Saya tahu, terjemahan bahasa Indonesia buku ini juga telah diterbitkan. Karya asli dalam bahasa Inggris setebal 446 halaman ini menarik karena beberapa alasan.
Pertama, inilah salah satu di antara sangat sedikit buku atau artikel yang mengkaji ibadah puasa dari berbagai segi, khususnya bagaimana ibadah puasa dalam realitas dan aktualitas masyarakat Muslim Jawa. Moller pertama-tama berangkat dari ajaran normatif Islam tentang ibadah puasa, dan kemudian membahas wacana publik tentang puasa dalam media massa. Bagian yang paling penting adalah pembahasannya tentang pengamalan puasa secara sosiologis dan antropologis dalam masyarakat Jawa, dan perbandingan Ramadhan di Jawa dengan beberapa kawasan lain di Dunia Muslim.
Kedua, meski berfokus pada ibadah puasa Ramadhan, karya ini lebih daripada sekedar itu. Karya ini dalam batas-batas tertentu menggambarkan dinamika Islam umumnya dalam masyarakat Jawa kontemporer. Dan, karena itu, “Ramadhan in Java” menunjukkan potret Islam yang tengah dan terus berubah di Jawa Tengah; dan saya kira juga di daerah-daerah lain di Jawa.
Karya Moller ini merupakan kecenderungan terbalik dari apa yang ditunjukkan Karel Steenbrink dalam bukunya “Dutch Colonialism and Islam” (1993). Menurut Steenbrik, sejak masa kolonial, para sarjana, peneliti, dan administratur Belanda secara sistematis berusaha melakukan pengecilan dan marjinalisasi Islam dalam berbagai kehidupan masyarakat Indonesia. Dasar-dasar asumtif maupun teoritis tentang Islam yang ‘marjinal’ tersebut selanjutnya dituangkan ke dalam kebijakan-kebijakan politik kolonial yang supresif dan diskriminatif terhadap Islam dan ‘het inlanders’, kaum pribumi yang identik dengan umat Muslim.
Pendekatan yang disebut sejarawan William Roff sebagai ‘pengkaburan’ Islam (Islam obscured) tersebut terus berlanjut dalam masa paska-kolonial. Yang paling utama tentu saja adalah antropolog Amerika Clifford Geertz melalui karyanya yang sangat berpengaruh, “The Religion of Java” (1960). Dalam kerangka Clifford Geertz dan Geertzian, Islam hanya menduduki posisi marjinal dalam masyarakat Jawa; Islam di Jawa pada dasarnya adalah ‘Islam sinkretik’, yang tidak murni, dan sangat lokal. Namun, sejak akhir 1970-an sarjana-sarjana lain sejak dari MC Ricklefs, Mark Woodward, M. Bambang Pranowo dan banyak lagi membuktikan semakin tidak relevannya kerangka Geertzian untuk menjelaskan fenomena dan dinamika Islam dalam masyarakat Jawa.
Berbeda dengan kecenderungan Geertz, setelah mengamati pengamalan ibadah puasa dalam masyarakat Jawa, Moller berkesimpulan, Ramadhan di Jawa adalah fenomena luarbiasa (extraordinary). Setelah membandingkannya dengan Ramadhan di kalangan Muslim lain di Maroko, Yordania, Turki, Arab Saudi, dan kawasan Swahili Afrika Timur, Moller menyimpulkan, “…the observance of Ramadhan in Java belongs to the more scrupulously and joyously performed rituals in the Muslim world.”
Berpuasa Ramadhan adalah ibadah; tetapi—tulis Moller—sepatutnya lebih cocok menyebut puasa Ramadhan sebagai ‘ritual complex’, karena ia mengandung banyak ‘sub-ritual’. ‘Ramadhanic ritual complex’ itu sebagiannya mungkin tidak berhubungan dengan berpuasa secara fisik, tetapi ia merupakan bagian dari selebrasi Ramadhan. Ibadah puasa itu sendiri memang hanya sebulan penuh, tetapi dengan keseluruhan selebrasinya, rangkaian Ramadhanic ritual complex itu berlangsung tidak kurang dari tiga bulan.
Ramadhanic ritual complex dalam masyarakat Muslim Jawa bermula sejak bulan Ruwah (Sya’ban). Dalam bulan ruwah (dari bahasa Arab, arwah) ini, berbagai ruwahan dilakukan untuk menyambut kedatangan Ramadhan. Ruwahan itu bisa berbentuk pengajian, slametan, saling mengirim makanan, ziarah ke kuburan (nyekar), dan lain-lain. Belakangan ini, acara ‘nishf Sya’bân’ juga semakin populer. Lalu, pada bulan Ramadhan, yang selain ibadah puasa pada siang hari juga diikuti sejumlah ibadah dan kegiatan keagamaan, sejak dari shalat Tarawih sampai memukul bedug keliling kampung menjelang makan sahur.
Mudik: Kembali ke Axis
Yang paling distingtif dari Ramadhanic ritual complex di banyak tempat lain di Indonesia adalah lebaran, perayaan Idul Fitri yang, baik sebelum dan sesudahnya, ditandai dengan ‘pulang mudik’. Idul Fitri, mengutip almarhum Nurcholish Madjid, adalah puncak kehidupan sosial-keagamaan umat Muslim Indonesia. Pulang mudik tidak hanya merupakan pergerakan manusia terbesar dari kota ke desa, tetapi juga pemerataan sosial-ekonomi, dan tak kurang pentingnya merefleksikan ‘perjalanan anak manusia Muslim Indonesia kembali ke akar eksistensial mereka’, kembali ke Axis.
Mudik atau pulang kampung menjelang Hari Raya Idul Fitri sangat unik Indonesia (uniquely Indonesian). Dalam observasi saya di berbagai negara Muslim, tidak ada negara berpenduduk mayoritas Muslim lain yang mengalami kehebohan luar biasa terkait mudik Lebaran. Banyak negara di Dunia Muslim lainnya tentu saja juga merayakan Idul Fitri, tetapi jelas tingkat keramaian, kemeriahan, dan kehebohan seputar perayaan Idul Fitri termasuk mudik lebaran, tidak dalam skala seperti Indonesia.
Di kalangan masyarakat lain juga ada tradisi mudik. Dalam masyarakat Amerika Serikat, dan Kanada, misalnya, mudik biasa dilakukan pada hari Thanksgiving—kesyukuran. Di AS thanksgiving dirayakan pada Kamis keempat November, dan di Kanada pada Senin kedua Oktober. Perayaan yang berakar dari tradisi kaum imigran Protestan yang semula hijrah dari Eropa merupakan kesyukuran kepada Tuhan atas hasil panen yang diberikan-Nya. Thanksgiving ditandai dengan berkumpulnya seluruh anggota keluarga yang bersama-sama memakan daging kalkun. Dalam akhir pekan menjelang dan sesudah perayaan thanksgiving 2011 misalnya sekitar 42 juta warga Amerika mengadakan perjalanan mudik dengan jarak tempuh rata-rata 75 kilometer.
Tetapi tidak semua warga Amerika dan Kanada merayakan thanksgiving. Penduduk asli yang di AS disebut sebagai native Americans atau di Kanada dikenal sebagai first nation sebaliknya ‘merayakan’ apa yang mereka sebut sebagai ‘unsgiving day’. Perayaan yang di AS berpusat di Alcatraz—yang terkenal sebagai penjara paling angker di Amerika—adalah untuk mengenang warga pribumi yang menjadi korban kedatangan imigran Eropa baik secara sosial, kultural, ekonomi dan politik.
Sebaliknya, agaknya tidak ada warga yang memprotes tradisi mudik dalam masyarakat Muslim Indonesia. Pulang mudik dan perayaan di seputar Idul Fitri meski mendatangkan banyak kerepotan berbagai pihak, tetap menyenangkan bagi semua warga Indonesia—Muslim dan non-Muslim. Setidaknya, semua warga menikmati libur terpanjang dalam setahun, yang pada 1433H/2012 M mencapai enam hari, sejak 17 Agustus sampai para pegawai dan pekerja harus kembali bekerja pada 23 Agustus 2012.
Sulit mendapatkan angka pasti berapa jumlah warga Indonesia yang mengadakan perjalanan mudik dari tahun ke tahun. Tetapi menurut berbagai estimasi pada 2011 diperkirakan sekitar 20 juta orang melakukan mudik. Bisa dipastikan, perkiraan ini jauh lebih rendah daripada angka sesungguhnya; dan bisa dipastikan pula, jumlahnya terus meningkat dari tahun ke tahun seiring dengan meningkatnya jumlah mereka yang secara ekonomis mampu melakukan perjalanan mudik.
Bisa juga dipastikan, banyak kesulitan dan kesengsaraan yang dialami para pemudik di Indonesia karena keterbatasan infra-struktur dan alat transportasi publik mulai dari kemacetan total berjam-jam sampai kepada kerawanan mengalami kecelakaan. Karena itulah dari tahun ke tahun kian banyak saja pemudik yang menggunakan sepeda motor untuk pulang kampung—menempuh jarak ratusan dan bahkan ribuan kilometer. Akibatnya, korban terus berjatuhan; dari lebih 855 kecelakaan fatal sepanjang musim mudik 2011, hampir 80 persen adalah pengendara sepeda motor.
Namun, sekali lagi, pulang mudik boleh saja mendatangkan kehebohan, dan dalam batas tertentu, kesengsaraan. Tetapi begitu pemudik sampai ke kampungnya semua rasa capek, letih, dan sengsara seolah hilang begitu saja. Sebaliknya mereka tenggelam dalam rasa suka cita berkumpul dan sekaligus berbagi dengan sanak keluarga dan karib kerabat.
Pulang mudik dari perspektif sosial-budaya merupakan kesempatan merekat kembali dan memperkokoh kohesi sosial di antara warga. Mudik adalah kesempatan untuk saling memberi dan berbagi (giving and sharing). Para pemudik bisa dipastikan membawa ‘buah tangan’ untuk sanak saudara berupa pakaian baru, makanan kering, dan bahkan ‘amplop’ berisi uang.
Dalam hal terakhir ini perlu dicatat, Bank Indonesia (BI) pada musim Ramadhan dan mudik 2011 mengeluarkan dana sebesar Rp. 81 trilyun lebih untuk kebutuhan warga; dan pada tahun 2012 diperkirakan meningkat mencapai sekitar Rp. 90 trilyun. Dana sangat besar ini memberikan kontribusi signifikan kepada peningkatan gerak ekonomi, yang melibatkan banyak warga yang di luar musim Idul Fitri dan mudik berada dalam kesulitan ekonomi.
Mudik yang melibatkan demikian banyak dana, dan juga kesulitan dalam perjalanan adalah ‘kembali’ ke asal, ke akar eksistensial, ke Axis yang hakiki. Para pemudik adalah mereka yang berada di rantau—dalam diaspora, mengapung di tengah berbagai masalah dan tantangan dalam kehidupan sehari-hari. Mereka merindukan asal, akar eksistensial dan Axis-nya. Karena itu, mudik menjadi kebutuhan eksistensial.
Adalah kebutuhan eksistensial manusia untuk berkumpul dengan lingkungannya yang paling dekat; apakah sanak famili maupun karib kerabat. Karena berbagai alasan, kebutuhan ini tidak selalu bisa dipenuhi di luar musim Ramadhan dan Idul Fitri. Mudik adalah kesempatan yang sangat boleh jadi hanya merupakan waktu satu-satunya untuk memperkuat kembali tenunan kohesi sosial yang melonggar di luar waktu tersebut.
Karena itu, negara-bangsa Indonesia sepatutnya merasa mendapat berkah dengan tradisi mudik. Pada saat yang sama, sepatutnya pemerintah berbuat lebih serius dan sungguh-sungguh memfasilitasi perjalanan mudik eksistensial yang sangat bermakna bagi penguatan kohesi sosial dan kepaduan negara-bangsa.
Ramadhan Berkah
Ramadhan berkah, Ramadhan mubârak bagi umat Muslim karena Ramadhan membawa barakah. Berkah pula karena ibadah puasa Ramadhan merupakan kesempatan sangat terbuka bagi shâ`imîn dan shâ`imât menggapai derajat ‘takwa’. ‘Takwa’ adalah maqâm—tingkat spiritualitas tertinggi dalam Islam. Menurut kaum Sufi, mereka yang mencapai maqâm ini bakal terpelihara dalam pemikiran dan perbuatannya selaras dengan ajaran Islam.
Hidup penuh berkah selalu menjadi harapan para muttaqîn. Dengan berkah, kehidupan menjadi lebih bermakna baik secara pribadi maupun sosial. Tanpa berkah, kehidupan menjadi hampa tanpa makna. Berapa banyak orang yang memiliki kekayaan melimpah, tetapi miskin spiritual karena tidak mampu mengendalikan harta benda, yang boleh jadi dia peroleh melalui cara tidak halal. Banyak orang memiliki harta seadanya, tetapi hidupnya terlihat damai dan tenteram. Ini tidak lain karena hartanya itu sendiri berkah.
Banyak pula orang yang menduduki jabatan tinggi dan terhormat, tetapi tidak memperoleh kebahagiaan karena tidak mampu mengendalikan diri; menggunakan kedudukan untuk memperkaya diri, menindas orang lain, dan melakukan ketidakadilan. Kedudukan dan kekuasaan seperti ini tidak mendatangkan berkah, malah berujung pada siksaan dan kenestapaan baik di dunia maupun di akhirat kelak.
Berkah Ramadhan tidak datang dengan sendirinya. Tetapi mesti diperjuangkan melalui ibadah puasa dan ibadah-ibadah lain. Untuk mendapatkan barakah, ibadah puasa hendaknya dikerjakan penuh keimanan dan kecermatan (ihtisâb-an). Jika tidak, puasa hanya menghasilkan lapar dan haus; tidak memberikan dampak apa-apa.
Ibadah puasa memberikan peluang bagi peningkatan kesalehan personal; karena hanya orang bersangkutan yang tahu persis tentang apakah dia berpuasa dengan benar atau tidak. Dia juga paling tahu tentang apakah ibadah puasa yang dia kerjakan dari tahun ke tahun dapat menghasilkan dampak positif dan mengantarkannya ke maqâm muttaqîn. Jika yang bersangkutan merasakan belum ada dampak positif dari ibadah puasanya, sepatutnya dia melakukan muhâsabah—evaluasi.
Tetapi Ramadhan lebih daripada sekedar ibadah untuk mencapai kesalehan personal; tetapi sekaligus kesalehan sosial. Ibadah puasa mengandung latihan (riyâdhah) jasmaniah dan rohaniah untuk mengalami lapar dan haus yang dirasakan kaum miskin yang tidak mampu memenuhi kebutuhan makan minum. Karena itu, jika secara personal, ibadah puasa merupakan penguatan habl-un min Allâh (hubungan dengan Allah SWT), secara sosial mempererat habl-un min al-nâs, hubungan antar-manusia. Islam mengajarkan, hubungan pribadi dengan Allah tidak bisa sempurna kecuali hubungan sesama manusia terjalin baik.
Berkah Ramadhan seyogyanya terwujud tidak hanya pada bulan puasa dan Idul Fitri. Tetapi juga dalam masa pasca-puasa—sepanjang sebelas bulan berikutnya sampai Ramadhan tahun selanjutnya. Jika ini bisa diwujudkan para muttaqîn, Islam juga benar-benar menjadi berkah bagi mereka yang berkubang dalam lumpur kemiskinan dan penderitaan.
Ramadhan jelas juga dapat menjadi momen berkah bagi mereka yang masih belum beruntung, yang jumlahnya puluhan juta di tanah air. Berkah Ramadhan dapat terwujudkan tidak hanya dalam bentuk solidaritas lapar dan haus, lebih-lebih lagi dalam aktualisasi kedermawanan sejak dari pemberian makanan untuk sahur dan berbuka (ifthâr), pembagian zakat, infak dan sedekah.
Ramadhan bulan meningkatnya konsumsi masyarakat: pangan, sandang, dan dana perjalanan. Agaknya tidak ada bulan lain di mana tingkat konsumsi masyarakat demikian tinggi, sehingga hukum pasar pun berlaku; karena tingginya tingkat kebutuhan dan permintaan, harga pangan, sandang dan barang-barang lain juga meningkat tajam. Pemerintah yang seharusnya mampu menetralisasi harga seolah tidak berdaya mengendalikannya.
Dengan meningkatnya konsumsi sepanjang Ramadhan dan Idul Fitri, apakah gejala ini menunjukkan ‘konsumerisme’ di kalangan umat Muslim? Apakah ibadah seperti puasa Ramadhan juga menampilkan komodifikasi agama?
Pertanyaan itu dan gejala yang ada mencerminkan kontradiksi. Karena ibadah puasa mengandung makna ‘menahan’ (imsâk) dari berbagai godaan duniawi khususnya kebendaan (materi). Jadi, umat Muslim seharusnya dapat menghindarkan diri daripada terjerumus ke dalam ‘konsumerisme’.
Pada segi lain, Ramadhan dan Idul Fitri sulit dielakkan dari meningkatkan konsumsi. Ini berkaitan dengan adanya dorongan perintah Islam bagi umat Muslim untuk mampu berbagi dan memberi (sharing dan giving). Umat Muslim yang punya kelebihan rizki dianjurkan menyediakan makanan sahur dan ifthâr, karena pahalanya senilai dengan pahala orang puasa. Karena itu, banyak dermawan Muslim, organisasi Islam dan lembaga lain menyediakan nasi kotak untuk sahur dan ifthâr dan melakukan buka puasa bersama dengan anak-anak yatim-piatu dan kaum dhu’afa lain.
Kalangan Muslim berpunya juga memberikan kepada dhu’afa di lingkungannya ‘paket lebaran’ yang biasanya terdiri dari kain sarung, baju koko, mukena, beras, sirup dan kue-kue, dan semacamnya. Tujuannya tidak lain agar kaum dhu’afa dapat juga menikmati Ramadhan dan Idul Fitri dengan bahagia.
Peningkatan konsumsi juga terjadi karena sepanjang Ramadhan, umat Muslim yang mampu mengeluarkan ZIS (zakat, infaq dan shadaqah). Sebagian ZIS ini disalurkan langsung kepada mereka yang berhak; dan sebagian lagi disampaikan melalui UPZ (Unit Pengumpul Zakat) dan lembaga amil lain di lingkungan pertetanggaan. Bagi kaum dhu’afa, ZIS yang mereka terima dapat dimanfaatkan untuk berbagai kepentingan, khususnya pangan, pakaian dan bahkan pendidikan.
Dari segi ini, peningkatan komsumsi tidak terelakkan; ia merupakan konsekuensi langsung dari ajaran Islam bagi umat Muslim yang mampu untuk mewujudkan kedermawanan—berbagi dan memberi kepada mereka yang kurang beruntung dalam kehidupan ekonomi dan sosialnya. Mengingat Ramadhan selalu datang setiap tahun, sepatutnya pemerintah senantiasa membuat perencanaan dan penanganan sistematis dan programatis untuk mengantisipasi peningkatan konsumsi—dan karena itu, mestinya tidak selalu ‘kedodoran’.
Pada segi lain, Islam melarang konsumerisme; apalagi kalau konsumerisme itu menjadi gaya hidup. Konsumerisme itu bisa mengambil bentuknya dengan misalnya melakukan ifthâr di hotel-hotel mewah, yang mengiming-imingi konsumen Muslim dengan paket-paket berbuka yang serba wah. Melakukan hal seperti ini jelas merupakan tabdzîr, pemborosan yang bertentangan dengan semangat solidaritas kepada mereka yang sulit memperoleh makan dan minum dalam kehidupan sehari-hari.
Ramadhan menekankan semangat kesederhanaan dan konsumsi yang tidak berlebihan; dan karena itu, umat Muslim hendaknya tidak terjerumus ke dalam konsumerisme. Sikap ini sepatutnya terus dipertahankan pada masa pasca-Ramadhan. Wallâh-u a’lam bi al-shawâb.
* Artikel ini termuat dalam buku Rumah KitaB yang diterbitkan oleh Mizan tahun 2013 berjudul “MOZAIK RAMADHAN DAN LEBARAN DI KAMPUNG HALAMAN [Menelusuri Jejak-jejak Tradisi Ramadhan dan Lebaran di Nusantara]”