Pos

Wajah Bapak-Ibuisme Keterkaitan dengan Perilaku Korupsi

KETIKA membaca berita kepala daerah terkena operasi tangkap tangan (OTT), maka pertanyaan yang berkelindan di pikiran adalah apakah korupsi merupakan persoalan personal individu, ataukah persoalan sistem dan struktur sosial masyarakat yang membudaya, sehingga membentuk dan mendorong pelaku korupsi.

Berdasarkan keterangan Wakil Ketua KPK, Nurul Ghufron, ada 429 kepala daerah hasil Pilkada yang terjerat kasus korupsi. Fenomena jumlah fantastis kepala daerah yang terjerat kasus korupsi, serta fenomena gunung es yang belum terungkap, dapat dijelaskan melalui pernyataan Julia Suryakusuma. Menurut Julia, di era Orde Baru, rajanya hanya satu yaitu Soeharto, sementara di era desentralisasi, terjadi devolusi kekuasaan yang menyebar, sehingga muncul raja-raja baru di daerah.

Julia Suryakusuma, dalam disertasi Ibuisme Negara, menjelaskan bagaimana munculnya kekuasaan otoriter yang didasari oleh doktrin bapak-ibuisme.

Hubungan Patron-Klien Penyebab Budaya Ewuh-Pakewuh (Sungkan)

Menurut Langenberg (1986: 9–10), pengertian tentang bapak adalah dasar dari seluruh struktur stratifikasi sosial di Indonesia. Setiap patron adalah bapak, dan setiap klien memiliki seorang bapak. Dengan demikian, paham “bapakisme” merasuki perilaku aparat negara di semua tingkat, di mana semua hubungan menjadi hubungan “bapak-anak buah”. Hubungan patronistik ini adalah ciri khas feodalisme, berupa ketergantungan antara patron dan klien.

Bapak-ibuisme, dengan patronnya yang bercirikan “priyayisme,” adalah perpaduan antara kapitalisme dan feodalisme Jawa (Julia Suryakusuma, 2011). Kata kunci patron-klien menggambarkan hubungan antara pemimpin dengan anak buah atau rakyat. Hal ini menjelaskan bagaimana sistem demokrasi yang seharusnya memberikan ruang bagi individu untuk independen dan bebas berpikir serta memutuskan pilihan, tidak dapat terwujud karena kontrol hubungan patron-klien.

Ideologi bapak-ibuisme, dengan patronnya yang bercirikan priyayisme, feodalisme Jawa, serta struktur hierarki kekuasaan birokrasi negara, memanifestasikan stratifikasi sosial yang hierarkis dan sentralistis. Hal ini menjelaskan bagaimana korupsi terjadi. Sejalan dengan pendapat Profesor Etty Indriati, korupsi terjadi akibat kekuasaan yang bersifat absolut, sentralistis, manipulatif, serta minim kejujuran dan integritas.

Dalam sistem pemerintahan yang cenderung feodal, kekuasaan dari atas masih sangat berpengaruh dan ditakuti. Kecenderungan ini menjelaskan mengapa instruksi atau perintah lisan harus dilaksanakan, kecuali bawahan tersebut rela kehilangan jabatannya.

Dapat dipahami bahwa di era otonomi daerah, korupsi yang masif dan terstruktur di daerah-daerah disebabkan oleh ideologi bapak-ibuisme yang hierarkis, sentralistis, dan absolut. Sistem pemerintahan yang cenderung feodal ini masih tertanam dalam alam bawah sadar masyarakat, di mana kekuasaan dari atas masih sangat berpengaruh dan elite memiliki “kekuasaan” atas bawahan.

Selain itu, Orde Baru telah mematangkan sistem otoritarianisme sebagai pondasi dalam kehidupan bernegara dan bermasyarakat. Sistem yang anti-demokrasi dan minim paradigma hak asasi manusia ini telah mengurat-saraf, tidak hanya dalam tubuh penyelenggara negara dan birokrat pelaku administrasi kenegaraan, tetapi juga menginternalisasi dalam pola pikir dan cara pandang masyarakat.

Doktrin Negara Kuat Orde Baru mengacu pada paham integralistik, yang menekankan pada komunitarianisme dengan mengesampingkan hak asasi manusia sebagai hak setiap individu yang harus dilindungi. Hubungan paling dekat antara birokrasi dan hak asasi manusia terletak pada sektor pelayanan publik. Namun, penerjemahan prinsip-prinsip hak asasi manusia ke dalam kerja-kerja pelayanan publik mendapat tantangan dari sifat birokrasi yang patrimonialistik dan elitis.

Patrimonialistik dan Kecenderungan Korupsi

Patrimonialistik merujuk pada politik kekerabatan, di mana anak atau istri dari pejabat daerah (hingga presiden) menggantikan ayah atau suami mereka. Ketika kuasa pelaku patrimonial bertambah besar, kecenderungan berperilaku korup dan sewenang-wenang menjadi sulit dihindari.

Birokrasi patrimonialistik melahirkan akumulasi kekuasaan yang terus-menerus, sehingga tercipta jaringan korupsi yang sistemik dan terstruktur dalam jalur birokrasi.

Miftah Thoha, dalam Ahsinin et al., mencatat bahwa historiografi kekuasaan Orde Baru telah membentuk wajah birokrasi dalam arena kekuasaan politik, di mana korupsi dengan sangat mudah berkembang. Kualitas kinerja birokrasi terkungkung dalam sistem hierarki yang kaku, sehingga orientasi birokrat bergeser hanya untuk menjalankan perintah atasan, bukan untuk pemenuhan hak rakyat.

Masalah utama di Indonesia adalah praktik korupsi yang sulit diberantas karena dilakukan secara berkelompok. Budaya ewuh-pakewuh (sungkan) juga menjadi penghalang. Seseorang enggan melaporkan atasannya atau rekannya yang melakukan korupsi karena merasa tidak enak hati, atau bahkan menerima bagian dari hasil korupsi tersebut.

Ancaman Feodalisme dan Fasisme terhadap Demokrasi

Apa yang dikhawatirkan tentang feodalisme dan fasisme yang membelenggu demokrasi?

Penjelasan ini mengacu pada pemikiran Syahrir tentang feodalisme dan fasisme. Fasisme adalah ideologi absolut yang memposisikan perintah pemimpin laksana titah raja. Fasisme tumbuh subur dalam kultur feodalistik, di mana budaya hamba membungkuk kepada majikan (penguasa) secara berlebihan.

Bagaimana Mengikis Mental Feodalisme Penghambat Demokrasi

Perilaku korupsi berupa ancaman dan pemerasan kepada kepala dinas agar memberikan sejumlah uang untuk modal money politics di Pilkada, yang dilakukan oleh pemimpin daerah yang tertangkap OTT, menggambarkan perilaku otoriter yang cenderung fasisme.

Syahrir sudah memikirkan cara untuk keluar dari belenggu feodalisme dan kecenderungan fasisme. Fasisme yang disebut Syahrir dengan otoriter, misalnya perilaku membungkam kebebasan berpikir dan berpendapat dengan cara kekerasan, baik fisik maupun intimidasi (bullying).

Syahrir menganjurkan revolusi sosial untuk mengendalikan feodalisme dan kecenderungan otoriter. Revolusi sosial itu bertujuan membebaskan rakyat dari belenggu feodalisme lama dan dari jebakan-jebakan fasisme yang muncul bersamaan dengan imperialisme-kapitalisme yang tak terkendali (Sjahrir, 1994:11–12).

Pendapat Syahrir tentang pendidikan yang berorientasi pada cita-cita tinggi adalah untuk membentuk budi baru, manusia baru, dan masyarakat baru (Sjahrir, 1982:240).

Bagaimana Membentuk Budi Manusia Baru dan Masyarakat Baru dengan Mengikis Feodalisme

Salah satu cara adalah dengan pendidikan individu dan keluarga sepanjang seluruh siklus kehidupan mereka melalui metode pendampingan. Alasannya adalah dengan memutus mata rantai hubungan patron-klien, sembari menumbuhkan karakter nation, kesetaraan, keadilan, dan kemandirian yang disatukan oleh nasionalisme dan cinta tanah air tanpa ketergantungan pada hubungan antara individu dengan organisasi, kelompok, atau kader dalam partai.

Menghilangkan ketergantungan hubungan antara patron dan klien dapat menghapus karakter yang membungkuk, menghamba, dan bergantung.

Pembentukan nation and character masyarakat Indonesia, yang dicita-citakan para pendiri bangsa, harus dilakukan melalui pendidikan berkelanjutan sepanjang seluruh siklus kehidupan manusia dan pendampingan oleh tenaga ahli yang terlepas dari intervensi hubungan birokratis dan hierarki kekuasaan.

Pendidikan nation and character building dengan pembentukan nasionalisme haruslah berdasarkan kemanusiaan. Menurut Syahrir, nasionalisme tanpa demokrasi akan bersekutu dengan feodalisme yang mengarah ke fasisme. Kunci sosialisme-demokrasi atau sosialisme-kerakyatan adalah kemanusiaan.

Konsep ini sudah saya canangkan dalam program Rumah Pengasuhan Anak dan Pendidikan Keluarga, yang diharapkan dapat dilaksanakan oleh kader perempuan NU dan Muhammadiyah.

Kemanusiaan dan Peran Civil Society dalam Pembangunan Karakter

Kemanusiaan, menurut Syahrir, berdasarkan pada kepercayaan terhadap persamaan, keadilan, dan kerja sama sesama manusia. Hal ini dapat diwujudkan dengan mendorong keterlibatan kelompok civil society, seperti organisasi Muslimat NU, Fatayat NU, dan Aisyiyah, melalui konsep filantropi. Operasional rumah pengasuhan anak dan pendidikan dijalankan secara gotong royong dengan konsep filantropi.

Kebiasaan berfilantropi atau berbagi untuk sesama akan mengikis mental materialistis, atau kebendaan, yang merupakan ciri inlander. Ketamakan akan kebendaan dapat menyebabkan manusia bertindak otoriter karena ideologi bapak-ibuisme bercirikan petit borjuis, yang merupakan perpaduan antara kapitalisme dan feodalisme Jawa.

Ketika manusia membiasakan diri berbagi dengan sesama dan melayani, feodalisme yang menganggap kelompok tertentu sebagai elite dan priyayi akan berubah menjadi rasa kemanusiaan.

Nasionalisme yang tunduk pada demokrasi harus dilaksanakan berdasarkan kemanusiaan, menurut Syahrir. Nilai kemanusiaan adalah dasar dari pembentukan nation and character.

Peran Perempuan dalam Membangun Ketahanan Keluarga

Alasan dari keterlibatan perempuan sebagai garda terdepan pencanangan program rumah pengasuhan anak dan pendidikan keluarga adalah karena sifat domestifikasi perempuan sebagai ibu.

Domestifikasi perempuan bisa menjadi gerakan positif jika diarahkan dengan cara yang tepat untuk membangun ketahanan keluarga Indonesia.

Kongres Perempuan Kedua tahun 1935 mencanangkan perempuan Indonesia sebagai ibu bangsa yang menanamkan nilai nasionalisme di keluarga dan masyarakat.

Domestifikasi perempuan dapat berperan dalam menanamkan nilai nasionalisme di keluarga dan masyarakat.

Ketahanan keluarga Indonesia melibatkan peran ibu atau perempuan dalam pembentukan nation and character. Sebagaimana yang dituliskan Syahrir, tentang manusia dengan budi baru, manusia baru, dan masyarakat baru.

Memutus mata rantai hubungan patron-klien agar fasisme, yang bercirikan otoriter dan tercerminkan dalam kehidupan sosial masyarakat seperti tawuran, kekerasan dalam berbagai bentuk (termasuk relasi kuasa), kecenderungan bertindak semau gue selama berkuasa, serta korupsi fantastis dan penyalahgunaan kekuasaan, dapat dikikis dari mental inlander. Tujuannya adalah membentuk budi baru, manusia baru, dan masyarakat baru.

Perempuan Kembali Menghadapi Domestifikasi

Ideologi gender Orde Baru mendesain perempuan ideal sebagai istri yang patuh dan ibu yang baik. Kini, konservatisme agama melanjutkannya.

SETELAH 20 tahun Reformasi, gerakan perempuan menghadapi tantangan yang hampir serupa dengan rezim otoriter Soeharto. Bila masa Orde Baru (Orba) “Ibuisme” yang menjadi tantangan, kini gerakan perempuan menghadapi tantangan konservatisme agama seperti domestifikasi perempuan, poligami, dan pernikahan dini.

Konservatisme agama telah menggeser dominasi negara terhadap perempuan. Ia menghendaki  perempuan menjadi istri yang saleh dengan menjadi ibu yang baik dan juga bersedia dipoligami. Hal semacam ini juga menjadi dasar ideologi “Ibuisme” Soeharto meski Orba melarang poligami.

“Perempuan yang ideal kembali digeser untuk mengisi ranah domestik. Padahal itu yang gerakan perempuan lawan ketika masa Orba. Ketika Reformasi, ide (domestifikasi, red.) itu diharapkan hilang. Sekarang berusaha ditarik mundur,” kata Atnike Nova Sigiro, direktur eksekutif Jurnal Perempuan dalam Media Briefing yang diselenggarakan Komnas Perempuan, Minggu (20/04/28).

Dalam “Ibuisme”, perempuan yang baik dicitrakan patuh, diam, dan perawat keluarga. Soeharto berusaha membungkam politik perempuan dan menempatkan peran perempuan hanya sebagai konco wingking, pasangan bapak yang berperan di garis belakang: dapur, kasur, dan sumur.

“Relasi perempuan dengan negara seperti relasi perempuan dengan bapakisme negara. Representasinya ada dalam organisasi wanita, Dharma Wanita dan PKK,“ kata Ruth Indiah Rahayu, peneliti feminis di Institut Kajian Kritis dan Studi Pembangunan Alternatif (Inkrispena).

Organisasi istri yang sejalan dengan ideologi gender Orba ini tidak mempunyai visi politik tentang pembebasan perempuan, kesetaraan, dan keadilan. Akibatnya, organisasi tersebut tidak akan bisa berbuat apapun pada problem perempuan seperti pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM), kesejahteraan perempuan, dan akses perempuan terhadap politik.

Adanya permasalahan fundamental itu menjadi alasan berdirinya Yayasan Annisa Swasti (Yasanti), Kalyanamitra, dan Pusat Pengembangan Sumberdaya Wanita pada 1980-an. Organisasi-organisasi perempuan berbasis feminisme itu muncul untuk mengubah ideologi gender Orba di samping berupaya menurunkan pemimpin Orba-nya yang sudah terlalu lama berkuasa.

Keberadaan mereka memicu gelombang kemunculan gerakan perempuan meningkat pesat pada 1990-an. Solidaritas Perempuan, Yayasan Perempuan Mardika, Lembaga Studi Pengembangan Perempuan dan Anak (LSPPA), dan Lembaga Bantuan Hukum APIK menambah kekuatan gerakan perempuan yang muncul sedekade sebelumnya.

Dalam perjuangannya, gerakan perempuan membangun emosi poitik. Politik empati yang sumbernya dari etika kepedulian digunakan untuk melawan otoritarianisme yang patriarkis dan militeristik. Aksi turun ke jalan Koalisi Perempuan untuk Kebebasan Pers (KPKP), misalnya, ditujukan untuk menentang pembredelan pers tahun 1994. Hal serupa dilakukan Suara Ibu Peduli (SIP) lewat demonstrasi untuk merespons krisis ekonomi 1997, yang dibentuk untuk memobilisasi empati massa dan membangun kepedulian pada para ibu yang tak sanggup membeli susu anak.

Aksi SIP, menurut Ruth, menampilkan kekhasan politik perempuan, yaitu perlawanan pada krisis ekonomi-politik yang berdasar etika kepedulian. Kampanye SIP menarik kepedulian publik dan memperkuat kekuatan massa untuk melawan rezim otoriter Soeharto.

Gerakan perempuan terus tumbuh, puncaknya pada Reformasi 1998. Para perempuan ingin mengubah idelogi patriarki menjadi egaliter. Gerakan perempuan mengupayakan agar negara tidak lagi menempatkan posisi perempuan sebagai konco wingking tapi memberi akses politik dan kesejahteraan sosial.

Perubahan yang diperjuangkan gerakan perempuan itu semua dilandasi etika kepedulian. Reformasi dan demokrasi yang dilandasi oleh etika kepedulian, menghindari egoisme kelompok, kebrutalan, kesewenang-wenangan, dan diskriminasi baik terhadap perempuan maupun kelompok marginal. Budaya politik yang ingin ditumbuhkan gerakan perempuan, pernyataan Komnas Perempuan dalam rilisan persnya, adalah demokrasi sejati bukan demokrasi yang otoriter dan fasis.

Selama 20 tahun pasca-jatuhnya Suharto, menurut Ruth, gerakan perempuan sibuk mengisi kebijakan, ide pembangunan ramah perempuan tetapi justru lalai pada serangan terhadap perempuan di ranah sosial. Akibatnya, nilai-nilai intoleransi dan ide konservatifisme yang cenderung menyasar perempuan meningkat liar tanpa pengawasan.

“Reformasi 20 tahun ini terlalu banyak digunakan untuk mendorong perempuan ke lingkup publik. Kita melupakan arena privat yang diintervensi oleh kekuatan konservatif fundamentalis,” kata Atnike.

Sumber: https://historia.id/modern/articles/perempuan-kembali-menghadapi-domestifikasi-DWeR1?page_source=home