Pos

Kemaslahatan Semu

Rijal (19) sudah satu tahun berpacaran dengan Mar’ah (15). Keduanya sudah saling mengenal sejak di bangku sekolah. Mar’ah merupakan adik kelas Rijal sewaktu masih sama-sama di SLTP. Mar’ah tidak melanjutkan ke jenjang selanjutnya, padahal orang tuanya masih mampu membiayai sekolah. Sementara Rijal meneruskan sekolah sampai tamat SLTA. Rijal kemudian berdagang dan bekerja di perkebunan kelapa sawit.

Kedua orang tua Mar’ah melihat hubungan asmara dua sejoli ini semakin hari semakin lengket. Seiring waktu, mereka mulai khawatir kedua pasangan tersebut melakukan hal-hal yang terlarang tanpa adanya ikatan perkawinan yang sah.

Akhirnya, keluarga Mar’ah dan Rijal sepakat untuk mengawinkan kedua anak tersebut. Mereka mendaftarkan ke KUA setempat, namun ditolak karena usia Mar’ah masih di bawah umur. Sebagaimana keterangan Pasal 7 Ayat (1) No. 16 Tahun 2019 Tentang Perubahan Atas UU No. 1 Tahun 1974 yang berbunyi perkawinan hanya diizinkan apabila pria dan wanita sudah mencapai umur 19 (sembilan belas) tahun.

Dengan membawa surat penolakan pernikahan dari KUA, keluarga mengajukan dispensasi nikah ke Pengadilan Agama (PA), sesuai ketentuan Pasal 7 Ayat (2) UU No. 16 Tahun 2019 Tentang Perubahan Atas UU No. 1 Tahun 1974 bahwa perkawinan dapat dilaksanakan dengan meminta dispensasi kepada PA.

Dalam persidangan, hakim sebelumnya sudah memberikan nasihat dan masukan kepada calon pengantin bahwa perkawinan anak bisa menyebabkan terputusnya pendidikan, tidak bisa melanjutkan pendidikan ke jenjang lebih tinggi.

Di samping itu, kata hakim, secara biologis organ reproduksi anak belum siap. Begitu juga secara psikologis dan emosi anak belum matang sehingga rawan memicu pertengkaran dan perselisihan. Belum lagi tantangan ekonomi.

Meskipun begitu, hakim tetap mengabulkan pengajuan dispensasi nikah dengan alasan, salah satunya, karena hubungan antara kedua calon mempelai sudah sedemikian erat dan dekat. Sehingga, hakim berpendapat keadaan demikian sudah masuk kepada tingkat darurat untuk segera dinikahkan agar tidak menambah kemudaratan. Hakim menyebut beberapa kaidah fikih:
درء المفاسد أولى من جلب المصالح
mencegah kerusakan (mudharat) harus lebih didahulukan daripada mendapat kemaslahatan

لا ضرر ولا ضرار
Tidak boleh membahayakan diri sendiri dan orang lain

الضرر يزال بقدر الإمكان
Bahaya harus dihilangkan sebisa mungkin.

Argumentasi hakim nikah menurut saya kurang tepat. Hakim menyebut perkawinan lebih maslahat dibanding membiarkan hubungan tanpa pernikahan yang berpotensi menimbulkan hal-hal tidak diinginkan (mudharat). Padahal, dalam nasihatnya, hakim sudah mengatakan pelbagai mudarat perkawinan anak, seperti putus sekolah, organ reproduksi belum siap, mental dan psikologis belum matang, dll. Sedangkan mudarat tidak dinikahkan yang dikhawatirkan oleh hakim masih bersifat potensial, sehingga tidak bisa dijadikan ukuran dan patokan hukum. Harusnya, kaidah-kaidah yang digunakan hakim justru untuk menolak perkawinan anak. Wallahu a’lam bishawab.

Catatan:
Cerita ini saya ambil dari putusan dispensasi nikah Pengadilan Agama Kabupaten Sijunjung. Nama orang dalam catatan ini bukan nama sebenarnya.

Peran Hakim sebagai Penafsir Hukum

Ibu Hat binti Tal (nama samaran), seorang janda 36 tahun, pendidikan SD dan bekerja sebagai buruh yang memohon dispensasi untuk anak lelakinya, J Putra. Ia anak sulung dan akan menikah, tapi umurnya baru 17 tahun 9 bulan. Sementara calon menantunya Yuli berumur 16 tahun 6 bulan. Ibu dan anak lelakinya datang ke PA Makassar memohon dispensasi nikah setelah mereka datang ke KUA dan ditolak karena menyalahi UU Perkawinan tentang batas usia kawin bagi lelaki, yaitu 19 tahun.

Sebagaimana diceritakan hakim dan staf POSBAKUM, sang Ibu mengatakan bahwa anaknya sudah cukup dewasa. Selama ini dia menjadi “bapak” bagi adik-adiknya, telah menunjukkan sikap kedewasaannya dan tanggung jawabnya meski hanya sebagai buruh harian. Sang ibu mengatakan bahwa ia juga sayang kepada calon menantunya dan merasa tak ada alasan untuk menunda perkawinan mereka sampai 2 tahun ke depan menunggu anaknya dianggap cukup umur menurut UU Perkawinan. Hakim yang mengadili perkara menyatakan, ia tak melihat hal yang menghalangi untuk memenuhi permohonan dispensasi nikah. Setelah melakukan pemeriksaan syarat-syarat formal, hakim melihat pemohon memang siap menjadi suami. Permohonan itu tak didasarkan pada alasan yang mendesak (seperti hamil di luar nikah), melainkan keinginan untuk berkeluarga secara benar, mengikuti hukum agama dan negara.

Ibu hakim yang menyidangkan mengatakan ia justru merasa salut kepada ibunya; meskipun miskin tapi mau taat hukum, padahal bisa saja mereka kawin siri atau manipulasi data umur. Tapi dia memilih jalur hukum. Hari ini sidang belum diputus, tapi tampak bahwa hakim menggunakan berbagai pertimbangan sosiokultural sambil tetap tunduk pada rambu-rambu hukum.

Kasus ini banyak memperlihatkan pentingnya pemahaman sosiologi hukum; menimbang aturan dari pendekatan sosiologis untuk memberikan keadilan bagi pencari keadilan. Di sini peran ex officio hakim yang memiliki kewenangan penuh sebagai penafsir hukum sangat besar artinya dalam memberikan rasa keadilan bagi para pencari keadilan. Sebagaimana studi Stijn van Huis di Cianjur, kajian yang melampau teks putusan sangat diperlukan untuk memahami kompleksitas persoalan. Kita tak bisa menilai rasa keadilan hanya dari pendekatan legal formal.

Catatan lapangan Lies Marcoes & Fadilla, Makassar, Februari 2015