Laporan Webinar Diskusi Buku Fikih Perwalian Kerjasama Pondok Pesantren Dar Al Fikr dengan Rumah KitaB dan Oslo Coalition
“ Tradisi Pesantren: Membaca Fakta Menawarkan Solusi”
CIREBON. Bekerjasama dengan Pesantren Dar Al Fikr Arjawinangun, Cirebon, Rumah KitaB kembali menyelenggarakan seminar diskusi Buku Fikih Perwalian guna mensosialisasikan gagasan-gagasan berbasis kajian tentang upaya pencegahan perkawinan anak. Acara ini terselenggara berkat dukungan Oslo Coalition, sebuah lembaga HAM berbasis universitas di Oslo, Norwegia untuk penguatan hak asasi manusia termasuk hak perempuan dan anak.
Menyesuaikan dengan protokol pencegahan penyebaran virus corona, kegiatan yang diadakan di Aula MAN Nusantarara, Arjawinangun, 5 Juli 2020 ini, dihadiri peserta langsung yang dibatasi 25 orang sesuai aturan gubernur Jawa Barat. Namun untuk menampung minat para peserta dari seluruh Indonesia yang tertarik setelah mereka melihat iklan seminar itu, tercatat 204 peserta online, dan 4000 tayangan yang mengikuti melalui facebook live.
Dalam kegiatan ini tiga narasumber di hadirkan yaitu Nyai Nurul Bahrul Ulum, peneliti aktivis dan salah satu tokoh muda di Cirebon yang sehari-hari aktif di Fahmina Institue, Ustadz Iqbal, lulusan fakultas syariah di Maroko yang saat ini mengajar di Ma’had Aly di lingkungan pesantren di pesantren Darut Tauhid, Cirebon, dan kyai Husein Muhammad, seorang kyai yang kerap disebut sebagai kyai feminis, pengasuh pesantren Dar Al Fikr dan tokoh penting bagi gerakan perempuan di Indonesia yang pernah menjadi salah satu anggpta komisioner Komnas Perempuan.
Seminar ini tak hanya membedah buku dan dimana letak sumbangan buku dalam upaya pencegahan perkawinan anak melalui pembahasan satu persoalan yang sangat berpengaruh pada praktik perkawinan anak yaitu soal hak ijbar (hak memaksa) atas nama peran ayah sebagai wali bagi anak perempuannya. Praktik perkawinan anak di Indonesia antara lain terkondisikan oleh pandangan keagamaan yang memberi otoritas besar kepada ayah, atau kepada negara sebagau wakil dari ayah (wali adhol) yang meloloskan perkawinan melalui upaya hukum pemberian dispensasi nikah.
Perkawinan anak merupakan problem serius dan menghambat kesejahteraan masyarakat. Satu di antara 8 perempuan di Indonesia menikah di bawa 18 tahun (BPS). Dari perkawinan anak bisa muncul rentetan persoalan-persoalan lain, seperti risiko kematian ibu dan anak, gangguang kesehatan reproduksi gangguan mental, KDRT, dan melanggengkan kemiskinan. Data berbasis riset ini disampaikan Nyai Nurul Bahrul Ulum, aktivis dan pendiri Cirebon Feminis, dalam Webinar Diskusi Buku dengan bertajuk “Pencegahan Perkawinan Anak dan Perkawinan Paksa melalui Kajian Buku Fikih Perwalian”. (05/07).
Karena itu, kata Bahrul Ulum, perkawinan anak akan selalu berkelindan dengan kemiskinan dan kekerasan. Untuk memutuskan mata rantai ini, diperlukan penafsiran keagamaan yang berkeadilan dan berpihak pada perempuan. Menurutnya, di sinilah pentingnya kehadiran buku “Fikih Perwalian” yang diterbitkan Rumah KitaB untuk menjawab problem kawin anak.
“Buku ini bisa menggugah kesadaran tokoh agama dalam melakukan reinterpretasi teks-teks keagamaan, terutama terkait dengan hak perwalian (walaya) dan relasi suami-istri (qiwamah),” ujar Bahrul Ulum
Ustadz Muhammad Iqbal, sebagai narasumber kedua, menguatkan apa yang disampaikan Bahrul Ulum. Menurut kiai muda pengasuh Pondok Pesantren Dar al-Tauhid ini, di sinilah urgensinya perspektif maqasid al-syariah sebagai pisau analisis untuk membedah teks-teks keagamaan sebagaimana digunakan buku ini.
“Melalui analisis maqasid syariah, kita tidak hanya menelisik apa yang ada di balik teks (maqasid al-nash) melainkan juga meneliti tujuan atau maksud dari pengarangnya (author/maqasid al-syari’),” kata Iqbal.
Dengan begitu, kata dia, teks-teks keagamaan akan berpihak pada kemanusiaan dan tidak melanggengkan ketidakadilan. Sebab, tujuan diturunkannya syariat adalah untuk mencegah kerusakan (mudarat) dan demi kemaslahatan manusia. Karena itu, menurut Iqbal, perkawinan anak harus dicegah karena mudarat yang ditimbulkan sangat besar sekali.
Lebih lanjut, Kiai Husein Muhammad, sebagai pembicara terakhir menegaskan bahwa teks tidak akan bermakna apa-apa dihadapan realitas, karena realitas adalah dasar kenyataan/ fakta. Sehingga, dalam konteks perkawinan anak, data-data hasil penelitian haruslah dijadikan patokan dan dasar bagi keputusan hukum.
Dalam paparannya, Kyai Husein menjelaskan empat tahap dalam membaca teks dengan menggunakan metode Maqashid Syariah. Menurutnya, sebuah ayat pertama-tama di baca sebagai sebuah “statement”, kedua, menghadirkan pertanyaan ”mengapa ada statement serupa itu”, ketiga kita bertanya “apa tujuan dari statement itu”, dan terakhir menuju pada advokasi dengan mencari tahu “bagaimana” sebagai tawaran solusi. Dicontohkan, dalam ayat tentang “ lelaki adalah pemimpin”, kiai Husein memperlihatkan teknik beroperasinya penggunaan metodologi “maqashid syariah” hingga bisa lahir tafsir yang lebih transformatif yang dapat membatasi hak otoritas ayah atas anak perempuannya (walayah) atau suami kepada istrinya (qiwamah).
Acara yang dibuka tepat jam 9 ini diakhiri dengan sesi diskusi dan tanya jawab yang sangat hidup. Dalam penutupannya Ibu Lies Marcoes mewakili Rumah KitaB menyatakan apresiasi atas kualitas diskusi yang begitu tinggi dan saling melengkapi dengan sempurna di antara para narasumber. Juga ucapan terima kasihnya kepada pengasuh pesantren Dar Al Fikr serta para narasumber. Acara yang dipimpin oleh kyai Jamaluddin Muhammad ini berakhir jam 12.30, dilanjutkan dengan diskusi terbatas terkait strategi praktis mensosialisasikan buku Fikih Perwalian ini sebagai upaya mencegah perkawinan anak. (JM/LM)