Pos

Kerentanan Perempuan Difabel di sepanjang siklus hidupnya

Menurut aktivis difabel perempuan, Nurul Saadah, direktur Sapda Yogyakarta, perempuan difabel dalam siklus kehidupannya mengalami kerentanan berlapis dan diskriminasi berganda.
.
Kesimpulan ini diperolehnya setelah melakukan riset siklus kehidupan difabel perempuan pada 2020. Kerentanan perempuan difabel itu tampak pada seringnya perempuan difabel mengalami kekerasan dan diskriminasi berganda bahkan berlipat dari orang pada umumnya. Dengan memakai perspektif siklus hidup, hasil penelitian tersebut menggambarkan dengan detail bentuk-bentuk kerentanan perempuan sejak lahir hingga dewasa akhir.
Dalam keluarga, seorang bayi perempuan difabel mudah mengalami penolakan atau terabaikan dan tidak mendapatkan pengasuhan yang tepat. Bahkan dalam beberapa kasus, seorang perempuan yang melahirkan anak difabel justru dipersalahkan, mendapatkan tekanan bahkan ditinggalkan oleh pasangan atau keluarganya karena mempunyai anak perempuan disabilitas. Hal lain yang terjadi adalah kebutuhan anak difabel di masa kanak-kanaknya tidak mendapat perhatian serius.
.
Di usia remaja, seorang remaja perempuan difabel tidak mendapatkan dukungan secara penuh dari keluarganya untuk bertumbuh, berkembang, bersosialisasi dengan teman sebaya, lingkungan yang lebih luas. Bahkan, sebagian keluarga berperilaku over protective atau justru malu mempunyai anak perempuan disabilitas. Perlakuan bullying bagi difabel dari teman sebaya, keluarga maupun orang-orang dalam lingkungannya kerap terjadi.
Dalam keadaan demikian, seorang remaja perempuan difabel akan menemui banyak hambatan seperti terkait dengan interaksi sosial, seringkali merasa sangat malu yang berlebihan serta tidak mempunyai kemampuan yang cukup untuk berinteraksi sosial dan mengambil peran dalam lingkungan sebayanya.
.
Memasuki usia dewasa awal atau memasuki usia pernikahan dan menikah, perempuan difabel seringkali mengalami kehamilan atau melahirkan bukan sebagai pilhan rasional. Misalnya, kehamilannya tidak diinginkan atau justru dilarang untuk hamil dan melahirkan karena adanya stigma perempuan disabilitas akan melahirkan anak disabilitas, biaya perawatan kehamilan dan melahirkan yang mahal, dan tidak mampu mengurus anak yang dilahirkan. Dalam beberapa kasus, seringkali penggunaan alat kontrasepsi, atau tindakan aborsi maupun adopsi anak oleh keluarga menjadi keputusan keluarga dengan tiada penyampaian kepada perempuan difabel yang bersangkutan.
.
Sebagai pasangan dari seorang suami, relasinya bisa tidak setara. Perempuan difabel jelas berada dalam titik yang rentan dan mudah ditinggalkan, atau diabaikan, diduakan bahkan dimanfaatkan secara fisik dan ekonomi oleh pasangan karena posisi tawar yang rendah. Rendahnya posisi tawar ini bisa disebabkan oleh karena perempuan disabilitas dianggap tidak memenuhi standar kecantikan oleh masyarakat, dan tidak dapat menjalankan peran sosial dengan optimal.
.
Lainnya, di usia dewasa atau di masa-masa produktifnya, seorang perempuan difabel menjadi orang dengan beban ganda di satu sisi dan minim dukungan sosial di sisi lainnya. Akan lebih tertekan lagi di saat difabel tidak memiliki asset penghidupan. Untuk itu, perempuan difabel menjadi pekerja keras, mengorbankan waktu, harta benda untuk mendapatkan posisi di keluarga kecil dan keluarga besar (pasangannya), tetapi seringkali masih mendapatkan perlakuan yang tidak menyenangkan/ merendahkan martabat terkait kondisi sebagai perempuan disabilitas.
.
Apa yang bisa kita lakukan untuk mengurangi kerentanan ini, kawan?

Memandang Disabilitas

Oleh: Jamaluddin Mohammad

 

BEBERAPA hari yang lalu saya mengikuti pelatihan disabilitas inclusion di Rumah KitaB (30/07). Terus terang banyak hal baru yang saya dapatkan dari pelatihan yang hampir seluruh pematerinya difabel itu. Terutama soal perspektif dan cara pandang baru dalam melihat dan memperlakukan penyandang disabilitas.

Selama ini saya hanya memakai kaca mata medis dalam memandang dan menilai disablitas. Seorang yang berkaki atau bertangan buntung akan dibuatkan tangan atau kaki palsu agar bisa beradaptasi dengan lingkungan dan berinteraksi sosial. Bukan bagaimana menciptakan sebuah lingkungan sosial yang aksesibilitas, bisa diakses oleh para penyandang cacat.

Salah satu contoh yang mudah sekali kita temui adalah dibuatkan tactile paving (lantai pemandu bagi orang buta) di sepanjang trotoar atau fasilitas umum lainnya. Juga di bus/kereta disediakan tempat khusus penyandang disabilitas.

Sayangnya fasilitas-fasilitas tersebut masih belum tersedia secara merata dan masih terbatas bagi penyandang disabilitas tertentu. Bahkan, tidak hanya tactile paving, trotoar untuk pejalan kaki pun terkadang hilang dimakan jalan untuk kendaraan.

Problem disabilitas bukan semata pada tubuhnya. Penyandang disabilitas tentu memiliki keterbatasan-keterbatasan baik fisik maupun mental. Namun, keterbatasan-keterbatasan tersebut bisa dilampaui ketika kita memberikan fasilitas dan aksesibilitas bagi penyandang disabilitas agar mereka bisa dengan mudah berinteraksi sosial dengan masyarakat dan lingkungannya.

Sayangnya kesadaran seperti ini belum banyak dimiliki masyarakat kita. Cerita Anjas Pramono, mahasiswa difabel pencipta banyak aplikasi untuk penyandang disabilitas ini, menunjukkan bukti masih banyak orang yang melihat disabilitas berdasarkan tubuh semata. Aktivis PMII ini awal-awalnya ditolak masuk perguruan tinggi hanya karena keterbatasan fisiknya.

Yang belakangan beritanya viral di media sosial, drg. Romi Syofpa Ismael, seorang dokter berprestasi dan memiliki nilai tinggi dalam tes CPNS, digagalkan masuk PNS hanya karena fisiknya.

Penyandang disabilitas juga manusia seperti pada umumnya. Mereka memiliki kelebihan juga kekurangan. Dalam sesi diskusi dengan penyandang cacat, saya baru tahu mereka juga tidak suka dibanding-bandingkan.

Media massa suka sekali memuji dan menyanjung prestasi penyandang disabilitas secara heboh dan berlebihan. Misalnya, meskipun cacat dan hanya duduk di sebuah kursi roda, Stephen Hawking mampu mengalahkan ahli matematika di seluruh dunia.

Sanjungan seperti ini sebetulnya bertujuan baik dan hendak menunjukkan bahwa “keterbatasan fisik” bukanlah penghambat dan tidak akan mengurangi kualitas seseorang. Tapi, bagimana dengan orang cacat yang tdak memiliki kelebihan apa-apa. Bisa Jadi malah menyakiti mereka. Karena itu, biasa-biasa saja lah dan tak perlu heboh.[]