Catatan Gus Jamal: Berkurban
Oleh Jamaluddin Mohammad
“Anakku, saya bermimpi menyembelihmu,” kata Ibrahim kepada anak kesayangannya, Ismail.
“Lakukan saja [sesuai petunjuk mimpimu]. Insya Allah, Engkau akan mendapatiku sebagai orang-orang yang sabar,” kata Ismail.
Itulah sekelumit dialog seorang ayah kepada anaknya yang dicatat al-Quran surat as-shoffat 102.
Ibrahim bukanlah Sigmund Freud yang menganggap mimpi hanyalah tampilan (citra visual) yang menyembul akibat dorongan alam bawah sadar dari struktur kesadaran manusia. Juga bukan Ujang Busthomi yang mungkin akan menganggap mimpi tersebut hanyalah gangguan dari setan belek.
Nabi Ibrahim dan Ismail tak perlu menafsiri tanda dalam mimpi tersebut. Ia seperti cahaya yang menerangi mereka.
Seorang Nabi, kata al-Farabi, adalah orang yang memiliki intuisi dan imajinasi yang sangat kuat di luar rata-rata manusia biasa, sehingga mampu berkomunikasi langsung dengan “akal aktif” (aql al-faal) —– Jibril AS.
Inilah kenapa orang seperti Sigmud Freud atau pun Ujang Busthomi takkan mampu membaca mimpi Ibrahim. Daya imajinasi dan kekuatan intuisi mereka masih berada di tingkat awam.
Sama seperti pikiran awam pasti gagal paham memahami keinginan Ibrahim menyembelih anaknya dan juga keputusannya meninggalkan anak dan istrinya di sebuah lembah tak bertuan [sekarang Makkah].
Namun, kisah Ibrahim meninggalkan sebuah pesan penting: cinta butuh pengorbanan. Bertahun-tahun Ibrahim merindukan hadirnya seorang anak. Namun, begitu ia lahir, Ibrahim diuji utk membunuh cintanya. Ia pasrah, sabar, dan ikhlas menerima takdirnya sendiri. Allah SWT mengganti cintannya dengan menjadikannya sebagai kekasihNya (kholiluhu).
Cinta butuh pengorbanan, termasuk mengorbankan cinta itu sendiri. Tragis memang. Namun, begitulah cinta.
Selamat Hari Raya Idul Adha dan jangan lupa bahagia 😀
Salam,
Jamaluddin Mohammad