Pos

Secercah Harapan dari Cianjur Peluncuran Perbup Pencegahan Kawin Kontrak

Oleh: Nurasiah Jamil

Jum’at berkah, kira-kira itu yang bisa digambarkan pada tanggal 18 Juni 2021. Saya, atas nama Rumah KitaB, berkesempatan hadir pada acara peluncuran Perbup tentang Pencegahan Kawin Kontrak di Kabupaten Cianjur.

Dengan waktu yang tersisa siang itu, saya berangkat ke Cianjur sedikit tergesa. Bukan hanya karena jalur bebas hambatan yang macet, juga karena sebelumnya harus mengisi e-toll yang kebetulan habis di tengah-tengah perjalanan. Setelah berhasil melewati hambatan itu, jadilah saya sampai di lokasi tepat dengan iring-iringan rombongan Bupati dan wakilnya tiba.

Kabar baiknya, meski datang tepat sebelum acara dimulai. Salah satu staf Pemda Cianjur telah menyisakan satu kursi untuk saya. Ia pula yang terus-menerus memastikan saya bisa hadir tepat waktu. Tak ada perasaan lain kecuali rasa haru. Sebab, jika kursi itu tak tersisa, saya akan berdiri sepanjang acara berjalan. Duduk di samping kanan saya, dua perwakilan mitra Rumah KitaB dalam program We Lead—yang turut mendorong lahirnya Perbup tentang Pencegahan Kawin Kontrak.

Pihak Pemda sengaja memilih lokasi penlucuran Perbup ini di Kawasan Kota Bunga, Desa Sukagalih, Kecamatan Pacet. Bukan tanpa alasan mengapa Kota Bunga dipilih sebagai lokasi peluncuran. Kawasan Kota Bunga, selain sebagai tempat wisata alam, juga disinyalir sebagai salah satu tempat favorit praktik kawin anak oleh wisatawan asing.

Hadir juga pada acara peluncuran ini Kabag Hukum Pemda Cianjur, pejabat daerah, para kepala desa, Ketua MUI, KUA, Kepala Puskesmas, Ketua Forum RW/RT; aktivis perempuan (di antaranya Rumah KitaB dan dua mitra yaitu PPRK MUI Cianjur dan Muslimat NU Cianjur), tokoh agama, tokoh masyarakat, dan Forkopimcam dari tiga kecamatan (Pacet, Cipanas dan Sukaresmi).

Acara dimulai dengan sambutan dari Kabag Hukum Pemda Cianjur, Muchsin Sidiq Elfatah, S.H, M.H. Beliau memberikan apresiasi kepada seluruh elemen yang telah mendukung proses penyusunan Perbup Pencegahan Kawin Kontrak. Perbup ini merupakan upaya perlindungan Pemerintah Cianjur terhadap perempuan dan anak di Kabupaten Cianjur.

Testimoni pendamping korban kawin kontrak diwakili oleh Ketua PPRK MUI Cianjur, Hj. Rina Mardiyah, S.H, M.H, yang merupakan aktivis perempuan Cianjur dan juga mitra Rumah KitaB. Dalam kesempatan tersebut, Hj. Rina Mardiyah, S.H, M.H, menyampaikan bahwa permasalahan kawin kontrak bukanlah hal baru di Cianjur. Sejak tahun 2000, ia bersama dengan aktivis perempuan lainnya sudah melakukan advokasi pencegahan kawin kontrak. Selang dua puluh satu tahun kemudian, perjuangan advokasi kawin kontrak ini terlihat titik terang dengan diterbitkannya Perbup Pencegahan Perkawinan Kontrak.

Hj. Rina Mardiyah, S.H, M.H, juga menyampaikan bahwa aktivis perempuan atas dukungan Rumah Kita Bersama siap mengawal implementasi Perbup Pencegahan Kawin Kontrak. Hal lain yang menjadi perhatian Hj. Rina Mardiyah, S.H, M.H, adalah perlunya peraturan daerah (Perda) untuk memperkuat Perbup Pencegahan Kawin Kontrak.

Peluncuran Perbup dipimpin langsung oleh Bupati Herman Suherman. Ia mengawali peluncuran itu dengan memberikan sambutan yang menjelaskan betapa pentingnya posisi perempuan dalam Islam. Perempuan adalah sumber kehidupan. Tanpa perempuan, kehidupan di dunia ini tidak akan bisa berjalan dengan sempurna. Sebab, seluruh kehidupan lahir dari Rahim perempuan. Sehingga, ia bertekad untuk menerbitkan regulasi tentang kawin kontrak sebagai salah satu prioritas kerja di 100 hari pertamanya sebagai Bupati.

Dalam sambutannya, Herman Suherman mengatakan bahwa Perbup ini bukanlah akhir dari perjuangan dalam pencegahan kawin kontrak. Perbup merupakan babak awal untuk diimplementasikan oleh semua elemen masyarakat.

Selepas Perbup ditanda tangani oleh Bupati, ada perasaan yang sulit dijelaskan di dada. Sebagaimana nama lokasi peluncuran Perbub ini. Ada semacam harapan yang bermekaran laksana bunga di taman.

MENGHADIRKAN PARA PIONIR PENCEGAHAN PERKAWINAN ANAK

Rabu, 22 Juli 2020, Rumah KitaB menyelenggarakan seminar nasioanl dengan tajuk Peran Para Pelopor Pencegahan Perkawinan Anak di Wilayah Terdepan (Pionir dari Frontier). Acara yang dilakukan secara daring ini cukup diminati, terbukti ada 180 orang terdaftar dari berbagai unsur, mulai dari rekan NGO, pemerintah –baik pusat atau daerah, akademisi, dan para mitra dampingan Rumah KitaB. Dengan kapasitas Zoom yang hanya menampung 100 orang, Rumah KitaB menyiarkan acara ini secara langsung via kanal Youtube Rumah KitaB untuk menjangkau peserta yang tak bisa masuk dalam ruangan Zoom.

 

Acara ini dibuka oleh Dr. Hari Nur Cahaya Murni, PLH Dirjen Bangda Kemendagri RI, dan diantarkan oleh Lanny N. Rosalin, M.sc., M. Fin., Deputi Bidang Tumbuh Kembang Anak KPPA RI. Hadir pula dalam acara ini Adyani Widiowati, Program Assisstant Ford Foundation. Bertindak sebagai moderator seminar adalah Lies Marcoes, Direktur Eksekutif Rumah KitaB, dengan narasumber Nurasiyah Jamil –Program Officer Program Berpihak di Cianjur, Nursyida Syam –Program Officer Program Berpihak di Lombok Utara,  Nurul Sugiyati –Program Officer Program Berpihak di Sumenep, Asep Suparman –Asisten Pemerintah dan Kesejahteraan Rakyat Kab. Cianjur, dan Bagiarti –Angota DRPD Lombok Utara.

 

Seminar ini, sebagaimana disampaikan oleh Fadilla Putri, program manager Rumah KitaB, dalam laporannya merupakan bagian dari program Berpihak. Berpihak adalah salah satu program yang dijalankan oleh Rumah KitaB dalam upaya pencegahan perkawinan anak di tiga wilayah: Cianjur, Sumenep, Lombok Utara atas dukungan Kementerian Dalam Negeri RI melalui Ford Foundation. Tiga kota dari tiga provinsi dengan angka perkawinan yang cukup tinggi di Indonesia. Berangkat dari data itu pula, Rumah KitaB mendesain program “pemantik” untuk ketiga wilayah tersebut untuk pencegahan perkawinan anak. Data adalah pijakan pertama untuk menuju tangga perubahan yang lebih tinggi, yaitu adanya perubahan kebijakan.

 

Dalam seminar ini, Rumah KitaB meluncurkan tiga laporan daerah yang berisi tentang pelaksanaan kegiatan dan profil para pionir. Ketiga buku itu adalah Budaya untuk Berdaya: Pendekatan Budaya untuk Pencegahan Kawin Anak (Pioner dari Frontier Kabupaten Sumenep), Upaya Bersama Cegah Kawin Tak Terencana (Pioner dari Frontier Kabupaten Cianjur), Menjaga Remaja Pasca Bencana ((Pioner dari Frontier Kabupaten Lombok Utara)

 

Adyani Widiowati, dalam sambutannya, mengapresiasi kerja-kerja yang telah dilakukan oleh Rumah KitaB dalam program Berpihak, terutama saat tetap memilih Lombok Utara sebagai lokasi program, meski saat itu Lombak dalam masa recovery pasca bencana. Bahkan, menurut Adyani, mempertahankan Lombok sebagai lokasi program adalah pilihan tepat. Sebab, pada masa-masa pasca bencana, anak-anak yang berada di barak-barak pengungsian lebih rentan mendapatkan kekerasan dan haknya sering terabaikan.

 

Senada dengan itu, Lenny  N. Rosalin menyebut dalam pengantar kuncinya bahwa perkawinan anak merupakan pelanggaran hak asasi anak yang sekaligus juga melanggar hak asasi manusia. Perkawinan anak, menurut Lanny, sering dianggap masalah kecil, padahal dengan angka perkawinan anak yang tinggi, Indeks Pembangunan Manusia (IPM) wilayah dan target SDGS Indonesia takkan bisa tercapai.

 

Hari Nur Cahya Murni, dalam sambutan pembukaan acara, menyatakan bahwa angka perkawinan anak di Indonesia adalah yang tertinggi keempat di Asia dan ketujuh di dunia. Ini artinya, tugas pemerintah untuk terus berupaya menurunkan angka perkawinan anak di Indonesia. Komitmen pemerintah untuk menekan angka perkawinan, menurut Hari, terlihat dengan dinaikkan batas usia kawin bagi anak perempuan, yang awalnya 16 tahun menjadi 19 tahun.

 

Dalam pengantar seminar, Lies Marcoes sebagai pemandu menjelaskan bahwa berbeda dari seminar nasional pada umumnya yang biasanya menghadirkan tokoh-tokoh nasional, dalam acara ini dihadirkan para pionir dari wilayah. Sebab, sesungghnya merekalah ujung tombak, yang berdiri paling depan dengan kesuksesan upaya pencegahan kawin anak. Para Pionir itu bisa tokoh adat, tokoh agama, tokoh penggerak remaja dan perempuan, atau remaja itu sendiri. Namun, para pionir ini bisa bergerak jika pemerintah daerah menjamin keberlanjutan upaya yang telah dirintis oleh lembaga seperti Rumah KitaB.

 

Lalu siapakah para pionier itu? Tiga wilayah ini memperlihatkan pembelajaran. Tak ada cetakan yang sama untuk melahirkan seorang pionier. Setiap wilayah dalam kelahiran para pionier pencegahan perkawinan anak, begitu ujar Lies Marcoes. Sebab , setiap wilayah memiliki keunikan, konteks sosial politik dan ciri yang menentukan upaya pencegahan perkawinan anak itu.

 

Cianjur, misalnya, menurut Nurasiyah Jamil pendekatan sosio-agama menjadi penting. Sebab, Cianjur adalah salah satu wilayah di Indonesia yang secara kultural cukup ketat dalam hal agama. Meski begitu, angka perkawinan anak di Cianjur tertinggi pertama di Jawa Barat. Tantangan yang cukup berat di Cianjur adalah revitaliasi budaya supaya lebih ramah pada perempuan dan anak. Keterlibatan tokoh agama, penggerak desa dan kelompok perempuan menjadi penting. Pun tak jauh berbeda dengan Sumenep, budaya tantangan sendiri dalam upaya pencegahan perkawinan anak.

 

Upaya pencegahan perkawinan anak di Kab. Cianjur, menurut Asep Suparman, diperlukan sinergi yang holistik dari semua pihak. Oleh karena itu, pemerintah Kab. Cianjur mencoba menggandeng seluruh elemen masyarakat, termasuk remaja, dalam sosialisasi Perbub No. 10 Tahun 2020 Tentang Pencegahan Perkawinan Usia Anak.

 

Anak tidak hanya dijadikan obyek advokasi, tetapi juga sebagai subyek aktif advokasi.Itu pula yang disampailan oleh Nursyida Syam yang mengatakan bahwa anak-anak di Lombok Utara rentan menjadi yatim piatu secara sosial, karena sistem perlindungan secara budaya semakin terkikis oleh perubahan tatanan sosial. Tak pelak, anak-anak yang menjadi korban pernikahan anak akan menanggung baban ganda dan tanpa pertolongan yang memadai. Oleh karena itu, sebagai salah satu strategi, Nursyida secara aktif melibatkan anak-anak sebagai “juru bicara” dalam pencegahan kawin anak pada sebayanya. “ Melibatkan anak artinya, kita harus berani memberi “ruang suara” dan “ ruang dengar” bagi suara anak-anak dan remaja. Namun, hal yang terpenting adalah “merebut kepercayaan mereka” dengan menepati janji atas rencana – rencana yang telah disepakati bersama mereka!.

 

Di akhir, seminar ini ditutup dengan pembacaan sebuah puisi dari Sapardi Djoko Damono oleh anggota Kanca (Kanak Pecinta Baca)

biarkan aku memandang ke Timur untuk mengenangmu
wajah-wajah yang penuh anak-anak sekolah berkilat,
para perempuan menyalakan api,
dan di telapak tangan para lelaki yang tabah
telah hancur kristal-kristal dusta, khianat dan pura-pura.
selamat pagi, Indonesia, seekor burung kecil
memberi salam kepada si anak kecil;
terasa benar: aku tak lain milikmu[]

 

(Reporter: Aida)

 

Tokoh Agama, Adat, dan Pemerintah Daerah Jadi Kunci Dalam Mencegah Perkawinan Anak

Laporan wartawan Tribunnews.com, Mafani Fidesya Hutauruk

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA– Rumah Kita Bersama (Rumah KitaB) menyelenggarakan Seminar Nasional virtual dengan mengangkat isu Pencegahan Perkawinan Anak melalui program BERPIHAK.

Program Manager Rumah Kitab, Fadilla D Putri menjelaskan latar belakang munculnya program BERPIHAK.

“Mengapa kami melakukan program ini, bermula dari penelitian yang rumah KitaB selenggarakan, karena Rumah KitaB merupakan lembaga riset dan advokasi untuk keadilan. Maka kami memulai dengan penelitian di lima provinsi atau 9 wilayah di Indonesia dengan dukungan Ford Foundation,” ucap Fadilla Putri pada Webinar Nasional BERPIHAK: Peran Para Pelopor Pencegahan Perkawinan Anak di Wilayah Terdepan, Rabu, (22/07/2020).

Ia kemudian menjelaskan temuan dari penelitian yang dilakukan Rumah KitaB terkait Pencegahan Perkawinan Anak.

“Salah satu temuan kunci dari penelitian ini adalah bahwa tokoh-tokoh seperti tokoh adat, agama yang kami sebut sebagai tokoh formal dan non formal termasuk pemerintah daerah memiliki peranan kunci dalam pencegahan perkawinan anak,” ucapnya.

Rumah KitaB menyelenggarakan program untuk melibatkan mereka mencegah perkawinan anak.

Menurut Fadilla pencegahan perkawinan anak menggunakan perspektif yang berpihak kepada anak perempuan dan remaja.

Pelibatan tokoh formal dan non formal penting dilakukan.

Seperti yang sudah dilakukan di Kabupaten Cianjur Rumah KitaB bekerjasama dengan pemerintah daerah untuk mengesahkan Pergub Pencegahan Perkawinan Anak.

Selanjutnya di Kabupaten Sumenep, pemerintah daerah telah memasukkan Pencegahan Perkawinan Anak sebagai prioritas dalam program pemerintah.

“Sepanjang program menggunakan perspektif keadilan gender dan partisipasi anak tidak hanya dalam kegiatan-kegiatan yang diselenggarakan oleh rumah KitaB. Kami juga bekerja dengan remaja dan orangtua,” ucapnya.

 

Hal tersebut dilakukan untuk berbagi apa saja yang dibutuhkan remaja agar tidak dikawinkan pada usia anak.

“Kami memastikan suara anak didengar dalam perencanaan pemerintah,” ucapnya.

Di Cianjur Rumah KitaB menyertakan suara remaja dalam penyusunan Pergub Pencegahan Perkawinan Anak.

“Begitu pun di Lombok Utara salah satu mitra kami mengundang perwakilan Pemda untuk mendengarkan aspirasi remaja,” ucapnya.

Menurutnya pemerintah Cianjur telah berhasil mengesahkan Pergub Pencegahan Perkawinan Anak pada Maret 2020 dan telah menggunakan usia yang sesuai dengan revisi UU perkawinan

“Kerja-kerja kami di daerah akan selalu kami bawa ke pemerintah pusat untuk mendukung inisiatif-inisiatif yang dilakukan oleh kementerian,” katanya.

Ia menjelaskan Rumah KitaB sebagai lembaga riset untuk advokasi sudah memproduksi beberapa buku pengetahuan.

Dalam program BERPIHAK ini Rumah KitaB bekerja dengan tiga pendekatan, yaitu hukum, sosial keagamaan, dan budaya.

Kemudian untuk menuju perubahan di tingkat kebijakan, Rumah KitaB turut bekerja di 3 level yaitu bekerja di komunitas, daerah, dan nasional.

Kami bekerja bersama tiga kelompok Champions yaitu remaja, kader, tokoh formal, dan non formal.

Terakhir, Rumah KitaB telah bekerja di beberapa wilayah di antaranya Lombok Utara NTB, Sumenep Jawa Timur, dan Cianjur Jawa Barat.

Webinar ini dihadiri PLH Dirjen Bangda Kementerian Dalam Negeri Hari Nur Cahya Murni.

Selain itu Regional Director Ford Foundation Indonesia Alexander Irwan.

Hadir pula Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA) I Gusti Ayu Bintang Darmawati Puspayoga.

Acara ini dimoderatori Direktur Rumah KitaB Lies Marcoes.

Sebagai narasumber hadir Asisten Pemerintahan dan Kesejahteraan Rakyat Kabupaten Cianjur Asep Suparman dan PO Cianjur Nurasiah Jamil.

Selain itu, Bupati Sumenep Nurul Sugiyati dan Anggota DPRD Kabupaten Lombok Utara Bagiarti turut menjadi narasumber dalam webinar ini.

Artikel ini telah tayang di Tribunnews.com dengan judul Tokoh Agama, Adat, dan Pemerintah Daerah Jadi Kunci Dalam Mencegah Perkawinan Anak, https://www.tribunnews.com/nasional/2020/07/22/tokoh-agama-adat-dan-pemerintah-daerah-jadi-kunci-dalam-mencegah-perkawinan-anak.
Penulis: Mafani Fidesya Hutauruk
Editor: Adi Suhendi

 

Foto-foto Rumah KitaB:


 

 

Pelatihan Program BERPIHAK Cianjur, 18-20 FEB 2019

Penguatan Kapasitas Kelembagaan Tokoh Formal & Non-Formal dan CSO untuk Advokasi Pencegahan Perkawinan Anak di Cianjur, Jawa Barat, 18-20 Feb 2019

Seminar “Kawin Anak dalam Perspektif Agama”

Rabu 27/4/2016, seminar dengan tajuk “Kawin Anak dalam Perspektif Agama” diselenggarakan oleh YKP (Yayasan Kesehatan Perempuan) pada pukul 09.00 – 13.00, bekerja sama dengan Badan Pemberdayaan Perempuan dan Keluarga Berencana Kabupaten Cianjur.

Pembicara dalam seminar ini adalah Tini Hadad dan Erna Lestari dari YKP, dan Mukti Ali, yang merupakan narasumber dari Rumah Kita Bersama. Peserta yang hadir dalam seminar tersebut adalah para tokoh agama, ustadz/ustadzah pengasuh pesantren, kyai, ajengan setempat, ibu-ibu Muslimat dan Fatayat NU, para aktivis gender, pejabat BPPKB, dan para pemerhati isu kawin anak.

Tini Hadad sekilas memperkenalkan YKP dan menjelaskan tentang hasil penelitian perkawinan anak yang dilakukan oleh YKP secara umum. Tini Hadad juga menceritakan tentang proses para aktivis NGO, khususnya YKP, dalam melakukan judicial review batasan usia kawin dari 16 tahun ke 18 tahun ke Mahkamah Konstitusi yang pada akhirnya ditolak. Padahal para aktivis NGO sudah membawa pakar dan ahli agama, yaitu Prof. Dr. Quraish Shihab. Akan tetapi, dari perwakilan ormas Islam, yaitu MUI, Muhammadiyah, dan NU dengan argumentasi agama menolaknya. Dan penolakan MK itu diambil dari argumentasi agama yang diajukan para perwakilan ormas Islam tersebut.

Seminar kemudian dilanjutkan oleh pemaparan Erna Lestari, peneliti YKP, yang mempresentasikan hasil temuan lapangan kawin anak yang dilakukan tim peneliti YKP, khususnya hasil penelitian di Cianjur. Erna menjelaskan penyebab dan dampak kawin anak secara umum. Penyebab kawin anak yang didapatkan di lapangan yaitu paksaan orangtua, patuh terhadap ibu dan bapak, tabu menolak tawaran lamaran, takut zina, dan kehamilan tidak dikehendaki. Sedangkan dampak dari perkawinan anak yaitu tingginya angka kematian ibu dan anak, melahirkan anak difabel, kemiskinan, dan pendidikan yang rendah. Erna menyatakan bahwa di Cianjur angka kawin anak sangat tinggi, mencapai 90% lebih. Dan tim YKP menemukan perbedaan pandangan antara kalangan lelaki dan kalangan perempuan dalam menyikapi kawin anak yang ada di lapangan. Kalangan lelaki kebanyakan menyatakan agar menyegerakan anak perempuannya dinikahkan. Sedangkan kalangan perempuan kebanyakan menginginkan agar anak perempuannya dinikahkan setelah dewasa.

Kawin anak dalam perspektif agama disampaikan oleh Mukti Ali. Mukti menjelaskan bahwa di antara ulama klasik terjadi perbedaan pendapat. Sebagian ulama membolehkan perkawinan anak dengan syarat adanya kemaslahatan, wujud al-maslahat. Jika tidak ada maslahat dan bahkan malah madharat, maka tidak boleh. Sebagian ulama yang lain, seperti Ibnu Hazm, melarang kawin anak bagi lelaki dan diperbolehkan bagi perempuan. Argumen ini merujuk pada Nabi saw. yang menikah saat usia dewasa. Sebagian ulama yang lain lagi, seperti Ibnu Sabramah, Utsman bin Muslim al-Batti dan Khatim al-A’sham, melarang kawin anak secara mutlak, baik bagi laki-laki maupun perempuan. Karena kawin anak sebagai khususiyah (hak istimewa/privilege) Nabi saw., dan tidak boleh bagi umatnya.

Ulama kontemporer yang melarang perkawinan anak yaitu hampir seluruh ulama Al-Azhar Kairo Mesir, seperti Syekh Prof. Dr. Ali Jum’ah (Mufti Negara Mesir), Syekh Prof. Dr. Ahmad Tayyib (Rektor Universitas Al-Azhar Kairo), Dr. Muhammad Faridl, dll. Para ulama Al-Azhar bersama para pakar genokologi, kesehatan, dan kedokteran melarang kawin anak dalam kitab “Dalil Qadlhaya al-Sihhah al-Injabiyah lil-Murahiqin wa al-Murahiqat fi Mandzhur al-Islam” (Argumen Kesehatan Reproduksi bagi Muda-mudi dalam Perspektif Islam), dengan argumentasi bahwa pelaku perkawinan harus sudah dewasa biologis (baligh), dewasa psikologis dan pikirannya (rusyd), sehingga tertanam rasa tanggung jawab. (QS. An-Nisa: 6).

Perkawinan anak seringkali menjauhkan dari tujuan perkawinan, yaitu sakinah (ketentraman), mawaddah (cinta), dan rahmah (kasih sayang). (QS. Ar-Rum: 21). Syekh Prof. Dr. Mahmud ‘Asyur, ulama Al-Azhar  dan ulama yang lain, berpendapat bahwa hadits Nabi saw. mengawini Aisyah pada usia 6/7 tahun bertentangan dengan fakta sejarah dan riwayat yang lain. Dan karenanya, sebetulnya Nabi saw. mengawini Aisyah pada usia 19 tahun.

Hukum perkawinan sendiri menurut seluruh ulama fikih baik klasik maupun kontemporer tidaklah tunggal, bahkan berubah-ubah sesuai dengan kondisi sang pelaku perkawinan: bisa sunnah, mubah, dan haram. Yang pasti jika perkawinan akan mengakibatkan madharat dan efek negatif bagi pelakunya, maka perkawinan adalah haram. Sedangkan perkawinan anak memiliki banyak dampak negatif atau madharat-nya, seperti tingginya angka kematian bayi dan angka kematian ibu, hilangnya kesempatan belajar sehingga terjadi pembodohan, melahirkan anak difabel atau prematur akibat belum sempurnanya tulang panggul dan fisik yang belum siap reproduksi, dan tingginya angka perceraian.

Perkawinan anak juga sering terjadi akibat dari kesalahpahaman mengenai Wali Mujbir dan kawin paksa. Perkawinan tidak boleh melalui paksaan, bahkan Nabi saw. menganjurkan meminta restu dari sang anak. Wali Mujbir bukan wali yang boleh memaksa seenaknya, tapi harus melalui syarat yang banyak dan tidak saklek. Di antara syaratnya adalah jika tidak ada penolakan dari pihak putri yang akan dikawinkan, maka perkawinan boleh diselenggarakan. Sementara jika ada penolakan atau ada indikasi penolakan, maka perkawinan tidak boleh dilanjutkan.

Dalam sesi diskusi, bapak Ade, salah satu pejabat BPPKB Kabupaten Cianjur, menyarankan agar apa yang disampaikan oleh Mukti Ali disampaikan juga ke ketua-ketua KUA, PA, dan jajaran yang paling bawah seperti P3N dan penghulu. Agar mereka mengerti landasan dan dalil agama atas pelarangan kawin anak. Karenanya harus ada tindak lanjut dengan mengadakan semacam pelatihan atau seminar yang audience-nya adalah mereka. Peserta yang lain, yaitu ibu Aenah, perwakilan Muslimah NU Cianjur, menyarankan agar diskusi serupa sebaiknya diadakan bagi kalangan kyai-kayi MUI, para kyai pesantren, dan ormas-ormas Islam yang ada di Cianjur. []